"Sini aku tunjukin."., kataku sambil menarik kursi empuk beroda yang ada lalu mulai connect ke internet setelah Deni agak menggeser kursinya membiarkanku duduk di depan komputer.
Setelah halaman depan situs 17Tahun terpampang, aku segera klik kategori sesama pria lalu mencari dan mengklik salah satu judul cerita yang aku tulis.
"Nih.. Yang ini ceritaku", kataku sambil memperhatikan ekspresi Deni.
"Beneran nih."., kata Deni.
Kulihat Ia agak 'excited' dan 'surprised' walaupun masih menyisakan sedikit keraguan di wajahnya. Untuk lebih meyakinkan Deni aku segera membuka emailku yang di yahoo dan menunjukkan e-mail konfirmasi pemuatan cerita yang kuterima dari administrator 17Tahun.com yang sengaja tidak aku hapus.
"Wah.. Hebat.. Nggak nyangka kamu bisa nulis juga ya?" kata Deni sambil menepuk-nepuk pundakku.
Lenyap sudah keraguan yang ada di wajahnya.
"Yaah.. Sekedar hobi saja sih. Aku juga nggak begitu mahir kok. Tapi yang jelas pengalaman kita hari ini pasti akan aku tulis juga", kataku sambil mendisconnect internet setelah menutup mailbox yahooku.
"Wah.. Aku jadi harus rajin klik 17Tahun.com nih. Penasaran juga gimana kamu menceritakan pengalaman kita. Tapi kamu jangan expose namaku ya?".
Deni kelihatan senang sekali mendengar kalau aku akan menulis cerita pengalamanku dengannya.
"Ya nggaklah.. Pasti pake nama samaran kok. Ngomong-ngomong mau nggak kalo aku tulis cerita tentang pengalamanmu? Pasti kamu punya banyak deh".
Tiba-tiba saja terlintas ide untuk menulis pengalamannya Deni.
"Boleh juga. Tapi bingung juga nih harus mulai dari mana. Apa wajib yang berbau sex?". Deni menyetujui usulku setelah berpikir sejenak.
"Yah.. Kira-kira yang ada sangkut paut dengan kehidupan sex kamu deh. Walaupun nggak harus 100% sih. Cerita masa lalu kamu juga boleh kok".
Aku merasa penasaran juga dan mulai menebak-nebak pengalaman apa yang akan diceritakan oleh Deni. Deni bersandar pada kursi yang didudukinya lalu matanya kelihatan mulai menerawang, entah apa yang sedang ada di pikirannya saat itu.
"Gimana kalo pengalaman masa kecilku yang itu saja ya?".
Deni menggumam dengan mata yang masih menerawang. Ekspresinya kelihatan agak serius.
"Ayo dong, ceritakan."..Aku makin tidak sabaran saking penasarannya.
"OK, kamu dengar baik-baik ya. Ini adalah cerita saat aku kecil dulu."..Setelah menghela nafasnya Deni mulai bercerita yang aku simak dengan penuh perhatian. Begini ceritanya..
*****
Kejadian ini terjadi saat aku masih kecil. Saat itu aku berumur 6 tahun dan masih belum sekolah. Aku tinggal bersama Ibu tiriku dan ayah kandungku di Yogyakarta yang terkenal sebagai kota pelajar. Kehidupan kami cukup sederhana namun tidak pernah kekurangan. Ibu kandungku sudah meninggal dunia saat aku masih berumur 2 tahunan hingga hampir tidak ada yang bisa kukenang dari ibuku. Ayahku adalah pegawai negeri di salah satu instansi pemerintah yang ada di Yogya. Setelah Ibuku meninggal aku sempat diasuh oleh Budeku yang kehidupannya pas-pasan hingga umurku mencapai 4 tahunan. Sewaktu Bude harus pindah ke kota Jakarta aku terpaksa dikembalikan ke Ayahku. Mungkin agar ada yang menjagaku ayah lalu menikah lagi hingga aku mendapatkan seorang Ibu tiri.
Ibu tiriku walaupun tidak sejahat yang diceritakan dalam dongeng namun jelas sekali kalau ia tidak menyayangiku hingga sama sekali tidak memperdulikanku yang masih haus kasih sayang. Sedang ayahku terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku tumbuh menjadi anak yang nakal hingga setiap hari ada saja anak di sekitar rumahku yang menjadi sasaran kenakalanku dan otomatis aku selalu mendapat jeweran dan makian dari Ibu tiriku yang dikomplain tetangga karena kenakalanku. Bukannya jera aku malah semakin nakal saja dan makin sering berbuat onar yang tentunya membuat puyeng Ibu tiriku. Ibu tiriku makin tidak suka padaku dan aku juga dijauhi oleh anak-anak tetangga hingga praktis tidak punya teman bermain lagi. Tapi saat itu aku sama sekali tidak perduli dan selalu keluyuran bermain sendirian di luar rumah.
Pada suatu hari aku bermain sampai agak jauh dari rumah. Aku memang terbiasa selalu main sendirian dan baru pulang saat makan siang atau jika hari sudah menjelang sore. Ibu tiriku juga cuek-cuek saja dengan aksiku hingga aku makin bebas bermain di mana saja. Saat itu aku sampai di sebuah rumah yang masih satu jalan dengan rumahku, cuma berselisih beberapa rumah saja. Rumah itu kelihatan sunyi dan kulihat ada pohon jambu yang berbuah lebat sekali dengan buah yang sudah ranum mengundang selera, bahkan banyak buah jambu yang berserakan dan telah membusuk di tanah. Yah.. namanya juga anak kecil, pasti ngiler kalau melihat ada buah-buahan ranum yang masih bertengger di pohonnya. Aku lalu mengambil batu atau apa saja benda yang berserakan di tanah dan mulai melempari jambu yang kuincar. Pada lemparan yang kesekian kalinya akhirnya ada juga jambu yang berhasil jatuh oleh lemparanku yang segera kupungut dan kumakan dengan enaknya. Tanpa kusadari rupanya ada yang sedang mengamati aksiku.
"Heh.. Lagi ngapain kamu".
Aku tersentak kaget saat mendengar ada yang menegurku dari belakang dengan nada yang agak tinggi. Saat aku membalikkan tubuhku kulihat ada oom-oom yang sedang menatapku dengan tampang judes. Aku saat itu rasanya seperti ingin melarikan diri dari tempat itu namun mungkin saking ketakutannya aku hanya diam saja sambil memandang oom itu dengan perasaan takut. Kalau kutaksir-taksir sekarang ini oom yang kusebut tadi pada saat itu usianya mungkin kira-kira dua puluhan lah. Mungkin juga masih berstatus mahasiswa atau semacamnya.
Pemuda itu yang bagiku adalah oom-oom pada saat itu masih terus menatapku dan aku masih saja menunduk ketakutan. Tapi tiba-tiba saja sikapnya berubah 180 derajat. Kita sebut saja dia Oom X.
"Ooh, pengen jambu ya adik kecil? Sini yuk ikut oom. Di dalam banyak sekali jambu yang besar dan manis-manis. Nanti oom kasih".
Hampir tidak percaya saat aku mendengar suara Oom X yang berubah jadi ramah sekali. Aku memberanikan diri melihat muka oom itu dan hampir tidak percaya kulihat tampang yang penuh senyum manis. Seketika itu rasa takutku hilang.
"Mau Oom, mau."..
Aku melonjak-lonjak gembira sambil membayangkan jambu yang akan kuperoleh. Tanpa rasa curiga sedikitpun aku mengikuti oom itu masuk ke dalam rumah. Kalau tidak salah ingat sepertinya rumah itu punya banyak sekali ruangan kamar. Sepertinya itu adalah tempat kos-kosan atau semacamnya, cuma entah kenapa saat itu keadaan rumah sepi sekali, mungkin sedang liburan atau pada pergi semua. Yang jelas aku saat itu tidak memperdulikan keadaan sekelilingku, yang ada di pikiranku cuma jambu, jambu dan jambu melulu.
"Sini."..
Oom X masuk ke dalam salah satu kamar yang ada. Setelah aku masuk ia langsung mengunci pintu kamar itu.
"Mana oom, mana jambunya."..Mataku mulai mencari-cari jambu yang dijanjikan.
"Sabar dong. Temani oom main-main dulu ya? Janji deh, pokoknya nanti oom kasih yang buanyakk."..
Oom X mulai menyeringai membujukku. Saat itu aku yang tidak punya teman bermain memang merasa gembira juga mendengar kalau mau diajak main.
"Mau oom, mau. Main petak umpet ya?", dengan lugunya aku tertawa gembira sambil melonjak-lonjak mengelilingi Oom X.
"Bukan, kita main yang lain yang lebih asyik pokoknya".
Oom X semakin menyeringai buas bernafsu yang sama sekali tidak kumengerti saat itu.
"Main apaan oom?". Aku terheran dan makin penasaran dengan permainan yang akan disuguhkannya.
"Sini.. Kamu pegang ini ya?". Oom X membuka dan menurunkan celananya sambil menyodorkan dan menyuruhku memegang kontolnya yang sudah tegang berdenyut-denyut.
Entah dikarenakan tampang Oom X yang buas bernafsu atau karena alam bawah sadarku yang bekerja aku mulai merasa ketakutan sekali. Aku mulai melangkah mundur hingga merapat ke dinding kamar dan memandang ke sekelilingku mencari jalan lolos, tapi apa daya saat itu aku masih kecil sekali dan pundakku sudah dicengkeram oleh Oom X dengan kuatnya.
"Kubilang pegang."..Suara Oom X terdengar bengis sekali yang membuatku makin ketakutan hingga hampir menangis.
"Nggak Oom, nggak."..Aku mulai meronta-ronta dan seketika pecah suara tangisku yang ketakutan setengah mati.
Plakk.. Seketika pandanganku berkunang-kunang. Pipiku panas dan sakit sekali karena Oom X telah menamparku dengan kuat. Belum pernah selama hidupku aku ditampar seperti itu.
"Diam..! Atau kubunuh kau."..Oom X menghardikku hingga aku terdiam dengan masih sesengukan ketakutan menahan tangis.
Dan.. terjadilah peristiwa yang terkutuk itu. Aku ditelanjangi dan bukannya dapat makan jambu legit, malah pantatku yang disodomi paksa oleh jambunya Oom X. Untung saja ukuran jambu Oom X tergolong kecil, ya kira-kira sebesar jari telunjuk orang dewasa saja saat tegang. Mungkin karena itu juga ia nggak PD hingga beraninya cuma sama anak kecil sepertiku. Namun bagaimanapun juga tetap saja masih kebesaran buat anus anak seusiaku. Oom X dengan buas dan nafas menderu-deru terus menyodomiku hingga pantatku terasa pedih dan sakit sekali. Aku hanya dapat menggigit bibir dengan wajah bersimbah air mata. Oom X baru berhenti setelah mengeluarkan maninya di dalam anusku dan dengan muka puas ia mengenakan kembali celananya sambil mengancamku.
"Awas kalau berani mengadu. Oom bunuh kamu."., ancam Oom X sambil meninju meja yang ada hingga menimbulkan suara keras yang membuatku makin mengkeret ketakutan.
Oom X lalu memakaikan kembali bajuku lalu dengan kasar menghapus air mata di wajahku.
"Nih.. Awas kalau kamu ngadu."., ancam Oom X sekali lagi sambil menyelipkan uang 1000-an ke tanganku.
Dengan pantat yang masih sakit aku lalu berlari pulang dan sejak saat itu aku menjadi anak yang sangat pendiam. Bukannya merasa aneh atau curiga dengan perubahan sikapku, Ibu tiriku malah merasa senang sekali.
"Wah.. si Deni sekarang sudah agak mendingan Mas.. Nggak begitu nakal lagi."..Pada suatu kesempatan aku pernah mendengar perkataan Ibu tiriku saat ayahku menanyakan tentang diriku.
Seketika timbul perasaan benci pada Ibu tiriku yang tidak pernah menyayangiku itu. Mungkin itulah buat yang pertama kalinya aku membenci seseorang. Aku juga sangat membenci Oom X yang telah memperkosaku. Wajahnya tidak akan pernah kulupakan selamanya.
Sejak saat itu aku tidak berani keluar dari rumah. Aku juga merasa ketakutan sekali setiap kali melihat orang yang sebaya dengan Oom X. Cukup lama aku bersikap seperti itu dan baru agak mendingan setelah aku masuk SD. Tapi yang jelas kenangan itu membekas kuat dan tidak mungkin akan hilang dari ingatanku buat selamanya..
*****
Aku terpukau mendengar cerita Deni yang benar-benar di luar dugaanku semula, hingga aku hanya bengong terdiam tidak tahu harus berkomentar apa. Saat itu speaker komputerku sedang mengalunkan suara tiupan saxofonnya Dave Koz yang bertitel"Faces of Heart" yang makin menghanyutkan suasana hatiku.
"Lho.. kok bengong, Bob. Mana mulutnya terbuka lebar lagi. Ntar masuk lalat lho."..
Seketika tampang serius yang ada di wajah Deni saat bercerita tadi sirna berganti dengan wajah yang penuh senyum dengan pancaran mata menggoda saat melihatku bengong.
"Oh.. Itu tadi benar-benar kamu alami bukan?".
Melihat wajah Deni yang ceria seketika timbul keraguan di dalam hatiku.
"Yaah.. Terserah kamu saja mau percaya atau tidak. Ikuti saja kata hatimu. Bagiku cerita tetap hanyalah cerita belaka".
Deni berkata bijak sambil menghela nafas dan menyandar di kursi yang didudukinya.
Aku menatap dalam bola mata Deni seolah mau menjenguk isi hatinya dan seketika lenyap semua keraguan yang ada di dalam hatiku. Refleks aku menggenggam tangan Deni erat-erat sambil menatapnya dengan pandangan yang menggantikan seribu kata-kata simpati yang ingin kuucapkan padanya. Deni juga menggengam tanganku sambil tersenyum. Perasaan hangat menjalar di hatiku saat kurasakan ketulusan senyum Deni yang seolah-olah berterima kasih padaku.
"Minum dulu ah."..Setelah saling bertatapan cukup lama Deni dengan lembut melepaskan genggaman tanganku sambil mengambil gelas redwine yang tadi sempat dibawanya dari ruang tamu lalu meminumnya dengan nikmat.
"Oops, punyaku mana ya? jangan-jangan yang kamu minum itu nggak.. Dasar tukang serobot."., kataku sambil celingukan dengan gaya yang lucu. Aku juga tidak mau berlarut-larut dengan perasaanku hingga mulai tersenyum dan mengajak Deni bercanda.
"Hush.. enak aja. Kamu punya kan masih di ruang tamu sana", tangkis Deni sambil tertawa kecil.
"Eh.. Iya ya? Ambil dulu ah."..Aku lalu keluar dari ruang kerja lalu mengambil gelas red wineku yang tadi tertinggal di meja dekat sofa. TV di ruang tamu masih menyala tapi aku cuek aja dan tidak mematikannya. Sambil sekalian menenteng botol red wine aku kembali masuk menemui Deni.
"Nambah?" tanyaku yang disambut Deni dengan sodoran gelasnya yang sudah kosong.
Sambil tertawa-tawa kami lalu mengobrol tentang hal yang ringan-ringan.
"Ngomong-ngomong kamu jadi gay karena pengaruh kejadian itu ya?".
Aku mulai mengarahkan ke pembicaraan yang lebih serius.
"Mungkin juga. Tapi mungkin juga disebabkan oleh rasa benciku pada Ibu tiriku yang membuatku jadi tidak respek sama makhluk yang namanya cewek. Entahlah.. yang jelas beginilah adanya diriku sekarang ini".
Dalam nada suara Deni terkandung kepasrahan yang dalam.
"Eh.. Kamu punya cerita lain nggak? Ceritain lagi dong.". Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ada sih.. Tapi gantian dong. Aku juga ingin mendengar ceritamu gimana sampai kamu jadi gay". Deni terlihat antusias ingin mendengar ceritaku.
"Wah.. Kalau aku sih mungkin sudah gay sejak dilahirkan ya.. Tapi kalau mau nih baca aja cerita pengalaman gay sex pertamaku", kataku sambil mulai klik untuk connect ke internet.
Setelah masuk ke 17Tahun.com aku segera memilih cerita pertamaku yang dimuat dan sambil menggeser kursiku agak ke pinggir aku mempersilahkan Deni untuk membacanya. Dengan penuh perhatian Deni mulai membaca baris demi baris ceritaku yang terpampang di layar komputer. Selesai satu cerita Deni segera klik cerita berikutnya. Baru habis cerita kedua Deni berhenti dan menghempaskan tubuhnya bersandar ke kursi yang didudukinya.
"Wahh.. OK juga ceritamu Bob, sampai bikin aku horny. Tapi kok ceritamu cuman bintang 3?"
"Yaah.. namanya juga penulis amatiran Den. Kurang OK kali makanya nggak ada yang voting".
"Wah kalau gitu aku voting deh", ucap Deni seraya mengklik voting 5 bintang buat ceritaku.
"Wahh.. thanx nih.". Aku senang juga dipuji Deni.
"Mataku sudah pegel nih. Kamu ceritain aja yang lain ya?" Deni mengucek-ngucek matanya. Kulihat celana yang dikenakan Deni agak menonjol pertanda kalau ia telah terbakar nafsu saat membaca ceritaku.
"Oke lah. Kupikir dulu ya?" kataku sambil menekan deburan di dadaku yang merupakan pertanda kalau aku mulai 'on' juga.
Tamat
Komentar
0 Komentar untuk "Pekanbaru night - Masa kecil Deni"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.