"Tunggu dulu! Aku sedang menunggu seseorang, bisa kan sabar sebentar?" kata Riva sambil lagi-lagi ia melongok keluar seolah-olah menanti seseorang. Sejak beberapa saat yang lalu, Riva memang terlihat agak gelisah, ia berulang kali menelepon dan keluar masuk ruangan.
Akhirnya menjelang jam tiga, aku baru tahu siapa yang ditunggu oleh Riva. Orang itu ternyata adalah seorang lelaki dewasa berusia sekitar 35 tahunan, Riva memperkenalkannya pada kami sebagai rekan bisnis Papanya yang mempunyai art shop di daerah Bedugul. Namanya sebut saja Om Richard. Sekalipun usianya cukup jauh di atas kami ternyata Om Richard orangnya asyik juga, malahan sore itu ia tak hanya bicara bisnis saja dengan Riva melainkan ia juga sempat mengobrol dengan kami bertiga tentang banyak hal, masa remajanya bahkan sampai tentang film-film Hollywood yang baru dirilis. Penampilannya juga terkesan funky untuk orang-orang seusianya yang hampir menginjak kepala empat.
"Kalian mau mampir ke tempat Om di Baturiti?" ajak Om Richard kemudian di akhir obrolan kami sore itu. Kebetulan, arah perjalanan pulang dari Bedugul melewati desa Baturiti seperti yang disebutkan om Richard. Jadi, kami bertiga pun setuju untuk mampir sebentar di rumah om Richard. Om Richard dengan mobilnya berjalan lebih dahulu, sementara kami bertiga menyusul di belakangnya.
"Gila, suka ngebut juga tuh om!" ujar Riva ketika mobilnya jauh tertinggal di belakang Om Richard.
Beberapa saat kemudian, kami tiba juga di rumah yang diakui sebagai rumah om Richard. Atau lebih tepatnya bukan rumah tinggal, melainkan sebuah rumah peristirahatan atau yang biasa disebut villa, karena om Richard dan keluarganya juga tinggal di Denpasar. Lokasinya memang tidak di pinggir jalan besar, melainkan masih harus masuk melewati perkampungan dan menempuh jarak selama kurang lebih 20 menit perjalanan dari jalan raya. Tempatnya sangat sunyi dan seandainya hari tidak berkabut, pastilah dari tempat itu bisa dinikmati pemandangan barisan pegunungan yang sangat indah.
"Berapa beli villa ini, om?" tanya Mario penasaran setelah kami memasuki bangunan mungil yang asri dan nyaman itu.
"Delapan ratus! Kebetulan dulunya villa ini punya temen om sendiri, orang bule!"
Om Richard mengantar kami mengelilingi setiap sudut rumah itu sampai ke pekarangan belakang dimana terdapat taman yang tertata rapi dan sebuah kolam renang. Sesudah itu, ia menyuruh kami duduk di ruang tengah sambil memutarkan sebuah laserdisc untuk kami.
"Kalian mau menginap? Om kebetulan enggak pulang malam ini!" ajak Om Richard sambil menyodorkan tiga kaleng softdrink untuk kami.
"Enggak lah, Om. Thanks. Hari ini kita sudah keluar seharian, kalau menginap, takutnya nanti Papa marah!" tutur Riva.
"Alaa, Papamu itu orangnya pengertian banget kok! telepon aja, kasih tahu kalau kamu nginap di tempat om Richard semalam. Gimana?"
Riva memandang Mario dan ke arahku secara bergantian, untuk minta pendapat kami. Mario setuju, karena kebetulan ia di Bali tinggal sendiri di rumah kontrakannya, jadi tidak ada yang perlu dimintai ijin. Lalu bagaimana denganku? belum tentu om mengijinkan aku menginap di tempat om Richard, tapi akhirnya kuputuskan untuk mencoba menghubungi om lewat telepon. Singkat cerita ternyata usahaku berhasil, om-ku mengijinkan.
Sebelumnya, tak pernah terpikir olehku bahkan mimpi pun tidak, kalau ternyata hari itu aku bukan hanya bisa merayakan hari ulang tahunku yang kedua puluh dengan sedikit pesta, tetapi juga merupakan hari pertamaku menikmati apa disebut orang sebagai "Kenikmatan" dunia, melepaskan gairah nafsu muda yang menggelora dan melakukan sesuatu yang sebenarnya tabu dan menjijikkan di mata masyarakat dan agama.
Aku benar-benar tak bisa mengontrol diri lagi saat Om Richard mulai mempreteli pakaianku satu per satu sampai tak ada seutas benang pun yang melilit di tubuhku, aku dibuat telanjang bulat, seperti yang dilakukannya juga terhadap Riva dan Mario bergantian. Saat itu kami bertiga sebenarnya sedang asyik menikmati tontonan laserdisc, namun kami bertiga terpancing oleh bujuk rayu dan kata-kata om Richard yang mengarah pada hal-hal yang berbau sex.
Om Richard membimbing tanganku untuk melucuti pakaiannya satu persatu, mulanya aku merasa begitu canggung karena ini adalah pertama kalinya. Ternyata di balik pakaiannya, ia menyimpan kegagahan seorang lelaki dengan badan yang kekar, kulit putih mulus, dan dada yang bidang dan berbulu tipis. Ia nyaris menjadi seorang lelaki yang sempurna, karena selain hidupnya mapan, ia punya penampilan fisik yang mempesona.
Malam itu adalah malam yang panjang bagi kami berempat, kami bergumul satu sama lain dengan alas seadanya, di atas karpet maupun di sofa.
"Arg!" desahku ketika batang kemaluanku dimasukkan ke dalam mulut Riva dan kemudian dihisapnya sambil dinikmatinya seperti ketika menjilati sebuah es krim. Begitupun sebaliknya, ganti aku yang menghisap batang kejantanan Riva yang panjangnya tak kurang dari lima belas senti itu, menjilatinya, bahkan sesekali diselingi gigitan-gigitan kecil di seputar kulit buah pelirnya yang berwarna kemerahan itu. Riva menggesek-gesekkan ujung penisnya ke wajahku, sesekali ia mengocoknya dan kemudian ganti aku yang mengocoknya, sambil sesekali kumasukkan ke dalam mulutku.
Sementara itu di atas karpet, Om Richard dan Mario bergumul dengan gaya tersendiri, mereka saling menindih dan berpagutan dengan liar. Mario bahkan tak kalah hebatnya dari Om Richard yang sudah berpengalaman, ia cukup mampu mengimbangi permainan om Richard, setidaknya itu yang dapat kuamati sesaat setelah aku memandang ke arah mereka berdua. Melihat adegan itu, aku malah makin terangsang saja, aku tak pernah tahu sebelumnya kalau sesama lelaki bisa menikmati permainan semacam itu, sepertinya asyik juga jika kucoba dengan Riva.
Kami berempat memiliki banyak waktu malam itu untuk melakukannya, sambil mencoba gaya-gaya yang pernah kami tonton dari VCD seperti layaknya hubungan suami istri, atau mungkin lebih dahsyat dari sekedar hubungan suami istri. Malah ada beberapa gaya, yang kuanggap sepertinya hanya binatang yang pernah melakukannya. Sampai jam dua pagi, kami menikmati pertempuran semalam itu, sesudah itu kami pun tertidur pulas karena kecapekan sampai keesokan harinya, karena peristiwa semalam itu pula, sampai-sampai kami bangun kesiangan keesokan harinya.
Hari kedua, setelah kami bangun kesiangan, kami berempat memutuskan untuk berenang bersama di kolam belakang. Aku senang sekali, karena memang sudah lama aku tak berenang. Kemarin sore, ketika kulihat kolam renang ini, memang sempat terlintas di pikiranku keinginan untuk berenang.
Setelah puas berenang, aku tidur-tiduran di kursi malas yang ada di sisi kolam, tepat di sebelahku tampak om Richard yang juga sedang berjemur dengan hanya memakai celana renangnya di atas kursi malas.
"Permainanmu hebat! Om tidak yakin kalau kamu belum pernah melakukan hal itu sebelumnya," kata Om Richard berbasa-basi. Aku hanya tersenyum mendengarnya, untuk beberapa saat aku hanya tutup mulut, aku tak tahu kesan apa yang harus kuceritakan mengenai kejadian semalam.
"Om dengar-dengar kau belum dapat pekerjaan yah?" tanya Om Richard lagi.
"Yah begitulah, Om. Sudah mencoba beberapa kali, namun gagal terus. Mencari pekerjaan memang tak semudah membalik telapak tangan, benar kan Om?"
"Om dulu juga mulanya seperti kamu, namun tak ada salahnya berusaha. Mungkin saatmu belum tiba aja. Kau harus bisa bersabar sekalipun itu sulit. Tapi, kalau kamu mau, om punya tawaran buat kamu?"
"Kerja apa, Om?"
"Kerja untuk Om. Maaf, bukannya om bermaksud melecehkan kamu atau apa, Om tawari kamu kalau mau jadi simpanan Om. Terus terang om suka kamu, i like your body and your performance!" puji Om Richard sambil mengelus tanganku.
Bagai tersambar petir di siang bolong, aku kaget mendengar keterus-terangan Om Richard itu. Aku tak berani langsung menjawabnya, aku tak mau terburu-buru dan keliru mengambil keputusan.
"Beri saya waktu untuk berpikir, Om! Mungkin besok lusa saya akan kasih jawabannya!" sahutku ragu-ragu.
"Oke, kalau nanti om kasih kartu nama Om. kamu hubungi om, ok! Kalau kamu bersedia, biaya hidup kamu jadi tanggungan Om! Kalau menurut om sih, tawaran ini menarik dan pekerjaan yang gampang dan menyenangkan, tapi terserah kau!"
Aku hanya mengangguk-angguk mendengarnya. Kuakui memang tawaran yang baik dan menarik di saat yang tepat, pikirku. Tetapi sesuatu yang baik dan menarik, belum tentu benar, itulah masalahnya mengapa aku tak bisa langsung menjawabnya saat itu juga.
Setelah kurenungkan sendiri lama dua hari, aku memutuskan menolak tawaran tersebut. Kedua sahabatku, Riva dan Mario tak pernah kuberitahu tentang tawaran itu karena aku tak pernah cerita pada mereka. Kini, aku bersyukur karena setahun yang lalu, aku pernah mengambil keputusan yang tepat dan benar.
Setelah aku menolak tawaran Om Richard, mungkin Yang Di atas iba padaku, sehingga aku diberi pekerjaan sebagai seorang room boy di salah satu hotel berbintang di pulau Dewata. Bermula dari titik nol, itulah keadaan saat itu. Aku betul-betul memulai pekerjaanku dari bawah. Namun, lambat laun keadaan ekonomiku mulai membaik sampai detik ini. Paling tidak aku punya penghasilan dan pekerjaan yang tetap dan layak, dan harta yang lebih dari sekedar cukup.
*****
Demikian sekelumit kisah perjalanan hidupku, aku senang berkoresponden dengan banyak sahabat. Jika kalian berminat untuk mengenalku lebih jauh, silahkan berkirim email padaku. Pasti kubalas jika ada kesempatan. Salam, Reyno.
Tamat
Komentar
0 Komentar untuk "Aku nyaris jadi gigolo - 2"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.