Impian duda gay

0 comments

Temukan kami di Facebook
Malam ini aku benar-benar tersiksa dengan hasratku yang semakin menggebu. Aku mulai mempreteli pakaianku sendiri lalu telentang di atas tempat tidurku dengan membentangkan kedua tanganku, sehingga milikku yang 14 cm bisa bergerak bebas. Aku memejamkan mata sambil perlahan mendesis-desis menyebutkan sebuah nama, Yusuf. Sudah lama aku berpisah dari dia. Why? Aku sendiri tidak tahu pasti, hanya saja dari gosip yang kudengar kabarnya dia mengejar-ngejar khayalannya untuk mendapatkan cowok yang tidak disunat alias uncut alias masih punya kulup atau apa lagi sebutannya. I don't care. Yang jelas aku sudah menjadi duda dari priaku sendiri dan malam ini aku sendirian dengan hasratku yang kian memuncak ingin mendapatkan kehangatan dari seorang lelaki. Oh, Mas Yusuf, look at me honey. Aku merindukanmu, mas. Dan biasanya dengan keadaan begini aku baru bisa tertidur setelah mengocoknya dan memuntahkan lavanya yang tidak senikmat di saat memadu kasih berdua dulu.

Pagi itu aku baru bangun jam tujuh. Untung hari Minggu. Rumah kontrakan yang kutempati agak terpencil dari rumah sekitarnya. Dengan masih telanjang bulat, aku dengan malas bangkit berdiri menghampiri remote TV, menyalakan siaran berita yang sudah hampir berakhir. Ya, aku terbiasa di rumah dengan hanya memakai celana dalam atau celana pendek saja. Itu karena hasratku yang sangat tinggi. Bahkan aku masih punya harapan jika saja tiba-tiba ada maling masuk atau orang kesasar sekalian saja aku akan mengajaknya untuk melakukan sex. Gila memang. Dan bayangan Yusuf selalu hadir di setiap sudut rumahku yang dipenuhi dengan foto-fotonya dan fotoku.

Aku menyalakan kompor gas, memanaskan air untuk minum. Lalu dengan malas aku berbaring lagi di atas tempat tidur. Remote TV kupencet-pencet terus tanpa tahu mana yang akan kutonton. Hampir semua stasiun TV menghadirkan kartun anak-anak. Uh.. Mas Yusuf. Sampai kapan aku harus dibayang-bayangi cintamu, mas. Aku ingin mencintai orang lain lagi. Aku meraih pena lalu kutuliskan di atas selembar kertas HVS. When will I feel your dick in my ass again? Kembali aku melamun menikmati siaran TV. Tanpa peduli dinginnya pagi, aku masih tetap telanjang di atas kasur. Lalu aku berbalik menatap langit-langit kamar yang bercat putih.

"Kring.." dering telepon membuyarkan lamunanku. Aku meraihnya.
"Siapa?" tanyaku dengan malas.
"Hai, Man. Kamu lagi ngapain sih? Baru bangun, ya?" suara di seberang terdengar sambil ketawa-ketawa.
"What's so funny? Cengengesan saja. Siapa nih?" aku mengomel.
"Aduh, masa lupa Man. Aku Bambang."
"Oh, Pak. Maaf. Dikirain siapa. Maaf sekali, Pak. Ada apa telpon pagi-pagi sekali." aku merubah posisi duduk di atas tempat tidur.
"Ngga papa kok. Pagi ini aku mau ngajak kamu jalan-jalan. Ada acara ngga?"
"Jalan-jalan..," aku berpikir sebentar, "Jam berapa, Pak?"
"Sekarang."
"Sekarang? Aduh, bagaimana nih Pak. Aku.. aku.."
"Ok, begini saja, sampai kapan aku harus menunggu di depan pintu rumah kamu?"
"Oh my god!" aku berteriak, "Sebentar, Pak."

Tanpa berpikir panjang, aku membanting gagang telepon. Lalu meraih handuk yang menggantung di paku, lalu melilitkannya di tubuhku sekenanya. Bergegas aku menghampiri pintu depan.
"Maaf, Pak. Masuk. Kenapa tidak ketuk pintu saja?"
Aku mempersilakan Pak Bambang duduk. Dia hanya tersenyum sambil menghampiri kursi depan. Dengan santai dia menatapku yang masih memegang gagang pintu dan bertelanjang dada.
"Kamu sedang apa, Man?" tanyanya sambil tetap mengumbar senyum.
"Euh.. maaf."
Aku baru sadar menutupkan pintu dan duduk di kursi yang langsung berhadapan dengan Pak Bambang. Dia itu sebenarnya tetanggaku yang tinggalnya beberapa rumah dari sini dan bekerja di sebuah BUMN. Dia kebetulan masih membujang di usianya yang hampir mencapai 40. Tanpa sadar aku duduk dengan membuka kakiku agak lebar sehingga dengan jelas dia bisa menyaksikan burung kecilku bernyanyi di pagi itu.

"Euu.. kamu.. sedang mandi, kan?" dia bertanya gugup sambil sesekali melirik ke arah burungku tadi, tetapi aku tidak memperhatikannya.
"Tidak. Sedang nonton TV, Pak."
"Eu.. lalu.. ah, tidak. Lupakan, ya."
Matanya kini tidak bisa memalingkan lagi dengan tatapannya yang terpaku pada burungku itu. Aku baru sadar. Tetapi dengan cepat, hadir pikiran jelekku. Aku ingin memperlihatkannya. Maka dengan perlahan burung di dalam handukku itu mulai mengeras dan mengacung-acung. Aku memerhatikan reaksinya.

"Pak. Mau ajak saya jalan-jalan kemana sih?"
Aku kini membuka lebih lebar lagi kakiku.
"Anu.. aku.. sa.. aduh.. kenapa sih?"
Dalam hati aku tertawa geli. Pak Bambang tampak menahan air liurnya. Tetapi tiba-tiba dia berdiri dan menghampiriku, lalu duduk di sampingku.
"Kau.. tolong buka handukmu."
Hah! Pak Bambang menyuruhku membukanya? Aku menatapnya lekat tidak percaya. Dia membalas menatapku, tetapi kemudian dia justru menjambak handukku dan mencampakkannya di atas lantai hingga aku kini aku telanjang kembali. Walau kaget, tetapi aku justru mempertontonkan batang kelaminku yang kata Mas Yusuf sangat indah.

"Oh.."
Dia merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Tangannya meraih batang kemaluanku sementara kaki kanannya menyilangkannya di atas kakiku. Aku kini benar-benar dalam kendalinya. Bau harum minyak wangi sepertinya membiusku untuk terus melayani dia.
Tiba-tiba, "Pak!" tanganku menahan tangannya yang hendak meraih batangku.
"Apa maksud semua ini?" aku menatapnya.
"Aku ingin menikmatinya, Man."
Tegukan air liurnya jelas terlihat.
"Maaf, Pak. Aku tidak mau melakukannya jika bukan karena cinta."
Aku berlagak menjual mahal. Padahal aku tahu sendiri kalau selama ini punya angan-angan cowok sejahat apapun kuperbolehkan menikmati tubuhku akibat rasa kesepian yang berkepanjangan.
"Kau tahu maksudku mengajakmu jalan-jalan?"
Aku menggeleng. Dia mendekatkan wajahnya di wajahku.
"Aku ingin mengatakan sesuatu. Aku.. mencintaimu sudah lama, Man."
Aku sekarang jadi tertunduk. Harus kukatakan apa lagi?

"Gimana, Man? Please. Aku sangat tergila-gila sama kamu."
Aku kembali mengingat-ingat usaha-usaha pendekatan dia kepadaku selama ini. Mengapa dia selalu mentraktirku makan siang saat jam istirahat. Kebetulan memang kantorku bersebelahan langsung dengan kantornya. Dia juga sering mengajak jalan bersama sekedar nonton atau shoping atau juga menikmati kesenangannya seperti aku main games di Matahari. Aku tersenyum. Lalu menatapnya penuh arti. Dia terlihat memasang wajah yang membuatku menjadi iba. Tanganku meraba selangkangannya yang rupanya sudah menegang dari tadi.

"Pak Bambang mencintaiku?"
Dia mengangguk. Tanpa diminta aku mendaratkan ciuman manisku di bibirnya. Dia hampir berteriak girang lalu merangkulku dan memelukku erat.
"Makasih, Man. Aku sudah mendambakan seperti ini tapi selalu gagal. Dan satu, aku belum pernah melakukan sex dengan siapa pun."
Aku tidak menghiraukan omongannya yang jelas aku menikmati pelukannya yang selalu kukhayalkan dan kudambakan.
"Wuing.." bunyi teko air di atas kompor gasku.
"Aduh, Pak. Aku sedang masak air. Sebentar, aku buatkan kopi dulu, ya!"
Dengan malas dia melepaskan pelukannya dan berkata, "Ya, ok. Tapi ngga usah kopinya."

Aku bangkit menghampiri handukku, tetapi setelah kupegang, aku memutuskan untuk telanjang saja pergi ke dapur mematikan kompor. Aku membuatkan segelas kopi dan membawakan makanan ringan yang selalu tersedia di rumahku. Oh, my god. Aku terbelalak menyaksikan Pak Bambang yang sudah telanjang bulat menghampiri pintu dan menguncinya. Saat dia berbalik aku semakin terbelalak menyaksikan indahnya tubuhnya. Untung saja kopi tidak sampai jatuh. Aku menaruhnya di atas meja. Tiba-tiba dia menerkamku seperti orang kehausan seks.
"Man. Lebih baik suguhi aku dengan cintamu."
Dia memelukku sambil berdiri. Tanpa dikomando lagi aku langsung menyambar bibirnya yang dihiasi kumis lebat di atasnya. Aku memagutnya dengan rakus begitu juga Pak Bambang. Tetapi gerakan dia terkesan dipaksakan dan aku mengerti untuk ukuran intensitas sexnya yang masih nihil. Dia kembali menjelajahi tubuhku dengan tangannya yang jahil. Wangi harum tubuhnya membuatku semakin terangsang dengan hebat. Dengan napas terengah-engah, dia memandangku sayu penuh kenikmatan.

"Man, tidur yuk?" pintanya sambil menatap manja.
"Gendong dong, Mas." jawabku.
Aku mulai berani memanggilnya Mas, yang terkesan mesra sekali. Sekali rengkuh, aku dibopongnya menghampiri tempat tidurku yang masih acak-acakan dan TV masih menghadirkan kartun anak. Dia mematikannya.
"Semalam habis ngapain, sayang?" tanyanya.
Dia mulai menindihku. Tanganku meraih bidang dadanya lalu mengusap-usap seluruh dada dan perutnya.
"Aku semalam tidur telanjang, Mas. Ingin digagahi." ujarku dengan jujur.
Dia tersenyum. Lalu menekankan senjata kejantanannya yang berukuran raksasa dan aku sangat menyukainya. Perlahan tubuhku bergerak menikmati tekanan senjatanya yang terasa nikmat.

"Man. Walau belum pernah melakukan tapi aku sering nonton film porno gay. Boleh aku lakukan sama kamu?" pintanya sambil menatapku dengan mimik wajah memohon.
Aku menganggukkan kepala sambil membenamkan wajahku di dadanya yang tercium harum sekali. Perlahan dia bangkit. Lalu mulai menciumi tubuhku sementara tangannya menjalari bagian tubuhku yang paling sensitif. Setelah puas, dia menghampiri bibirku. Kembali dia melumatnya dengan rakus. Tetapi saat itu tanganku sudah tidak tahan untuk meraih senjata ampuhnya yang selalu kuidamkan. Saat itu, dia melirik ke arah telpon yang disampingnya terdapat kertas HVS dengan tulisan yang cukup besar. When will I feel your dick in my ass again?
"Kamu mau sekarang, sayang?" dia membisikkannya.
Aku menatapnya tidak mengerti. Dia meraih kertas itu, dan kemudian baru aku tersenyum.
"Nanti saja, Mas. Aku masih ingin digagahi."

Dia kini mendekatkan kejantanannya di mulutku. Aku dengan sigap meraihnya lalu melahapnya. Cukup repot juga, batang kelamin yang berukuran sebesar itu kumasukkan hingga terasa susah sekali bernapas. Tanganku juga sibuk mulai mengocok kelaminku sendiri. Dia melenguh panjang menari-nari begitu erotis. Lama aku mengemut dan menyedot-nyedot senjatanya hingga aku merasa puas dan mulai mendorong tubuhnya. Aku bangkit berdiri dan mendorong dia rebah di atas tempat tidurku. Aku mengangkangi senjata besarnya yang tegak berdiri dan mulai membuka kakiku supaya batang kelaminnya bisa masuk di anusku. Dengan cepat aku meraih Citra lotion dan kulumuri barangnya, begitu juga pintu anusku. Lalu perlahan aku mengarahkan batang kejantanannya ke anusku.

"Oh.. " aku melenguh saat batangnya mulai memasuki anusku yang sudah tidak perawan lagi.
Ternyata tidak mampu begitu saja melancarkan senjata ampuhnya untuk masuk, bahkan terasa sakit. Perlahan lagi dan lagi hingga kini setengahnya yang masuk. Pak Bambang memegangi tubuhku supaya tidak limbung. Aku berhenti sebentar untuk menikmati kehadiran batang kejantanannya di anusku. Oh, indah sekali. Kembali aku menekan pantatku turun hingga mempunyai inisiatif untuk menekannya sekaligus.
"Awww.. uh.. oh.." aku menjerit saat senjatanya sudah masuk semua hingga ujung pangkalnya.
Besar juga sehingga terasa sesak anusku. Tanganku menjelajahi dadanya yang bidang dan pantatku mulai kugerakan naik turun perlahan.
"Ah.. indah. Nikmat sayang. Terus.." dia meracau.
Aku mulai mempercepat goyanganku hingga naikku agak tinggi.

"Uhh.." aku kembali melenguh lagi menikmati kenikmatan yang tiada tara yang belum pernah kudapatkan bahkan dari Yusuf sekalipun.
Tiba-tiba kedua tangan Pak Bambang memegangi pantatku lalu menaik-turunkan pantatku itu hingga terasa kenikmatan itu sampai ke ubun-ubun. Kelaminku yang sudah sangat tegang menikmati nikmatnya cinta. Pak Bambang mulai terasa berdenyut-denyut dan aku tahu saat itulah aku akan mencapai puncak kenikmatan. Seiring dengan semakin cepatnya gerakan yang dibuat tangan Pak Bambang begitu pula kelaminku semakin terkonsentrasi untuk ejakulasi.

Hingga akhirnya, "Ahh Bapak.. Mas.. Bambang.. Oh.."
Aku merebahkan tubuhku ke belakang saat semburan demi semburan bermuntahan di atas tubuh Pak Bambang hingga kulihat ada yang sampai rambutnya. Rupanya Pak Bambang tahu kalau saat itu aku tidak bisa berada di atas lagi karena tidak kuat lagi, maka dengan tidak mencabutnya dari anusku, dia merubah posisi menelantangkan tubuhku di atas tempat tidur, sementara dia menggoyang pinggulnya maju mundur dengan merentangkan kedua kakiku. Goyangannya semakin cepat sambil meracau.

"Fuck harder.. fuck.. oohh.."
Dia semakin bersemangat saat melihat usahaku untuk menggoyangkan pantat dan tersenyum melihatnya. Sambil melakukan gerakan maju mundur yang semakin cepat dia membisikkan sesuatu, "Man. Aku keluarin di dalam atau di luar?"
"Di dalam saja, Mas. Aku ingin merasakannya."
"Ok. Here you go.."
Dia memompanya semakin keras. Dan saat itu aku merasakan keringat tubuhnya sudah membanjiri tubuhnya. Dengan terengah-engah, di goyangan-goyangan akhir, dia menyeringai sambil menekankan pantatnya dalam-dalam ke dalam anusku.
"Aahh.. Hilman.. oohh.. sayangku." dia berteriak sangat keras.
Aku merasakan dan menikmati semburan kenikmatan yang dimuntahkan di dalam anusku. Terasa sangat banyak dan mungkin saja akan meluap hingga keluar.

"Ohh.. oh.. oh.." desahnya.
Terengah-engah dia mengangkangi tubuhku. Bergetar tangannya menahan berat tubuhnya supaya tidak menindihku. Tetapi aku justru menariknya, hingga kini sangat rapat dan memang berat dengan batang kejantanannya masih di dalam anusku. Aku menikmatinya dan terasa lengketnya air mani yang kusemburkan tadi di tubuhnya kini juga menghiasi tubuhku.

Lama aku dan dia menikmatinya hingga dia akhirnya menggulingkan tubuhnya di sampingku tanpa melepaskan senjata cintanya dari anusku. Aku yang melarangnya. Dia mendekapku erat. Lalu mebisikkan kata-kata cinta.
"Hilman. Pengalaman terindahku dan pertama yang pernah kunikmati. Aku dulu hanya bisa mengocok atau sama bantal guling sambil nonton film gay. Thanks ya."
Dia mengecupku mesra. Aku memeluknya.
"Mas Bambang. Sebenarnya aku masih trauma setelah putus sama pacarku dulu. Aku takut Mas Bambang akan meninggalkanku sama halnya dengan dia."
"Jangan berpikir begitu sayang. Aku tidak seperti itu. Kau tahu aku kenapa belum juga kawin? Atau aku tidak melakukan dengan cowok mana saja? Karena aku justru mencari orang yang benar-benar sesuai dengan kemauanku. Kau buktinya. I love you, honey."

Aku semakin mempererat pelukanku. Sementara batang kemaluan dia yang sudah mengecil kembali terasa lepas dari anusku. Ada semacam kekosongan kini yang tadi terisi dengan barang ampuhnya. Dan saat itu aku membisikkan untuk menikmati babak kedua yang ingin kunikmati lebih seru dari tadi. Aku memutuskan untuk memesan Pizza saja sebagai makan siang daripada harus keluar dari ruang tidurku. Hari itu, aku dan Pak Bambang melakukan sex hingga empat kali sampai tengah malam. Seperti makan siang, makan malam pun kita pesan yang sama. Pizza.

Sejak saat itu setiap hari kita melakukan sex dengan keinginan masing-masing yang menggebu. Aku sangat mencintai Pak Bambang. Dan kini bayangan Yusuf yang mencari cowok belum disunat mulai hilang. Aku tidak mau tahu lagi, apa dia kini sudah mendapatkannya atau belum. I don't care.

Tamat




Komentar

0 Komentar untuk "Impian duda gay"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald