Jupri melangkah memutar, lalu tanpa kusadari, ia sudah menarik kerah bajuku.
"Bangsat kamu..!" sentaknya, "Apa sih yang ada dalam otakmu..!"
Dengan gusar kutepis lengannya. Kubuka pintu dan melompat keluar. Jupri menggeram saat kutekan dadanya hingga punggungnya menempel di kap mobil.
"Bangsat juga..! Kamu pikir aku apamu, heh..!" teriakku di wajahnya.
"Aku tahu kamu temanku," lanjutku dengan nada marah, "Tapi jangan seenaknya main tarik baju. Aku bisa membuatmu terkapar di sini karena itu, tahu..! Tahu tidak..? Aku tidak mau tahu tentang kamu dan Moogie. Itu sudah untung bagimu, mengerti..?"
Wajahnya masih berkerut saat menatapku. Tapi ia tidak mengatakan apapun. Sambil mendengus kulepaskan tindihanku dan membetulkan bajuku. Jupri hanya memandangku saat aku masuk ke dalam mobil.
Aku terjebak kemacetan beberapa saat kemudian. Pikiranku tambah kacau. Emosiku meledak sampai ke ubun-ubun. Betapa ingin aku menghajar si sapi itu. Memukul hidungnya dan mematahkan lengannya, seperti orang-orang bodoh yang mencari perkara denganku waktu aku masih sekolah. Dan mobil itu.
"Hey, Bangsat..! Jangan mepet-mepet..!" aku membuka jendela dan berteriak.
Ibu setengah baya yang mengenakan jilbab itu mengelus dadanya, lalu memutar setir menjauhi mobilku. Aku mendengus sebal. Ada-ada saja, pikirku. Seketika leherku terasa berdenyut kembali. Aku merogoh laci dashboard dan mengeluarkan sekotak rokok. Saat itu aku melihat syal merah yang diberikan Moogie padaku dua hari yang lalu. Kututup laci itu cepat-cepat. Kukeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Hawa dingin membuatku sedikit lega. Kuletakkan kepalaku pada setir mobil.
Apa yang sudah kulakukan tadi? Aku benar-benar kacau, pikirku dalam hati. Hanya gara-gara satu orang wanita. Apa..? Aku cemburu..? Aneh..!
"..kamu sebaiknya melupakan gadis itu," kata-kata Krista mengiang kembali di benakku.
Iya, pikirku, aku akan melupakannya setelah ini.
Kupejamkan mataku, lalu membayangkan telunjukku menekan tombol 'delete'. File-file beterbangan masuk ke dalam recycle bin. Membayangkannya membuatku geli. Kok recycle bin..? Tidak, permanently deleted saja. Tengah aku asyik berimajinasi, handphone-ku berbunyi.
"Ray..?" aku mendengar suara seseorang menyapaku.
"Siapa..?" tanyaku kemudian.
"Aku, Jupri."
Huh, aku mendengus, "Ada apa lagi..?"
"Aku hanya mau bilang sesuatu, sebelum aku.. bukan.. kami semua membencimu."
"Kami..?" tanyaku seraya menegakkan tubuh.
Bagus, pikirku dalam hati, kali ini Moogie sudah membawa masalah tentang aku dan dia ke kantor. Besok semua akan mencibirku dan mengatakan aku penjahat kelas kakap, selain Tommy.
"Itu nanti. Kamu harus tahu, Ray. Kami memang tahu masalah tentang kamu dan Moogie. Bukan dari dia, kalau kamu mengira demikian. Kami tahu dari kesimpulan kami sendiri. Dan kamu tahu? Bangsat..! Bajingan kamu..! Aku dan Moogie tidak ada apa-apa, tahu tidak..? Heh..! Kamu dengar..? Tadi kami hanya keluar bersama. Dan kamu tahu untuk apa..? Sebaiknya kamu dengar ini baik-baik, Sobat. Kamu akan ulang tahun bukan..? Bulan depan, kan..? Tadi Moogie mengajakku ke mall, untuk menanyakan, apakah kamu akan suka dengan jaket kulit yang akan dihadiahkannya padamu. Ia ingin menabung untuk membelikan jaket sejuta rupiah itu padamu. Itu saja. Kamu memang bajingan. Aku menyesal kenal denganmu..!"
Aku terpana. Aku benar-benar tidak mengira.
"Jup..? Jup..?" kupanggil-panggil namanya, tapi tidak ada sahutan.
Aku menarik handphone dan melihat tulisan 'call end' pada layar LCD. Brengsek, pikirku dalam hati. Apa yang sudah kulakukan? Aku menekan klakson mobil berulang-ulang. Pengemudi di depanku melongok ke luar jendela dengan pandangan gusar.
Bangsat, makiku dalam hati. Aku melirik ke samping kiri dan kananku untuk mencari celah. Aku harus kembali ke kantor. Sesegera mungkin..! Beberapa orang membunyikan klakson saat aku membanting setir. Tanganku keluar dari jendela, melambai setiap aku membelok. Gayaku saat itu persis seperti pengemudi bajaj di Jakarta. Sasak sana, sasak sini.
*****
Saat aku membuka pintu kantor, dua puluh menit kemudian. Hanya keremangan yang menyambutku. Tidak ada seorang pun. Aku mengerang seketika.
"Ruang lembur..!" desisku, melihat satu-satunya jendela yang bercahaya.
Aku membuka pintunya dan kulihat di dalam ruangan ada Jupri dan Jodi. Jupri hendak menghampiriku dengan wajah gusar, saat Jodi menahannya.
"Ayo, Jup. Kita keluar saja," Jodi berkata seraya menggandeng lengan Jupri.
Tatapan mata Jupri saat melewatiku membuatku terpaksa menundukkan kepala. Jodi yang melangkah di belakang Jupri menepuk pundakku.
"Ray, jangan bertingkah seperti anak kecil. Oke..?"
Aku mengangguk, tidak berani menatapnya. Aku merasa begitu malu.
Kudengar suara pintu ditutup di sebelahku. Kuangkat kepalaku dan memandang ke seputar ruangan. Tidak ada siapa-siapa. Hanya beberapa meja kursi, komputer, dan file cabinet.
"Moogie..?" panggilku, "Kamu di sini..?" Tidak ada sahutan.
"Moogie.. maafkan aku," ucapku pelan.
"Moogie sudah tak ada. Dia sudah pulang," seseorang menyahut.
Aku memandang lagi ke sekelilingku. Tapi tidak ada siapa-siapa. Aku melangkah melewati beberapa meja. Dan aku menemukan gadis itu. Ia meringkuk di bawah meja. Mirip bayi. Kedua lengannya memeluk lutut. Bibir bawahnya tergigit. Ia menatapku dan dapat kulihat basah di pipinya. Aku berjongkok di dekatnya, lalu duduk dengan menyelonjorkan kakiku.
"Maaf..," bisikku padanya.
Saat aku menoleh, kulihat Moogie menempelkan wajahnya ke lipatan tangan.
"Aku heran dengan kamu, Ray. Kamu suka sekali ya, membuat gadis-gadis menangis? Apakah kamu puas melihatnya?"
Aku terdiam mendengar kata-katanya.
"Ray..," lanjutnya, "Aku tetap berusaha mengerti kamu. Aku tahu kamu berduka tentang hubunganmu yang kandas dengan Enni. Aku tahu kamu menderita saat mengetahui Qra sudah meninggal. Aku tetap berusaha untuk ada di sisimu. Setiap saat. Ada kala kamu membutuhkanku. Tapi kamu.. kamu suka benar membuatku menangis. Tertawa. Lalu menangis lagi. Aku bingung, Ray. Bingung sekali. Apa yang kurang dariku..? Aku sudah begitu menyayangimu. Atau mungkin aku tidak seperti yang kamu harapkan? Sehingga muncul rasa takutmu untuk terus bersama denganku?"
Aku mendengar semua kata-katanya dengan perasaan tidak karuan.
"Aku..," ucapku terbata-bata, "Aku.. bingung."
"Kamu tahu, Ray," Moogie melanjutkan kata-katanya, "Waktu kamu mengirimiku cerita tidak karuan, tentang kamu menjadi gila dan sebagainya itu. Aku merasa sakit hati, Ray. Begitu sakit. Kamu bahkan menuliskan di situ, betapa aku menyayangi kamu. Bahkan sampai detik terakhirmu. Tapi kenapa justeru kamu meninggalkanku? Aku heran akan semua ini, Ray. Aku juga heran kenapa aku masih tetap bertahan untuk terus menyayangimu. Begitu pula sejak kejadian kemarin lusa. Gadis normal mungkin akan menjerit dan bersumpah tak mau mengenalmu lagi. Tapi lihatlah aku. Aku bahkan menyempatkan diriku untuk pulang dan memasak untukmu."
"Hentikan..," desisku.
Aku tidak mau mengingat potongan paha bebek yang sudah mendekam di tong sampah itu.
"Tidak..," aku mendengar Moogie berkata setengah menjerit, "Aku ingin kamu menyadari kegilaanmu. Dan aku juga ingin mengatakan sesuatu yang sudah lama kutekan-tekan dalam hatiku. Iya, Ray..! Kamu orang terbodoh sedunia yang pernah kutemui. Selain itu, kamu juga orang paling pengecut yang pernah kukenal. Orang pengecut yang takut akan cinta. Di benakmu hanya ada cinta, kebencian, dan pengkhianatan. Kamu memukul rata semua orang. Termasuk aku, Ray. Aku..! Bayangkan..!"
Sampai di situ tangisnya meledak. Aku dapat mendengar ia terisak dan tersedu.
"Moogie..," desahku memanggilnya, "Apa yang harus kulakukan..?"
Gadis itu mengangkat kepalanya. Air mata membasahi wajahnya.
"Tidak ada," isaknya, "Tinggalkan saja aku. Itu kan keinginanmu? Tenang saja, Ray. Aku bukan Qra yang histeris saat keperawanannya hilang. Aku akan tetap mendekam di sini. Dengan atau tanpa kamu. Aku akan bertahan untuk hidup. Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja, sesegera setelah kamu pergi dari sini. Aku masih punya teman. Ada Jupri dan Jodi. Ada Lidia, Hasan, Freddy, dan yang lain-lain, yang akan menemaniku."
Aku menarik napas panjang.
"Ya, sudah," ucapku lirih.
Lalu aku bangkit berdiri, dan melangkah menuju pintu keluar. Saat kubuka pintu, kulihat Jupri dan Jodi sudah menunggu di luar. Kudengar Moogie mengerang dari dalam ruangan. Jupri langsung turun dari atas meja, kukira ia hendak menjotosku.
"Tahan..!" seruku seraya mengacungkan telunjuk. "Jangan ikut-ikut..!"
Kulihat Jodi juga menahan pundak Jupri.
Aku membalikkan tubuhku dan melangkah menuju pintu keluar. Saat itu leherku terasa benar-benar nyeri. Sampai di depan pintu keluar, kupejamkan mataku.
Kruk.. krukk..
Aku membuka mata saat mendengar perutku berbunyi.
Aku tersenyum dan mengelus perutku, "Kenapa..?" bisikku, "Kamu lapar..?"
Kruk..
Kututup mataku yang sudah mulai berair. Lalu aku tertawa terbahak-bahak.
Jupri dan Jodi menatapku dengan heran saat aku kembali. Aku melangkahkan kakiku menuju ke kompartemen Moogie. Lalu kuraih kotak makanan di laci bawah. Saat kubuka, aroma bebek panggang membuat perutku kembali berbunyi. Kututup lagi kotak itu dan berbalik. Kulangkahkan kakiku mendekati Jupri dan Jodi.
Kutepuk pundak Jupri dan berkata, "Kalian pulanglah. Dan.., thanks."
Jodi mengangguk sambil tersenyum. Jupri membalas menepuk pundakku. Kutinggalkan mereka dan masuk ke dalam ruang lembur.
"Dia sudah pergi..?" aku mendengar suara lirih gadis itu bertanya.
Aku melangkah mendekat dan berjongkok di dekatnya. Gadis itu memandangku dengan terheran-heran.
"Kamu.. belum pergi juga..?" ia bertanya. Suaranya serak.
Kugelengkan kepalaku.
"Hey, kamu..!" ucapku, "Iya. Kamu..! Selonjorkan kakimu..!"
Gadis itu menatapku dengan tatapan bertanya. Tidak sabar, kutarik pergelangan kakinya dan menariknya keluar. Moogie memekik kecil.
"Ngapain kamu..?"
Kutarik kakinya sampai lurus, lalu aku menidurkan tubuhku dan membaringkan kepalaku di pahanya. Kusodorkan kotak makanan itu padanya.
"Aku lapar," kataku sambil tersenyum. "Kamu mau suapin aku..?"
Kulihat gadis itu menutup mulutnya. Lalu air matanya kembali mengalir.
"Nanti kamu akan membuatku menangis lagi," kudengar ia berbisik lirih.
"Cerewet..!" tukasku, "Suapin saja. Aku akan pergi kalau kamu tidak mau."
Moogie tertawa sambil terisak.
Ia lalu meraih kotak makanan itu. Kupejamkan mataku saat ia menyuapkannya ke mulutku.
Kruk.. krukk..
"Aku jatuh cinta," bisikku, "Dan aku akan membiarkannya demikian. Berterima kasihlah pada perutku. Karena ia tak kuat menahan bumbu cintamu."
Kurasakan kecupan Moogie di dahiku.
"Kalau begitu aku akan membuatmu jatuh cinta setiap hari."
Aku percaya itu. Kulemaskan otot-otot kaki hatiku. Baru kusadar betapa lelahnya berlari.
TAMAT
Komentar
0 Komentar untuk "Bumbu rahasia - 4"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.