Kuperkenalkan diriku sebagai Bayu, pria berkeluarga berusia 42 tahun yang tinggal di Jakarta. Aku mempunyai 2 orang anak berumur 7 dan 3,5 tahun dan bekerja di sebuah perusahaan jasa pemborong bidang telekomunikasi sebagai seorang supervisor lapangan.
Konsekuensi dari jabatanku diatas adalah aku lebih banyak menghabiskan hidupku di lapangan daripada di rumah berkumpul bersama istri dan anak-anakku. Akibatnya aku sering merasa tidak dapat membendung gairah birahi yang timbul karena lama tidak "campur" dengan istri. Sebagai jalan keluarnya aku sering melakukan "Cinta Lokasi" berupa perselingkuhan dengan wanita yang kukenal di tempat kerjaku. Terus terang sampai saat ini aku belum pernah "jajan" dengan sembarang wanita yang tidak kukenal latar belakangnya guna menghindari resiko tinggi yang bisa timbul seperti penyakit kelamin atau bahkan HIV/AIDS.
Salah satu kisah "Cinta Lokasi" ku adalah yang terjadi sekitar 4 tahun yang lalu ketika aku bertugas di sebuah kota kabupaten di pulau Kalimantan selama 3 bulan lebih, berawal dari usahaku mencari rumah sewaan yang akan kugunakan sebagai tempat tinggal sekalian kantor proyek.
Setelah seminggu aku menetap di sebuah hotel di kota S, akhirnya kudapatkan sebuah paviliun milik Bapak Hendra yang cukup bagus dengan lingkungan yang asri dengan garasi yang menyatu dengan teras dan terdiri atas 3 ruangan di dalam: ruang tamu yang luas sehingga dapat kugunakan sebagai ruang kerja sekaligus ruang makan, kamar tidur dengan kamar mandi didalam dan ruang dapur. Ada pula halaman kecil di belakang rumah sekaligus tempat jemur pakaian yang menyatu dengan halaman rumah induk tempat keluarga Bapak Hendra tinggal.
Pada hari kedua tinggal di rumah Bapak Hendra, pagi-pagi Ibu Hendra datang menemuiku ketika aku sedang memanaskan mesin mobil dinasku sebelum berangkat kerja.
"Selamat pagi Pak Bayu, wah lagi siap-siap berangkat kerja nih" sapa Ibu Hendra berbasa-basi.
"Iya Bu, ada apa kok tumben Ibu pagi-pagi menemui saya?" tanyaku balas berbasa-basi.
"Itu lho Pak, Ibu mau menawarkan orang untuk bantu membereskan rumah dan cuci pakaian kalau Bapak memerlukannya" kata Ibu Hendra menerangkan maksud kedatangannya.
"Oh, boleh Bu. Memang perlu sih, karena rasanya saya nggak bakal sempat beresin rumah dan cuci pakaian setiap hari" jawabku.
"Kalau begitu Ibu akan minta keponakan yang tinggal di kota untuk bantu Bapak, nanti dia biar tinggal di rumah Ibu" kata Ibu Hendra lagi.
"Memang keponakan Ibu sekarang sudah tidak sekolah atau bekerja?" tanyaku.
"Dia sekarang tinggal di rumah orang tuanya dan sedang menganggur" jawab Ibu Hendra.
"Boleh Bu, tapi berapa saya harus menggaji dia?" tanyaku lagi.
"Kalau soal gaji nanti Pak Bayu langsung bicara sama dia saja, yang penting dia bisa punya kesibukan soalnya Ibu kasihan lihat dia setiap hari bengong saja di rumah" jawab Ibu Hendra.
"Lalu kapan kira-kira keponakan Ibu itu bisa datang?" tanyaku lagi.
"Secepatnya Ibu akan minta dia untuk kesini, bagaimana kalau hari Sabtu?" Ibu Hendra balik bertanya.
"Baiklah Bu, kalau begitu hari Sabtu nanti saya akan atur supaya bisa di rumah" jawabku.
Hari Sabtu pagi sekitar jam 10:00 kudengar Ibu Hendra mengetuk pintu dapur sambil memanggil namaku. Ketika pintu kubuka, kulihat Ibu Hendra sedang berdiri bersama seorang wanita muda.
"Pak Bayu, kenalkan ini Marni keponakan Ibu yang tempo hari diceritakan" kata Ibu Hendra memperkenalkan keponakannya. Setelah berbasa-basi sebentar, Ibu Hendra meninggalkan Marni bersamaku untuk mendapatkan pengarahan mengenai tugas yang harus dikerjakannya.
Selesai memberikan pengarahan kepada Marni, kuminta dia untuk membuat kunci duplikat pintu belakang rumahku supaya setiap saat bisa masuk dan keluar tanpa perlu menungguku bangun atau pulang kerja.
Sambil memberikan pengarahan sempat pula aku memperhatikan penampilan fisik Marni yang tidak terlalu tinggi tetapi cukup "berisi". Wajahnya menarik dengan rambut hitam pekat sebahu serta bibir yang tipis dan mata agak sipit seperti umumnya masyarakat setempat yang keturunan Cina. Dadanya padat walau tidak terlalu besar, betisnya ramping tidak besar seperti talas Bogor dan bagian yang paling menarik adalah pinggulnya yang bulat dan padat.
Seiring dengan bergulirnya waktu dan seringnya bertemu, keakrabanku dengan Marni kian bertambah. Ternyata dia seorang janda tanpa anak berusia 21 tahun dan telah 2 tahun ditinggal suaminya yang menikah lagi serta tinggal di kota lain. Marni kini tak segan lagi memasuki rumahku seperti dulu ketika baru mulai bekerja, bahkan tak jarang dia mandi sore di rumahku dan menonton TV setelah menyelesaikan pekerjaannya.
Lama kelamaan timbul hasratku untuk menjalin hubungan yang lebih dalam dengan Marni, apalagi terasa kebutuhan biologisku telah menuntut untuk dipenuhi setelah sekian lama tidak bertemu dengan istriku.
Suatu hari Sabtu malam ketika aku pulang kerja jam 19:00, kudapati Marni sedang menonton TV di ruang tamu rumahku mengenakan gaun kaus terusan berwarna coklat tanpa lengan yang menempel ketat di tubuhnya dengan sederet kancing di depan. Sungguh kontras dengan warna kulitnya dan membuat Marni terlihat seksi karena lekuk-lekuk tubuhnya jelas terlihat.
"Lho, kok kamu belum pulang Mar?" tanyaku kepada Marni sambil memasuki rumah.
"Bapak Hendra pergi ke luar kota sekeluarga menghadiri acara keluarga, Marni nggak berani di rumah sendirian jadi numpang nonton TV disini saja" jawab Marni.
"Kamu kenapa nggak ikut pergi?" tanyaku lagi.
"Ibu meminta Marni untuk tinggal supaya kalau Bapak perlu apa-apa ada yang bantuin" jawab Marni lagi.
"Oh, ya sudah kamu nonton disini saja dulu, tidak usah malu-malu" kataku kemudian sambil bergegas menuju kamar mandi.
"Terimakasih Pak" kata Marni sambil meneruskan menonton TV.
Setelah selesai mandi, dengan mengenakan baju kaus dan celana pendek aku kembali ke ruang tamu menemui Marni.
"Kamu sudah makan Mar?" tanyaku pada Marni.
"Sudah Pak, tadi Marni sempat makan di rumah Ibu" jawab Marni.
"Yang benar?" tanyaku lagi.
"Iya Pak" jawab Marni singkat.
"Kebetulan saya belum makan, mau nggak kamu menemani saya makan?" tanyaku lagi.
"Ah malu Pak, masak Marni yang menemani" jawab Marni tersipu.
"Habis saya harus minta ditemani siapa lagi?" tanyaku.
"Iya deh, tapi Marni nemani Bapak saja ya, soalnya Marni sudah kenyang betul" jawab Marni tak dapat menolak ajakanku.
"Terserah kamu, yang penting saya ada teman jalan daripada sendirian seperti orang bingung" lanjutku.
Kukeluarkan mobilku dan kami meluncur menuju pusat kota tempat dimana banyak terdapat warung makan kaki lima. Dalam mobil kami ngobrol dengan santai sambil sekali-sekali melontarkan canda yang membuat Marni gemas sampai berkali-kali mencubit paha dan lenganku.
Sesampainya di pusat kota, kupilih tempat makan dimana kami bisa bersantap tanpa perlu turun dari mobil sehingga dapat meneruskan obrolan dengan lebih leluasa tanpa khawatir "privacy" kami terganggu. Kuarahkan pembicaraan kepada hal-hal yang bersigat pribadi untuk menciptakan suasana romantis di antara kami berdua.
"Mar, aku boleh tanya hal yang pribadi nggak?" tanyaku suatu saat.
"Boleh aja, mau tanya apa sih Pak?" balas Marni bertanya.
"Setelah sekian lama menjanda, ada nggak keinginan kamu untuk kawin lagi?" tanyaku lagi.
"Sebenarnya sih kepingin Pak, tapi nggak ada yang mau kawin sama orang kampung seperti Marni" jawab Marni merendah.
"Siapa bilang, pasti banyak yang naksir kamu soalnya kamu cantik Mar" pujiku mulai melancarkan rayuan.
"Ah, Bapak bisa aja" Marni menunduk tersipu sambil mencubit pahaku.
"Benar Mar, kalau kamu nggak nolak aku mau jadi pacar kamu" rayuku lagi. Marni menatapku sejenak lalu kembali menunduk tersipu.
"Nanti Bapak menyesal, Marni kan sudah janda, nggak murni lagi" jawab Marni kemudian.
"Janda atau gadis nggak penting buat saya, yang penting kamu mau nggak jadi pacar saya?" tanyaku lagi sambil memegang tangan Marni.
Marni terkejut ketika tangannya kupegang, ada usaha untuk melepaskan tangannya dari genggamanku. Tapi itu hanya sejenak, selanjutnya Marni membiarkan tanganku bermain-main dengan jarinya.
"Nggak tahu Pak, Marni bingung harus jawab apa" Marni menjawab sambil terus menunduk.
Kuangkat dagu Marni dengan tanganku yang satu sehingga mata kami beradu pandang.
"Kamu nggak usah bingung Mar, cukup jawab dengan mengangguk kalau mau atau menggeleng kalau nggak mau" kataku mencoba mencairkan ketegangan batin yang dirasakan oleh Marni.
Marni tidak menjawab, dia kembali menunduk tidak berani menatapku.
Kutarik tangan Marni dan kukecup lembut ujung jarinya, dia kembali terkejut dan memandangku sambil berusaha untuk menarik tangannya tapi kutahan.
"Kalau diam berarti mau kan?" serangku lagi.
"Nggak tahu ah, Pak" akhirnya Marni berani menjawab sambil menarik tangannya dan balas menyerang dengan mencubit perutku.
"Auw, sakit Mar" kataku sambil mencoba menghindari serangannya.
"Biarin, habis Bapak bandel" kata Marni sambil mecoba kembali mencubitku.
Kutangkap tangan Marni dan kutatap matanya. Kutarik tangan Marni sehingga tubuhnya mendekat kearahku dan wajah kami hampir bersentuhan. Lalu tanpa meminta izin kepadanya kukecup lembut bibir Marni.
Marni berusaha menghindar tetapi terasa perlawanannya tidaklah sungguh-sungguh sehingga aku berhasil mengecup bibirnya beberapa kali lagi. Kemudian bibir Marni merekah seakan mengizinkanku untuk mengulumnya dan akhirnya kamipun larut dalam ciuman yang hangat dengan saling mengulum bibir. Kurasakan tubuh Marni bergetar halus ketika kami berciuman.
Ketika kami menghentikan ciuman, wajah Marni kembali tertunduk menghindari tatapanku. "Marni jadi malu, Pak" katanya tersipu.
"Malu sama siapa Mar?" tanyaku sambil membelai pipi Marni.
"Malu sama Bapak, soalnya gemetaran waktu Bapak cium seperti anak yang baru pacaran saja" sambung Marni masih tertunduk.
"Kamu sudah lama nggak merasakan ciuman ya?" tanyaku lagi. Marni tak menjawab pertanyaanku, dia hanya mengangguk pelan sambil menatapku.
Kurebahkan sandaran kursi Marni lalu kembali kukulum bibir Marni, kali ini dia membalas mengulum bibirku dan memainkan lidahnya memilin lidahku. Kami berciuman dengan hangatnya dan tangan kamipun mulai saling membelai dan meraba. Kubelai wajah Marni dengan lembut lalu beralih ke lehernya membuat tubuh Marni kembali bergetar menahan geli ketika tanganku membelai daerah sensitif di belakang telinganya.
"Geli Pak" kata Marni sambil melepaskan ciuman.
"Tapi enak kan" kataku sambil kembali mengulum bibir Marni.
"Ehmm.." Marni hanya bergumam sambil membalas ciumanku.
Tanganku terus aktif membelai leher Marni lalu perlahan-lahan turun dan mulai membelai dengan lembut dadanya dari luar gaunnya yang ketat. Marni memegang tanganku tanpa berusaha menahannya, remasan kuat terasa di tanganku pertanda dia memintaku untuk meremas dadanya.
Kuremas dada Marni dengan lembut, membuatnya mulai mengeluarkan desahan halus di sela-sela ciumannya yang makin hangat di bibirku. Dengan kuat Marni mendekap leherku dengan kedua tangannya dan rintihan halus makin sering terdengar keluar dari mulutnya. Puting susu Marni pun terasa mulai mengeras di balik gaunnya. Sambil terus berciuman tanganku membuka kancing gaun Marni satu persatu sehingga tampaklah dadanya yang indah terbungkus BH berwarna putih.
"Dada kamu bagus Mar" bisikku sambil terus meremas dada Marni dari luar BH nya. Marni hanya diam sambil memejamkan matanya seakan memberiku kesempatan untuk berbuat lebih jauh dengan dadanya.
Kusingkapkan BH Marni ke atas dan tampaklah puting susu yang berwarna kecoklatan basah oleh peluh yang mulai membasahi tubuhnya. Kusentuhkan ujung lidahku menyapu lingkaran di sekeliling puting Marni membuatnya menggelinjang menahan geli, lalu dengan lembut kuhisap perlahan sambil memainkan ujung lidahku menggelitik puting itu. Marni kian kuat mendekapkan kepalaku di dadanya sambil mendesah dan merintih merasakan nikmat yang disalurkan oleh lidahku di dadanya.
Bersambung . . .
Komentar
0 Komentar untuk "Cinta lokasi - 1"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.