Siang dan malam mereka berkuda dan akhirnya mereka pun tiba di desa pecinaan. Di desa itu masyarakat mayoritasnya adalah warga negeri Sung, karena desa itu baru dibangun tidak lama. Terlihatlah seorang pemuda, dan berkuda ke arah Arjuna diiringi dua puluh tentara.
"Siapa kau, orang luar dilarang kemari " kata pemuda itu.
Tanto lalu marah dan berkata, "Beraninya kau menghina kami. Kami adalah orang penting dari kerajaan Kediri. Ini adalah perwira Arjuna, anak dari Jendral Sanjaya."
Mendengar hal itu pemuda itu langsung turun dari kuda dan membungkukan badan sebagai tanda memberi hormat.
"Maafkan kelancanganku, ternyata anda adalah anak dari Jendral yang menumpas kawanan perampok."
Pemuda itu langsung mempersilahkan rombongan Arjuna untuk masuk ke desa itu. Pemuda itu badannya tidak begitu besar. Tingginya 178 cm, umurnya 30 tahun dan ia adalah kepala desa di daerah itu. Ia bernama Huang Man, tabib yang terkenal itu kemudian dipanggil dan memeriksa sang Jendral yang dibawa didalam kereta. Tabib itu kemudian mengatakan bahwa sang jendral terkena racun yang ganas. Hanyalah obat ginseng yang dicampur dengan tanaman dentet yang dapat mengobati racun itu. Pada saat itu tabib Xun Yang hanya mempunyai ramuan ginseng saja. Sedangkan tanaman dentet itu adalah tanaman yang sangat jarang ditemukan. Tanaman itu sangat berkhasiat dan hanya dapat tumbuh di puncak gunung Lorojangkung.
Akhirnya rombongan Arjuna pergi ke gunung itu yang ditemani oleh Huang Man. Sepanjang jalan itu entah berpuluh-puluh perampok dan binatang buas yang ditemui mereka, namun itu bukanlah masalah besar karena rombongan Arjuna jauh lebih kuat, namun sang jendral besar yang terkena racun itu tidak bisa tahan terlalu lama. Setelah mereka sampai digunung itu terlihatlah asap besar, ternyata datuk Tantong sedang membakar tanaman berkhasiat itu. Teman Arjuna, Tanto langsung berlari dan menyelamatkan salah satu tanaman itu, serta melemparnya ke Arjuna. Walau Arjuna dapat mengamankan tanaman itu, Tanto tidak sempat kabur dan mati terbakar. Dukun itu menjadi marah dan mengeluarkan panah racunnya yang berkhasiat.
"Ini adalah racun terakhirku, kalau tumbuhan ini tidak dibasmi, maka racunku bukanlah racun terhebat di Nusantara," teriaknya.
Sinta langsung bergerak cepat dan memanah racun itu. Cairan racun itu jatuh dan meresap ke dalam tanah. Datuk itu menjadi marah dan memanggil dua ekor macan kumbang peliharaanya. Sinta langsung memanah macan yang berlari ke arahnya. Anak panah itu terkena leher macan, dan membuatnya jatuh ke tanah. Anggito dan Huang Man langsung mencabut pedangnya dan memenggal kepala macan itu. Sedangkan Arjuna yang naik pitam karena kematian temannya langsung berlari ke arah datuk itu.
Macan yang satunya lagi langsung mengejar Arjuna, dan terjadilah perkelahian yang luar biasa. Arjuna hanya berbekal pedang kecil, namun dapat membunuh macan kumbang itu. Arjuna masih belum puas, lalu mencabut kerisnya dan melompat ke arah datuk itu. Datuk itu jatuh ketanah dan berteriak tolong. Keris yang tajam dan berlikuk-likuk itu ditusuk dan ditarik di leher datuk itu secara berulang-ulang. Teman-teman Arjuna langsung berusaha menariknya pergi karena api kobaran digunung itu semakin besar. Akhirnya mereka berhasil kembali ke desa pecinaan dalam waktu tepat, dan mengobati sang jendral. Panglima Anggito langsung kembali ke benteng pertahanan untuk menjaganya. Sedangkan sang jendral harus beristirahat di desa itu selama beberapa bulan. Akhirnya Jendral itu sembuh dan kembali ke pos pertahanan.
*****
Pada suatu hari Arjuna dan Sinta pun pergi ke hutan dimana mereka bermain pada masa kecil. Mereka pun berlarian seperti anak kecil, dan pada saat mereka kecapaian, mereka memanjat dan beristirahat di sebuah pohon yang besar sekali. Sinta berbaring di atas pohon tepat disebelah kanan Arjuna. Mereka pun mengobrol lama tentang masa lalu sampai masa sekarang. Tiba-tiba Sinta bertanya,
"Apakah kang Arjuna suka sama saya?" lalu membaringkan kepalanya di bahu Arjuna.
Perwira itu langsung kaget dan setelah agak lama akhirnya ia memeluk bahu Sinta dengan tangan kanannya. Sinta dan Arjuna langsung saling berpandangan, dan akhirnya wajah mereka makin lama makin dekat. Akhirnya mereka berciuman. Ciuman hangat itu berubah menjadi adu lidah dan liur. Arjuna melihat ranting pohon yang kaya akan daun-daun besar. Lalu ia menarik ranting-ranting itu sehingga menutup mereka berdua. Diatas pohon besar, di dalam ranting-ranting, mereka bercumbu secara mesranya. Cahaya matahari yang terik tidak dapat tembus ke dalam ranting itu. Beberapa sinar sempat masuk lewat lubang-lubang daun, dan terlihatlah tubuh indah milik Sinta yang ditempeli oleh badan kekar milik Arjuna.
Pantat dan payudara Sinta lumayan berukuran sedang (B atau C cup) itu lembek, dan enak dipegang seperti bantal tidur. Tubuh Sinta pun lunak dan enak untuk dicumbui. Saat vaginannya dijilat, langsung ovumnya bercucuran keluar. Paha Sinta terus-terusan diraba oleh Arjuna karena sangat mulus dan lunak. Pantat elastis Sinta dipukul dan bergoyang seperti agar-agar.
"Aduh," teriak Sinta, dan pantatnya langsung berubah merah semua. Sinta langsung bertambah manja,
"Ah.. Jangan gitu dong.. "
Arjuna langsung menjilat pantatnya dengan ganas. Beberapa menit kemudian, ia langsung mencumbui pantat wanita cantik itu. Goyangan pantat yang lembek itu membuat Arjuna makin terangsang. Sinta langsung dibuat membungkuk agar lebih mudah dicumbui. Dada Arjuna langsung menempel di punggung Sinta, dan kedua tangannya memeras payudara Sinta. Rambut Sinta yang panjang terurai ke bawah, dan akhirnya menjadi berantakan karena sodokan kuat dari belakang yang tanpa henti. Akhirnya kayu yang besar itu tidak mampu menahan asmara mereka yang mengebu-ngebu.
Begitu mereka mencapai tahap orgasme, kayu itu pun patah dan mereka berdua jatuh dari pohon. Begitu mendarat di tanah, mereka melihat puluhan anak kecil dan remaja di bawah pohon itu. Ternyata mereka sudah lama berdiri dan mengamati proses bercinta itu. Akhirnya Arjuna marah dan mengusir mereka semua. Setelah itu mereka pulang kembali ke kubu pertahanan mereka, namun ditengah jalan mereka melewati sebuah bukit besar. Saat melewati bukit angker itu, hari sudah sore dan terdengarlah suara aneh dimana-mana. Santi menjadi takut dan memeluk Arjuna dari belakang. Arjuna melihat ada asap dari belakang bukit itu.
"Masa, setan membuat api unggun" kata Arjuna kepada Sinta.
Lalu mereka merangkak ke balik bukit itu. Mereka benar-benar tidak percaya apa saja yang baru mereka lihat. Puluhan ribu tentara aneh berkubu dibalik bukit itu. Mereka berbicara bahasa aneh, berambut botak, dan hanya ada dua kunciran rambut panjang dari atas kedua telinga mereka. Arjuna tidak tahu pasukan apa yang mereka lihat, namun mereka melihat disamping bendera bergambar naga emas, ada bendera Wijaya. Ternyata mereka adalah pasukan Monggolia yang diperintah Wijaya untuk melakukan serangan tiba-tiba ke negeri Kediri, namun Arjuna dan Sinta tidak mengetahuinya.
"Pasukan musuh! Sejak kapan mereka memasuki wilayah kita? Dari mana Wijaya mempunyai pasukan sebanyak ini dalam waktu satu bulan?" kata Arjuna.
Lalu mereka berkuda secara cepat untuk melaporkan hal itu kepada ayahnya. Beberapa minggu kemudian berita itu telah menyebar sampai seluruh pelosok tanah air Kediri bahwa tentara Monggolia telah memasuki wilayah Kediri, dan pada saat yang bersamaan Raja Jayakatwang juga menerima berita bahwa puluhan desa sudah dibakar hingga menjadi abu. Ratusan ribu warga dibantai secara kejam, dan para wanita serta gadis desa diculik.
Pada malam itu juga di perkemahan Monggol, panglima Meng Chi bersama sepuluh perwiranya mengadakan kontes pemerkosaan. Semua wanita dan gadis cantik dikumpulkan disebuah sel yang besar, lalu panglima dan perwira-perwira itu masuk ke sel itu dan beradu perkosa. Semua wanita dan gadis sudah dalam keadaan bugil. Mereka hanya berjongkok dan menutupi tubuh mereka dengan tangan dan lutut. Para jahanam itu berlomba untuk memperkosa wanita terbanyak. Meng Chi dan para perwira langsung berlari ke arah wanita cantik, menarik tangan dan rambut mereka lalu mencumbui mereka hingga tahap orgasme, lalu berpindah ke wanita lain.
Semua wanita hanya bisa menangis dan berteriak. Lomba itu diadakan dalam waktu 3 jam. Ada yang dicumbui vaginannya, ada juga yang dicumbui pantatnya. Ada yang dipeluk secara paksa. Beberapa wanita ada yang vaginanya menempel keras pada penis perwira sehingga kaki mereka tidak menyentuh tanah, dan tubuh mereka terangkat. Semua juri yang berpartisipasi adalah para tentara yang jumlahnya ratusan. Akhirnya tiga jam pun berlalu. Meng Chi menjadi pemenang karena berhasil memperkosa tiga belas cewek dalam tiga jam itu.
"Semua wanita dan gadis Nusantara yang berkulit coklat itu memang cantik dan seksi," kata Meng Chi.
Setelah itu para perwira kembali ke kamar masing-masing dan tidur, sedangkan para tentara itu sekali lagi menikmati para wanita tahanan itu. Puluhan wanita mati karena tidak tahan akan sodokan dari ratusan tentara.
Keesokan paginya Subodai dan para perwira bersiap untuk membumi hanguskan benteng perbatasan yang dijaga jendral Sanjaya. Apakah perang ini akan berhasil, atau apakah tentara Monggol itu akan kalah mengingat, ada Jendral Sanjaya dan panglima Anggito yang menjaga benteng itu. Ternyata Strategi jendral Wijaya adalah membangun kekuatan sementara itu mengutus tentara Monggolia untuk menghabisi musuh-musuhnya.
*****
Pada pagi harinya di depan benteng perbatasan milik kerajaan Kediri, berdirilah puluhan ribu tentara dari daratan utara. Panglima besar Suwongso memimpin beberapa puluh tentara untuk mengamati kekuatan lawan serta kekuatan tentara Monggolia. Pada malam sebelumnya panglima Chen Mien telah melarang panglima Suwongso untuk hadir di daerah itu, namun panglima Suwongso tetap keras kepala dan heran atas gagasan Chen Mien. Saat Suwongso sedang berpikir panjang tiba-tiba seorang panglima perang Monggol menyapanya dari belakang.
"Salam, panglima Suwongso, sungguh jodoh kita dapat bertemu lagi."
Ternyata dia adalah panglima Monggol yang badannya jauh lebih besar dari Suwongso.
"Ah.. Panglima Mao Ton, sudah lama kita tidak bertemu sejak di perkemahan dulu."
Panglima Monggol ini masih saja bersenjatakan bola baja raksasa dan berduri yang diikatkan ke rantai besi. Melihat hal itu panglima Suwongso yakin bahwa senjata itu adalah senjata andalan panglima raksasa itu. Semua tentara yang dibawa oleh Suwongso bergetar ketakutan saat melihat panglima besar itu tertawa keras.
"Senjata mereka besar-besar, sedangkan senjata kita kecil-kecil, seperti keris.." kata seorang tentara dan sebelum ia melanjutkan kata-katanya Suwongso mempelototinya sehingga ia tidak berani berbicara apa-apa.
Tak lama kemudian panglima Monggol memohon pamit dan bergerak ke barisan terdepan. Akhirnya gendang raksasa dibunyikan, puluhan orang meniup terompet besar dan akhirnya tentara berkuda itu menerjang ke depan seperti kerasukan. Angin yang dihasilkan oleh mereka pun bertiup sekencang topan. Suwongso kaget karena ia tidak melihat seorang tentarapun yang membawa tangga. Lalu bagaimana tentara itu akan masuk ke dalam benteng, tanyanya dalam hati.
Ratusan panah yang dilepaskan tentara Kediri tidak melukai satupun tentara Monggol karena mereka semua memakai baju perang yang terbuat dari baja. Para tentara Monggol memanah balik dan banyak tentara Kediri yang terpanah di bagian yang vital seperti mata, leher, ataupun jantung. Banyak tentara yang kabur dan meninggalkan dinding benteng. Tiba-tiba Mao Ton muncul dari kepulan debu. Ia berlari ke pintu benteng dan mengayunkan bola bajanya sekencang mungkin.
"DUAR!!" Bola itu membuat pintu benteng kayu itu hancur, dan saat Mao Ton menarik senjatanya, duri besar dari bola baja itu menarik serat kayu dari pintu, sehingga pada ayunan ke dua kalinya pintu itu langsung bolong, dan bagian lainnya langsung retak semua. Pada ayunan ke tiga kali langsung saja pintu itu hancur berantakan. Suwongso langsung getar karena takut akan kekuatan musuh yang begitu besar. Ribuan tentara kuda langsung memasuki benteng pertahanan itu. Ribuan tentara Kediri terbantai oleh keganasan tentara Monggol. Jendral Sanjaya langsung berkuda dan bersenjatakan pedang menyerang ke arah ribuan tentara.
"Swing" sabetan dari pedang sang Jendral luput. Badan tentara Monggol itu melesat cepat diatas kuda. Kedua kaki tentara itu mengapit keras pada perut kuda, dan badannya lurus ke arah bawah. Lalu tentara itu memanah lewat kaki kuda yang sedang berlari, dan panah itu tepat mengenai mata kuda sang Jendral. Tentara itu langsung kembali ke posisi duduk di atas kudanya dalam sekejap mata. Kuda sang Jendral langsung jatuh dan Jendral Sanjaya menabrak sebuah batu besar sehingga pedangnya terlepas dari tangan.
Bersambung . . .
Komentar
0 Komentar untuk "Ambisi Wijaya - 7"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.