Bahar lalu membalikkan badannya, menghadap ke arahku, "Mas Harso, Mas Harso.., aku tadi benar-benar serius lho, aku pikir.." napasnya terdengar masih ngos-ngosan.
Biasanya kalau dia memanggilku dengan nama lengkap, pasti mau bicara serius.
"Bukan apa-apa" lanjutnya, "Aku kan pernah bilang, kalau Mas mau kembali ke Jakarta, bilanglah jauh-jauh hari, jangan mendadak. Mas tahu sendiri kan, di sini cuma Mas Harso yang bisa aku andalkan dan sudah aku anggap sebagai keluarga sendiri.."
Aku jadi agak kasihan juga mendengar ucapannya.
"Sorry Bang," jawabku, "Habis Abang tadi juga bikin kaget."
"Bikin kaget gimana?"
"Itu tadi."
"Lho, aku kan cuma meluk dari belakang. Mas Har saja yang kagetan," katanya mencoba membela diri.
"Ya, tapi nggak biasanya Abang seperti itu."
"Boleh dong sekali-sekali menunjukkan rasa sayangku sama Mas Har."
Rasa sayang? Dadaku tiba-tiba berdebar.
"Boleh kan?" katanya mengulangi. Kali ini dengan mimik lebih serius.
"Ya, boleh saja..," kataku agak kaku.
Dia membalas dengan senyum. Seperti biasanya, senyum yang menawan.
Entah dari mana mulainya dan siapa yang memulai, tiba-tiba kami sudah dalam kedaan berpelukan akrab. Ada sekitar satu menit kami saling berangkulan. Lalu, entah dari mana datangnya, mungkin terpengaruh oleh suasana yang akrab, tiba-tiba timbul keberanianku mencium pipinya. Dia diam. Kucium pipi yang satunya lagi. Masih diam. Kami bertatapan dan kemudian saling tersenyum. Bahkan dia kembali memelukku. Kali ini lebih erat.
"Aku juga sayang sama Abang..," bisikku di telinganya.
Matanya tertutup mendengar bisikanku. Tiba-tiba, timbul sebuah keinginan yang selama ini hanya ada di angan-anganku. Namun sedetik kemudian aku menjadi ragu. Perasaanku timbul tenggelam, sampai akhirnya kucoba memberanikan diri. Aku nekat. Dan.., dia diam saja ketika pelan-pelan kusentuhkan bibirku ke bibirnya. Dia tidak bereaksi.
Terasa kumisnya basah oleh air laut. Ada rasa asin mengalir di mulutku. Tapi rasa itu pelan-pelan menghilang ketika kurasakan dia mulai membalas. Aku agak tersentak. Kaget dengan respon yang diberikan. Apalagi lidahnya kemudian mulai bergerak, menggantikan rasa asin tadi dengan rasa lain, entah apa, yang jelas terasa sangat nikmat.
Beberapa saat kemudian kulepas bibirku. Aku menunduk tapi mataku mencoba melirik ke atas, melihat reaksinya atas kenekatanku menciumnya tadi. Kulihat matanya sudah terbuka, tapi sayu. Bibirnya juga masih terbuka, seperti meminta. Aku diam mengamati, mencoba menebak-nebak apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Tiba-tiba aku merasa bersalah.
"Bang..," aku baru mau bicara tapi terputus oleh kalimatnya. Tangannya masih memeluk leherku.
"Saya.., sebenarnya sudah lama tahu," katanya lirih, "Mungkin Mas Har kaget bahwa.., saya pun sebenarnya punya perasaan yang sama, meski mungkin.. kadarnya lain," kalimatnya terbata-bata.
Aku masih terdiam, berusaha mengamati wajahnya. Kurasakan mataku agak berair.
"Selama kerja di pelabuhan," lanjutnya, "Kehidupan seperti ini ada Mas. Dan terus terang, aku pernah mengalaminya juga, meski nggak sampai jauh."
Aku tidak mengerti maksudnya mengatakan 'sampai jauh'. Tapi aku diam saja, mendengarkan cerita selanjutnya. Kalau Bahar sudah mulai cerita, biasanya dia serius. Dan aku berusaha jadi pendengar yang baik (terutama karena aku memang suka mendengar suara logat Sangirnya yang khas itu).
Menurut ceritanya, meskipun pada awalnya biasa saja, ternyata Bahar lambat laun mulai dapat membaca sikapku setelah kami berkawan sekitar satu bulan. Insting itu katanya ia dapatkan dari pengalamannya selama ini bergaul dengan orang-orang di lingkungan kapal atau pelabuhan. Lingkungan yang didominasi laki-laki memang dapat berpeluang menimbulkan gaya hidup yang lain di antara komunitasnya. Kebutuhan biologis yang kadang-kadang sangat menuntut pada situasi dan kondisi yang darurat, kadang-kadang memaksa mereka untuk menyalurkannya dengan berbagai cara.
Bahar yang sudah bertahun-tahun hidup dan bekerja di situ jadi terbiasa melihat kehidupan seperti itu di lingkungan kapal atau pelabuhan. Bahkan bila terpaksa, sekali-sekali dia melakukannya bila keinginan sudah menuntut dan tidak sempat menyalurkannya secara normal ke perempuan. Tapi dalam hubungan dengan sesama jenis, Bahar lebih cenderung memilih posisi sebagai pihak yang aktif. Hal-hal 'kecil' lainnya yang dia lakukan paling jauh hanya sebatas "berswalayan" dengan rekan sekapal.
Aku tertegun tapi juga surprise dengan cerita Bahar. Sungguh. Aku tadinya berpikir akan perlu waktu lama dan mungkin tidak akan kesampaian hasratku untuk mendekati lelaki seperti Bahar lebih dari sekedar sahabat. Aku tidak tahu apakah harus bersyukur atau, entahlah.
"Mas adalah orang luar yang terbaik yang pernah saya temui. Dan saya suka," katanya.
"Terus terang.., bila sedang 'ingin' kadang-kadang saya bahkan membayangkan Mas Har, karena sejauh ini Mas lah orang terdekat saya," Bahar lalu mengakhiri ceritanya yang bagiku sebenarnya lebih merupakan ungkapan hati.
Akhirnya aku pun mengungkapkan semua perasaan yang selama ini mengganjal bahkan kadang-kadang membuatku pesimis untuk berhubungan lebih jauh dengannya. Dari obrolan selanjutnya, kami tampaknya sepakat untuk tidak menciptakan sebuah hubungan yang rumit. Cukup dengan naluri persahabatan, kami akan menjalani hubungan yang tampaknya sudah meningkat jauh ini secara apa adanya. Kami berdua tidak berani berpikiran terlalu jauh, karena menyadari bahwa hubungan seperti ini sulit diterima secara umum. Kami lebih melihatnya sebagai cara untuk berbagi rasa, saling mengisi. Sharing. Take and give.
Aku dan Bahar masih berbaring di atas pasir putih. Pakaian dan sepatu kami pun masih basah, bahkan sekarang banyak butiran pasir putih yang menempel.
"Ayo..!" dia mengajakku berdiri.
Aku tidak segera beranjak. Aku masih agak tertegun sebenarnya dengan kejadian hari ini, sejak dia memelukku di bibir pantai tadi sampai ke segala ungkapan yang keluar dari kami berdua.
Dia kulihat berdiri dan sebentar mengibas-ngibas celananya hingga butir-butir pasir berguguran. Lalu dia melepas sepatunya, dan dengan tenangnya kemudian menarik t-shirt putihnya ke atas melewati kepala dan melepasnya. Kini bagian atas tubuhnya tampak terbuka. Dadanya memang bidang dan ditumbuhi bulu yang cukup lebat. Aku pernah melihatnya waktu dia sedang istirahat di pinggir pelabuhan beberapa waktu lalu.
Namun kali ini terasa lain. Apalagi dia kemudian mulai melepas ikat pinggangnya dan dengan santainya memelorotkan celana kanvas-nya, sehingga kini dia hanya tinggal mengenakan celana dalam saja. Warnanya putih polos. Sehingga tampak jelas bentuk, tonjolan dan lekukan alat vitalnya, apalagi celana itu dalam keadaan basah.
Sambil melepas celana tadi dia sempat melirik padaku dan tersenyum penuh arti. Aku jadi agak gelagapan. Tapi dia malah cuek saja. Mungkin yang namanya melepas pakaian, bertelanjang dada atau hanya bercawat saja di depan orang lain merupakan perilaku yang biasa di lokasi kerjanya. Dan itu pernah diceritakannya padaku, bahwa dia dan teman-teman sekerjanya yang rata-rata orang kapal itu biasa tampil bebas dan apa adanya.
Kadangkala mereka mandi bersama, entah di kapal, di laut atau di kamar mandi umum. Maklum orang pelabuhan, orang laut. Jadi telanjang atau melihat laki-laki telanjang bagi dia mungkin bukan sesuatu yang istimewa. Lain kalau bagiku. Lingkunganku berbeda. Melihat orang telanjang atau setengah telanjang merupakan suatu momen yang jarang kualami. Apalagi orang yang telanjang di depanku (sebenarnya dia masih pakai celana dalam) adalah orang yang kusukai.
Hai..! tiba-tiba aku baru sadar. Bukankah kami sudah mengaku saling menyukai? Lalu, kenapa aku tidak beranjak dari kebengonganku dan 'merayakan' itu semua? Aku lalu beranjak menghampirinya. Begitu melihat aku berdiri, tangannya memberi isyarat agar aku melepas juga pakaianku. Aku menuruti keinginannya. Dan dia terus memandangiku selama aku membuka pakaian, satu demi satu. Pakaian yang basah sengaja kami jemur pada pokok pohon kelapa yang melengkung.
Kini aku pun hanya tinggal mengenakan celana dalam saja. Kami saling berpandangan sambil sesekali tertawa ringan. Aku menangkap beberapa kali matanya melirik ke arah kemaluanku. Aku memang sudah setengah ereksi. Entah bagaimana dengan dia. Aku tidak dapat menebak apakah gundukan besar di balik celana dalamnya itu menandakan dia juga mulai tegang ataukah memang alat vitalnya berukuran besar. Aku tidak tahu, karena hanya ada satu cara untuk membuktikannya, dengan melihat atau menyentuhnya langsung.
Dia lalu mendekatiku dan merangkulku, dan kami pun secara reflek lalu berciuman. Mula-mula lembut dan ringan. Lalu bibir kami saling melumat penuh nafsu. Napas kami memburu. Tampak bahwa kami saling memendam sesuatu yang sudah lama ingin kami lampiaskan. Tubuh kami yang masih setengah basah itu menyatu erat dan pinggul kami bergerak tidak karuan, saling menggesek dan menekan. Batang kemaluannya makin lama terasa makin kenyal dan membesar, menekan kemaluanku yang sudah mengeras lebih dahulu. Lalu kurasakan tangannya merayap perlahan ke celana dalamku dan aku terhenyak ketika tangannya meremas kemaluanku dengan gemas.
Sementara dia beraksi, aku menengok ke bawah tubuhnya dan kulihat bagian kepala kemaluannya sudah menonjol keluar dari cawatnya. Membulat dan berwarna coklat mengkilat. Lubang kecil di ujungnya sudah keluar cairan kental berwarna bening. Kusentuhkan jari-jariku di sana. Dia kegelian. Lalu kugenggam bagian kepala kemaluannya itu dan kuremas sedemikian rupa sehingga cairan bening itu membasahi seluruh permukaannya. Rasanya menjadi licin dan kenyal.
Melihat apa yang kuperbuat, dia lalu menarik celana dalamnya lebih ke bawah seolah meminta perlakuan lebih dari itu. Seketika nampak batang kemaluannya yang sudah tegang mencuat keluar. Besar dan padat. Di sekitarnya terlihat bulu-bulu yang tampaknya dibiarkan tumbuh liar, bahkan di lipatan selangkangannya. Baru kali ini aku melihat langsung bagian tubuh Bahar yang paling sering kubayangkan itu.
Belum puas aku memandangi bagian tubuhnya yang merangsang itu, tiba-tiba dia sudah memelorotkan celana dalamku dan lalu menarik tubuhku ke bawah, untuk berbaring telentang di pasir. Aku lalu ditindihnya dan kemudian Bahar menekan-nekan pinggulnya maju mundur, naik turun di atas pangkal pahaku. Pantatnya yang bulat padat itu kulihat naik turun secara ritmis dan sesekali berputar erotis. Gerakan itu menimbulkan rasa geli yang nikmat.
Bersambung . . . .
Komentar
0 Komentar untuk "Oase laut utara - Pasir putih - 2"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.