Laki-laki itu kini tergolek tenang di sampingku. Tubuhnya yang padat itu hanya tertutup selimut sebatas pinggangnya. Aku sendiri belum sepenuhnya berpakaian dan masih bersandar di ujung ranjang. Di pagi yang masih dingin ini kami baru saja bermain cinta.
Deru napasnya tampak sudah mulai reda setelah hampir selama satu jam tadi kami bergelut penuh nafsu. Perut dan dadanya yang penuh bulu itu nampak bergerak ritmis mengikuti hembusan napas. Dengan satu tangan terentang ke atas, dadanya makin tampak bidang, dan rambut di ketiaknya terlihat lebat menyeruak. Dengkurannya halus.
Rasanya baru beberapa menit ini dia terlelap. Capek mungkin. Tapi yang jelas ia kepuasan, sebagaimana yang kurasakan. Percikan birahiku pun belum sepenuhnya reda. Kemaluanku masih menyisakan rasa tegang. Apalagi adegan tadi masih terasa dan terbayang terus. Kulirik selimut yang menutupi bagian bawah pusarnya. Kupegang. Kurasakan bagian itu masih hangat dan tonjolan batangnya masih terasa kenyal. Beberapa bercak cairan kental masih menempel di selimut itu. Sebagian dari kenikmatan kami yang masih tersisa.
Dia tadi memang keluar cukup banyak. Demikian juga aku. Entah kenapa pagi ini kami begitu bersemangat sekali melakukannya. Rasanya sejak kami menjali hubungan sesama jenis, inilah salah satu permainan cinta yang paling seru yang pernah kami lakukan. Laki-laki itu, Bahar namanya. Lengkapnya tidak dapat kusebut di sini, meskipun sebenarnya aku sangat suka dengan nama belakangnya yang khas Sangir Talaud itu.
Sangir Talaud. Di daerah kepulauan inilah aku dikirim oleh perusahaanku, sebuah natural eksplorer berbasis di Australia dan punya cabang di Jakarta, untuk melakukan penelitian selama satu tahun. Rencananya aku berdua dengan rekanku, Lolita, yang dikirim pada ekspedisi ini. Namun mengingat program pengetatan anggaran dan dengan pertimbangan daerahnya yang cukup jauh dan berat, maka aku yang cowok lebih diutamakan.
Menginjak bulan kedua di daerah Sangir, aku mulai kenal dengan Bahar. Ceritanya ketika itu aku sedang mencari kapal sewaan di sekitar daerah pelabuhan yang akan kupakai selama ekspedisi. Dia adalah pekerja lepas di pelabuhan itu, tapi lebih banyak menangani urusan yang menyangkut kapal dan perahu-perahu.
Setelah beberapa hari bertemu dan bekerja sama, kami akhirnya menjadi partner kerja. Lalu kutawari dia menjadi fasilitator sekaligus pemanduku. Sebagai pendatang aku memang perlu teman dan rekan kerja yang dapat membantu kegiatanku, sementara dia punya alasan lain menerima tawaranku: karena dia tidak punya siapa pun di Sangir ini dan waktu lowongnya cukup banyak.
Aku biasa memanggilnya dengan sebutan 'abang', Bang Bahar. Sementara dia memanggilku dengan sebutan 'mas'. Kata dia, semua orang yang berasal dari Jawa biasa dipanggil begitu, tidak perduli masih muda atau sudah tua.
Sebenarnya aku mempunyai satu alasan lain yang lebih kuat kenapa memilih dia. Bukan saja karena dia baik dan jujur, tapi karena aku memang menyukai orang itu. Bahkan sejak pertama kali melihatnya, mataku terus tertuju pada sosoknya yang tegap serta wajahnya yang ganteng, khas orang daerah Timur. Dari bentuk hidung dan kumisnya yang khas, ada prototype Arab dan Maluku, atau mungkin Spanyol (Latin). Entahlah. Yang jelas kulitnya agak gelap. Mungkin sering terkena sinar matahari. Maklum, dia pekerja lepas di pelabuhan itu.
Singkat kata, dia orangnya baik, menarik dan banyak membantu ekspedisiku. Sekilas, menurut orang-orang, sosok kami hampir mirip satu sama lain. Sehingga banyak yang bilang kami seperti saudara (I don't think so!). Karena menurutku wajahku lebih tipikal Jawa dan kulitku tidak segelap kulitnya. Barangkali karena model rambut kami yang sama-sama hitam dan ikal. Atau mungkin kami sama-sama berkumis dan postur tubuh kami yang memang hampir sepadan, meskipun badanku tidak sekekar dia yang memang punya postur tegap layaknya seorang pekerja keras ("Ah, aku cuma kuli, Mas." katanya suatu hari, merendah).
Hubunganku lebih jauh dengan Bahar berawal dari ajakannya untuk mengunjungi sebuah 'oase' (begitu istilahnya) yang ada di sekitar pulau yang medannya cukup kering ini.
Waktu itu ia menepati janjinya untuk datang ke pondokanku, siang-siang, naik motor. Celana kanvas warna hitam dan kaos putih polos membuat tampilannya tampak gagah (dan sexy), tapi tetap terkesan natural. Begitu melihatku, senyumnya langsung mengembang. Sederetan gigi putih tampak kontras dengan kumis hitamnya.
Kata orang, lelaki Sangir Talaud rata-rata memang lebih senang memelihara kumis. Beberapa orang bahkan memelihara jenggot dan cambang. Penampilan seperti itu memang membuat banyak lelaki tampak jantan. Tapi untuk orang Sangir, kesan itu tampak makin kuat. Entah kenapa banyak laki-laki Sangir yang berwajah ganteng. Kupikir mungkin letak wilayah mereka lah yang jadi penyebab itu semua. Bayangkan, Sangir Talaud merupakan lokasi pertemuan yang strategis antara Manado, Philipina dan Halmahera.
Campuran Arab, Spanyol dan China tampaknya yang membuat mereka punya keturunan yang bagus, lebih putih dibandingkan orang Maluku namun lebih gelap daripada orang Manado. Sementara kesan Arab masih tetap nampak terutama pada garis kening, dagu dan hidung mereka, ditambah gen yang membuat tubuh mereka pada umumnya ditumbuhi bulu-bulu yang.., Ah..!
Wajah lelaki yang berdiri di depanku pun memang tipikal Sangir. Dari kening, hidung dan dagunya mempunyai garis yang tegas. Matanya, meskipun kata orang seperti elang, namun pandangannya selalu memancarkan kesan lembut, hangat. Lalu postur tubuhnya yang tegap dan gagah itu..
"Siap berangkat sekarang?" logat daerahnya yang khas mengagetkanku yang tengah menikmati kekagumanku sendiri terhadapnya.
"Ayo.." kataku singkat sambil bersiap-siap menutup pintu rumah.
Kami lalu berboncengan sepeda motor langsung menuju luar kota. Bahar menawarkan diri untuk mendapat giliran pertama membawa motor. Aku setuju saja. Sepanjang perjalanan lenganku terus memeluk pinggangnya.
Dalam sepuluh menit, pemukiman rumah penduduk sepanjang jalan mulai berubah dengan pemandangan deretan pohon kelapa. Garis pantai mulai tampak, tapi masih jauh dari jalur aspal yang kami lewati. Cuaca siang ini cerah, tidak terlalu panas. Ketika kami sampai di garis pantai, dia tetap terus menjalankan motor, namun kali ini lebih pelan. Menyusur pantai.
"Mudah-mudahan ombaknya nggak besar." katanya menjelaskan tentang tempat yang menjadi tujuan kami.
Katanya tempat itu sangat rimbun dengan pohon kelapa, namun pantainya sangat bagus karena terletak pada kelokan teluk kecil sehingga seperti cekungan oasis dan sangat nyaman buat mandi atau berleha-leha di bawah rimbunnya kelapa. Dia menceritakan tempat itu kira-kira sebulan yang lalu dan berjanji mengajakku suatu saat kalau kami punya waktu. Jadwal kami memang jarang klop. Terutama jadwal dia yang tidak pernah pasti. Maklum pekerja lepas pelabuhan. Kadang ia malah ikut kapal lokal untuk bongkar atau muat barang di pulau lain yang waktunya makin tidak jelas lagi. Sementara jadwal kerjaku lebih teratur.
Sekarang kami sudah tiba di daerah bukit berkarang. Beberapa rumput dan tumbuhan liar lainnya tampak menyembul di antara karang-karang itu. Beberapa kali kami harus kompak menjaga keseimbangan motor agar tidak jatuh. Tapi kami berdua malah tertawa-tawa dan berteriak setiap kali ban motor hampir slip.
Inilah rupanya yang dia sebut dengan 'benteng pertahanan' menuju pantai indah yang konon belum banyak diketahui orang. Barangkali orang tidak menduga bahwa di balik bukit berkarang ini ada tempat terpencil bagai surga. Atau barangkali orang sudah malas duluan begitu melihat jalur yang harus ditempuh cukup terjal dan penuh bebatuan karang.
Roda motor mendongkak sedikit, dan lalu mendarat pada tebing rendah yang di depannya terhampar sebuah lanskap pantai yang benar-benar cantik. Persis seperti yang digambarkan oleh Bahar. Benar-benar ada gerombolan pohon kelapa yang meneduhkan sebagian pasir pantai dan sebagian pantai yang lain terbuka bagi sinar matahari, sehingga pasir putihnya tampak bercahaya. Lengkungan pantai memutih oleh busa ombak dan di belakangnya air biru jernih berkilau-kilau.Suasana sepi. Hanya suara motor kami yang perlahan-lahan mesinnya juga mulai dimatikan.
Aku turun duluan mendekat ke arah garis pantai. Sambil berkacak pinggang, kunikmati suasana di sekitar. Aku belum pernah berada di oasis dalam pengertian sebenarnya. Tapi kalau yang disebut oasis kira-kira mempunyai gambaran seperti ini, oh, aku dapat membayangkan betapa bersyukurnya semua khafilah pada saat mereka menemukan sebuah oasis di padang pasir.
Tiba-tiba kurasakan tubuhku dirangkul dari arah belakang. Aku sempat berteriak karena terkejut. Dia malah tertawa. Aku benar-benar terkejut. Yang pertama karena aku seperti mau didorong jatuh ke air. Dan yang kedua aku terkejut karena yang memelukku adalah dia (siapa lagi?). Sepanjang pertemananku dengan Bahar, belum pernah ia menunjukkan sikap seakrab ini. Selama ini sikap akrabnya paling-paling ditunjukkan hanyalah merangkul bahuku pada saat ngobrol atau jalan-jalan.
"Bagaimana? Bagus kan..?" katanya seperti ingin memastikan bahwa ceritanya selama ini benar.
"Ya. Bagus.., bagus banget.." jawabku masih agak bergetar.
Tangannya masih memelukku dari belakang, dan aku hanya dapat memegangi telapak tangannya yang menyilang kukuh di dadaku. Gumpalan dadanya terasa menyentuh punggungku.
Tiba-tiba di benakku muncul sebuah pikiran usil. Sebenarnya bukan tiba-tiba, karena ide ini sudah sering terlintas beberapa hari sebelum ini.
"Bang..," kataku memulai percakapan, "Ada yang ingin aku bicarakan dengan Bang Bahar.."
"Ada apa?" sahutnya datar.
"Sebenarnya aku mau membicarakannya waktu di rumah tadi. Tapi.."
"Kenapa?" dekapan tangannya di bahuku kurasakan agak menguat.
Aku diam sejenak.
"Besok aku dipanggil ke Jakarta. Ada keperluan mendadak," kataku pelan.
Sejenak aku tidak merasakan reaksi apapun dari dia. Dia masih memelukku dari belakang. Diam saja. Namun pelan-pelan tangannya kemudian mencengkeram bahuku dan membalikkan tubuhku sehingga kini kami berhadapan. Matanya memandangku seperti bertanya-tanya. Sialan, mata itu benar-benar. Tapi aku berusaha memberanikan membalas tatapannya. Dalam hati aku mau tertawa. Ternyata niatku mengusili dia tampaknya berhasil.
"Kenapa baru ngomong sekarang?" suaranya tiba-tiba menjadi lebih tegas tapi agak bergetar.
Aku diam saja, pura-pura menghela napas. Dia ikut menghela napas.
"Mas Harso..," katanya lagi, masih bergetar, "Benar mau ke Jawa? Sekedar pulang atau..?" kalimatnya terputus, karena tiba-tiba aku tidak kuat lagi menahan tawa.
Segera kutepis tangannya dari bahuku dan aku kemudian menghambur menjauhinya. Tidak ada lagi arah yang dapat kupilih selain berlari menuju ke air.
"Hei..!" teriaknya memanggilku begitu menyadari bahwa aku telah menipunya.
Sepatu kets dan celana jeans-ku sudah basah kuyup. Aku terus tertawa-tawa sambil menyipratkan air laut kepadanya. Pakaiannya pun jadi sedikit basah. Dia lalu mengejar masuk ke air dan mencengkeramku hingga kami berdua terjatuh. Basahlah semuanya. Aku masih tertawa-tawa. Dia memaki-maki, sambil terus mencengkeram tubuhku. Untung kami masih di air yang dangkal, jadi tubuh kami tidak terbenam begitu dalam.
Bahar lalu menarikku keluar dari air sambil terus menyumpah-nyumpah. Kami kemudian langsung menggelosoh begitu tubuh kami menyentuh pasir putih. Aku tidur telentang. Napasku agak tersengal, tapi suara ketawaku sesekali masih terdengar. Dia berbaring telentang di sisi kananku. Napasnya juga agak terengah-engah.
Bersambung . . . .
Komentar
0 Komentar untuk "Oase laut utara - Pasir putih - 1"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.