"Jack.." ujarnya lirih, "Kamu tahu kenapa Mbak menyumpal kain ke Beha Mbak?"
Aku menggeleng tanda tak tahu. "Itu karena Mbak merasa kesakitan sebab susu Mbak baru tumbuh."
Aku terdiam tak bisa berkata-kata. Napasnya terdengar teratur, terbukti dari helaan di dadanya yang turun naik dengan lembut. Untungnya suasana sangat mendukung hingga semua penghuni rumah tak mengganggu kami lagi. Mungkin mereka sibuk dengan proyek 'mengatasi kebocoran' atau memang telah terkurung di kamar masing-masing, menikmati dinginnya musim penghujan di penghujung bulan januari. Yang jelas aku makin tak perduli. Ku dekatkan tubuhku ke bibir ranjang di mana Mbak Sekar berada.
"Dingin ya Mbak" gumamku mencari dalih agar aku di dekap Mbak Sekar, hal yang senantiasa ia lakukan bila melihatku agak menggigil selepas di mandikan. Benar dugaanku, Mbak Sekar, segera beringsut menggapai tubuhku yang memang kurasa agak mulai merinding terserang hawa dingin. Kedua tangannya mulai bergerak merangkul bahuku, dan menekan tubuh mungilku ke tubuhnya. Tapi.. Lagi-lagi..
"Auh.. Sakit!"
"Wah.. Kesenggol lagi ya Mbak?" tanyaku sambil mencoba bangkit, meneliti tangan mana yang telah kurang ajar menyakiti payudara Mbak Sekar. Di sela nyeri menahan sakit. Mbak Sekar tersenyum melihat kelakuanku.
"Essh.. Jangan tangannya yang disalahkan, tapi kepala jack yang telah menyenggolnya," ucapnya sambil mendesis lirih menahan nyeri.
Rasa penasaran menuntunku berani memperhatikan payudara Mbak Sekar lebih dekat. Meski hampir sepenuhnya terbuka, akibat insiden tadi, terus terang aku tidak bisa melihat dengan jelas. Biang keladinya tentu saja sinar lampu teplok yang tak seterang lampu jaman Sekarang. Jadi meski sudah memicingkan mata, tetap saja obyek yang sedang ku amati tampak kabur.
Aku jadi penasaran, ingin tahu seperti apa penyakit yang di derita oleh Mbak Sekar. Makanya aku langsung mengambil inisiatif mendekatkan lampu teplok di dinding ke arah meja dekat ranjang Mbak Sekar. Nah, ini baru jelas, bahkan urat kehijauan di dekat lingkar putingnya nampak sangat atraktif membentuk kali grafi alamiah.
"Ehh.. Jangan terlalu dekat, nanti rambut Mbak kebakar," tentu saja ucapannya hanya bercanda, tapi tetap saja aku kaget di buatnya, hingga tak kusadari aku secara reflek menjauhkan lampu teplok itu dari meja. Tapi rasa penasaran yang belum tertuntaskan, membuatku enggan menjauhi tubuh Mbak Sekar.
"Masih terasa sakit ya Mbak?" tanyaku, yang tanpa meminta persetujuan darinya mencoba meraba benjolan di dada Mbak Sekar.
"Aduh.. bukan begitu cara memegangnya," kembali Mbak Sekar menjerit lirih saat pangkal putingnya teraba jariku. Aku memang kurang sabaran saat berusaha menjangkau payudaranya. Ku pikir toh tak ada bedanya kalau aku juga lagi memegang 'payudaraku' sendiri.
"Jack, anak perempuan dengan anak laki-laki berbeda. Kalau Mbak punya payudara, kamu hanya punya puting susu, yang tidak akan sebesar punya Mbak nantinya," sambil berkata, tangannya menjangkau tubuh bagian depanku, tepat di dadaku, dan dengan lembut membelai puting susuku yang masih tertutup oleh kaos bergambar tokoh kartun Flash Gordon. Di perlakukan demikian, aku menggelinjang kegelian karena, jangankan puting susuku yang di raba, tangan, kaki, perut atau bahkan rambut di kepalaku, akan terasa sangat geli jika tersentuh orang lain. Reflek, Mbak Sekar mencoba menutupi mulutku dengan telapak tangannya, begitu melihat gejala aku nyaris terpingkal karena kegelian.
"Psst, jangan ketawa.. berisik," bisiknya sambil berusaha menenangkanku.
Kali ini bukan saja tangan kanannya yang membekap mulutku, tapi tangan satunya tak terasa mulai mengelus punggung dan bahuku. Sejenak aku merasa tenang, dan perlahan aku kembali berusaha menggapai payudara Mbak Sekar. Tapi kali ini lebih lembut dan penuh penghayatan.
"Shh.. Uhh," ia mendesah.
Aku tak tahu apakah ia merasa sakit, atau kegelian. Yang pasti aku mulai menyukai aktivitas baru ini. Sayup-sayup aku seperti mendengar gumaman tidak jelas dari dalam mulutnya.
"Coba dari tadi cara mengusapnya begini, Mbak nggak akan merasa sakit," bisiknya lagi nyaris tak bisa kudengar, karena suara hujan yang di tingkahi gelegar petir, terkadang membuat pembicaraan kami sering terinterupsi.
"Mbak lihat, 'burungku' jadi berdiri!," seraya menunjukkan benjolan di celanaku.
Mbak Sekar cuma tersenyum. Tapi ia sama sekali tak bereaksi atas kejadian itu. Tentu saja aku jadi kesal karena merasa di cuekin. Serta merta, akTVitasku kuhentikan sebagai bentuk protes atas perlakuan yang telah kuterima. Mbak Sekarpun jadi bingung tak tahu mesti berbuat apa. Kelak di kemudian hari, baru aku tahu, ternyata ia sama begonya denganku, tak mengerti mesti melakukan apa bila hal itu terjadi. Yah.. Maklum, anak kecil, masih buta soal seks.
"Jack.. Mau kemana?" tanyanya saat tahu aku bergegas ingin meninggalkan biliknya. Aku tak menjawab, dan langsung berlari, meninggalkannya.
Saat itu aku benar-benar tersiksa. Coba bayangkan, bagaimana tidak nyamannya, bila penis kita tegang terus menerus, tanpa tahu harus diapakan. Kepala penisku terasa menyundul-nyundul, kain resleting celana pendekku. Biasanya, aku juga sering ereksi bila bangun di pagi hari, tapi akan hilang dengan sendirinya bila telah buang air kecil, atau terguyur oleh air dingin. Tiba-tiba aku seperti di ingatkan, kenapa tak kucoba cara ini buat mengatasi 'ngaceng' yang kebablasan ini?
Pertama-tama tentu saja aku berusaha ke kamar mandi guna memaksa si 'kecil' ini untuk bisa kencing. Ternyata tak mudah 'mengencingkan diri' bila memang tak ingin buang air kecil. Langkah selanjutnya tentu saja, merendam nya ke dalam gayung berisi air dingin, dengan harapan.Ia segera layu dan tertidur pulas layaknya sebelum terstimulasi. Akhirnya, dengan putus asa, aku terpaksa membawa 'si otong' yang basah kuyup tapi tetap tegak menantang, ke bilik tidurku sendiri.
Berjingkat aku masuk ke bilikku, takut mengganggu nenek yang sedang tidur. Aku memang masih tidur dengan nenekku, di ranjang besar terbuat dari kayu jati yang sudah tampak usang. Aku perhatikan dengan seksama raut muka nenek yang keriput di makan usia. Saat peristiwa itu terjadi, Nenek berusia 70 tahun atau lebih. Ke mana-mana menggunakan tongkat, untuk menyangga tubuhnya yang mulai membungkuk, tapi soal vitalitas, jangan tanya! Orang bilang, mungkin ini yang di sebut Post-powersyndrome.
Lagaknya masih seperti ketika ia muda di jaman Tempo Doeloe. Dulunya, ia bekas istri seorang Ambtenaar, makanya masih sering menunjukkan prilaku layaknya pejabat. Di rumah, dialah sang penguasa. Tak seorangpun yang berani menatapnya kala ia berkata-kata, atau membantahnya, saat ia memberi perintah. Ucapannya adalah hukum yang harus di patuhi! Meski telah sangat pelan aku menaiki tempat tidur tersebut, tak urung, pendengaran nenek yang masih sepeka Radar, mampu mendeteksi kedatanganku.
"Dari mana saja kog nggak cepat tidur?!" nadanya bertanya sekaligus menghardik.
"Dari kamar mandi," jawabku sekenanya.
Ah, paling juga enggak akan ada pertanyaan lagi, seperti biasanya kalau lagi nanyain aku menjelang tidur. Dugaanku tak salah, Nenek tak melanjutkan lagi intrograsinya. Phew.. Aman. Akupun mencoba berbaring di samping Nenek, membelakangi punggungnya. Rinai hujan di luar rumah masih terdengar agak riuh, meski tak selebat tadi. Tapi tetap saja ada yang terasa mengganjal di sela-sela selangkanganku. Ya, penisku belum mampu ku tidurkan. Aku berusaha tak melakukan apa-apa, mencoba mencueki keadaan itu, dengan dua tujuan;
1. Biar penisku tahu rasa; "Emang enak di cuekin?"
2. Menciptakan suasana kondusif, aman terkendali, dan meminimalisir resiko dari pantauan dan pemeriksaan Nenek, yang mungkin saja terbangun dan melakukan investigasi, bila aku masih saja berulah, berusaha memadamkan 'ketegangan' penisku.
Suasana sepi yang memagut, memaksaku untuk terpejam, meski terasa sulit. Dan selalu, seperti malam-malam sebelum malam itu, aku seperti merasakan ada gerakan kecil, menimbulkan suara gemeretak di alas tidur yang ku tempati. Seperti telah ku paparkan, ranjang kayu jati yang kutempati, memang telah usang. Makanya, gerakan sekecil apapun, akan menimbulkan bunyi berderit atau gemeretak karena engsel sambungan kayunya telah longgar.
Mulanya aku tak pernah mempedulikan hal itu, ku anggap itu hal wajar yang memang seharusnya terjadi pada perabotan kayu yang menjelang lapuk. Tapi, yang ini benar-benar mendebarkan. Saat setengah sadar ada suara aneh yang senantiasa terulang tiap malam, ternyata adalah gerakan Nenek yang tengah mencabut sesuatu dari sela-sela kain batiknya.
Posisinya yang telentang, tampak mengangkang, dengan posisi lutut tertekuk ke atas, tetapi masih mengenakan jarik [kain batik khas jawa-pen], sehingga secara sekilas akan menyamarkan aktivitas di balik kain yang di kenakan. Malam itu, jantungku berdetak 3 kali lebih kencang dari biasanya. Tanpa sedikitpun bergerak, aku coba mengamati apa yang telah di lakukan Nenek. Tampaknya Ia tak menyadari bahwa aku tengah mengintai dari balik sarung yang ku gunakan sebagai selimut.
Awalnya hanya ingin tahu saja, apa yang telah di lakukan Nenek, tapi, aku justru terasa makin menderita. Saat menjelang tidur, telah ku ceritakan bagaimana perjuangan ku mencoba menundukkan penisku yang menegang. Sebenarnya hal itu tak menggangguku lagi, begitu aku terlelap. Tapi kini, di suguhi pemandangan yang luar biasa ini, mau tak mau aku mesti menanggung resiko merasakan kemaluanku berdenyut lebih kencang dan tentu saja, lebih menyakitkan karena terbungkus kain celana pendekku.
"Uuh.. Sial benar," tukasku menggerutu.
Ingin rasanya secepatnya melepas penjara bagi kemaluanku yang tampaknya menegang tak terkendali, bahkan kalau boleh jujur, sebenarnya telah sampai pada fase. Ngilu dan menyakitkan. Ini akan sangat dilematis bagiku. Membiarkannya, berarti neraka, tapi kalau untuk melepasnya, jelas hal yang tak mungkin, mengingat sekecil apapun gerakan tak wajarku, Nenek akan curiga, dan show nya pasti sertamerta b e r a k h i r. Yang pasti, aku nggak ingin ini terjadi, nggak ingin.
Lagi-lagi tangan keriput itu menelusup di balik kain Kemben [sejenis assesoris pakaian adat jawa-pen], yang ternyata telah di longgarkan ikatannya, sehingga dengan mudahnya, tangan Nenek keluar masuk di sekitar pangkal pahanya. Begitu telah sampai di kemaluannya, tangan itu berhenti agak lama di situ. Aku hanya bisa menduga-duga, barangkali ada sesuatu yang di cari oleh nenek di situ. Tentu saja perkiraanku ini di dasari oleh kenyataan, ketika terasa ada sentakan khas, yang sebenarnya membuat suara ranjang berderit, nenek segera mengangkat tangan itu dan mendekatkan ke hidungnya, seperti sedang mencium sesuatu di antara jari telunjuk dan ibu jarinya. Dan setelah hidungnya mengendus-ngendus, kembali tangannya menelusup.
Bersambung . . .
Komentar
0 Komentar untuk "Gelora di bukit tandus - 2"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.