"Hallo.. Apa khabar Man? Gua lagi cuti neh, sekalian mau kangen-kangenan sama elo"
"Ok, jam 8, gua datang, di tempat biasa khan?"
Pembicaraan kuakhiri dengan menutup handphone di tanganku, meletakkannya di atas meja, dan langsung menghempaskan tubuhku di atas ranjang, "Waktu masih panjang untuk menepati janjiku dan aku bisa melelapkan diri dalam tidur terlebih dahulu" ucapku pelan.
Jam 8 tepat aku tiba di Kafe Rainbow, tempat di mana aku sering nongkrong bersama Erwin, teman baik dan mungkin sangat sangat baik menurutku. Persahabatan kami terjalin 10 tahun yang lalu, saat itu kami bersekolah di salah satu Sekolah Tekhnologi Menengah Swasta di kota ini. Aku memperpendek studyku dengan mengambil study Teknik Management Informatika dengan gelar D3 agar bisa cepat bekerja selepas STM sementara Erwin terus melanjutkan studynya sesuai dengan cita-citanya menjadi seorang Insinyur.
Perpisahan kami saat aku mendapatkan pekerjaan dan ditempatkan di luar kota, namun tidak menjadikan persahabatan kami terputus, kami sering kontak dengan telepon dan aku sangat berterimakasih dengan alat komunikasi yang sangat-sangat canggih ini, apalagi sekarang dengan adanya handphone, sehingga aku bisa memanfaatkan fasilitas SMS untuk mencurahkan hatiku, menceritakan berbagai masalahku kepada Erwin dan Sahabatku itu dengan setia mendengarkan dan solusi yang diberikannya sangat membantuku. Wawasannya yang luas, tegas, percaya diri dan berani mengambil sikap membuat aku mengaguminya dan justru aku yang bergantung kepadanya.
"Elo jangan menjadi lembek begitu, cobalah merubah sikap lo, pasti elo bisa, cobalah mengambil keputusan yang elo anggap benar, gua yakin elo pasti bisa" kata-katanya memberikan spirit kepadaku untuk merubah sifat negatifku, dan perlahan-lahan aku merubahnya dan aku harus yakin bahwa aku pasti bisa, katanya. Namun ada sifat jelekku yang tidak bisa aku rubah dan ini mungkin takdirku aku rasa, aku menyukai laki-laki.
Cukup lama aku menunggu, tidak mungkin Erwin mengingkari janjinya, aku tahu betul watak sahabatku tersebut dan aku memutuskan untuk meneleponnya saja.
"Elo di mana?" tanyaku.
"Lho, justru elo ada di mana, gua sudah sampai 15 menit yang lalu" jawabnya dan memberitahukan posisinya dengan cepat aku memutar kepalaku 90 derajat dan melihat Erwin di pojok, duduk di bangku paling belakang. Aku langsung menghampiri Erwin, Kami tertawa, saling berjabat tangan dan berpelukkan.
"Ah, pangling gua" ucapnya melihat kondisi ku yang begitu banyak perubahan menurutnya dan demikian juga halnya denganku, Erwin juga banyak perubahan menurutku.
"Sudah 2 tahun lebih yah" ucapnya memperhatikanku dengan seksama sambil tersenyum.
"Sejak kapan elo pakai kaca mata?" tanyanya lagi.
"Setahun yang lalu" jawabku.
"Wah, elo sekarang banyak perubahannya, semakin tampan saja" ucapnya lagi.
"Banyakkan elo lah, dari dulu gua enggak bisa mengimbangi ketampanan elo" jawabku lagi dan menyindir penampilannya yang sedikit kusam dengan bulu-bulu halus yang menghiasi pipi, dagu dan di atas bibirnya.
"Mungkin penampilan calon Insinyur seperti elo ini yah"
"Gua belum sempat cukuran, dari kampus langsung ke sini" jawabnya sambil mengelus rambut-rambut halus di pipinya.
"Tapi elo tambah tampan kok dengan begitu, tambah macho" memujinya.
Kami terus ngobrol, tertawa dan lain-lain, mengingat-ingat memori masa-masa kami bersama dan obrolan berlanjut di dalam mobil. Tak lepas tawaan, senyuman dan sesekali di selingi dengan suara sumbang kami yang menyanyikan lagu favorit kami. Tanganku merangkul pundak Erwin yang sedang menyetir mobilnya, dan bersama-sama bernyanyi dengan suara yang fals. Erwin menatapku, saat tanganku menjangkau selangkangannya, meremas kontolnya.
"Penyakit lama lo, belum sembuh juga" ucapnya menyindir.
"Aku tidak bisa, mungkin aku ditakdirkan untuk menjadi begini, menjadi orang yang menyukai dari jenis kelaminku sendiri" ucapku sambil menatapnya.
"Elo, harus merubahnya, elo pasti bisa Ki"
"Gua sudah mencobanya, gua sudah mencoba beberapa kali menjalin asmara dengan wanita, gagal dan selalu gagal, hambar gua rasa menjalin asmara dengan lain jenis gua, dan gua selalu berpaling dengan sesama jenis yang membuat gua merasakan sesuatu dan semakin bersemangat untuk hidup. Perasaan gua memandang laki-laki sama halnya dengan pandangan elo dengan wanita, sebagaimana elo menyukai wanita bigitu juga pandangan gua, bagaimana elo menyukai tubuh lawan jenismu, menyukai payudaranya atau menyukai kelaminnya, demikian juga dengan pandangan gua terhadap laki-laki, Win" ucapku pelan.
"Mungkin gua ditakdirkan untuk menjadi begini, dan gua tidak ingin menjadi orang munafik, dan akan menganggapnya, melakoninya apa adanya selama itu tidak mengganggu orang lain dan membuat jiwaku tentram" ucapku lagi.
Erwin hanya diam saja dan tidak berkomentar atau menolak tanganku yang terus meremas-remas kontolnya. Sejak berteman dengannya aku sering melakukannya, meremas-remas kontol temanku tersebut, mengocok-ngocoknya hingga maninya muncrat keluar. Permainanku semakin gila disaat kami sama-sama menginjak masa dewasa, aku melakukan oral sex pada kontolnya, aku mengisap-isap kontolnya, menelannya hingga pangkal batangnya, mengocok-ngocoknya dengan mulutku dan selama itu Erwin tidak pernah menolaknya dan justru sahabatku tersebut menikmatinya hingga maninya muncrat membasahi mulut dan kerongkonganku. Kenikmatan yang aku rasakan saat maninya memenuhi rongga mulutku dan kepuasan bagiku bisa memberikan kenikmatan sekaligus kegelian pada temanku tersebut.
"Elo pernah mengentot dengan lawan jenis?" tanya Erwin membuka suara.
"Yah, beberapa kali, namun seperti yang gua katakan, gua hambar melakukannya, justru gua merasa puas dan sangat-sangat puas melakukannya dengan sesama jenis, gua melakukannya beberapa kali, menyodomi lubang pantatnya dan dia juga melakukan hal sama pada lubang pantat gua, dan jika elo mau menyodomi lubang pantat gua, gua akan senang sekali" ucapku pelan.
"Elo sahabat gua yang paling baik di dunia ini Win, dan mungkin cinta pertama gua hanya dengan elo, namun kita berbeda dalam hal mencintai, dan itu gua anggap tidak masalah dan sangat-sangat menerima hal tersebut, tapi setidaknya gua ingin memberikan sesuatu kepada elo dan bukannya menjerumuskan elo ke dunia gua. Gua mau elo menerimanya, melakukannya dengan gua sehingga gua puas, yah merasa puas telah memberikan sesuatu pada elo walau persahabatan kita akan putus nantinya walau gua tidak sangat mengharapkannya, gua merasa puas memberikan kenikmatan kepada elo, disitulah kepuasan gua, Win" ucapku dengan suara pelan.
Erwin memegang tangan gua, "Persahabatan kita tidak akan putus, percayalah" ucapnya menatapku, aku tersenyum dengan perasaan lega.
Akhirnya kami tiba di rumah Erwin, rumah yang masih dalam kondisi yang sama saat aku tinggalkan. Dahulu aku sering menginap di rumah temanku tersebut dan aku mengenal dengan baik keluarganya dan begitu ramah terhadapku.
"Selamat malam Om, malam Tan" sapaku pada orang tua Erwin dan menyalaminya yang lagi duduk santai di teras depan. Kedua orang tersebut heran dan bertanya-tanya tentunya, melihat raut mukanya yang berubah tersebut. Aku langsung memperkenalkan diri, agar keheranan dan pertanyaan dalam hati kedua orang tersebut segera langsung terjawab.
"Diki toh, wahh.. Tante sampai pangling" ucap Ibu Erwin tersenyum setelah mengetahui siapa aku sebenarnya. Aku bergabung dan mengobrol dengan orang tua Erwin, tak lupa memberikan oleh-oleh yang aku bawa untuk mereka.
Beberapa lama kemudian Erwin menemuiku dan mengajakku masuk. Kami langsung masuk ke dalam kamar. Erwin membuka bungkusan oleh-oelh yang aku berikan kepadanya, sedikit kaget melihat isinya.
"Sempakk?" ucapnya tersenyum.
"Perhatian sekali elo, pacar gua saja enggak pernah memberikan barang seperti ini" ucapnya lagi.
Aku menghampirinya, mengelus badannya yang padat berisi dan telanjang tersebut, dia sudah selesai mandi ternyata, saat aku mengobrol di teras dengan orang tuanya. Memakai celana pendek dan menelanjangi badannya. Aku sangat memahami kondisi Erwin saat berada di dalam rumah.
"Coba elo pakai, elo akan bertambah tampan dan sexy" ucapku.
"Sexy menurut elo" ucapnya tersenyum.
Akhirnya sedikit paksaan Erwin menuruti permintaanku, melepaskan celana pendeknya dan melihat kontolnya yang dalam keadaan mati, aku jadi bernafsu dan langsung merainya, meremas-remasnya.
Erwin memukul tanganku, "Bagaimana bisa gua pakai kalau tangan elo ada di situ" ucapnya dan menarik kolor tersebut sampai ke atas menutupi kontolnya.
"Pas" ucapku, yah, aku sengaja membeli ukuran L untuknya.
Tubuh Erwin menjadi begitu sexy di mataku dengan kolor yang berwarna putih membalut selangkanganya yang hanya menutupi batang kontolnya saja sehingga bulu-bulunya yang lebat menyembul keluar tidak tertutupi.
Aku menarik bulu-bulu kontol Erwin, laki-laki tersebut mengerang kesakitan. Aku yang sudah sangat bergairah dan bernafsu langsung meremas-remas kontol Erwin di balik kolor yang dikenakannya, dan merasa tak puas aku langsung memasukan tanganku ke dalam kolornya dan meremas langsung batang kontolnya. Erwin mengajakku ke ranjang. Aku mengikutinya, dan kami duduk bersebelahan. Tanganku terus meremas-remas kontolnya yang mulai bereaksi, mengeluarkan kontolnya dari dalam kolornya.
"Kontol elo bertambah besar dan panjang dari 2 tahun sebelumnya" komentarku.
Erwin memukul kepalaku. Tanganku terus mengocok-ngocok kontolnya merasakan batangnya yang begitu keras dengan urat-urat di bagian batang kontolnya yang besar-besar. Tak lama kemudian mulutku merasakan kekenyalan batang kontolnya tersebut. Lidahku menjilati batang kontolnya. Inchi demi inchi aku nikmati dari atas sampai ke bawah, dan dibagian bawah batang kontolnya dengan urat-uratnya yang besar.
Kontol Erwin basah dengan air liurku, kembali aku menelan batang kontolnya dan mengocok-ngocoknya dengan mulutku, membetot batang kontolnya dengan kedua bibirku yang aku rapatkan. Desahan erwin terdengar pelan menikmati permainanku, hingga beberapa lama mulutku terus membetot batang kontolnya hingga tubuh Erwin mengejang seiring dengan muncratan air maninya yang membanjiri rongga mulutku. Erwin telah mencapai puncak kenikmatannya dan ini untuk ronde pertama pikirku dan aku akan memberikan kenikmatan yang lain.
Aku berdiri, menelanjangi pakiaanku, hingga telanjang bulat di hadapan Erwin dan menyuruhnya untuk menyodomi lubang pantatku. Erwin menarik tanganku, menyuruhku duduk di sampingnya.
"Gua tidak tega melakukannya pada elo" ucapnya.
"Gua paham dengan kondisi elo, tapi elo sahabat gua, dan gua tidak ingin melakukannya pada elo, gua tidak ingin menyakiti elo" ucapnya lagi dan meletakkan jari telunjuknya ke bibirku, agar aku tidak berbicara dulu.
"Dengarkan gua" ucapnya lagi.
"Gua tidak ingin menyodomi elo, dan gua tidak ingin elo menyodomi gua, gua merelakan kejadian 10 tahun yang lewat terulang lagi untuk elo, demi kepuasan yang elo inginkan dengan begini toh, persahabatan kita tetap berlangsung seperti 10 tahun yang lalu bukan? Kapan saja elo minta dan ingin untuk melakukannya sama gua, gua akan memberikannya. Elo merasa puas juga dengan hanya melakukannya dengan kontol gua bukan? Dan lagian gua merasa puas dengan isapan mulut elo yang melebihi kenikmatan yang diberikan pacar gua. Banyak latihan yah?" tanyanya menyindirku sambil tersenyum.
Aku memeluknya, terharu, tak terasa air mata gua menetes ke pundaknya.
"Elo memang sahabat sejati gua Win" bisikku.
Erwin mengelus-elus pundakku, dan kami saling berpandangan.
"Aku boleh menciummu Win?" tanyaku.
"Wah, permintaan baru lagi neh" sindirnya, aku tertawa, tawa haruku.
Saat Erwin mengangguk, aku mencium bibirnya, mengecupnya, dengan kecupan manis dan bukan kecupan birahi.
"Ayo, kita mulai lagi?" ajaknya.
"Dengan posisi yang bagaimana?" lanjutnya.
Erwin berbaring di atas ranjang, kolornya aku lepas hingga dirinya dalam keadaan telanjang bulat dan memulai nafsuku yang sudah menggelora dengan fantasi yang melebihi dari 10 tahun yang lalu.
Tamat
Komentar
0 Komentar untuk "My best friend"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.