Kenangan masa kuliah - 3

0 comments

Temukan kami di Facebook
Ketukkan keras di pintu membangunkan. Sedikit menggerutu. Masih jam 10 pagi, siapa yang mengetuk pintu kamar. Sebelum bangkit dari springbed, mataku menyapu kamar hotel ini. Anna, ke mana dia.

Kupakai celana jinsku, tanpa cd. Menuju kamar mandi. Anna tidak ada. Ketukkan di pintu disertai suara makin keras. “Aby…aby buka. Ini aku Listi.”

“Iya, sebentarrr…,” teriakku membalas.

“Huh..ngapain sih. Lama kali bukain pintu,” celoteh Listi begitu daun pintu kamar terbuka. Aku masuk ke kamar mandi. Membasuh muka, dan menggosok gigi.

Begitu keluar, kulihat Listi di meja rias, berada di samping TV LCD. Dia mengambil amplop dari atasnya, dan membuka. “O..o,” kata Listi. Aku jadi penasaran. “Apa itu,” tanyaku. “Nih buat kamu,” Listi beranjak dan meletakkannya di atas kasur.

Amplop putih panjang itu kuraih dan kubuka. Wah, lembaran uang seratus ribu sebanyak 15 lembar. Di salah satu lembaran uang, ada tanda lipstik dan beberapa kata. “Aby, I love you. Ini nomor kontakku dari Anna.”

Kukeluarkan lembaran itu dan kuselipin di dalam dompet. Listi tersenyum. “Ehem… ada yang penasaran nih,” ucap Listi. “Ini semua karenamu. Udah akh, ntar aku mandi dulu, baru kita tinggalkan hotel ini.”

***

Suasana kampus begitu sepi. Kalau bukan karena ujian ulangan semester, tentunya aku sudah ada di kaki gunung sibayak. Bermalam di sana dengan teman-teman mapala. Menghabiskan waktu, dan bercerita akan hidup dan penghidupan, esok.

Hari ini aku harus meminta ujian ulangan kepada Bu Habibi. Memasuki ruang akademik, suara riuh-rendah terdengar, diselingi tawa dari para staf dan beberapa dosen.

Pintu yang terbuka, kuketok. Bu Habibi memalingkan wajah, merespon ketukan di pintu. “Maaf bu, saya aby. Ingin ngajuin ujian susulan,” kataku dengan nada sedikit memelan. Wajahku sengaja aku tundukan.

Bu Habibi menggeser duduknya, dan mulai bertanya alasan kenapa tidak mengikuti ujian kemarin. “Kamu ke mari dulu,” katanya. Ia menuju ruangannya.

Hari itu Bu Habibi kelihatan ceria, tidak seperti biasanya, selalu menunjukkan wajah yang tak berteman kepada mahasiswa. Berbalut kemeja liris dan celana panjang goyang, dengan syal di lehernya. Bu Habibi, meski sudah berumur 48 tahun, tubuhnya keliatan terawat.

Dengan menjaga sikap, aku duduk di depannya. “Kenapa kemarin kamu gak masuk?,” pertanyaan ini diulangnya kembali. “Maaf, bu, kemarin saya tidak bisa bangun. Badan saya terasa panas bu,” kataku berbohong. “Oh, ya. Demam,” katanya. Tiba-tiba ia menjulurkan tangannya ke arah leherku. Badannya terangkat di meja. Aku menyodorkan leherku. Kondisi ini memaksuku melihat celah dari kerah bajunya. Bra berwarna merah yang ia gunakan terlihat jelas. Daging payudara di balik bra itu begitu putih dan mulus. Untuk beberapa saat ia menempelkan tangannya di leherku, tanpa menyadari mataku menjelajahi buah dadanya.

“Badanmu masih panas,” katanya. Plong, hati ku senang. Untuk tadi aku tidak memakai jaket saat menuju kampus. Dengan begitu sinar matahari yang menyegat tubuhku masih tersimpan.

“Ujian susulannya di rumah saya saja. Kamu datang jam 7 malam. Jangan telat. Hari ini saya harus ke kampus U** ada ujian setangah jam lagi di san. Ingat jangan telat,” katanya. “Iya, bu, saya pasti tepat waktu,” jawabku.

Ini baru jam 2 siang. Masih banyak waktu sebelum ke rumah bu Habibi. Dengan langkah malas, aku menuju parkir kampus. Telepon genggamku berdering. Ternyata Listi yang menelpon. “Ya, Lis. Ada apa,” jawabku. “Di mana By, aku mau minta tolong nih. Anterin aku ke stasiun. Aku mau pulang kampung,” katanya. “Tumben pulang kampung,” balasku. “Udah, bisa gak anterin aku,” cercanya. “Iya…iya, 15 menit lagi aku sampai di kosmu. Siap-siap ya.”

Listi sudah menunggu di depan kosnya. “Ke mana adik-adikmu,” tanyaku. “Mereka sudah pulang tadi malam. Ayahku sakit keras, aku khawatir ada apa-apa dengan mereka. Ibuku tadi menangis minta aku pulang,” katanya.

Dalam perjalanan menuju stasiun kereta, kami berdiam diri. “Lis, kamu pegang aja uang ini. Semoga bisa meringankan musibah yang sedang kamu dan keluarga hadapi,” kataku. Amplop berisi uang pemberian Anna kuserahkan kepadanya. Listi terperangah. “By, gak usah ini uang kamu. Aku gak mau,” katanya. “Udah, gak usah menolak, aku ikhlas. Mungkin hanya ini yang bisa aku bantu,” kataku. “Terus kamu gimana, kan lagi gak punya uang,,” katanya. “Tenang aja, kiriman dari kampung sudah masuk kok ke atm ku,” alasanku.

Wajah Listi berubah. Dan, kali pertama ini aku melihatnya menangis. Ia memelukku. “By, kamu sahabat yang baik. Aku sayang kamu,” katanya. Lalu tak sungkan di depan umum, ia mengecup pipiku. “Gila kau, Lis, ini di jalan,” kataku. Dia tersenyum. “Ntar malam kita telponan ya,” katanya. Kutinggalkan Listi di stasiun. Aku memacu kendaraanku menuju kos. Aku harus belajar persiapan ntar malam.

Jam 6.25 menit, sore itu ku sudah berbenah diri di dalam kamar kos. Memakai kemeja putih tangan panjang yang dilipat sampai siku, dipadu dengan jins biru memiliki koyak di lutut kiri, dengan sepatu traking bututku. Aku merasa siap menghadapi ujian semester akhir ku. “Aku harus mendapatkan nilai yang terbaik,” tekadku.

Mendekati rumah bu Habibi, kuhentikan roda kendaraan. Pagar hitam dari besi tinggi tertutup rapat. Halaman rumah ini begitu asri, ditumbuhi pohon mangga dan dikelilingi bunga ditata rapi. Untuk kota ini, kawasan pemukiman ini komplek elit, dan begitu tersoroh.

Kuteken bell yang ada di pagar. Tak lama, perempua tua keluar dengan berlari-lari kecil. “Mahasiswa ibu, ya,” tanyanya. “Iya, nek. Bu dose nada,” balas ku. “Baru nyampek rumah. Tadi nyonya bilang akan ada mahasiswanya akan datang. Nyonya suruh, tunggu di samping sana aja. Silakan masuk,” ucapnya. Usai menghidangkan teh, si nenek pun kembali masuk ke bangunan yang berada di bagian belakang dari gedung induk. Rumah dosen ku ini terbagi dalam dua bangunan. Bangunan utama memiliki pintu samping, tempat aku menunggu, di bagian belakang, kamar tempat si nenek tadi masuk dan menghilang.

Tiba-tiba pintu samping tempatku duduk dibuka dari dalam. Aku pun berdiri mengetahui yang muncul adalah bu Habibi. Wah, terlihat ia baru saja mandi, rambutnya sebahu berwarna pirang masih terlihat basah. Dan, yang mengejutkanku adalah busana yang dikenakannya. Memakai kaos oblong berwarna pink yang begitu ketat hingga membentuk tonjolan payudaranya. Dan, tanpa sungkan, ia hanya mengenakan celana ponggol sebatas lutut.

“Maaf, bila penampilan saya menganggu kamu. Saya begini kalau di rumah,” katanya. Ucapan itu langsung menyadarkanku, akan si pemilik tubuh 155 centimeter dengan kulit sawo matang bersih ini, merasa diperhatikan. Aku hanya diam, tak menjawab. Menundukkan kepala dan kembali duduk.

“Di minum tehnya. Dan ini tolong kamu jawab soalnya. Saya beri waktu 1 jam.” Habibi kembali masuk ke dalam rumahnya. Sepi, tinggal aku sendiri berada di beranda samping dengan memegang tiga lembar soal yang harus kukerjakan demi cita-citaku.

Di tengah keasikanku mengerjakan soal. Si pembantu menyapa ku. “Nak, apa sudah siap mengerjakannya. Kalau sudah siap tinggalin saja di meja biar nenek yang antar sama ibu,” kata si pembantu. “Belum nek, lumayan sulit nih soalnya. Oh, ya siapa aja di rumah ini nek,” balasku. Dari penjelasan si pembantu bu Habibi, aku tahu, dosenku hanya tinggal berdua dengan suami. Saat ini suaminya, juga seorang dosen tengah berada di Singapura untuk kepentingan akademis. Sementara tiga anak mereka kuliah di Yogyakarta.

Akhirnya aku selesai juga mengerjakan soal ini. Namun, si pembantu tak kunjung tampak. Kupanggil, tak ada sahutan. Sementara dari ruang tamu di rumah itu, terdengar suara tertawa dan bercengkarama si dosen. Tanpa mengingat pesan si nenak, aku beranjak ke dalam.

Di ruang tamu, si dosen sedang bercengkrama dengan seorang wanita, yang membelakangi ruang beranda, tempatku. “Maaf, bu. Saya sudah siap mengerjakannya,” sela ku. Sembari menunduk aku menyerahkan kertas jawaban.

Tiba-tiba ada tepukan di pundak ku. “Aby…!!!,” berbarengan suara memanggil namaku dengan tepukan di pundakku. Aku menoleh dan terperanjak. “Tante Anna,” balasku pada wanita, teman si dosen bercengkrama. “Lho, kamu mahasiswa si Habibi, ya,” tanyanya. Aku tak menjawab, aku melirik bu Habibi. “Kalian saling kenal,” sahut bu Habibi. Belum sempat aku menjawab, tante Anna membalas. “Ya, Bi, dia temen aku. Plisss…kasih nilai yang bagus ya,” katanya. “Aby, si Habibi dosen kamu ini temen aku sejak kuliah. Tenang aja, kamu lulus kok mata kuliah dia, aku jaminannya,” tante Anna.

Agar tidak terungkap rahasia antara aku dan tante Anna. Aku pun meminta pamit. Namun, dosenku melarang, dan meminta duduk untuk bergabung dengan mereka. Aku kikuk. Enggak tahu harus seperti apa. Suasana itu membikin tante Anna tertawa sejadi-jadinya. “Aby, kamu kok seperti orang ketakutan gitu ada apa,” tanyanya. Aku tak menjawab, wajahku hanya memberikan senyum.

“Kalian udah pacaran ya,” suara bu Habibi menyentakku kaget. Aku hanya meliriknya dengan wajah seperti orang bersalah. Anna malah tertawa. “Kalau iya kenapa Bi. Kamu mau?,” balasnya. Hmm. Dah akh, aku ke dalam dulu ya. Bu Habibi meninggalkan kami.

Anna mendaratkan ciuman ke pipiku. Tangan kanannya meremas kontolku. Kukira itu hanya untuk sesaat, pelepas kangen dengan percintaan kami kemarin malam. Tak dinyana, tante Anna malah merabaku dan terus-terus melancarkan serangannya. Mendapati hal ini aku tak bisa menahan diri.

Gelegar halilintar menghentikan percumbuanku dengan Anna. Dia tersenyum dan merapikan kerah baju dan rambutnya yang awutan. Suara mendehem terdengar. Bu Habibi datang dengan membawa tiga gelas dan satu botol anggur. “Mari kita rayakan hubungan kalian,” katanya.

Kecanggunganku pun akhirnya sirna dengan tuangan-tuangan anggur yang kuteguk dan menjalar hingga ke tenggorokanku. Seperti buliran kenikmatan yang kuraih dari tubuh tante Anna terus merasuki dalam tubuhku. Dan, entah bagaimana mulanya, aku memberanikan diri mencium bu Habibi. Dia hanya tersenyum dan membalas ciumanku.

Suasana rumah yang sepi, bumi yang diguyur hujan deras. Ku berada di antara dua wanita berusia 40-an tahun yang mengerti dan sangat menuntut akan hubungan badan. Kubaringkan tubuh dosenku di sofanya. Kugigit payudaranya dari luar kaos ketatnya. Ia meringis, kenikmatan. Tangan kananku membelai vaginanya dengan media kain celana yang dikenakannya. Dari arah belakang ku, tante Anna terus memeluk dan menjilati leherku. Tangannya menyelip di balik jinsku.

Habibi dengan sendiri membuka bajunya. Payudaranya masih segar dan menantang, tak kendur maupun. Tante Anna mulai meloroti celanaku. Kontolku yang sudah pada tegangan maksimal langsung digenggam bu Habibi. Dia hanya tersenyum dan mengerlingkan matanya pada ku. Dengan lembut dia pun mengulum dan terus mengulum.

Anna terus mendesah, gigitan yang kuberikan pada payudaranya membuat Anna tak dapat menahan orgasme. Dia terus berkeracau membuat permainan ini semakin menggairahkan. Tanpa menghiraukan keasikan Habibi. Anna meraih kontolku, dan membalikkan tubuhku. Anna berposisi nungging. Bles…, kontolku langsung menerkam vagina Anna. Dia menjerit kecil dan terus memohon padaku untuk memompa vagina.

Tiga menit aku memompanya, Anna pun ambruk. Habibi yang dari tadi terus merangkulku dan melumat bibirku. Langsung mengambil posisi di atas sofa. Pahanya direnggangkan, liang vaginanya begitu jelas terbuka. Kuarahkan kontolku ke bibir vaginanya.

Dengan pelan kutempelkan, lal kutarik ke atas dan ke bawah bibir vagina Habibi yang sudah basah. Dosen ku ini menggigit bibirnya, memeramkan mata. “Aby, kamu bisa aja.”

Kutekan kepala kontolku ke dalam vaginanya, rada sempit. Kutarik lagi, perbuatan itu kulakukan untuk dua menit, hingga Habibi mengalami orgasme. Meski sudah mendapatkan puncaknya, bu dosen tak ingin kumenjauh darinya. Dia beridir dan menggigit putingku. Ini adalah daerah kelemahan ku.

Membalas perbuatannya, aku mengarahkan kontolku ke vaginanya. Kami berposisi berdiri. Kuangkat kaki kirinya dan kuletakkan di sofa. Pompaanku makin gencar, Habibi menjatuhkan wajahnya di pundakku. Kedua tangannya memeluk pinggangku dengan erat.

Tekanan kontolku makin kuat dan kudiamkan beberapa saat di dalam vaginanya. Habibi mengerang dan kuminta ia untuk menggoyangkan pinggulnya. Aku menurunkan bokong, seiring dengan keluarnya kontolku. Serangan kembali, pompaanku makin gencar, hingga Habibi dengan suara teriakan tertahan menjatuhkan dirinya di sofa. Di hadapan kedua wanita ini, aku mengocok kontolku hingga spermaku muncrat di dada mereka berdua.

Huh…sungguh malam yang ingin kuulang sekali lagi.

Tamat




Komentar

0 Komentar untuk "Kenangan masa kuliah - 3"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald