"In vijftien minuten, zullen wij bij Parijs aankomen.."
Merinding bulu kuduk saya ketika tour guide mengumumkan dalam bahasa Belanda bahwa bus yang saya tumpangi akan tiba di tujuan dalam waktu 15 menit. Keletihan tubuh karena 8 jam duduk di bus dikalahkan oleh keinginan melihat kota yang begitu diagung-agungkan oleh para pecinta yang romantis: Paris!
Sebelumnya, sekalipun di dalam mimpi, saya tidak pernah membayangkan akan berada di sini. Krisis ekonomi di Indonesia yang meluluh-lantakkan karir dan kehidupan saya, ternyata membelokkan alur perjalanan hidup saya.
Saya mengalihkan pandangan saya keluar, terlihat beberapa pesawat di Charles de Gaulle airport. Tanpa saya sadari, mobil yang lalu lalang di highway A1 yang berawal dari Belgia ini bertambah banyak. Perhatian saya segera tertuju ke apartemen-apartemen yang kini berserakan di pinggiran highway. Tidak terlihat adanya perumahan, ciri khas kota metropolitan.
Steve, William, dan Agung teman kuliah saya yang berasal dari Singapore, Malaysia dan Indonesia juga terdiam menunggu tibanya bus tersebut di hotel yang akan didiami selama empat malam. Kemacetan di jalan raya semakin bertambah, apalagi ketika bus keluar dari highway dan menuju jalanan yang lebih kecil. Dengan tidak sabaran saya memperhatikan jam tangan saya yang sudah menunjukkan pukul 16:45. Di ufuk barat, mentari musim dingin mulai menyembunyikan dirinya.
"Come on, lets go out for nice dinner.." Steve yang sekamar dengan saya mengajak makan malam. Memang, perut saya yang kosong sudah meminta sesuatu buat dicerna. Siraman air hangat sewaktu mandi menghilangkan keletihan tubuh saya dan mengantinya dengan perasaan lapar.
Berjalan kaki, kami menyusuri kota Paris. Kota ini begitu istimewa, keramaian dan kemacetan jalannya mengingatkan saya pada London. Tetapi design bangunan dengan ukiran dan patung-patungnya sangat mencolok dan berbeda. Hampir setiap bangunan mempunyai ciri khasnya masing-masing dan begitu indah.
Sebuah Chinese restaurant di Boulevard Montmarte menarik minat kami. Perut-perut yang keroncongan akhirnya berteriak kegirangan ketika nasi dan beberapa lauk menganjalnya. Memang perut Asia kami lebih menikmati nasi dibandingkan roti.
Dengan tambahan energy dari makanan, perjalanan menyusuri kota Paris dilanjutkan kembali. Di sepanjang jalan Boulevard Montmarte ini hadir toko yang banyak menjual parfum, pakaian dan makanan. Louis Vuitton, Giorgio Armani, Christian Dior, dsbnya seakan-akan berlomba memamerkan produk-produk terbarunya.
"Eh, Hard Rock Caf Paris!" seru William tiba-tiba, "Lets have some drinks."
Segelas Southern Comfort memberikan kehangatan kepada tubuh saya. Duduk berempat di caf yang masih sepi, kami membicarakan keindahan kota yang menakjubkan ini.
Selesai minum, kami berjalan keluar melalui toko yang menjual sourvenir Hard Rock. Tertarik oleh kaos hitam special edition caf tsb, saya mengantri di belakang dua orang cewek yang lumayan manis. Perhatian saya segera tertuju ke mereka ketika mereka mengobrol. Mereka menggunakan bahasa Indonesia! Aneh rasanya mendengar bahasa tersebut di tempat yang begitu jauh.
"Hallo, dari Indonesia ya?" sapa saya ramah.
Mata kedua gadis di depan saya terbelalak, kaget.
"Iiiyaa.." jawab gadis yang berdiri di depan saya. Tubuhnya yang kecil tertutup oleh jaket tebal berwarna hitam. Rambutnya yang pendek dicat merah dan matanya yang bulat terlihat jernih.
Perkenalan pun berlanjut, gadis tersebut bernama Diana dan temannya bernama Elisabeth. Sungguh enak mengobrol menggunakan bahasa yang sudah lebih dari satu tahun tidak pernah saya pakai. Alangkah sayangnya, pertemuan sekitar 10 menit tersebut harus berakhir ketika mereka berjalan meninggalkan caf tersebut bersama teman-teman mereka. Entah karena suasana Paris yang romantis, atau kerinduan akan cewek setanah air, atau karena mata Diana yang bulat dan jernih, jiwa saya seakan-akan terbang bersama mereka. Saya termenung melihat mereka menghilang di keramaian kota.
Bodoh! Goblok! Kenapa tidak meminta nomor telepon? Atau e-mail? Penyesalan datang melingkupi diri saya sesudah pertemuan tersebut. Perasaan menyesal ini semakin menggelora ketika keesokan harinya saya mengunjungi menara Eiffel. Seandainya saja saya bisa menikmati keromantisan kota Paris bersama Diana. Seandainya..
Sang Pencipta ternyata mengasihani jiwa yang penat menahan dahaga kasih sayang ini. Di bawah Eiffel tower Sang Pencipta menunjukkan kekuasaannya. Diana bersama temannya berdiri di salah satu kaki Eiffel Tower, menunggu kesempatan untuk naik ke menara tersebut. Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Segera saya membeli empat tiket yang berharga total 180 franc dan ikutan mengantri.
"Diana.." panggil saya, "Ketemu lagi!"
"Ehh.. kamu.." dia kaget. Tetapi dari sinar matanya saya tahu kalau dia juga merasa senang. Dan ini membuat jiwa saya melayang-layang.
Pembicaraan akrab berlanjut kembali. Diana dan teman-temannya kuliah perhotelan di Switzerland. Dia sudah lebih dari 3 tahun di sana dan ini adalah tahun terakhirnya. Teman-temannya berasal dari sekolah yang sama, cuma beberapa dari mereka masih berada di tingkat pertama atau kedua.
Saya berusaha selalu berdekatan dengan Diana, dan mengenalnya lebih jauh. Jangan mau kehilangan dia lagi.. bisik hati saya. Di lantai dua Eiffel Tower kami berfoto bersama. Saat mempunyai kesempatan berdua, saya berbisik di telinganya, "Semalaman saya memikirkan kamu." Matanya yang bening menatap saya dan dia berbisik lirih, "Saya juga." Ingin rasanya saya berteriak dan melompat kegirangan.
"On the romantic Seine's river bank, the lovers go hand by hand."
Perjalanan menggunakan kapal menyusuri sungai Seine melewati 22 jembatan merupakan pengalaman yang tidak terlupakan. Dari kapal yang kami tumpangi, kami bisa melihat pasangan yang sedang mabuk cinta bergandengan tangan dan berciuman di tepi sungai yang membelah kota Paris tersebut.
Bulu kuduk saya merinding ketika kami melewati gereja Notre Dame yang terkenal dengan cerita The Hunchback of Notre Dame-nya. Bangunan yang persis sama dengan bangunan di film kartun yang saya tonton. Di sebelah saya Diana terlihat termenung, entah apa yang sedang dipikirkan.
"When you pass this oldest bridge in Paris, close your eyes and make your wish. It will come true."
Saya menutup mata saya dan diam-diam menyatakan harapan saya. Diana juga menutup matanya dan menyatakan harapannya. Seandainya saja saya tahu apa yang dia minta, akan saya penuhi apapun keinginannya.
Melalui jalan mendaki menuju gereja Sacre Coeur, saya mencoba memegang tangan Diana yang tertutup sarung tangan merahnya. Dia tidak menolak! Di sebelah saya Steve terlihat akrab dengan Elisabeth. Mereka bercanda dengan mesranya. Memang, di kota ini cinta mudah sekali bersemi.
Jam baru menunjukkan pukul 17:30, namun mentari sudah bersembunyi di peraduannya. Dari halaman gereja berwarna putih yang terletak di atas bukit ini, saya kehilangan kata-kata saya. Di depan saya terpampang kota Paris dengan lampu-lampunya yang berwarna-warni, begitu menakjubkan. Dari kejauhan terlihat Eiffel Tower yang terang benderang. Saya memberanikan diri untuk memeluk tubuh Diana. Pelukan yang tidak saya lepaskan sampai kami kembali ke kamar hotel mereka.
Saya berbaring di kasur sambil melanjutkan pelukan saya. Lengan Diana melingkari leher saya dan kepalanya menyender di dada saya. Di kasur sebelah saya Steve dan Elisabeth sedang bercanda mesra.
Kekuatan cinta saya membuat saya berani mencium pipinya, tanpa mempedulikan Steve dan Elisabeth. Diana cuma tersenyum misterius. Ciuman saya kemudian berlanjut ke bibirnya yang merah merekah. Terasa bibirnya yang sedikit kering karena dinginnya angin musim dingin.
Kegilaan kami bertambah ketika Elisabeth memadamkan lampu kamar. Dari sinar yang masuk lewat jendela, saya bisa melihat mata Diana yang sendu. Seperti magnet, bibir saya kembali tertarik ke bibirnya, saling berpagutan dengan mesranya. Perlahan Diana menarik selimut menutupi tubuhnya. Saya menganggap tindakan dia sebagai undangan untuk melakukan hal yang lebih jauh. Saya ikutan menyusup ke dalam selimut.
Jari-jari tangan saya mulai bergerilya menyusuri sepasang gunung Diana yang masih tertutup sweater. Usaha mencari puncak gunung tersebut agak terganjal oleh tebalnya sweater dan bra yang masih dikenakannya. Namun kekenyalan gunung tersebut membuat tangan saya betah bermain di sana, meremas dan meremas.
Kemudian tangan saya menyusup ke balik sweaternya dan menyusuri kulit perutnya yang mulus menuju dadanya. Dengan lincah jari tangan saya menyusup ke branya. Ketika ujung gunung kembarnya tersentuh, tanpa ampun jari-jari tangan saya bermain di sana.
Jari tangan Diana ternyata tidak tinggal diam. Kedua tangannya beralih ke ikat pinggang saya dan berjuang melepasnya. Jari tangannya yang cekatan berhasil melepas ikat pinggang saya diikuti celana jeans dan celana dalam saya. Ketika terlepas, saya menendang celana tersebut keluar. Batang kemaluan saya yang terkekang berjam-jam segera berontak menunjukkan kekuatannya.
Belaian tangan Diana membuat batang tersebut mencapai kekerasan dan ukuran maksimumnya. Tidak sabar, Diana membuka sendiri celana jeans dan celana dalamnya. Sesudah itu dia berbaring membelakangi saya, sepasang pinggul montok dan mulus menekan batang kemaluan saya, menan- tang dia untuk bertindak lebih lanjut.
Dengan tubuh masih tertutup selimut, jari tangan saya menuju daerah kemaluannya. Terasa oleh tangan saya rambut yang keras dan pendek. Rupanya rambut tersebut dicukur! Jari tangan saya akhirnya bermain di daerah klirotisnya, memutar dan kadang menggosok dengan cepat. Sekali-kali jari tangan saya masuk ke dalam liang kewanitaannya yang sudah basah oleh cairan kewanitaannya.
Mata saya beralih sebentar ke kasur sebelah. Steve dan Elisabeth rupanya tidak mau kalah, terlihat tubuh mereka yang juga tertutup selimut saling menindih.
Akhirnya saya menggerakkan batang kemaluan saya yang sudah tidak sabar menuju rongga fovaritnya. Dari belakang saya mencoba memasukkan batang tersebut, lumayan susah. Dengan tuntunan tangan Diana, akhirnya batang tersebut berhasil menyusuri goa kewanitaannya yang sudah basah kuyub. Cengkraman otot liang kewanitaan Diana pada batang kemaluan saya membuat saya memejamkan mata. Saya menggerakkan batang kemaluan saya, keluar masuk, keluar masuk. Jari tangan saya masih bermain di daerah klitorisnya.
"Ahh.." terdengar desahan Steve. Rupanya dia sudah mencapai pulau kenikmatan bersama Elisabeth.
Sekitar 5 menit kemudian, Diana menjerit histeris tanpa mempedulikan kehadiran Steve dan Elisabeth di ruangan tersebut. Satu badai kenikmatan sudah dilalui.
"Kamu di atas ya.." bisik Diana dengan nafas terengah-engah.
Saya mengambil posisi di atas, Diana dan kembali memasukkan batang kesayangan saya. Kegiatan keluar masuk yang tidak pernah membosankan tersebut kembali berlanjut. Goyangan pinggul Diana menambah kenikmatan yang saya rasakan. Tanpa kami sadari, selimut yang menutupi tubuh kami terbuka memamerkan kekekaran tubuh saya dan sepasang buah dada Diana yang menjulang indah. Saya membungkukkan tubuh berusaha menjangkau puncak gunung tersebut dengan lidah saya. Karena tubuh saya yang jauh lebih tinggi, saya tidak berhasil melakukannya.
Tiba-tiba terasa ada kepala di samping saya. Saya tercegang, rupanya Elisabeth sudah berdiri di sebelah tubuh Diana. Matanya yang sayu menatap wajah Diana. Perlahan dia mendorong tubuh saya ke atas dan dia menggerakkan mulutnya yang munggil ke gunung kembar Diana. Dia menjulurkan lidahnya dan bermain di sana. Diana membuka matanya yang tersenyum. Dia membelai rambut Elisabeth!
Gila! Kata pertama yang melintas di kepala saya.
Peduli Amat! Kata kedua yang membuat saya memutuskan untuk jalan terus.
Saya memperbaiki posisi saya, tangan saya menahan sepasang kaki Diana yang tertekuk membentuk sudut 90 derajat dengan tubuhnya dan dengan posisi berlutut saya memasukkan batang kemaluan saya setelah sebelumnya menganjal pinggulnya dengan bantal.
Selanjutnya hujaman batang kemaluan saya semakin ganas, sementara lidah Elisabeth masih bermain di dada Diana. Tidak terlukiskan dengan kata teriakan histeris Diana saat itu. Teriakan Diana, pemandangan lidah Elisabeth yang sedang bermain di buah dadanya Diana, dan perasaan sayang yang menggebu-gebu membuat saya tidak bisa bertahan lama walaupun segala teknik menahan ejakulasi sudah saya keluarkan. Akhirnya batang kemaluan saya menumpahkan cairan putihnya di dalam tubuh Diana.
Tetesan air mata mengantar perpisahan kami berpisah di tanggal 30 Desember 2000. Saya kembali ke Amsterdam dan dia kembali ke Swiss. Sampai saat ini, harapan saya saat melewati jembatan tertua di kota Paris tidak terpenuhi. Sebenarnya harapan saya adalah, "Hidup berbahagia bersama Diana selamanya!"
"Saya tidak pernah bisa mempercayai lelaki kembali. Tiga tahun lalu di sini, Paris, saya menyerahkan milik saya yang paling berharga kepada pria yang sangat saya sayangi. Ternyata dia penipu, dia sudah beristeri. Luka tersebut meninggalkan bekas yang sangat dalam dan tidak ada satu lelakipun yang bisa menyembuhkannya, saya berbahagia bisa bertemu dengan kamu."
"Diana.. Diana.. mengapa kamu tidak mau memberikan kesempatan kepada saya? Akan saya buktikan bahwa tidak semua lelaki itu bangsat! Cinta memang mengakibatkan luka, namun luka tersebut hanya bisa disembuhkan kembali oleh cinta." Cuma itulah yang bisa ucapkan ketika membaca mail terakhirnya.
Para pembaca saya tunggu komentarnya, silakan kirim via e-mail.
TAMAT
Komentar
0 Komentar untuk "Cinta dan luka"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.