Tampilkan postingan dengan label Sedarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sedarah. Tampilkan semua postingan

Gairah seorang tante - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
“Loh Tan, udah pulang ?, kirain siapa “ kataku sambil tersenyum kepadanya, namun tidak ada balasan senyuman yang kudapat darinya, ia hanya melihatku dengan pandangan biasa saja, kemudian dari mulutnya keluar kata-kata “Fan, kita pulang sekarang, kamu siap-siap, sekarang juga kita pulang”. Aku terdiam sambil memandangnya, ada pertanyaan yang akan aku tanyakan kepadanya, namun sulit sekali aku mengucapkannya, karena kulihat wajah Tante Mala sepertinya tanpa ekspresi dan tampaknya ingin aku menurutinya tanpa banyak bertanya.

Aku bergegas merapikan bajuku, membereskan dandananku, tanpa banyak cakap, memeriksa seisi kamar takut-takut ada yang tertinggal atau terlewatkan. Setelah memastikan semua beres, aku membantu membawa tas kecil Tante Mala, mengatakan padanya bahwa semuanya telah siap, dan berjalan mengikutinya keluar.

Kuperhatikan Tante Mala, wanita cantik yang kukagumi, tampak bergegas melangkah. dengan dandanan baju hitamnya yang seksi, dengan baju terusan yang berbelahan rendah, aku hanya meliriknya sekilas sambil menelan ludah. Sambil melangkahkan kakiku, menuju areal pelataran parkir, banyak pertanyaan menghiasi otakku.

Didalam mobil yang kukendarai, beliau juga tidak banyak cakap, hanya sesekali bergumam, memastikan apakah mobil dalam keadaan laik jalan, sudah cek air, oli atau bensin cukup untuk digunakan sampai tujuan, dan aku hanya menjawabnya juga ala kadarnya. Ada apa dengan Tante Mala, ia terlihat tidak seperti biasanya, tidak ceria dan banyak tersenyum seperti Tante Mala yang kukenal selama ini. Apakah sebenarnya yang terjadi ? apakah beliau saat ini sedang berada dalam posisi yang tidak mengenakkannya ? apa yang telah terjadi saat aku mandi ? ataukah apa yang terjadi saat Tante Mala dan Om Herman dalam perjalanan pulang dari kantor Om Herman ? Apakah Tante Sandra melabrak Om Herman kemudian berimbas kepada Tante Mala ? Apakah Tante Mala mengetahui bahwa kami, aku dan Tante Sandra telah memergokinya berselingkuh dengan Om Herman ? Lalu mengapa Tante Sandra tidak ikut kembali dengan kami ? ada apa dengannya ? masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu dipikiranku, namun tak ada keberanian dari diriku untuk bertanya kepadanya.

Kulirik jam ditanganku, jam setengah delapan kurang, kalau perjalanan dari sini menuju kerumah sekitar 3,5 jam berarti kami akan tiba di rumah sekitar setengah sebelas, sedangkan perutku belum diisi sejak siang tadi, duh.. bisa-bisa cacing didalam perutku ngamuk, karena belum mendapat upeti. Tante Mala seperti mengerti akan pikiranku, beliau melihat aku melirik jam dan akhirnya mengajakku untuk nanti mampir di salah satu rumah makan bila kami melewatinya.

Sejam perjalanan yang kami lewati dengan keheningan, dimalam ini lalu lintas cukup ramai, mungkin karena bertepatan dengan weekend, sehingga banyak lalu lalang kendaraan dijalan yang kami lalui. Jarak dari tempat kami tadi memang cukup jauh, melewati perkebunan, sawah dan beberapa kota kecil, akhirnya ketika kami melewati sebuah kota yang cukup ramai, kami memutuskan untuk mencari rumah makan yang dirasa menurut kami cukup enak, aman dan nyaman.

Akhirya kami memutuskan untuk berhenti disebuah restoran yang kelihatan cukup mewah, karena menurut Tante Mala, tempat itu adalah tempat biasa ia makan, bila melewati kota ini. Memang kulihat tempat itu cukup bagus, banyak mobil-mobil mewah terparkir disana, dan kulihat disebelahnya juga terdapat hotel yang cukup bagus, mungkin kelas melati, namun cukup asri dan mewah untuk sekelas penginapan di kota kecil seperti ini.

Kami makan di restoran itu tanpa banyak berbicara, sampai saat ini aku tidak berani untuk menanyakan apa yang terjadi terhadapnya, aku hanya dapat mengira-ngira saja. Ada sedikit sesal dihatiku, mengapa Tante Mala berselingkuh dengan Om Herman, aku sangat menyayangkannya, aku selalu memperhatikan gerak-geriknya yang salah tingkah, beliau sepertinya saat ini agak sungkan kepadaku. Didalam hatiku ada kecurigaan, sepertinya Tante Mala mengetahui bahwa aku memergokinya saat tadi Aku dan Tante Sandra berkunjung ke Kantor Om Herman, mungkin Tante Sandra marah besar terhadap keduanya, sehingga Tante Mala berusaha menghindari keduanya dengan mengajakku pulang cepat. Aku tersenyum getir, untungnya Tante Sandra telah memuaskanku, memuaskan birahiku, sehingga setidaknya Om Herman telah membayar apa yang telah dilakukannya terhadap Tanteku telah dibayar oleh istrinya.

Dasar aku memang sial, jarang pergi sama cewek cakep, sekalinya pergi dengan wanita cantik sexy didepanku ini malah membuat aku grogi. Restoran yang kami datangi ini adalah restoran continental dengan berbagai macam menu masakan luar negeri. Kulihat sekeliling sepertinya eksekutif-eksekutif yang berpakaian necis, ganteng, dengan jas, dasi, sepatu mengkilap sedang makan malam disini, belum lagi kulihat, beberapa meja dipenuhi dengan keluarga-keluarga kaya yang turut bersantap.

Sepertinya cuma aku aja yang berani tampil beda, berani malu beda dari yang lainnya, cuma kemeja lengan pendek, dengan celana jeans belel, belum lagi muka yang lecek beminyak, yang membuat orang yakin, percaya dan berani taruhan gede2an kalo aku berpenghasilan gak lebih dari UMR. Sialan. Dan yang membuatku grogi adalah sepertinya semua mata memandang kami, Tante Mala yang berpenampilan cantik, sexy dengan berbelahan dada rendah, membuat mata mereka sepertinya sebentar-sebentar kembali melirik kami, jelas ini membuat aku semakin kikuk, jangan-jangan membuat mereka berpikir kalo aku ini adalah pembantunya, kuyaaaa.

Melihat menu restoran semakin membuat aku puyeng, makanan dengan bahasa yang tidak banyak kumengerti semakin membuat aku bingung dalam memilih. Masa aku mau memilih gado-gado atawa karedok ? ada sih emang, tapi bukannya itu nanti malah membuat mereka berpikir kalo aku biasa makan di emperor resto ? emperan trotoar !. gak la yau..

Akhirnya setelah da..de.. do... aku dengan tegas menunjuk menu makanan jepang shashimi, dengan harapan itu adalah makanan lezat khas jepang seperti di restorant cepat saji yang biasa aku lihat dibrosur2 yang disodori oleh SPG cantik di depan mall-mall, yang biasanya aku comot walaupun mereka tidak menyodorkan ke aku, (mungkin mereka menilai dari penampilanku yang dalam pikiran mereka aku gak bakal mampir, gak kuat bayar, padahal sih iya, lah wong aku Cuma ngarep di brosur itu mereka naruh nama dan no telp yang bisa aku kerjain, kali aja nyangkut... heheheh... !) .

Ada rasa kaget bercampur haru, kaget dan terperanjat ketika ternyata yang aku pesan adalah makanan ikan mentah diiris-iris dengan dimasukkan ke bumbu cair yang bau dan rasanya seperti air cuka tumpah dicomberan, dan terharu buat orang yang melihat aku salah mesen.... hiks. Terpaksa deh itu makanan aku makan juga, walau diselingi oleh coca-cola. Sehingga nanti kalo orang tanya bagaimana rasa shasimi aku akan cepat menjawabnya dengan jawaban “ikan mentah rasa coca cola” Hiks..

Kurang dari sejam kami selesai makan, tante Mala memberi isyarat padaku agar segera pergi untuk melanjutkan perjalanan setelah selesai membayar. Aku mengikutinya melangkah, namun aku agak kaget kupikir beliau akan menuju mobil untuk kami segera melanjutkan perjalanan menuju pulang, namun beliau malah melangkah kedalam gedung hotel disebelah, beliau memberi isyarat kepadaku untuk mengikutinya. Aku hanya memandangnya dan tanpa banyak bertanya aku bergerak mengikutinya.

“Fan, Tante agak pening nih, mungkin lebih baik kita menginap disini, besok aja kita melanjutkan perjalanan, kalo dipaksakan tante bisa sakit nih”, katanya kepadaku seolah ingin meyakinkanku. Aku hanya mengiyakannya, dan seakan bahwa ini tidak masalah buatku.

Setelah cekin dilobby, aku mengikutinya masuk kamar, jam menunjukkan kurang dari pukul 9 malam. Entah karena aku juga capek, letih atau apa, menyimpan tas yang kuambil tadi sebelum dimobil kami masuk, melemparkannya dan merebahkan diriku di ranjang, duh, pegel bener. Mengingat kejadian hari ini memang cukup membuatku letih, ada tambahan tenaga setelah makan tadi, namun aktivitas hari ini cukup membuatku menguras tenaga, kulihat tante mala, merebahkan dirinya di bangku yang tersedia dalam kamar, menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata.

Beberapa saat kami terdiam, aku melangkah bangun menyalakan televisi yang berada didalam kamar, menggunakan remote yang tersedia untuk mencari siaran yang kurasa enak ditonton dan kembali bermaksud merebahkan diri kembali di ranjang, namun langkahku terhenti, kulirik Tante Mala, dan berkata “Tan, Tante sakit ? tiduran aja dulu di ranjang, istirahat “ kataku, sambil melangkah mendekatinya. Tante Mala membuka matanya sambil tetap memegangi keningnya, “Iya deh Fan, tante mala istirahat dulu” katanya sambil bangun dan beranjak mendekati sisi tempat tidur.

Aku melihatnya, kami berganti posisi, kulihat beliau membaringkan tubuhnya di ranjang, menggunakan bantal dikepalanya dan berusaha memejamkan mata, aku hanya terdiam melihatnya, entah apa yang harus kulakukan, namun sepertinya aku dapat menduga apa yang terjadi padanya, mengalihkan pandangan darinya dan berusaha fokus pada televisi yang aku tonton.

Beberapa lama kami terdiam seperti ini, aku seperti membayangkan kejadian tadi siang, persis seperti yang dialami tante Sandra. Membuat perutku seperti mendesir, mengingat kejadian tadi siang dimana aku dan Tante Sandra melakukan persetubuhan, kembali aku melirik Tante Mala, membayangkannya bersetubuh denganku, dan ini membuat dedeku semakin tegang.

Berusaha menepiskan segala pikiran dari benakku, kembali memusatkan pikiran ke arah televisi, kulihat tante Mala, bangun dari ranjang, dan memandangku sambil berkata, “Fan, tante mo mandi dulu ah, mungkin nanti bisa lebih segar”, katanya. Aku memandangnya dan menganggukkan kepala seolah tak peduli namun seakan memberi persetujuan, namun aku tetap memandang televisi di kamar itu.

Kulihat beliau mengambil sesuatu dari tasnya, mengeluarkan beberapa barang, menaruhnya dekat kaca yang berada disisinya dan kemudian kulihat beliau melangkah ke arah pintu kamar mandi, sambil membawa sesuatu seperti pakaian, memasuki kamar mandi, dan menutup pintunya. Duh, padahal aku mengharapkan kalo beliau mandi dengan pintu terbuka seperti Tante Sandra.

Beberapa lama aku menunggunya mandi, sambil menonton televisi. Beliau keluar kamar mandi dengan muka tampak segar melangkah keluar, mengenakan penutup pakaian seperti kimono, warna putih, dan yang mebuatku deg-degan adalah, beliau mengenakan baju tersebut seperti tidak dikancing atau diikat pinggangnya dan jelas membuat payudaranya seperti hendak mencuat keluar.

Berjalan melangkah ke arah meja berkaca disebelah ranjang tempat tidur, mematut-matutkan diri sejenak. Kulihat beliau seperti mengambil sesuatu dari pinggiran meja tersebut, seperti strip obat, mengambil beberapa kemudian memasukkan ke dalam mulutnya dan meneguknya dengan air yang telah tersedia disisi lain meja itu. Aku memperhatikan dan Kemudian seperti tidak perduli ada diriku didekatnya, tanpa kuduga sama sekali, beliau memelorotkan baju putih tersebut, membelakangi diriku. Namun hal itu malah membuatku terbengong-bengong. Memang aku sering melihat dan memperhatikan Tante mala dalam keadaan polos tanpa busana, namun biasanya hal itu tanpa beliau sadar bahwa aku ada didekatnya dan atau bila aku mengintipnya, tapi kalau ini jelas beliau tahu aku ada disitu dan jelas-jelas melihatnya dari pantulan kaca didepannya.

Entah, jelas hal ini membuat aku terkesima, memandangnya terus seperti itu mungkin akan membuat aku gelap mata, berpikiran seolah-olah tante Mala memancing aku, merayu aku untuk menyetubuhinya, aku berusaha memalingkan pandanganku darinya, berusaha menepis bayang-bayang kotor yang kian menguasai pikiranku.

Rambutnya yang agak ikal panjang, disisir kebelakang, kemudian dengan menggunakan cairan yang ada didekatnya, mengusapnya ketelapak tangan, membasuhnya di rambut kepalanya, selanjutnya menyisir kembali kebelakang, sesekali kedua tangannya diangkat kearah kepala, memegang kedua rambutnya, dan hal ini jelas membuat kedua payudaranya seperti ditonjolkan keluar, seakan menyuruh aku untuk melihat, memegang dan meminta aku untuk memuji-mujinya betapa indahnya kedua bukit kembar tersebut.

Sering aku berpikiran, bahwa selama ini aku selalu dikelililngi oleh wanita wanita cantik dengan badan yang begitu indah, montok, putih, mulus dan tentu saja di anugrahi 2 buah bukit kembar yang juga montok, besar dan dengan bentuknya yang menggiurkan, entahlah kadang aku heran apakah dengan aku yang jelek, pendek, dengan tubuh yang pas-pasan ini selalu mendapat godaan yang rasanya sulit aku hindari.

Bersambung . . . .




Gairah seorang tante - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
Akhirnya tak berapa lama kemudian, beliau berbalik, masih tak melihat ke arahku, diambilnya baju dari dalam tasnya, mengepasnya sebentar dikaca, kemudian memakainya. Kali ini Tante Mala kulihat menggunakan Bh warna Pink, wow, begitu serasi dengan kulitnya yang putih, Bh yang kulihat seperti transparant, mengaitkannya perlahan, menarik talinya kemudian mengepasnya agar menutupi seluruh payudaranya.

Kemudian beliau mamakai baju tadi yang dipaskannya, mengangkat kaki kanannya, memasukkan baju tersebut dari bawah menahannya sebentar dipinggang. Kemudian menariknya keatas, serta memasukkan kedua tangannya agar tali bajunya berada tepat diatas pundaknya. Tante Mala, tampak cantik dan anggun dengan memakai baju tersebut. Kulihat beliau layaknya gadis yang masih duduk dibangku kuliah, tidak nampak bahwa usia beliau hampir mendekati kepala 4.

Aku baru sadar, ketika tante mala menyemprotkan cairan pewangi ke tubuhnya, Tante Mala sangat rapi dan cantik, dan hal itu jelas memberitahukan padaku bahwa Tante Mala saat ini berencana untuk pergi ke suatu tempat. Dan tanpa kucegah dari mulutku keluar kata-kata “Tan, mo pergi kemana ? lah kirain pusing, bukannya tadi katanya gak enak badan ? “ kataku seolah mengomentari penampilannya.

“Udah agak mendingan nih Fan, setelah mandi barusan” sahutnya menjawabku namun masih tetap memandangi wajahnya dicermin, kemudian membalikkan badannya dari cermin setelah memastikan bahwa penampilannya Ok. Aku tersenyum melihatnya, seperti melihat Moza, Mita atau Mala yang sering memintaku menilai pendapatnya kalau mereka akan pergi ke pesta atau akan jalan dengan temannya.

“Fan, kita jalan yuk, kita ke sebelah, kan disebelah ada cafe dan music lounge, yuk kita kesana, santai aja sebentar, mo gak ?” katanya sambil tersenyum kepadaku. Aku agak terkaget mendengarnya, kupikir beliau saat ini hendak kemana gitu, entah kesuatu tempat, keluar dari tempat ini atau sekedar berkunjung ke temannya. Tempat tujuan yang bosen aku disuruh olehnya. Namun kali ini berbeda, beliau mengajak aku ke tempat dimana aku tidak menyangkanya.

Aku hanya mengjawabnya singkat “boleh” dan tanpa banyak tanya aku mengikutinya berjalan, merapihkan bajuku satu-satunya yang melekat dibadan, agar kelihatan rapih memasukkannya kedalam celanaku.

Tempat itu memang tidak jauh dari ruang kamar kami, diseberang lahan parkir yang ada, agak kebelakang, mungkin saat ini waktu telah menunjukkan pukul 10 lewat sedikit, jadi kulihat areal parkir telah agak ramai dan penuh, lampu hias menyala silih berganti warna, seakan menjadi icon bahwa tempat itu adalah suatu arena hiburan.

Aku menurutinya, mengikutinya masuk, namun aku mendahuluinya ketika kami akan memilih tempat duduk, aku memeriksa ke sekeliling ruangan, bagaikan bodyguard yang akan melindungi tuannya, memastikan semuanya aman, aman dari gangguan dan godaan yang mungkin akan menimpa tante Malaku, memilih dan menuju salah satu meja yang kurasa aman dan nyaman untuk kami berdua.

Aku sengaja memilih posisi duduk yang agak pojok, yang agak gelap namun tidak jauh dari depan panggung, sehingga kami dapat menyaksikan grup pemusik yang akan beraksi di depan.

Seorang waitress menghampiri kami, cantik dengan kemeja warna putih dan celana jeans biru muda, menawarkan kami minuman. Mulanya aku hendak memesan minuman ringan saja, lumayanlah untuk mengisi suasana sambil mendengarkan alunan musik. Namun ketika kupandang tante Mala, kudengar kata-kata keluar dari mulutnya cukup jelas bahwa ia memesan salah satu minuman keras terbaik sambil menyebut salah satu merk terkenal dan memastikan bahwa pesananku sama dengannya. Tercengang aku mendengarnya !.

Aku hanya terdiam memandangnya, sambil memperhatikannya, aku berpikir, apakah tidak salah yang aku dengar dan lihat ? , apakah Tante Mala kini sudah berubah ? Tante Mala yang dalam kesehariannya aku tahu, apakah kini telah berubah liar ? apa yang membuatnya demikian ? apakah ada sesuatu yang sangat membuatnya seperti ini ? apakah beliau khawatir bahwa perselingkuhannya dengan Om Herman, diketahui oleh Tante Sandra dan akan membuat hal tersebut juga sampai ke telinga Om Mirza ? sehingga hal ini membuatnya stress ?


Satu demi satu lagu mengalir dibawakan oleh grup pemusik di depan sana, kulihat tante Mala, beberapa kali menengguk minuman itu, menghabiskan gelas pertama dengan cepat, kemudian menuangkannya kembali dari botolnya. Beliau sesekali menyuruhku minum, meminta sebatang cigaret dariku, menyalakannya dan menghisapnya perlahan, agak terbatuk pada hisapan pertama, membuat aku tertawa karena baru kali ini aku melihatnya merokok.

Teguk demi teguk, gelas demi gelas mengalir kedalam kerongkongan kami, seiring lagu demi lagu mengalir, tak terasa menit demi menit berlalu, mungkin 2 jam kami telah berada disini.

Kulihat wajah tante Mala telah berubah memerah, sepertinya beliau telah mabuk, aku sendiri memang merasa demikian juga, namun aku masih dalam keadaan sadar dan terkendali, ketika kulihat mata beliau sudah kelihatan seperti orang mabuk dan kadang berteriak sambil bertepuk tangan diiringi suara tertawa tak karuan, dan meminta lagu kearah depan dengan berteriak namun dengan suara tak jelas meracau, aku berpikir harus bertindak cepat. Kuraih Tante Mala dalam pelukannku, perlahan aku mengajaknya berdiri, memapahnya, meninggalkan sejumlah uang untuk membayar tagihannya dan menggiring tante Mala keluar.

Mulanya tante Mala menolakku, berkata kepadaku agak keras agar menunggu sebentar lagi, namun aku takut beliau akan semakin tak terkendali, sehingga dengan setengah memaksa aku memintanya untuk kembali ke kamar.

Akhirnya beliau menurutiku, dengan alasan yang kelihatannya masuk akal baginya, aku akhirnya berhasil memintanya kembali ke kamar, dengan diiringi tatapan mata sejumlah pengunjung dan pelayan cafe itu. Aku tak perduli.

Memasuki kamar, Tante Mala langsung merebahkan diri diranjang, wajahnya tersirat rasa kekesalan, namun entah apa yang membuatnya seperti ini. Kututup pintu, kukunci dengan maksud agar ia tidak keluar menyelinap kembali ke tempat tadi, kupandang ke arahnya, ia sepertinya berusaha memejamkan matanya, ditutupinya dengan pergelangan tangannya. Aku juga sepertinya setengah mabuk, kududukkan pantatku disofa, memandanginya, seakan menunggunya bereaksi, mataku kuusahakan juga terpejam.

Kulihat ada gerakan dari tante Mala, nampaknya ia berusaha bangun, turun dari ranjang, mengambil sesuatu dari tasnya, ternyata beliau hendak mengganti baju yang dikenakannya. Kulihat ia berdiri disisi ranjang, mencium baju merah yang dikenakannya, membaui ketiaknya, kemudian memelorotkannnya, melepas Bhnya, dan mengenakan baju tidur warna hitam. Dengan wajah agak merah, akibat pengaruh minuman yang diminumnya, namun itu jelas membuatnya tampak lebih cantik, sexy dan menggiurkan.

Aku melihatnya, memandanginya sejenak, dengan baju tidur warna hitam, tanpa bra, kulitnya yang putih, tampak agak kecoklatan karena pengaruh lampu ruangan yang agak temaram. Duduk disofa disebelahku, seolah menggodaku untuk menjamahnya, memancing darah lelakiku bergolak, memompa napsu birahiku.

Kusingkirka pikiran itu jauh-jauh, kulihat ia memandangku, menunggu reaksiku, namun aku tak bergerak, berusaha memejamkan mata, menepis bayang2 indah didepanku. Duh mudah2an aku kuat menghadapi cobaan ini, biar bagaimanapun, walaupun jelas dia bukan muhrimku, namun beliau adalah Tanteku, sepupu jauh dari ibuku.

Kulihat ia bangkit lagi dari sofa disisiku, melangkahkan kakinya kearah pembaringan, membuka lemari pendingin disebelahnya dan kulihat ia mengambil minuman disana, membuka kalengnya dan meneguknya. Aku memperhatikannya sejenak, ada rasa haus juga menerpa, segera aku bangkit menuju lemari pendingin, mengambil botol minuman yang kurasa cukup untuk menambah rasa peningku.

Kami berdua sepertinya malam ini sama-sama mempunyai persoalan, tapi entahlah, seolah kami tak ingin saling membantu untuk memecahkan persoalan itu. Seteguk demi seteguk, kuhabiskan minuman itu, membuat kepalaku semakin berat, bergerak limbung, merebahkan kembali tubuhku disofa. Kulihat Tante Mala telah tergolek kembali di ranjangnya, memutar-mutar tubuhnya, bolak-balik, layaknya orang yang resah. Kulihat pakaian tidurnya sudah tidak karuan, bagian dadanya sudah melorot kebawah, dan celakanya kulihat bagian bawahnya tidak menggunakan celana dalam, kini baju tidurnya hanya menutupi bagian pinggangnya saja !.

Tante Mala memandangku, dengan mata yang sayu, menatapku, “Fan, sini fan, temenin Tante Bobo, badan tante kok panas dingin begini ?” katanya kepadaku. Mataku kukejap-kejapkan, seolah hendak mengusir pening akibat pengaruh minuman yang kutenggak, memandangnya nanar, berusaha bangkit. Entahlah apa yang ada didalam pikiranku, seakan blank didalam otakku dan ada iblis yang membisiku untuk memanfaatkan peluang ini. Melangkah dengan nanar, kubuka baju kemejaku, celana panjangku, dengan hanya bercelana pendek, kurebahkan tubuhku disisinya, mensejajarkan dengan badannya, seakan ingin membuatnya tenang dan berbaring disebelahnya, terpejam.

Rasa pusing akibat minuman keras membuatku lupa diri, ingin tidur pulas namun seolah ada beban dipikiranku, kupejamkan mata dengan menutupinya dengan lenganku, berusaha menepis bayang-bayang kotor yang berkelebat. Beberapa menit berlalu, hingga.....kudengar sayup-sayup seperti orang menggumam ditelingaku. “Mas, maafkan aku ya ?, jangan marah ya Mas, aku gak akan mengulanginya lagi, Mas ... maafin ya mas ?”, entah ditujukan kepada siapa hal itu, Tante Mala tak mungkin memanggil aku dengan sebutan Mas, namun siapa lagi orang lain disini yang diajaknya berbicara selain aku.

Dalam kepeningkanku, tak kuhiraukan gumaman dan ocehan2 Tante Mala, aku tak peduli, yang jelas saat ini didalam otakku adalah berusaha untuk tidur dan berharap pening yang melanda otakku dapat segera hilang. Namun hal tersebut tak berlangsung lama, dalam kesadaranku yang tidak sepenuhnya, kurasakan disebelahku Tante Mala bangkit.

Entah apa yang akan dilakukannya, yang jelas saat ini aku hanya fokus pada rasa pusing yang melandaku, tapi ada rasa aneh melanda, aku berusaha membuka mataku yang semakin berat, berusaha melihat apa yang terjadi.

Tiba-tiba kurasakan celana pendekku seperti ada yang menarik, memelorotkannya kebawah, mengeluarkannya dari kakiku, hingga membuatku telanjang bulat, entahlah sepertinya aku tak kuasa untuk menahannya, seperti membiarkannya terjadi, serta menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Aku layaknya cowok lugu, yang tidak mengerti apa yang sedang dan akan terjadi, berusaha membuka mata, namun seakan ngeri untuk membayangkannya, dan berusaha memejamkan matanya kembali. Kulihat tante Mala sedang memegang penisku, membelai-belainya, memegang batangnya mengocoknya perlahan, membuat penisku yang semula rebah, bangkit, menegang dan membuatnya mengeras.

Ada rasa geli bercampur enak kurasakan, sulit untuk kubayangkan, karena sepertinya ini baru pertama kali terjadi padaku. Seorang wanita cantik memegang kemaluanku dan membuatnya bangkit, membuat darah kelaki-lakianku bergolak, yang biasanya aku lakukan sendiri, kini dilakukan oleh seorang wanita cantik yang selalu menjadi imajinasiku dalam bercinta.

Terhenyak aku ketika kurasakan rasa nikmat yang sangat, kutundukkan kepala untuk melihat kearah bawah selangkanganku, kulihat saat ini Tante Mala, layaknya seorang profesional, memegang penisku, mengarahkannya kepada payudaranya, mengocok-ngocoknya, menekan kepala penisku menyentuh puting payudaranya, kemudian beliau menaruh diantara keduanya, dibelahannya dan memaju-mundurkan badannya, seakan akan kedua payudara indah, putih, dan montok itu sedang mengurut-ngurut penisku.

Aku hanya bisa mendesah, merasakan kenikmatan yang sulit kubayangkan, penisku semakin menegang. Tak lama kemudian, seperti ada yang menarik penisku, agar lebih memanjang, mengurutnya perlahan, entah apa yang ada, kudengar lenguhan dan dengusan tante Mala, perlahan seolah menahan napas dan menghembusnya pelan, Tante Mala tampak sedang memasukkan penisku kedalam mulutnya !.

Bersambung . . .




Gairah seorang tante - 3

0 comments

Temukan kami di Facebook
Aku menggelinjangkan badanku, merasakan sensasi yang baru pertama kali kurasakan, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, merasakan kenikmatan yang penuh sensasi. Aku hanya dapat mengejap-ngejapkan mataku seakan memintaku untuk sadar, bahwa kenikmatan yang kualami ini adalah benar-benar suatu yang real, benar-benar terjadi.

Beberapa menit berlalu, penisku semakin menegang, ketika tiba-tiba penisku serasa dicengkeram, kurasakan Tante Mala seperti menaikiku, mengangkangkanku seakan ingin menaruh pantatnya diatas penisku, dalam pandangan nanarku kurasakan penisku dipegang dan diarahkan kekemaluannya. Perlahan namun pasti, Tante Mala mengarahkan penisku kelubang vaginanya, seolah akan mendudukinya, mencobloskannya, hingga seluruh batang penisku seakan masuk tertelan oleh rongga itu.

Ada rasa hangat dan basah ketika penisku masuk kedalamnya, dalam ketidaksadaranku, aku mencoba meraih tubuhnya, berusaha bangkit dari tidurku, namun aku seperti tak mempunyai tenaga untuk bangkit, tak berdaya, hanya bisa pasrah menerima perlakuan ini. Tak lama kemudian, kurasakan tante mala dengan bertumpu pada kedua kakinya, menaik turunkan pantatnya, sehingga penisku yang berada dibawahnya seakan-akan keluar masuk, aku hanya bisa mendesah keenakan dan sesekali ikut irama pantatnya dengan mengangkat pantatku. Pening yang melanda kepalaku seakan menjadi beban tersendiri, menyesal aku tadi banyak minum, sehingga apa yang terjadi saat ini tidak sepenuhnya berada dalam kesadaranku.

Tante Mala sepertinya juga tidak dalam keadaan sadar, entah apa yang dilakukannya itu, benar-benar terjadi seperti yang diinginkannya atau diluar kesadarannya. Desahan yang keluar dari mulutnya semakin tidak teratur, terengah-engah, dengan desisan disertai lenguhan dan kata-kata yang tak jelas, terdengar ditelingaku.

Menit demi menit, berlalu kurasakan tante Mala kulihat semakin liar tak terkendali, baru kudengar dan kualami sendiri, Tante Mala tampak menggoyang-goyangkan tubuhnya kekiri dan kekanan, menggoyang-goyangkan pantatnya naik turun, maju mundur, seakan hendak menggilas penisku dengan pantatnya, seakan kenikmatan yang tiada tara sedang melandanya. Memelukku, menindihkan badannya diatas tubuhku, sambil tak henti-hentinya menggoyang-goyangkan pantatnya, terus... terus.. dan terus....

Ketika kurasakan cengkraman pada penisku semakin keras, ketika kurasakan adanya goncangan dari tubuh Tante Mala, ketika kurasakan adanya jeritan dan rintihan yang keluar dari mulutnya, ketika kurasakan adanya getaran yang melanda tubuhnya. Entahlah mungkin ini sensasi yang pertama kali kurasakan, ada kenikmatan tersendiri ketika melihat raut wajah kepuasan tergambar dimatanya, ketika kulihat beliau menengadahkan kepalanya dengan menjerit dan merintih menandakan telah dicapainya titik klimaks yang diinginkannya.

Tak tahan aku menahan kenikmatan yang kurasakan juga, serasa sesuatu akan meledak dari ujung penisku, ingin mencapai titik kulminasi sama seperti yang dialaminya. Ketika cengkeramannya semakin ketat, kugapai tubuhnya, berusaha mendorongnya, ingin kuhindari hal yang tak diinginkan, kupaksakan untuk menarik cepat penisku keluar dari lubang kenikmatan itu, menghindari semburan maniku keluar dari rahimnya. Namun rasanya aku tak kuasa untuk membendungnya, beberapa saat menjelang tercabut dari lubang vaginanya, kurasakan semburan panas melanda, memuncratkan sebagian isinya, didalam lubang kenikmatan tersebut.

Kurasakan kami berdua sama-sama lemas, tenaga kami seakan tersedot habis, aku hanya menatapnya, memandang wajahnya. Wajah tanteku yang cantik, yang selama ini hanya dapat kubayangkan, yang sering menjadi bahan imajinasiku dalam bercoli ria, yang selama ini hanya dapat kunikmati tanpa dirinya mengetahuinya, kini berbalik malah beliaulah yang menikmatiku, dalam keadaan diriku yang setengah sadar. Sosok cantik kini terbaring didalam pelukanku, rebah diatas tubuhku, dengan wajah terpejam, penuh kepuasan.

Aku mencoba menyadarkan diri, berusaha untuk bangun, mencubit diriku untuk meyakinkan aku bahwa yang kualami ini bukanlah mimpi. Berusaha meyakinkan diriku bahwa wanita yang kini dalam pelukanku ini adalah benar-benar beliau, benar-benar tante Mala.

Kupandangi langit-langit kamar, kucoba menerawang kejadian-kejadian yang terjadi pada diriku hari-hari terakhir ini. Kulihat wajah bersimbah peluh didadaku, menggeserkannya, memindahkannya, dan merebahkannya disampingku.

Kutatap wajah cantik polos disisiku, memiringkan tubuhku menghadapnya, tampak tante Mala terpejam, seperti tertidur pulas, wajahnya masih berona kemerah-merahan. Bunyi napas teratur seperti keluar dari mulutnya, dan tak lama kulihat matanya tampak terbuka sedikit, seperti diriku bertatapan aku dengan matanya. Namun tak kulihat ekspresi kaget atau apa, yang keluar tergambar dari wajahnya, sepertinya beliau sendiri belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi barusan.

Aku memandangi wajah cantik, putih dengan bibir sensual dihadapanku, menatapnya dan menuruni pandangan kebawah, keseluruh lekuk tubuhnya, mulai dari lehernya yang jenjang, dadanya yang membusung padat, lekuk pinggangnya dan perutnya yang ramping terjaga, memandangi rambut tipis kehitaman yang tumbuh dibukit kemaluannya, pahanya yang mulus dan dengan betis yang bentuknya bagaikan bulir padi. Namun sungguh tak kuduga sama sekali memandang hal ini membuat dedeku yang semula rebah, menjadi bangkit lagi !.

Entah dorongan dari mana, ingin sekali kupuaskan diriku lagi. Ingin merasakan tubuhnya lagi, sepuas-puasnya, seakan ada yang mengatakan kepada diriku bahwa mungkin ini adalah kesempatan satu-satunya, kesempatan pertama dan terakhir yang mungkin akan terjadi pada diriku.

Tak lama aku segera bertindak, berusaha membuat tegang dedeku, memegangnya dengan tanganku, mengurut dan mengocoknya perlahan, untuk membuatnya semakin tegang dan mengeras. Tanpa menunggu lama, aku bergerak menindih tubuh Tante Mala, menciumi wajahnya, bibirnya, dengan penuh napsu, mengulumnya, memainkan lidahku di dalam mulutnya.

Tak ada reaksi dari Tante Mala, ekspresi wajahnya seakan pasrah, seakan menyuruhku untuk memuasinya semampu yang aku lakukan.

Aku berpindah mengarahkan ciumanku ke arah lehernya, ketelinganya, memainkan lidahku dicuping telinganya, membuatnya tergetar dan kemudian mengarahkan ciumanku kearah dadanya. Kukecup pelan dada putih, besar dan montok itu, menciuminya, memainkan lidahku mengelilingi putingnya. Kulihat kepala beliau menengadah, menikmati kembali sensasi yang kuberikan. Aku hentikan sejenak, namun kulihat diwajahnya seakan memprotes diriku, memintaku untuk meneruskan apa yang kulakukan dan bahkan menginginkannya lebih. Aku memainkan lidahku kearah putingnya, memasukkan puting coklat kemerah-merahan itu kedalam mulutku, memainkannya dengan lidahku, kuhisap, kesedot dan sesekali kugigit perlahan. Kuremas payudara itu dengan tanganku berganti-ganti dengan hisapan dan mainan lidahku, membuatnya kelihatan seperti orang yang blingsatan.

Aku menuruni dadanya, mengarahkan ciumanku terus kebawah, mengecup seluruh tubuhnya, mulia dari bawah dada, perut hingga mencapai bukit indah dibawah. Kecium dan kumainkan lidahku disekitar paha dan kemaluannya, membuatnya menggelinjang karena geli tertahan. Membangkitkan gairahnya kembali, ketika kecupan akan kuarahkan ke selangkannya, kurasakan bagian itu telah basah kembali. Tak perduli dengan keadaan, kubuka kedua paha yang panjang itu agar terbuka lebar, kususupkan kepalaku diantara kedua pahanya, kumainkan lidahku di sana, dibibir kemaluannya.

Kutengadahkan kepalaku keatas, kepandang wajahnya, kulihat wajah Tante Mala sudah menggambarkan keinginan yang sangat. Keinginan agar kepuasannya terpenuhi. Kuhentikan sasaran lidahku pada area vaginanya, merangkak naik, meniti tubuhnya.

Kuarahkan penisku kelobang kenikmatan yang telah basah itu, perlahan kumasukkan dan kudorong masuk kedalamnya, sambil kupandangi wajahnya, kulihat Tante Mala memandangku dengan sayu, seperti tak sadar dengan siapa dirinya bersetubuh, berusaha mengerenyitkan matanya untuk mengetahui siapa sebenarnya diriku, namun disisi lain seolah meminta kepadaku agar segera melanjutkan apa yang telah aku mulai.

Kedesakkan penisku kedalam rongga kenikmatan itu, memaju mundurkannya perlahan, memegang kedua lututnya, seakan membantuku untuk menahan tubuhnya agar tak terdorong kedepan. Perlahan kudorong, dan kulesakkan tiba-tiba, seakan aku ingin menyentuh ujung rahimnya dengan kepala penisku, memberikannya sentakan yang membuatnya menjerit tertahan. Kemudian kutarik perlahan dan kusentakkan kembali mendorongnya, berkali-kali. Aku seakan ingin mengatakan kepadanya, inilah penis terbaik, penis yang mampu memberikan kenikmatan yang lebih baik dibandingkan penis yang dimiliki oleh Om Mirza dan Om Herman. Kugoyang-goyangkan pantatku kekiri dan kekanan, memberikan irama yang bervariasi kepadanya, memaju mundurkannya, perlahan , makin cepat, cepat, semakin cepat.

Dada tante Mala seolah ikut berguncang-guncang, payudaranya seakan terbawa arus, kepalanya menengadah keatas, beliau seakan berusaha menahan payudaranya agar tak ikut bergoyang, memegang denga kedua tangannya, namun hal ini malah membuat seolah-olah tangannya membantu untuk memberikan kepuasan kepada dirinya melewati remasan-remasan pada payudaranya. Indah sekali pemandangan yang kusaksikan ini, wajah cantik, body mulus dihadapanku, tersaji dengan siap sedia, memberikan kenikmatan kepadaku dengan tiada taranya.

Aku mendesah tak karuan menikmati sensasi yang kualami ini, sensasi yang biasanya kudapatkan tanpa perlawanan, kini terjadi sebaliknya, dimana wanita yang selama ini menjadi bahan hasrat seksualku kini melayaniku, dengan hasrat birahinya. Entah berapa lama ini terjadi, kulihat Tante Mala sudah mengerang tak karuan, merintih, mendengus, melenguh tak terkendali, kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan seakan kenikmatan yang kuberikan sangat dahsyat. Aku memandang wajahnya dengan penuh napsu, tiada kata yang dapat kugambarkan saat ini, aku hanya dapat menggumamkan kata-kata “Ouugghh Tante..... Oouggghh...” sambil terus mendorong, menarik, memaju-mundurkan penisku kedalam vaginanya.

Bersamaan dengan jeritan dan erangan yang keluar dari mulut Tante Mala, kurasakan penisku seperti hendak kembali meledak, ingin mengeluarkan cairan putih kental, tak ada kesempatan bagiku untuk berpikir, namun nalarku berjalan cepat. Ingin segera kutarik keluar penisku dan mengeluarkannya diluar lubang kemaluannya, menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Ketika saat itu hendak terjadi, Tante Mala seakan mengerti dan faham, beliau bangkit hendak memelukku, seolah hendak memaksaku mengeluarkan cairan hangat kental itu didalamnya, sehingga aksi yang bertolak belakang terjadi.

Kudengar jeritan tertahan keluar dari mulutnya “Mas”, hanya itu yang sempat kudengar, namun fokus pikiranku berada diujung penisku, kurasakan sesuatu telah melesak keluar, penisku yang semula hendak kutarik keluar dari lubang kenikmatan tersebut, sebelum keluar semua, telah memuncratkan cairan tersebut didalamnya. Ooh……

Terhenyak aku dalam keterkejutan, terdiam, terduduk lemas, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kulihat Tante mala tampak memancarkan senyum kepuasan, mengatur napasnya yang tadi terengah-engah agar beraturan kembali. Meletakkan tangan kirinya diatas perutnya sementara tangan kanannya tergolek lemah disamping tubuhnya kepalanya tergolek kekanan, tersenyum dengan mata terpejam. Aku merebahkan diri disamping kirinya, mensejajarkan tubuhku dengan tubuhnya. Tubuh kami berdua serasa mandi peluh, merasakan hembusan hawa yang keluar pendingin ruangan, menunggu hingga tubuh kami mendingin.

Aku menarik selimut dibawah kaki kami, menutupi tubuh kami yang polos tanpa busana, membuatnya agar tetap hangat. Aku memejamkan mataku, berusaha untuk tertidur. Tak berapa lama kudengar dengkur halus disebelahku, diiringi bunyi napas teratur. Masih pening kepalaku, berusaha menerawang dan fokus ke satu pikiran, banyak bayangan berkelebat dalam kelopak mataku, semakin lama semakin gelap, gelap dan gelap.

---

Pagi hari, terbangun aku dengan kepala masih terasa berat, kulihat tante mala masih tertidur pulas, matahari mungkin telah meninggi, ada rasa mendesak yang ingin keluar dari ujung penisku, memaksaku melangkahkan kaki ke kamar mandi.

Kubuang air seni dengan derasnya kedalam toilet, kemudian kuputuskan untuk menyegarkan badanku dengan mengguyurnya dengan air, dingin menerpa seluruh badanku, segar.

Entah berapa lama aku melakukan ritual pembersihan badan ini, dari mulai berendam, menyabuninya, menggosok seluruh badan, hingga mengeruk daki yang menempel (dapet kali barang sekilo mah, ada yang minat ?).

Selesai mandi, kulihat tante Mala juga terbangun, kulihat beliau sama sepertiku ketika aku bangun tadi, layaknya orang linglung, aku mencoba tersenyum kepadanya, dibalasnya dengan senyuman juga, namun terasa hambar.

Dalam hatiku timbul pertanyaan, apakah Tante Mala sadar dengan apa yang telah kami lakukan semalam, apakah beliau sadar bahwa beliau semalam sangat liar sekali ketika bersetubuh denganku ? apakah beliau menyadari bahwa beliau semalam melakukannya dengan aku ? keponakannya ? Entahlah.

Kulihat Tante Mala menggeliatkan badannya, seolah berusaha menghilangkan rasa pegal yang melandanya, namun sesaat kemudian beliau seperti terpaku, duduk termenung. Entahlah, aku tak dapat membaca jalan pikirannya, saat ini yang kupikirkan adalah nasibku, bagaimana nasibku jika seandainya beliau tahu bahwa aku menidurinya ? apa yang harus kulakukan jika tiba-tiba saja Tante mala menyadarinya ? entahlah… berusaha aku melepaskan bayang-bayang itu, kulihat tante mala bangkit dari ranjang dan berjalan melangkah menuju kamar mandi.

Tamat




Ibu mertuaku yang janda

2 comments

Temukan kami di Facebook
Keluarga istriku terdiri dari ibunya yang tak lain adalah mertuaku. Namanya Heny, umurnya baru 38 tahun, kelahiran tahun 1964. Mertuaku yang peracik jamu ini adalah istri ketiga dari camat di kampungya dari pernikahannya yang menghasilkan tiga anak. Anak pertama Cheny, 24 tahun, bekerja pada salah satu toko swalayan di Bandung, kedua Venny yang menjadi istriku, 22 tahun, seorang karyawati di perusahaan swasta dan ketiga Nony masih 20 tahun, baru lulus SMU dan masih menganggur. Ketiga wanita inilah yang pernah menjadi santapan seksualku.

Mertuaku yang biasa kupanggil Mama ini pindah ke Bandung setelah suaminya meninggal dan tinggal di rumah anak dari istri pertama suaminya. Sebenarnya suaminya memiliki cukup banyak harta tetapi karena mertuaku kawin di bawah tangan, jadi dia tidak mendapatkan harta warisan apa-apa selain perhiasan-perhiasan dari suaminya itu. Karena ada perselisihan, mertuaku dan ketiga anaknya pindah dari rumah itu dan memulai usaha menjadi penjual jamu gendong untuk menafkahi ketiga anaknya. Namun karena sekarang ini dia merasa sudah tidak mempunyai tanggungan apa-apa lagi dan juga telah mempunyai rumah di pinggiran kota Bandung, dia sudah berhenti dari kegiatannya itu. Aku dan istri setiap akhir bulan selalu menyempatkan diri ke rumah mertuaku sekaligus membawa uang ala kadarnya sekedar untuk menambah biaya hidup sehari-hari.

Namun pada hari itu, Sabtu, entah kenapa istriku tidak enak badan dan menyuruhku pergi sendiri saja. Kubawa motorku ke arah selatan kota Bandung hingga satu jam kemudian aku sampai di rumah yang sederhana tapi kokoh itu. Rumah itu sepi namun pintunya terbuka lebar-lebar. Seperti biasanya kurebahkan tubuhku di bangku bale-bale bambu yang ada di ruang tamu untuk melepas lelah. Tak lama kemudian mertuaku datang.

"Eh, Dik Willy, sudah lama Dik?"
Dia menyapaku memang kesannya basa-basi tetapi sebenarnya tidak.
"Enggak, barusan kok", jawabku menyambut sapaannya.
"Mana Ida?", tanyanya.
"Lagi sakit, Ma. Katanya demam tuh, kusuruh istirahat saja" jawabku.
"Oh, wah, wah, wah, jangan-jangan tanda-tanda mau punya anak tuh", ujar mertuaku senang.
Memang dia ini sangat mendambakan cucu dari pernikahan kami.
"Mudah-mudahan, Ma"
"Ya sudah, sudah makan belum. Mama punya sayur asem sama ikan asin pake sambel terasi, kamu mau nggak?", mertuaku menawariku makan.
"Iya, aku mau banget tuh"
Bergegas aku ke ruang makan dan melihat hidangan yang ditawarkannya itu masih belum disentuh siapapun. Sambil makan kami mengobrol lagi.
"Nony ke mana Ma?" tanyaku.
"Katanya piknik sama temen-temennya ke luar kota, kemarin sore berangkatnya"
"Oh", jawabnya.

Memang mertuaku hanya tinggal berdua dengan Nony karena Cheny lebih memilih kost di dekat tempatnya bekerja. Kami mengobrol tentang macam-macam sampai obrolan yang nyerempet-nyerempet.
"Kamu ini sudah hampir dua tahun kok belum punya anak juga?"
"Ya enggak tahu tuh, Ma"
"Apa kamunya yang nggak bisa? Kalo nggak bisa sini Mama ajarin"
"Ajarin apa, Ma?"
"Mama buatin jamu biar subur"
"Ah bisa aja Mama nih"
Obrolan sengaja kupancing dan kuarahkan ke masalah seksual.
"Ma saya boleh nanya nggak?"
"Apa?"
"Dulu Pa'e sering dibuatin jamu nggak?"
"Ya kalo lagi sakit aja"
"Untuk yang lain?"
"Yang lain tuh apa?"
"Jamu kuat lelaki misalnya?"
"Ha, ha, ha, kamu ini ada-ada saja. Nggak usah pake begituan juga mertua lakimu itu sudah kuat, kok. Malah sebelum mati dia nambah lagi satu"
"Jadi nggak pernah sama sekali, Ma?"
"Pernah sich sekali-kali. Itu juga dia yang minta"
"Terus Mamanya gimana?"
"Ya tokcer lah, ha, ha, ha, eh, kamu kok tanya itu sih?"
"Terus sekarang ini Mama kalo lagi pengen gimana?"

Wajahnya sedikit memerah tetapi dijawabnya juga, "Ya, banyak-banyakin aja kerjaan, ya masak, nyuci piring, nyapu pekarangan, entar juga lupa, terus sudahnya, capek, ya tidur"
"Oh", jawabku.
"Kamu ini nanyanya ngawur, aja"
"He, he, he.."
"Sudah sore sana mandi"
"Iya Ma"

Sementara aku mandi, kurasakan penisku yang sudah berdiri tegak. Kukocok penisku sambil membayangkan tubuh mertuaku. Mertuaku ini masih lumayan kencang walau sudah memiliki anak tiga. Menurut istriku, dia rajin luluran kulit sawo matang disertai dengan minum jamu rutin. Perutnya masih cukup ramping walaupun sudah ada sedikit lipatan-lipatan lemak. Buah dadanya yang berukuran 36B itu tetap kencang karena ramuan dari luar disertai jamu-jamuan demikian juga dengan bongkahan pantatnya. Satu hal lagi, dia ini tidak pernah memakai daster, atau baju apapun. Pakaian sehari-harinya adalah kain kebaya dengan kemben yang dililit hingga dadanya.
"Dik Yanto, nanti kalau sudah airnya diisi lagi ya?"
"Iya, Ma".

Setelah mandi kupompa air di luar kamar mandi sementara itu mertuaku berjongkok mencuci piring di bawah pancuran pompa tangan. Ember yang telah terisi kubawa ke kamar mandi untuk diisikan ke bak, begitu seterusnya hingga penuh. Sambil memompa kuperhatikan belahan buah dada mertuaku hingga membuat penisku berdiri lagi hingga tak sadar handukku terlepas.
"Wah, semalem belum dikasih 'makan' ya?", begitu sindir mertuaku.
"Iya nih, Ma"
"Kenapa sih kamu kok cuma liat nenek-nenek aja langsung berdiri?"
"Abis Mama montok sih", jawabku asal saja.
"Hus, apanya yang montok"
"Itu belahan teteknya, makanya saya jadi begini"
"Oh ini, mau lihat?"
"Iya, mau, mau Ma"
Sejenak dia berbalik terus membuka kembennya hingga perutnya yang cukup ramping itu terbuka.
"Nih, liat aja", katanya sambil kupegang buah dadanya.
"Eh katanya cuma liat?"
"Ya liat sama pegang, Ma"
Kuremas-remas buah dadanya hingga nafasnya tersengal.
"Sudah To, sudah"
Tapi aku terus saja meremasnya dengan bersemangat.
"Sudah To, Mama mau mandi dulu"
"Bener mau mandi apa mau yang lain?"
"Bener Mama mau mandi"
"Nanti lagi ya?"

Mertuaku tidak menjawab, hanya berlalu ke kamar mandi.
Aku tunggu di kamar tidurnya hingga beberapa menit kemudian mertuaku sudah masuk ke kamarnya lagi. Tubuhnya hanya berbalut kain saja. Yang membuatku kaget adalah mertuaku membuka begitu saja kainnya di hadapanku yang masih berbaring. Kulihat buah dada yang cukup sekal tadi disertai dengan perut yang ramping dan pantat yang montok. Yang membuatku tak tahan adalah belahan vaginanya yang berbulu sangat lebat berbentuk segitiga. Pelan-pelan kudekati dia dengan pelukan yang cukup hangat dan ciuman yang kuat di bibirnya, mertuaku hanya pasrah saja. Kuteruskan tindakan yang tadi kulakukan di luar. Kali ini aku berjongkok lalu kumainkan vaginanya dengan mulutku sementara tanganku naik turun bergantian. Kuremas-remas bongkahan pantatnya yang padat itu dengan tangan kanan dan tangan kiriku memelintir-melintir puting susunya dengan sesekali menjumput dan meremas buah dadanya itu. Begitu terus bergantian dengan tangan kanan dan kiri. Pada saat yang bersamaan kuhisap-hisap dengan gemas bibir vaginanya.
"Aghh, aghh, aghh", suara itu keluar dari mulut mertuaku di iringi dengan suara dari mulutku yang terus menghisap vaginanya yang banjir itu.
Begitu seterusnya hingga, "Udahh, aghh, masukin aja punya kamu, To".

Aku rebahkan mertuaku ranjang dengan pantat dan pinggulnya berada di pinggir ranjang, kedua kakinya kuangkat ke bahuku. Aku berlutut di lantai dengan penisku berada tepat di pintu liang vagina itu. Kumain-mainkan dulu kepala penisku di kelentitnya dengan berputar-putar lalu baru kuturunkan ke vaginanya. Perlahan tapi pasti kumasukkan penisku ke liang vaginanya.
"Eghh.., sstt, pelan-pelan, To"
"Mama kayak perawan aja"
Setiap dorongan sepertinya ada yang mengganjal penisku di dalam vaginanya.
"Eghh, aduh sakit, To"
"Hah, sakit?"

Sambil mendorong kugoyang-goyangkan juga pinggulku ke kiri dan ke kanan supaya lorong vaginanya agak melebar. Setiap dorongan juga kutarik sedikit penisku keluar lalu kudorong lagi supaya bagian yang sulit ditembus itu agak terbuka. Lalu, sleb, sleb, sleb, dengan tiga kali dorongan penisku sudah masuk semua ke dalam rongga vagina mertuaku. Aku berdiam sesaat hingga kurasakan denyutan kecil seperti hisapan-hisapan lembut. Ternyata mertuaku mempunyai vagina yang bisa menghisap-hisap penis. Mungkin karena jamu-jamuan yang rutin diminumnya sehingga dia bisa seperti ini.
"Ayo To, nunggu apa lagi?"

Kutarik dengan diiringi helaan nafasku, lalu ku dorong lagi hingga bless, bless, bless, penisku tertancap hingga pangkalnya. Keluar juga suara kecipak dari vagina mertuaku. Dari mulut kami juga keluar suara-suara desahan dan lenguhan nafas kami mewarnai suasana yang erotis.
"Aghh, aghh, aghh, shh, ohh, aghh", begitu suara deru nafas mertuaku.

Aku tetap berkonsentrasi supaya penisku tidak menembak lebih dahulu dan orgasme namun karena nikmatnya vagina mertuaku ini membuatku tak tahan. Namun dengan mengatur nafas aku bisa mengimbangi permainannya. Sudah hampir satu jam kami saling asyik masyuk sampai tanda-tanda akan orgasme terasa pada kami.

Kulihat gerakan mengejang dari perut mertuaku dan juga wajahnya yang semakin terlihat gelisah disertai keringat dan matanya yang turun seperti fly, kepalanya yang bergeser ke kiri dan ke kanan, tangannya juga berusaha menggapai apa yang bisa diremas. Itu biasanya gejala wanita yang akan orgasme.
Tak lama kemudian, "Aghh, cepetan To, aku mau nyampe nih"
"Aku juga, aghh"
"Iiihh, aghh, ehmm, aghh"
Begitu jeritan kecil dari mulut mertuaku disertai deru nafasnya menandakan bahwa dia telah orgasme.
"Ughh, ughh, ughh", begitu sisa nafasnya menikmati sensasi orgasme yang tiada tara.

Aku juga merasakan hal yang sama dengan mengejangnya seluruh tubuhku dan menyemprotnya spermaku, entah berapa kali kusemprotkan cairan penuh kenikmatan ini ke dalam rahim mertuaku.
Tubuh kami langsung lunglai. Aku langsung berbaring telungkup diatas mertuaku dengan kondisi penis yang masih menancap di vaginanya. Tak lama kemudian peniskupun layu dan terlepas dengan sendirinya dari liang vagina yang nikmat itu.
"Kamu hebat juga, To"
"Iya dong, Ma"
"Jangan panggil Mama lagi"
"Siapa dong?"
"Heny aja"
"Iya Hen, ughh gimana enak nggak?"
"Enak tenan, lho"

Mata mertuaku langsung sayu dan terpejam lalu tertidur. Aku turun dari tubuhnya dan juga merasa mengantuk sekali hingga aku juga tertidur. Tak terasa kami tertidur hingga aku terbangun dan mertuaku masih di sisiku sambil memeluk tubuhku. Tubuh kami masih telanjang bulat ketika itu.
Tiba-tiba, "Ehmm, he, he, gimana kamu puas nggak?"
"Iya Hen, aku puas banget. Aku sudah pengen begini sama kamu sejak lama tapi nggak tahu harus gimana dan takut kamunya marah"
"Hhh", mertuaku menghela nafas lega.
"Yah, kan sekarang sudah", kataku.
"Tapi To, aku masih serr-serran lho", begitu katanya sambil menggenggam penisku yang sedari tadi agak lunglai terasa seperti ingin bangun lagi.
Sepertinya mertuaku ini tahu bagaimana cara membangunkan kembali penis melalui tekanan-tekanan pada urat-urat di tempat lain. Aku langsung menciumi buah dadanya dan tanganku mengobok-obok vaginanya. Mertuaku mulai terangsang kembali dan dengan cepat aku berada di posisi siap di atas tubuhnya. Dengan sekali dorongan, penisku sudah menancap di dalam vagina yang sudah becek itu.
Mertuaku berkata, "To, aku yang di atas yah?"
"Emangnya bisa?"
"Bisa dong, kan udah nontonn filmnya Cheny", rupanya mertuaku sering menonton VCD blue film dengan anaknya, Cheny.

Jadi tidak heran kalau dia faham posisi-posisi dalam bercinta. Dengan berguling kini posisi tubuhnya berbalik berada di atasku. Mertuaku mencoba duduk dengan melipat kakinya lalu dia mulai bergoyang maju-mundur dan memutar ditingkahi dengan suara dari vaginanya hingga menambah gairahnya untuk memacu goyangannya. Aku dari bawah hanya memegangi buah pantatnya dan tanganku yang satu memainkan kelentitnya yang berada tepat berada di perutku. Hanya sekitar setengah jam mertuaku mulai menampakkan gejala ingin orgasme. Dalam hitungan detik dia sudah orgasme. Tubuhnya kembali lunglai dan berbaring di atas dadaku. Namun aku belum, hingga secepat kilat aku berbalik dan berada di atasnya dan langsung bergoyang untuk mengejar orgasmeku.
"Aduhh udahh To, aughh, gelii, To..", hingga beberapa detik kemudian aku merasakan orgasmeku yang kedua begitu nikmat dengan tembakan spermaku yang masih cukup kuat.

Kami kemudian mengobrol hal-hal yang berbau pornografi dan erotis hingga terangsang kembali dan kami bersenggama lagi, begitu seterusnya hingga subuh. Entah sudah berapa kali kami melakukan hal yang sebenarnya merupakan aib bagi keluarga kami sendiri. Sekarang ini mertuaku sudah mempunyai cucu dan lebih menjaga jarak denganku. Dia merasa hal yang sudah kami lakukan itu adalah aib dan tidak sepantasnya dilakukan, dan jika kusinggung soal hal itu dia nampaknya agak marah dan tidak suka. Dia telah menjadi nenek yang baik bagi anakku.

Tamat




Budhe dan keponakannya - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Jojo baru saja taman SMP dan dia harus tinggal bersama Bude-nya (kakak dari ibunya) di ibukota kecamatan. Usianya 16 tahun dan suka olahraga lari dan restok. Rajin membantu dan ringan tangan dalam banyak pekerjaan, tidak banyak bicara dan tinggi tubuhnya dalam usia yang muda itu cukup lumayan. 170Cm, sawo matang, rambut lurus dan nilai raport rata-rata delapan. Itulah sebabnya, ayah-ibunya merasa syang kalau dia mengikuti abangnya untuk tidak sekolah lagi.

Karena tidak mampu menyekolahkannya, Budenya yang perawan tua dan sudah berusia 48 tahun, memungutnya menjadi anak sendiri untuk diseklahkan, dengan harapan, nanti kalau dia sudah tua dia bisa menumpang pada Jojo dan rumah serta sawah dan kios kecil di pasar kecamatan yang dua pintu tapi disatukan menjadi milik Jojo. Ibu dan ayah Jojo sangat senang dan bahagia.

Pagi-pagi sdeali keduanya sudah bangun kemudian mengerjakan pekerjaan masing-masing lalu sarapan. Mumpung belum masuk sekolah ke STM, Jojo ikut ke pasar membantu jualan. Di pasar, Bude sudah sangat terkenal sebagai grosir jamu dari sebuah perusahaan. Dari kecamatan lain banyak yang membeli jamu produk perusahaan jamu tertua itu ke kiosnya.

Walau suadh berusia 48 tahun Bude kelihatan masih padat dan berisi. Dia seallu mengenakan kebaya pendek, dengan rambut disisir rapi dan disanggul, serna mengenakan kain batik, juga selendang. Sejak kehadiran Jojo, dia tidak naik ojek lagi, karena Bude sudah pula mengkredit sebuah motor China untuk nanti Jojo pakai ke sekolahnya. Budenga sangat senang, karean Jojo sangat rajin.

Pukul 12.00 JOjo sudah membuka nasi dari rantang dan menauhnya ke piring dan menyiapkan segalanya, agar Budenya makan siang dan Jojo yang ganti menjaga kios melayani pembeli yang seakan-akan tak pernah habisnya. Pantas setiap sore, Bude selalu membawa uang yang banyak dalam tas-nya.

Bude walau tingginya 156 Cm, berkulit putih bersih sedikit kerutan di wajahnya, namun teteknya masih bulat dan padat, serta pantatnya besar dan padat pula. Dia meminta Jojo mentyelempangkan tas berisi uang dan Bude naik ke boncengan serta di atas pahanya dia membawa bawaan dalam plasti agak lumayan besar. Pukul 17.20 (berkisar seperti itu setiap hari secara rutin) mereka sampai ke rumah yag tak jauh dari pasar.

Rumah Bude persis di pinggira desa, tersendiri di tepi sawahnya yag baru saja ditanami oleh orang lain. Hasil sawahnya akan dibagi tiga. Dua untuk yang mengerjakan, satu untuk Bude.

Setelah mandi, Bude bersiap-siap menyiapkan makan malam mereka. Begitu keluar dari kamar mandi, Jojo sangat kagum dan horny melihat tubuh Bude-nya. Dengan mengenakan daster mini yang sangat tipis dan tanpa bra, kelihatan seperti transparan, pentil teteknya dan kulit perutnya yang putih mulus. Jojo menelan ludahnya. Gantian Jojo memasuki kamar mandi.

Bude tersenyum, karean dia melihat bagaimanan mata Jojo seperti terhipnotis melihat tubuhnya. Bude lupa, kalau sebenarnya, dia tidak lagi sendirian di rumahnya. Tapi melihat mata Jojo yang seperti terhipnotis tadi, jadi ada pikiran lain dalam dirinya. Tapi... Jojo kan keponakannya sendiri, anak dari adiknya dan dia sudah ucapklan kepada adiknya dan suami adiknya, kalau Jojo dia jadikan anaknya sendiri?

Sembari menyiapkan makanan, dia terus melamun. Entah kenapa tiba-tiba Bude juga sepertinya berpikiran aneh juga, terlebih setelah melihat Jojo keluar dari kamar mandi hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. Guh... masih muda, tapi kelihatan tubuhnya demikian atletis.

Mereka makan berdua di ruang makan di dapur. Bude sengaja melepas dua kancing bagian atas dasternya dan memperlihatkan belahan dada-nya yang putih. Di hadapannya ada lemari makan dan dari kaca lemari makan itu, dia mampu melihat apa yang dilakukan Jojo. Seakan kaca itu adalah cermin pengawas. Bude melihat Jojo memperhatikan dadanya, kemudian meloroh ke pahanya. Dalam Hati Bude tersenyum.

Seperti tidak sengaja, dia mengangkap pahanya, sampai pangkal pahanya kelihatan putih dan Jojo memperhatikannya tanpa kedip. Lagi-lagi Bude tersenyum dalam hati, tapi dadanya sudah menggemuruh, apa yang harus dilakukannya.

Bude pernah pacaran selama tiga tahun dengan seorang laki-laki tetangga mereka dan Bude sudah menyerahkan segalanya kepada laki-laki itu. Selama dua tahun dan hampir tiga kali seminggu mereka melakukan hubungan suami isteri, tapi Bude tak hamil-hamil dan laki-laki itu pun memutuskan untuk berpisah. Sejak itu Bude tak mau lagi dekat dengan laki-laki, terlebih hubungan mereka sempat tidak disetujui oleh keluarganya.

Usai makan, Jojo langsung mengangkati piring kotor, walau dilarang oleh Bude.
"Kamu anak yang rajin dan suka membantu."

"Namanya juga anak, ya harus membantu ibunya. Ibu kan sudah capek," kata Jojo yang tidak lagi memanggilnya Bude, tapi ibu, karena sudah dilafaskan Jojo sebgai anak sendiri. Bude tersenyum manis. Saat Jojo menjangkau sebuah gelas dan tubuhnya dekat dengan Bude, Bude memeluknya dan merangkulnya. Anak ibu memang rajin dan iobu senang sekali, katanya mencium pipi Jojo dan memeluknya.

Orang yang berbakti kepada ibunya pasti akan diberkati, kata Bude pula sembari memeluk Jojo dan buah dadanya menempel di dada Jojo. Srrrrr... darah Jojo berdesir akibat tempelan tetek besar yang kenyal itu.

Acara dangdut di TV mereka tonton berdua. Dan Bude menarik Jojo untuk duduk dekat denganya di sofa. Bude merangkulnya dan membelai-belai Jojo.

"Sebagai ibu, dia wajib menyusui anaknya. Walau aku tidak memiliki air susu lagi, tapi aku harus menyusuimu, agar kamu sah menjadi anakku," kata Bude sembari mengelus kepala Jojo. Jojo memejamkan matanya rabutnya dielus-elus dengan kemanjaan. Bude melepas semua kancing dasrernya dan mengeluarkan teteknya.

"Kamu harus netek, dan kamu sah adalah anakku," kata Bude menyodorkan teteknya ke muluit Jojo. Dengan dada menggemuruh, Jojo merebahkan kepalanya di paha Bude dan Bude menyodorkan teteknya ke mulut Jojo sembari mengelus-elus rambut Jojo. Dada Bude juga menggemuruh keras dan vaginanya sudah mulai kembang kempis seperti pantat ayam. Bude mengarahkan bagaimana cara mengisap tetek dan mempermainkan lidah pada teteknya. Lepas dari satu tetek, dipindahkan ke tetek yang lainnya.

"Ikhhhh... anak ibu memang pintar. Ibu berharap, kamu tetap sehat dan nanti bisa tempat ibu menumpang hidup," bisik Bude ke telinga Jojo. Tapi desahan nafas bisikan Bude di telinga Jojo membuatnya semakin gelisah dan bulu kuduknya jadi merinding.

Tangan Bude mengelus dada Jojo yang telanjang dan tela[ak tangan Bude sengaja dipermainkan pada pentil tetel Jojo. Jojo pun suaddh tak mampu mengendalikan dirinya. Dia peluk Bude dan sebelah t etek yang lain diremasnya. Jojo membuka melepas semua kancing daster Bude sembari terus menetek dan Bude ikut membantunya, sampai Buda tinggal memakai CD saja.

Bude pun nafasnya sudah tidajk teratur lagi, lalu melepas celana pendek berkaret bersama CD yang ada di balik celana m\pendek itu, membuat Jojo sudah telanjang bulat.

Jojo terus menguisap tetek Bude, dan Bude secara perlahan melepas pula CD nya sampai dia juga telanjang bulat, sementara tangannya dengan cepat meraih remote controle mengecilkan suara TV. Di raihnya ke belakang kepalanya, ada saklar lampu dan Klik... lampu pun padam. Hanya ada sinar dari kaca TV dan sinar dari ruang makan di bekalang.

Dituntunnya Jojo duduk menghadapnya di lantai, kemudian Bude mengangkangkan kedua kakinya, lalu ditariknya kepala Jojo sampai rapat ke vaginanya.

"Walau kamu belum pernah saya lahirkan, anggaplah ini kelahiranmu. Kamu lahir tanpa sehelai benang pun juga," bisik Bude kepada Jojo. Mulut Jojo dirapatkannya ke vaginanya dan dia minta Jojo menjilati vaginanya.

"Sebagai ganti kelahiranmu, karena kamu tak mungkin lagi masuk ke dalam perutku, mata biarlah lidahmu menyentuh...." kata Bude.

Diarahkannya Jojo menjilati vaginanya, bagian mana vagina itu dijilatnya, sampai Bude benar-benar basah dan mendekati puncak birahinya. Bude pun turun ke karpet dan menelentangkan dirinya, lalu ditariknya Jojo menindih tubuhnya dan menuntun kontol Jojo menelusup ke dalam liang vaginanya.

Huuuhhhh... hangat terasa kontol Jojo memasuki vagina Bude, demikian Jojo juga merasa hangat kontolnya berada di dalam liang Bude.

Secara repleks Jojo mulai mencucuk cabut kontolnya di dalam liang Bude dan Bude memberi respons yang kuat pula. Tidak lama, keduanya berpelukan erat dengan nafas sama-sama memburu dan Bude memeluk Jojo semakin kuat dan menpeit tuhbuhnya dengan kedua kakinya, lalu Bude mendesah... Jooooo.... hayo sirami ibumu ini sayang, sebagai tanda kelahiranmu. Hayooo.... jooooo....

Crot...croo... crooooottt... sperma Jojo tumpah ruah di dalam rahim Bude, Tubuh Jojo menegang dan akhrinya, mereka sama-sama terkulai lemas.....

Bersambung . . .




Budhe dan keponakannya - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
Hayo cepat bangun, udah kesiangan... bangun...bangunnn... Bude membangunkan Jojo. Matrahari syudah menyelusup dari kisi-kisi jendela. Dan Jojo terbangun. Saat dibukanya matanya, yang pertama dia lihat Bude masih telanjang bulat. Saat dia lihat tubuhnya, dia juga telanjang bulat.

Bude pun memakai dasternya, tanpa CD dan Bra lalu dia keluar kamar dan terus ke kamar mandi. Saat keluar kamar dia setengah berteriak, cepat bangun ayo kita mandi, nanti keburu pelanggan kita pada pulang. Johjo pun bangkit dan dengan telanjang dia langsung menghambur ke kamar mandi.

Saat dia masuk ke kamar mandi yang pintunya tidak ditutup, sudah beberap kali siraman air sejuk ke tubuh Buda dan iar itu terpercion ke tubuh Jojo. Dingin.

"Sini dekat, Biar ibu mandikan kamu. Dasar malas mandi kamu..." kata Bude seperti berkata kepada anak berusia 4 tahun dengan manja. Jojo senang diperlakukan seperti itu. Jojo pun jongkok lalu disirami air sejuk mulai dari ubun-ubunnya. Diasbuni pakai sabun mandi yang wangi, lalu Bude menyirami dan menyabuni tubuhnya sendiri. Berdua mereka mandi di kamar mandi dengan telanjang, lalu mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Berdua pula mereka masuk kamar dan berpakaian.

"Kita beli saja sarapan di pasar. Ayo cepat, kata Bude. Jojo berpakaian cepat dan bersisir, lalu menyalakan sepeda motor China memanaskan mesinnya, sedang Bude mengenakan kebaya dan kain batiknya. Tergesa-gesa tentunya.

Benar saja, Kios belum dibuka, pelangan sudah ramai menungu, karena Bude adalah kios terbesar di kecamatan itu menjual jamu secara lengkap. Sebuah mobil y ang membawa jamu dari ibukota provinsi juga sudah menunggu. Jojo membukia jios sembari menyusuni yang penting disusun, Bude mulai melayani pembeli sedang mobil pembawa jamu orderan, harus sabar menunggu.

Kenapa lama sekali hari ini? Salah seoprang pelanggan yang merasa lama menunggu memberikan teguran halus, walau teguran itu disampaikan dengan senyum manis.

"Kayak pengantin baru aja," yang lain nyeletuk.

"Iya tuh.. wajahnya hari ini cerah sekali, seperti remaja tinting yang baru dapat pacar," seorang pelanggan lain me4nimpali. Walau wajah Bude bersemu merah, dia tersenyum saja.

"Sabar... sabar..." hanya itu yang jkeluar dari muluitnya. Apakah jawabannya itu ada relevansinya dengan celoteh pelangannya dia sendiri enggak tau.

Usai menyusun yang penting, Jojo membeli sarapan ke kedai tak jauh dari tempat mereka dan sarapan sendiri, lalu sebungkus dai bawa untuk Bude, ibunya.

"Ini siapa?" tanya salah seorang pelanggan y ang sedikit kagum juga pada kecekatan Jojo dan kegantengannya.
"Pembantu dapat dari mana?" tanya yang lain.

"Kalau ngomong jangan sembarangan. Itu anakku...." bentak Bude dengan wajahnya yang tajam pada tatapan. Pelanggan sempat terkesiap mendengar bentakannya. Tapi ada satu pelanggan yang usil dan mengatakan:" Setahuku, ibu tak pernah menikah, kok tiba-tiba punya anak?"

Bude semakin galak. Soal menikah atau tidak, itu urusanku. Tapi yang jelas mulai tiga hari lalu, dia adalah anakku. Mengerti?" bentaknya. Semua diam. Merek sadar, soal masalah anak, tak pantas mereka mengungkitnya. Setelah semuanya kembali cari, Bude mengatakan kepada salah seorang pelangan yang tertua dan selama ini dekat dengannya, siapa Jojo. Jojo anak adik kandungnya dan sudah diserahkan kepadanya sebagai anaknya sendiri.

Ibu tua itu menyalami Bude sembari mengucapkan selamat, semoga menjadi anak yang soleh. Jojo juga disalami dan dicium oleh ibu tua itu. Palanggan yang lain yang mulanya mau isen saja, ikut menyalami dengan mengucapkan selamat. Ibu tua itu menyarankan agar dibuatkan kenduri kecil-kecilan agar semua orang tau, Bude sudah memiliki seorang anak yang ganteng. Semua menyetujui dan BUde pun langsyung ngomong kalau hari minggu depan hal itu dilaksanakan. Saat itu juga Bude mengundang mereka semua.

Ibu tua itu pun menngumbar kata:": Tuh... rupanya suadh direncanakan mingu depan buat kenduri kecil-kecilan dan dia akan mengundang kita semua. Makanya, kita tak seharusnya asal ngomong," katanya. Pelanggan yang lain pun memohon maaf atas kelancxangan mereka. Dan minggu depannya, acara kenduri itu pun dilaksanakan, tetangga semua diundang dan pelanggan juga.

Usai acara kenduri Jojo dan Bude kelelahan. Cepat mereka tidur. Hanya satu malam saja Jojo tidur di kamarnya yang sudah disediakan. Setalah itu, mereka pernah tidur di karvet sampai bangun kesiangan, kemudian dan seterusnya mereka tidur di kamar Bude. Jojo hanya tidur di kamarnya, jika ada tamu yang datang dan bermalam di urmah mereka.

Sebuah daster terap tersangkut tak jauh dari ranjang, demikian juga sebuah celana pendek dan kaos oblong. Pernah hampir bahaya, pukul 22.00 Wib ada tamu yang datang, merek ahampir ketahuan tidur sekamar. Dengan dekatnya daster dan celana pendek serta kaon oblong di ranjang, jika ada apa-apa mereka bisa cepat memakainya.

Begitu pintu tertutup, Bude melepas pakaiannya sampai bugil dan meletakkan dasternya pada sebuah paku di sisi ranjang. Jojo juga demikian dan mereka masuk ke dalam selimut. Di antara mereka tak ada pernah keluar kata-kata malam ini kita ngentot yuk atau kata-kata apa saja. Bahasa tubuh keduanya mereka sudah bisa saling mengerti.

Jojo membuka sedikit selimut dan mulutnya langsung mengisap tetek Bude dan sebelah tanganya mengelus-elus memek Bude dengan bulunya yang selalu terawat rapi. Saat itu juga walau terasa agak letih Bude tatap memberinya respons, mereka saling mengelus, merangkul dan melepaskan nikmat mereka dengan gairah yang luar biasa.

Jarang sekali mereka mandi sendiri-sendiri setiap pagi. Demikian juga setiap sore, kecuali ada tamu. Mandi, tidur, makan, mereka tetap bersama. Bude semakin gairah dalam hidupnya dan tetap menemani Jojo belajar sampai dia tertidur menopangkan tangannya di atas meja makan, tempat Jojo belajar.

Semua orang kagum pada Bude y ang memiliki anak ganteng dan semakin ganteng saja dengan pakaian rapi seperti Bude, dan rajin membantu. Tak percuma Bude mendapatkan anak seperti Jojo y ang r ajin dan penuh sopan santun. Bude juga bangga sekali jika orang-orang memujinya. Terutama orang sedesanya yang mengetahui siapa Jojo dan mengenal siapa orangtua Jojo, mereka menghargai keberadaan Jojo.

Setahun sudah Jojo bersama Bude. Dia semakin ganteng, tidak terjemur matahari lagi, makan teratur dan pakaiannya bagus-bagus, serasi dengan tubuhnya. Kini kelihatan dia semakin tinggi dan berotot.

Jojo mengusulkan agar mereka seskali berlibur entah kemana. Mesin juga ada istirahatnya, kenapa mereka tak pernah istirahat? Bude setuju. Kamis kini mereka akan ke villa yang bisa disewa dan jauh dari keramaian, karena dia pernah liburan ke sana. Rencana itu mereka matangkan, dan mereka siap berangkat naik sepeda motor, dengan membawa sebuah ransel besar untuk pakaian mereka selama tiga hari.

Jojo gembira sekali dan dia mencium pipi Bude ibunya itu.

"Terima kasih, bu. Ibu baik sekali. Aku belum pernah menginap di villa. Terima kasih, ya... " kata Jojo. Ucapan Jojo itu membuat Bude haru dan dia memeluk Jojo.

"Apa pun akan aku berikan untukmu, Nak. Aku sangat menyayangimu dan mencintaimu, melebihi segalanya, asal kamu juga menyayangiku dan emncintaiku," bisiknya ke telinga Jojo.

"Aku pasti menyangimu Bu. Aku t idak akan pernah menikah dengan siapapun, kecuali kalau Ibu sudah tiada," kata Jojo pasti. Bude tersenyum bahagia.

Bersambung . . .




Budhe dan keponakannya - 3

0 comments

Temukan kami di Facebook
Habis Sebalum menutup kios, di pintu kios, Jojo menempelkan pengumuman, kalau kios tidak buka selama tiga hari karean ada urusan keluarga. Bude tersenyum. Kenapa selama ini dia tidak pernah berpikir seperti itui, sampai dia tidak pernah mengenal istirahat. Apa yang dikatakan oleh Jojo benar, kalau setiap minggu, dia harus tutup kios dan wajib istirahat untuk kesehatannya sendiri.

Sepeda motor melaju di jalan raya. Mereka akan menempun perjalan satu setengah jam memasuki kebun teh yang hijau dan di balik kebun itu ada villa mungil yang akan disewa selama tiga hari.

Di depan lekukan sepeda motor diletakkan ransel berisi pakaian untuk tiga hari dan Bude di boncengan belakang menyandang sebuah tas agak besar. Mereka istirhat sejenak di sebuah warung yang bersih. Kebetulan di warung itu mereka bertemu dengan penjaga villa dan mereka mendapat kabar, kalau violla sedang kosong, karena ada penyewa yang baru saja pulang dan villa sedang dibersihkan.

"Ibu dan putranya yang mau menempati?" tanya penjaga villa. Bude mengiyakan, karena menurut dokter dia harus istirahat total selama tiga hari. Setelah harga disepakati, penjaga villa itu minta diri untuk persiapan lebih lanjut dan menyiapkan makan siang dan malam, sedang menu lainnya akan dibicarakan nanti di villa.

Karean belum sarapan, Jojo dan Bude meminta sarapan dan mereka menikmatinya dengan senang. Sebentar-sebentar Jojo menyenderkan kepalanya ke bahi Bude atau sebaliknya. Bude menyelus-elus kepala Jojo pula.

"Anaknya, Bu?" t anya salah seorang yang duduk dekat mereka.
"Iya..." Bude langsung menjawab.
"Anaknya berapa, Bu?" tanyanya pula.
"Ya, cuma ini aja," Bude menjawab.

"Pantas. Kami sudah menduganya. Manja sekali. Namnya satu-satunya," komentar mereka. Jojo mendengarnya, tapi dia tak perduli dan tidak malu.

"Udah ah. LIhat tuh, kamu dikatain manja. Malu gak?" Bude sengaja mengucapkannya agak sedikit keras. Tapi jojo diam saja dan tak mau lepas menyenderkan kepalanya dibahu Bude. Orang yang melihatnya pun tersenyum dan mampu memahami anak tunggal yang manja.

Usai istirahat, berarti setenbgah jam lagi mereka akan sampai ke tujuan. Mereka kembali menyusuri jalan dan sudah memasuki wilayah kebun teh yang hijau dan asri. Walau jalannya tidak luas, tapi mobil bisa berselisih dengan baik dan aspalnya masih mulus. Bayangan Bude setengah jam, ternyata tanya 20 menit.

Jalan yang meliuk-liuk itu, membuat mata mereka segar memandang dan mereka memasuki halaman villa di ketinggian. Sesekali embun menampar-nampar wajagh mereka dan sepeda motor langsung diminta supaya dimasukkan ke dalam garasi.

"Mau kamar yang di bawah atau yang di atas?" tanya penjaga.
"Yang di atas," kata Jojo cepat, sebelum Bude menjawab dan Bude hanya tersenyum saja.
"Lutut ibu bagaimana, sayang" tanya Bude.

"Jojo akan menuntun ibu kalau perlu Jojo akan gendong," katanya dengan kemanjaan. Penjaga villa tersenyum bersama isterinya mendengar jawaban Jojo.

"Silahkan, nanti kami akan hubungi pakai aiphone," kata sang penjaga. Penjaga mengangkat ransel mereka dan Jojo menuntun Bude naik ke atas. Jojo memilih kamar yang menghadap ke kebun teh. Karena tidak ada penghuni lainnya, mereka bebas saja, mau ada di mana, karean di atas hanya atas tiga kamar. Bude dengan hati-hati menyampaikan, karean menurut dokter dia butuh istirahat dan ketenangan dia mohon kalau bisa tidak ada orang yang naik ke atas, kecuali jika ada tamu yang mengisi kamar.

Penjaga mengerti dan menyanggupinya dan mengatakan akan membawa makanan naik ke atas agar Bude tak harus naijk-turun tangga.

Begitu penjaga turun, Jojo langsung menutup pintu di tangga dan menguncinya. Klek... klek...!

Bude tersenyum melihat tingkah Jojo. Itu artinya Jojo ingin hanya berdua saja dan mungkin saja Jojo ingin melakukan sesuatu yang seru. Begitu mengunci pintu, Jojo langsung menghambur ke Bude dan memeluknya lalu membawanya ke balkon dan menatap indahnya kebun teh yang terkadang diselimuti kabut. Jojo berdiri di balkon dan Bude memeluknya dan belakang, merapatkan teteknya ke punggung Jojo.

Jojo tau, kalau yang rapat ke tubuhnya itu masih dilapisi Bra. Jojo membalikkan tubuhnya.

"Kalau ibu tidak kedinginan, ayo, aku akan mengganti kapaian ibu dengan daster," ujarnya lembut. Bude tersenyum dan langsung ke kamar. Dia lepas kebayanya dan kain batiknya yang melilit tubuhnya dan dia sudah bugil. Jojo langsung memakaikan dasternya tanpa ada apa-apa di sebalik dastrer itu. Jojo juga melepas pakaiannya dan mengantinya dengan trainingspaak serta kaos oblong tanpa ada yang lain di sebaliknya. Mereka kembali ke balkon dan Bude memeluknya dari belakang.

"Kita harus hemat, Bu. KIta harus punya rumah mungil di sini. Nanti kalau ibu sudah tua dan aku sudah bekerja, ibu harus banyak istirahat di sini dengan udara yang segar," kata Jojo seperti kepada dirinya sendiri.

"Ya. Kita harus cari duit yang banyak. Selam kamu tida ada, aku tak pernah berpikir hemat dan tidak tau uangku habis demikian saja," kata Bude seperti menyesali. Jojo berbalik, lalu dia mencium bibir Bude. Mereka berpelukan dan loidah mereka saling mengkait. Saat itu terdengar suara aiphone dan Bude menerimanya. Ternyata makan siang suadh siap dan akan diantar ke atas.

JOjo membuka pintu tangga dan penjaga suami-istri memgantar makanan ke atas. Nasi, lalap dan sambal, ikan asin dan ayam goreng serta sayur asam. Kemudian Bude menyerahkan menu untuk nanti malam dan seterusnya. Penjaga itu turun dan mereka berdua makan dengan lahap setelah pintu kembali dikunci.

Jojo menatap tajam tubuh Bude dan Bude kebingungan dibuatntya, tapi tak berani bertanya. Jojho mendekati Bude dan melepas semua daster hingga bugil, lalu Jojo melepas pakaiannya juga sampai bugil. Jojo memeluk Bude dan kembali mereka berciuman. Saling menjilat leher, saling meraba dan saling memagut.

Kabut semakin tebal udara semakin dingin, namun birahi membuat mereka hangat. Bude menuntun Jojo secara tak langsung ke sebuah kursi di sebuah sudut dan mendudukkan Jojo di kursi itu. Jojo pun mengisap pentil tetek Bude, dengan sebelah tangannya meremas, terkadang mengelus memek Bude. Sampai memek Bude benar-benar basa. Bude juga mengelus tubuh Jojo, juga meraba kontolnya.

Bude menaiki sisi kursi, lalu menuntun kontol Jojo memasuki lubangnya. Bude menekan tubuhnya, hingga kontol Jojo menembus luabng nikmat itu.

Uh.... Bude melenguh. Bude merasakan, ujung kontol Jojo mentok jauh di dalam, Untunglah dia melakukan hal ini, hingga dia mengetahui kedalaman memeknya dan kepanjangan kontol Jojo.

Jojo merasakan ujung kontolnhya mentok jauh di dalam kemudian merasakan kehangatan memek Bude dan menikmati kedua tetek Bude lengket di dadanya dan menikmati jilatan lidah Bude di lehernya. Tubuh yang mungil itu semakin disayangi oleh Jojo. Seumru hiduponya dia tak pernah merasakan kenikmatan seperti ini dan kenikmatan hidup yang lain.

Bude mulai memutar-mutar pantatnya untuk mencari titik nikmatnya agar dia buisa orgasme, sementara Jojo merasakan gesekan-gesekan dinding liang Bude pada kontolnya. Sudah hampir 20 menit mereka di kursi itu, dan terus tubuh mereka tak bisa diam. Akhirnya, kedua saling merangkul dengan kuat dan masing-masing merintih dengan lembut dan dari liang memek Bude keluar lendir kental membuncah, lalu disusul pula dengan semprotan sperma Jojo beberapa kali.

Mereka pun merenggangkan pelukannya. Jojo membimbing Byude ke kamar dan mereka sembunyi di balik selimut tebal, karena terpaan hawa dingin.

Selama tioga hari di villa, seperti tiada lelah bagi Jojo untuk menyetubuhi Bude, setidaknya dua kali sehari. Bude sepertinya tak sedetikpun dibiarkan oleh Jojo si remaja kemaruk itu lepas dari pelukan. Sebentar-sebenar dia mengecup entah bagian tubugh yang maa saja. Sebentar-sebentar dia menjilat, entah bagia tubuh yang mana saja.

Saat mereka mau pulang, Dan sudah berpakaian agar pagi itu mereka pualng dan sempat istirahat di rumah serta besoknya tidak terlamat membuka kios, Saat mau turun tangga, kembali Jojo menarik Bude kembali ke atas, padahal mereka sudah menuruni dua buah anak tangga. Bude hanya menatap, mungkin ada yang tinggal. Begitu kembali tiba di atas, Jojo mengunci kembali pintu, lalu membuang ransel dan melapas kebaya Bude dan seterusnya sampai telanjang bulat.

Jojo juga melepas semuapa pakaiannya sampai budil. Bude tersenyum Dia harus melayaninya. Di tempat tidur, langsung Bude dikangkangkan dan memeknya diserbu dengan jilatan lidah. Bude menggelinjang. Lebih menggelinjang lagi, saaat lidah Jojo menjuilatiu lubang duburnya dan ujung lidah itu memutar-mutar di lubang duburnya. Seumur hidup Bude tak pernah merasakan kenikmatan seperti itu.

Jojo masih berdiri di lantai, sementara Bude terlentan di ranjang. Kemudian Jojo menusuk kontolnya ke memek Bude yang sudah becek. Kemudian ditarik lalu ujung kontolnya ditempelkan ke lubang dubur dan ditekan, kemudian dilepas lalu dimasukkan kembali ke lubang memek sampai dalam beberap akali kocokan lalu ditarik dan ujung kontol kembali ditekan ke luabnhg dubur lalu ditekan kuat. Begitru kepala kontolnya sudah masuk, Jojo menariknya kembali dan mencelupkannya ke lubang memek jauh ke dalam terus berganti-ganti.

sampai akhirnya, setengah batangnya sudah memasuki dubur Bude dan Bude merintih.

Perlahan Jojo menarik kontolnya dn perlahan pula dia menekannya. Jojo merasakan betapa nikmatnya cengkeraman loubang dubur Bude, kemudian saat mau melepas spermanya, Jojo menekan sekuat-kuatnya kontolnya sampai hilang ditelan dubur Bude dan di sana melepaskan spermanya. Kontolnya mengecil lalu keluar dari dubur dan Jojo kembali joingkok menjilati memek Bude sampoai Bude orgasme.

Mereka pualng dengabn perlahan-lahan. Bahkan mereka berhenti sampai tiga kali di warung tepi jalan. Sore menjelang mahgrib mereka tiba di rumah. Karean sudah kenanyang, mereka langsung istirahat tidur, agar tidak bangun kesiangan. Jojo sempat mengantar Bude ke kios dan dia ke sekolah. Sepulang sekolah masih sempat membantu bude di kios.

Sampai Bude mninggal dunia dalam usia 60 tahun, dia tak pernah melahirkan dan Jojo baru menikah dlam usia 36 tahun dan dia meneruskan usaia Bude sebagai agen jamu "Ny.M" di ibukota kecamayan itu.

Tamat




Biar lambat asal nikmat - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Matahari bersinar sangat terik sekali siang ini. Farid baru saja membuka pintu gerbang, ingin secepatnya masuk ke dalam rumah yang sejuk. Ditutupnya kembali pintu gerbang, menuntun motor bebeknya, memarkirnya dengan rapi di garasi samping, segera melangkahkan kaki ke pintu depan. Pintu depan terbuka, sepertinya ada tamu, Farid melihat bayangan orang sedang berbicara dari balik jemdela. Kurang jelas terlihat dari pagar sini. Sambil melangkah masuk ia mengucapkan salam.

”Lho...ibu...kapan datang...? Kok nggak ngabarin ? Mana Ayah ?”
”Baru saja ibu sampai.Sengaja tak memberi kabar, sekalian kejutan.”

Baru saja Farid hendak bertanya, budenya sudah memotong pembicaraan

”Sudah, kamu makan saja dulu. Nanti kan bisa ngobrol sama ibumu, sana kamu ganti baju dulu.”
”Iya bude.”
”Sekalian kamu bawakan tas ibumu ini...”

Faridpun mengambil tas yang dibawa ibunya, banyak juga bawaannya. Tak seperti biasanya. Faridpun melangkah masuk ke dalam. Masih bertanya – tanya, kan baru 2 bulan yang lalu ibu berkunjung kemari bersama ayah, kok sekarang sudah datang lagi. Nah sebelum pembaca bingung, ada baiknya dijelaskan dulu semuanya dari awal ya....

Farid, awal 19 tahun, baru saja masuk kuliah tingkat 1 di sebuah Universitas Negeri di kota Yogyakarta, sebentar lagi bersiap masuk tingkat 2, Jurusan Tekhnik. Aslinya dia tinggal di Jakarta. Tapi karena kuliahnya sekarang, dia tinggal di rumah pakde dan budenya yang memang menetap di Yogyakarta.

Ayahnya, Joko, 45 tahun, orang Jakarta asli, pegawai bank pemerintah, bekerja dari awal karir saat masih bujang, kini menduduki jabatan yang lumayan sebagai kepala bagian kredit di salah satu kantor cabang di Jakarta. Ibunya Lisna, 39 tahun, asli Yogyakarta, ibu rumah tangga. Walau ayahnya orang Jakarta, tetapi ibunya lebih terbiasa memanggil suaminya itu dengan sebutan Mas, bukan abang. Farid mempunyai satu orang kakak perempuan, Ningsih, 21 tahun, sudah menikah. Kini ikut suaminya yang bekerja di Kalimantan. Awalnya setelah lulus SMA, ayahnya menginginkan Ningsih kuliah, tetapi bang Husin, 24 tahun, masih tetangga mereka, yang telah memacari kakaknya dari awal kakaknya SMA melamar kakaknya. Orangtua bang Husin juga memaksa, akhirnya karena kak Ningsihnya juga tak keberatan, dan ayah juga sangat mengenal baik kedua orangtua bang Husin, mereka diijinkan menikah. Awalnya setelah menikah mereka masih tinggal di rumah, tetapi tak lama bang Husin dikirim perusahaan pusat ke Kalimantan. Awalnya bang Husin berangkat sendiri, setelah 3 bulan di sana, setelah merasa mantap, juga karena mendapatkan mess bagi karyawan yang menikah, ia meminta istrinya menyusul. Maklum penganten baru hehehehe. Tentu saja ayah dan ibu awalnya berat melepas anak mereka, tetapi sadar kini kak Ningsih telah menjadi tanggung jawab dan juga hak suaminya. Sedangkan Farid sendiri, sewaktu akhir kelas 3, dia mengikuti program masuk universitas negeri, mengambil jurusan tekhnik yang ia suka. Memilih kota Yogyakarta dan satu kota lain sebagai pilihannya, dan behasil lolos. Memang walau sepintas gayanya seperti malas, tapi otaknya cukup encer. Sebenarnya ayah dan ibunya keberatan, anak perempuannya sudah merantau dibawa suaminya, kini anak lelakinya harus kuliah di Yogyakarta. Tapi untuk menghargai usaha Farid yang bisa lolos dari ujian itu, dan karena di Yogya ada keluarga, maka akhirnya merestui.

Awalnya Farid memang maunya kost saja, tapi ditolak ayahnya. Tak ada yang mengawasi katanya. Di Yogyakarta ini ada kakak ibu, bude Sri, 42 tahun. Suaminya Pakde Harno, 46 tahun, insinyur mesin, bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di alat berat dan mesin industri. Perusahaan pusatnya di Jakarta. Pakdenya bekerja di cabang yang meliputi region Yogyakarta, Solo dan Jawa tengah. Anak mereka 2 orang, perempuan semua. Sebenarnya Farid juga tak asing lagi dengan mereka. Sudah sering berkunjung dan menginap di sana kalau saat libur sekolah atau hari raya. Pakdenya juga amat sangat senang menerima Farid, maklum tak punya anak lelaki. Anak pertamanya, Mbak Santi, 22 tahun, sudah menikah dan kini menetap di Sumatra, ikut suaminya. Suaminya itu pegawai bank swasta. Awalnya kerja di kantor cabang Yogyakarta. Atasannya menyukai dan senang dengan cara kerjanya. Sewaktu ada informasi mengenai posisi yang bagus di cabang Sumatra, atasannya mengajukan dirinya. Sifatnya optional, boleh diambil, boleh tidak, setelah berdiskusi dengan istri dan mertuanya, akhirnya ia mengambilnya, karena selain akan naik jabatan dan memperoleh fasilitas, juga yang menjadi pertimbangan utama..gajinya naik dalam jumlah yang signifikan. Berangkatlah mereka, rupanya sangat kerasan di sana, bahkan suaminya dibajak sebuah bank di sana, mendapatkan fasilitas dan juga rumah dinas yang baik, sepertinya bakalan berkarir penuh selamanya di sana. Anak Pakdenya yang kedua, mbak Sinta, 20 tahun, baru menikah 2 bulan yang lalu, di mana ayah dan ibu Farid juga datang menghadiri acaranya. Menikahnya masih sama tetangga sekomplek. Hampir serumah sama kak Ningsih dulu, pacarnya ngebet minta kawin. Jadilah walau mbak Sinta masih kuliah, namun tetap menikah. Kini tinggalnya cuma beda beberapa blok saja dari sini.Suaminya pegawai Pemda. Mbak Sinta juga tentu saja tetap melanjutkan kuliah. Nah Farid ini menempati kamar mbak Santi, sebenarnya Farid sangat tak enak, karena kamar tersebut sangat bagus dan komplit. Ceritanya sewaktu baru menikah dulu suami mbak Santi merombak sedikit kamar itu. Di bagian luar ada kelebihan lebar sekitar 1.5 meter, ia membuat kamar mandi di dalam, mungkin biar praktis dan nyaman, tak perlu mondar – mandir ke kamar mandi luar. Ternyata tak lama ia bertugas di Sumatra. Jadilah Farid beruntung menempati kamar 4 x 4 dengan kamar mandi di dalam. Pakde dan Budenya, juga mbak Santi, sudah nyaman dengan kamarnya masing – masing dan tak mau menempati kamar mbak Sinta.

Setelah menikah, kamar mbak Sinta tentunya kosong, Pakde Harno yang memang ingin mempunyai ruang kerja juga perpustakaan mini, akhirnya merombak kamar itu. Toh mbak Sinta tinggal hanya beberapa blok saja dari sini, jadi kalaupun datang tak mungkin menginap. Ia meminta bantuan Farid, dikerjakan kalau hari libur, santai saja. Farid tentu saja senang membantu, peralatan kerja Pakdenya juga komplit, mengerjakannya juga santai saja tak buru - buru, setelah beberapa lama mengerjakan jadilah rak – rak untuk buku juga beberapa meja. Farid sebenarnya agak heran kok banyak juga mejanya, tetapi Pakdenya bilang, ruang ini juga untuk Farid. Dan yang lebih menyenangkan Pakdenya memasang internet dan mengganti komputer yang lama dengan yang baru, komplit sama scanner dan printernya, memang untuk mendukung pekerjaan Pakdenyanya juga. Lumayan pikir Farid, nggak perlu ke warnet lagi. Kasur yang lama disimpan di gudang. Pakdenya hanya berpesan, ruang ini boleh Farid pakai, tetapi di luar waktu khusus Pakdenya. Semua anggota keluarga sudah paham mengenai waktu khusus ini. Baik hari biasa atau libur, Pakdenya setiap jam 7 sampai jam 9 malam, rutin meluangkan waktu untuk dirinya sendiri, baik untuk membaca atau bekerja, dan tak ada yang boleh mengganggu. Dan kini makin asik saja setelah mempunyai ruang khusus. Farid sih tak masalah, toh ia bisa memakainya di luar waktu itu.

Ayah dan ibu mengantar Farid ke Yogyakarta, sekalian mengurus pendaftaran dan administrasi kuliahnya, dan meminta ijin ke saudaranya. Awalnya sewaktu meminta ijin supaya Farid bisa menetap di situ, ayah bermaksud membayar uang tinggal, ya, karena ini kan bukan seperti kunjungan saat liburan. Tentu saja Pakde Harno keberatan, agak tersinggung, katanya ke ayah saat itu. Apa –apaan kau Joko, Farid ini keponakanku, seperti anakku, tinggal saja, tak usah kau malu hati sampai mau membayar uang sewa, memangnya ini kost – kostan. Dan memang Pakdenya ini sangat senang, seperti dapat teman ngobrol sejiwa, maklum nggak punya anak laki, kini dia punya teman diskusi, teman nonton bola saat malam. Memang Pakde dan Farid maniak bola, dulu Pakde kalau nonton malam hanya sendiri, baru bisa mendiskusikannya besok saat ketemu teman di kantor, kini ada Farid yang menemani. Kehadiran Farid seperti anak lakinya sendiri saja.

Untuk uang kiriman bulanan, Farid benar – benar bisa berbahagia, sangat – sangat lebih dari cukup. Ya, maklumlah, ayahnya kan kini berkurang kewajibannya, sudah tak membiayai kakaknya, Ningsih. Jadi bisa melebihkan jatah Farid. Buat makan, paling Farid keluar uang saat di kampus saja, selebihnya dia makan di rumah Pakdenya. Paling ia membeli kopi, susu, gula, dan makanan kecil dalam jumlah agak banyak yang sebagian akan ditaruhnya di lemari dapur, buat keluarga Pakdenya. Selebihnya buat rokok dan bensin. Ayahnya juga membelikan motor bebek, walau bukan baru dan bukan terbitan tahun muda, tapi Farid senanglah, daripada berangkot ria. Pendeknya buat masalah uang, Farid benar – benar makmur, setiap akhir bulan selalu bersisa lumayan banyak, juga bisa lumayan sering traktir temannya.

Normalnya Farid pulang tiap libur semester atau kadang hari raya, kalau ayah dan ibunya tak berhari raya di Yogyakarta. Memang biasanya orangtuanya rolling, tahun ini hari raya di Jakarta dengan keluarha ayah, tahun besok di Yogyakarta keluarga ibu. Ibu hanya 2 bersaudara dengan budenya, orangtuanya sudah tiada, tapi saudara dan kerabat masih lumayan banyak di Yogyakarta dan sekitarnya. Setelah Farid kuliah di sana orangtuanya kadang menjenguknya, ayahnya biasa ijin atau cuti sehari, berangkat kamis malam, nanti kembali Minggu pagi, naik bis atau kereta, kalau lagi banyak rejeki, naik pesawat. Dahulu kalau ayah ibu datang, maka ayahnya akan tidur di kamar Farid, sedang ibunya sekamar dengan mbak Sinta. Jutru ini, sekarang kan kamar itu sudah dirombak, Farid baru ingat hal itu saat ia membawa tas ibunya. Ia terdiam, berbalik kembali ke ruang tamu. Terakhir 2 bulan lalu saat ayah ibunya datang menghadiri kawinannya mbak Sinta, kamar itu masih belum dirubah.

”Eh, bude, kan kamarnya mbak Sinta sudah jadi ruang kerja Pakde...”
”Oh iya, bude lupa...iya Lis, mas Harno sudah merubah kamarnya Sinta buat ruang kerjanya dan juga buat Farid...ya wislah, kamu tidur di kamar Farid sja, tak masalah kan...?”
”Ng..iya deh mbak, di mana saja juga tak masalah.”

Farid segera membawa tas ibunya, kasur peninggalan mbak Santi ukuran besar, maklum kasur ukuran suami istri. Farid memakainya tanpa menggunakan kayunya, cukup di lantai dialas karpet tipis. Biar nanti dia tanya ibu, kalau memang ibu mau sendiri, dia akan ambil kasur yang di gudang, ngegelar di sebelahnya atu di pojokan kamar. Farid segera mengganti baju dan ke kamar mandi bersih – bersih. Saat ia keluar dari kamar mandi, ibunya sudah di kamar.

”Bu..anu..kalau ibu maunya tidur sendiri, biar nanti Farid ambil kasur yang di gudang buat Farid.”
”Ya..ndak usahlah Rid, kasur ini juga besar, kamu nanti di pinggir sana saja.”
”Ya...sudah kalau begitu. Oh ya bu, jadi bagaimana ceritanya nih sampai ibu kemari tanpa pemberitahuan ? Ayah ke mana ? Terus berapa lama ibu nginapnya...?”
”Duh nanyanya satu – satu dong, tolong nyalain kipas anginnya Rid, ibu gerah nih...”

Farid segera menyalakan kipas angin kecil, memang ibunya tak tahan gerah, sudah kayak udang rebus saja saat ini karena cuaca siang ini memang lumayan panas. Dia menunggu ibunya mendinginkan diri sebentar. Setelah sudah agak adem ibunya memulai menjelaskan.

”Ibu memang sengaja tak beritahu kamu. Jadi ceritanya ayahmu itu lagi ada dinas luar, agak lama 2 bulan, di Sulaiwesi. Karena memang cuma 2 bulan dan sayang ongkos, maka ayahmu memutuskan sekalian saja terus disana. Nah ibu kan sendirian di rumah, daripada tak ada kerjaan juga tak ada yang menemani, maka ibu usul ke ayahmu agar selama ia di sana, ibu tinggal di rumah budemu saja. Ayahmu tak keberatan, bahkan mendukung.”
”Oh begitu, sekarang di rumah siapa yang tinggalin bu? Terus memangnya ayah dinas apaan, tumben, biasanya cuma seminggu atau 2 mingguan saja.”

Ibunya menjelaskan, rumah mereka di Jakarta ditunggui sama Mang Jaka, adik ayahnya. Ibu lalu menjelaskan, di kantor cabang Sulaiwesi, tempat bank ayahnya bekerja, telah terjadi masalah, ada kebocoran serius ( Bahasa halusnya buat korupsi ). Pimpinan dan pegawainya banyak yang dipecat. Dari pusat memutuskan untuk merekrut atau mempromosikan tenaga baru dari daerah itu, tapi tetap harus ditraining dan dibina oleh orang pusat. Juga sekalian membenahi pembukuannya yang sudah disulap sana – sini. Maka ayahnya dan beberapa orang lainnya dikirim ke sana. Nantinya tinggal di mess milik Perusahaan. Ayahnya mau, uang dinasnya lumayan kata ibu...hehehe dasar. Jadi begitulah ceritanya sampai ibunya datang tanpa pemberitahuan. Ya sudah, farid sih senang – senang saja dengan kehadiran ibunya. Tak lama bude memanggil mengajak makan, Farid keluar duluan, ibunya ganti baju dulu lalu menyusul.

Setelah makan, Farid masuk kamar, mau rebahan sebentar, tadi mbak Sinta baru saja datang ditelepon bude yang mengabarkan kedatangan ibu, kini asik mengobrol sama ibunya dan Bude. Farid segera berbaring sambil mulai berpikir. Agak aneh juga nanti harus tidur sama ibunya. Farid memang sayang sama ayah dan ibunya. Ibunya juga sangat sayang padanya, karena Farid anak bontotnya. Ibunya walau begitu, selalu menjaga diri dengan baik, tak pernah sembarangan kalau mengganti baju, tak pernah bebas membiarkan Farid melihatnya. Farid sendiri termasuk anak yang baik dalam hal perilakunya selama ini, tak pernh menyusahkan atau terlibat masalah serius, sekolah juga tak pernah bikin masalah, namun seiring umurnya tentu saja ia juga sudah mengenal dan melewati tahap pubernya. Bahkan untuk urusan seks juga Farid bukanlah anak kemarin sore lagi. Di SMA dulu, sering melakukannya dengan pacarnya, sayang hubungannya putus. Di kuliahan sekarang, ia juga akrab bergaul, beberapa anak mahasiswi di kampusnya kini mulai dalam tahap seleksinya. Dan jujurnya, memang Farid mengagumi dan mengakui kecantikan ibunya. Dan seperti anak remaja yang dalam tahap berkembang, dulu juga sering ia berkhayal mengenai ibunya. Tapi tak lebih dari itu. Farid juga remaja yang normal, sering membayangkan gadis remaja seusianya.

Sewaktu tinggal di Yogyakarta, memang Farid mengakui kalau kedua kakak sepupunya cantik dan Farid juga nggak munafik sering mengagumi dan mengkhayalkan mereka. Namun Farid mendapati dirinya justru lebih menyenangi dan lebih bergairah pada budenya, Sri. Walau usianya sudah 42 tahun, tetapi bodinya tetap yahud. Bahkan tanpa ragu Farid berani berkata bahwa bodi budenya jauh...jauh lebih nafsuin dan jauh lebih mendebarkan dibandingkan kedua kakak sepupunya itu. Pantatnya besar, teteknya apalagi besar dan masih kencang, selalu membuat Farid ngaceng setiap melihat tonjolan kembar itu di balik dasternya. Yang paling menyenangkan Farid, budenya ini suka sekali memakai daster yang belahan lengannya lebar, memang kadang tetap memakai BH, tetapi kalau hari panas atau malam menjelang tidur, umumnya Bude akan melepas BHnya, dan kalau budenya mengangkat tangannya agak tinggi, maka Farid dari samping bisa melihat pinggiran tetek budenya yang besar itu, kadang bebas, kadang terbungkus BH yang ketat, juga pangkalan lengannya yang berketek rimbun. Dan budenya juga entah tak ngeh atau memang tak peduli, cuek saja. Memang sih Farid sebisa mungkin mencuri lihat dengan tak terlalu bernafsu, tak pernah ketangkap basah sedang memandang, jadi tak ketara. Yang paling Farid ingat, waktu siang dia sudah pulang kuliah, setelah istirahat, budenya yang lagi membereskan kamar mbak Sinta yang baru menikah, memanggilnya. Budenya berdiri di atas kursi, menurunkan kardus – kardus di atas lemari, tadinya Farid menawarkan diri menggantikan, tapi nggak usah kata budenya. Budenya berdiri di atas kursi, menjulurkan tangan mengambil kardus, yang agak ke belakang letaknya. Farid menunggu untuk menerima kardus itu. Matanya sangat melotot seakan mau lepas, menyaksikan belahan lengan daster budenya, bagian samping sebelah tetek budenya sangat jelas terlihat, karena budenya rada mencondongkan badan. Besar, walau sedikit turun, tapi sangat seksi terlihat, pentilnya juga besar dari samping. Mungkin karena gerah mengangkat – ngangkat, bude tak memakai BH. Karet CD atasnya juga terlihat Belum lagi keteknya kehitaman dan rimbun, sangat erotis. Kont01 Farid sangat keras sekali saat itu, untung celana pendeknya yang model lebar, kalau nggak bisa tengsin. Mana kardusnya lumayan banyak, agak lama jadinya memindahkannya, sangat memuaskan mata Farid menatap keindahan di balik belahan lengan daster itu, juga sekaligus menyiksa, celananya sangat sesak rasanya. Yang pasti kalau lagi seru bermasturbasi, Farid senang sekali membayangkan budenya itu. Tapi ya itu tadi, cuma bisa berkhayal saja. Tak mungkin berbuat lebih.

Sehari sudah ibu menginap.Ternyata ibunya mengalami sedikit masalah, biasanya kan kalau menginap ibunya selalu tidur di kamar mbak Sinta. Kini ibunya mempunyai masalah, kalau mau ganti baju, dia tak nyaman melakukannya di depan Farid. Farid yang memang tak mempunyai pikiran apapun, awalnya tak menyadari, tetap saja cuek di kamar. Barulah saat ibunya menyuruhnya keluar, Farid sadar...duh repot pikir Farid. Memang tak setiap saat, hanya kalau saat Farid sudah di rumah, tapi lumayan mengganggu. Dari sisi Farid sendiri, ia mengalami masalah juga, baru kali ini di usianya yang sekarang ini ia tidur lagi bersama ibunya. Dulu masih kecil sih sering, tapi itu dulu waktu masih kecil dan belum kenal namanya wanita dan seks. Memang ibunya tidur memakai daster yang besar, atau kadang daster model kaos dan celana pendek. Ibunya tidur di pojokan dekat tembok, dia di sisi satunya. Awalnya sih biasa saja, tapi kala ia melihat ibunya yang tertidur tak urung matanya jadi jelajatan, walau saat itu ibunya tidur dalam balutan busana yang sopan, tapi melihat tonjolan teteknya yang sangat busung itu, tetap saja membuat Farid bereaksi. Membuatnya berkhayal, seperti apakah keindahan di balik daster itu. Untunglah ia mampu mengendalikan dirinya.

Dua hari pertama, ibunya banyak melewati hari mengobrol sama budenya, atau kadang jalan keliling ke saudara. Farid kuliah seperti biasa. Di hari ketiga saat mandi pagi harinya, Farid sedang asik nongkrong sambil merokok, ritual rutin pagi harinya. Ibunya sudah di depan membantu budenya menyiapkan sarapan. Matanya menangkap BH ibunya yang tergantung di gantungan tembok kamar mandi, Farid menatapnya, mulai berpikiran ngeres, ia bangun dan segera mengambilnya, besar juga pikirnya...size 38, Farid mendekatkan hidungnya, aromanya sangat lembut dan wangi, kont01nya mulai mengeras, sesekali ia gesekkan kont01nya ke BH ibunya. Dan tak lama ia sudah asik main sabun, mengocok kont01nya sambil tetap menciumi BH ibunya, sungguh sangat merangsang dirinya. Setelah lumayan lama kont01nya pun ngecret, agak memerah. Farid menaruh kembali BH itu. Farid kini mulai terobsesi untuk benar – benar dapat melihat tubuh telanjang ibunya, bagaimanapun caranya, biar sebentar atau sekali saja, ia harus bisa. Berjuanglah...Farid menyemangati dirinya sendiri. Farid berpikir sambil memandang sekeliling ruangan kamar mandi itu, mata Farid memandang pintu alumunium kamar mandi, pintunya rapat sekali...tapi untuk saat ini saja pikirnya. Memang kalau buat urusan ngeres, otak kadang – kacang bisa menjadi sangat kreatif dan inovatif hehehe. Ia segera mengambil handuk, menutupi tubuh bagian bawahnya, keluar sebentar, ibunya masih di luar, ia segera membuka laci meja di kamarnya, mengambil obeng model double, ia kembali ke kamar mandi, menutup pintunya, melepas handuknya dan memulai kreatifitasnya. Mengukur posisi yang pas buat matanya, agak tinggi di tengah, biar tak perlu terlalu membungkukkan badan, juga sudut pandangan harus luas dan maksimal. Dengan mata obeng kembang, ia mulai mengendorkan beberapa mur, tak perlu terlalu kendor. Setelah kelar, ia balik mata obeng, memakai mata obeng min, ia mulai mencongkel sela sekat alumunium, perlahan dan pelan saja, terciptalah celah yang lumayan nyaman dan tak mencolok mata, kalaupun ada yang melihat tak akan curiga itu sengaja dibuat. Obeng ia taruh di pinggir bak mandi. Ia mengarahkan matanya, mencoba mengintip, nampak ruangan kamarnya dengan jelas. Pas....pikirnya. Apalagi bagian belakang pintu kamar mandi ini tak digunakan untuk menggantung handuk. Ia segera mulai mandi sambil bersiul - siul dengan gembira. Setelah selesai mandi dan berpakaian, ia tutup pintu amar mandi dari luar, mengetes sebentar, sangat jelas...hatinya bersorak. Ups...hampir lupa, ia segera mengambil obeng dan membereskannya. Lalu ia keluar kamar, siap sarapan dan berangkat kuliah. Di luar Pakdenya sudah duduk, minum kopi sambil makan roti. Farid mengucapkan salam, lalu duduk ikut sarapan. Bude dan ibunya nampak sedang asik sarapan sambil menonton acara gosip di TV.

”Hey Rid...nanti malam ada siaran langsung nih..Milan lawan MU, temanin Pakde nonton ya.”
”Iya Pakde, pastilah, seru sih, nanti Farid temanin. Sekalian nanti sore Farid beli cemilan. Megang mana Pakde ?”
”Pasti Milanlah. Kuliah jam berapa Rid..?”
”Nanti jam 9an. Kelar jam 1.”
“Oh gitu…ya sudah, nanti malam ya. Pakde pulangnya mungkin agak malam, maklum di kantor sini lagi sibuk. Pusat baru saja dapat kontrak awal rencana kerjasama dengan Perusahaan pertambangan, sekarang lagi sibuk banget, seleksi tenaga terbaik buat dikirim ke sana. Kalau Pakde sih rasanya berat kepilih, maklum sudah tua, mungkin jatah yang muda.”
”Iya Pakde. Oh iya Pakde, itu komputernya sudah selesai Farid install program - program yang Pakde minta, nanti kalau sempat dicek saja ya.”
”Iya...iya, bagus tuh, Pakde memang butuh program itu, bakal membantu kerjaan Pakde. Sengaja pinjam CDnya sama teman Pakde, sayang Pakde sulit installnya, nggak kayak biasa sih. Rada gaptek.”
”Nggaklah...nanti Farid ajarin deh, nggak beda sama yang biasa, Cuma perlu penyesuaian sedikit.”

Bersambung . . . .




 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald