Hallo penggemar situs Ceritapanas.com, aku akan menceritakan pengalamanku lagi. Dalam cerita ini kutuliskan kejadian yang sebenarnya, tanpa mengurangi atau menambah alur cerita. Mungkin ada beberapa kalimat sebagai tambahan untuk mendukung cerita tersebut. Oh ya, saya minta maaf kalau ada kalimat atau susunannya kurang beraturan. Dan saya terima kasih juga atas tanggapannya terhadap cerita saya sebelumnya dan saya sudah berusaha membalas email yang anda kirim.
Bandung, 4 Mei 2001
Busyeett! Aku melihat jam, ternyata sudah pukul setengah 12 malam, dan aku belum juga bisa menutup mataku untuk tidur, memang pada malam itu keadaan udara sedang panas dan hatiku sedang gelisah yang mana aku juga tidak tahu penyebabnya.
Karena aku belum bisa tidur juga, akhirnya aku mengambil keputusan lebih baik keluar sebentar mencari angin. Hmmm.., sejuk juga angin malam sekarang, atau mungkin karena baru diguyur hujan, tapi.. “Ahkk.. nggak aku ambil pusing.”
Dalam perjalan aku sempat berpikir juga, mau kemana aku tengah malam begini, tapi akhirnya aku mendapat ide juga, pergi ke tempat billiard. Ya, ke tempat billiard, mungkin badanku harus capek sedikit biar bisa tidur, lagipula biasanya tempat itu tutupnya jam 2 pagi.
Akhirnya aku sampai juga. Setelah memarkir mobil lalu aku masuk. Wuih! ramai juga. Memang untuk ukuran di kotaku, tempat billiard ini yang paling bagus dan waitress-nya juga cantik-cantik. Setelah agak lama melihat-lihat situasi, akhirnya aku menemukan meja yang kosong. Posisi mejanya agak di pojok. Kemudian kunyalakan lampu yang ada di meja itu, lalu aku mengambil stik. Aku berpikir, mungkin cukup beberapa koin saja hingga badan ini agak capek. Saat itu aku tidak begitu memperhatikan waitress yang sedang menyusun bola, lagipula aku sedang mengoleskan tanganku dengan bedak.
“Mas.. mainnya sendirian ya.. saya temenin main ya,” tanya waitress itu kepadaku.
“Boleh,” jawabku singkat.
Begitu aku membalikkan badanku untuk main, aku jadi terpana melihat sosok tubuh yang seksinya minta ampun. Orangnya tidak terlalu tinggi mungkin sebahuku, rambutnya panjang bergelombang, kulitnya sawo matang, dengan tubuh yang sintal, payudaranya yang agak besar membusung, mata yang agak bulat, bibirnya yang merekah dan ditunjang dengan pakaiannya yang pada saat itu menggunakan rok mini warna merah dan kemeja bahan model jatuh warna krem, membuat lekuk tubuhnya menjadi semakin menggiurkan bagi lelaki yang melihatnya. Aku heran juga, mau-maunya dia kerja di tempat seperti ini, sayang kan, mendingan jadi pacarku saja tapi kenapa aku justru care, padahal tujuanku cuman untuk bermain billiard.
Akhirnya kuawali dengan break yang tentunya ditemani oleh waitress tersebut. Aku grogi juga, kadang-kadang saat dia sedang memukul bola, aku iseng-iseng melihat gundukan payudaranya yangagak menonjol, apalagi saat dia sedang menyusun bola, kulihat pahanya yang membuat darahku mudaku berdesir.
Selama 3 koin aku tidak banyak ngobrol dengannya tetapi setelah beberapa lama karena mungkin agak akrab, yang mana dalam permainan kami sering saling mengejek akhirnya aku memberanikan diri untuk mengenalnya lebih jauh.
“Mbak, namanya siapa?” tanyaku saat dia sedang mau memukul bola, sambil mataku melihat ke seputar payudaranya.
“Lia.. Mas sendiri siapa?” tanyanya.”Saya Erick Mbak.. hmm.. udah merried Mbak?” tanyaku agak menyelidik bak seorang dedektif.
Lia agak tersenyum mendengar pertanyaanku itu.
“Kalo belom kenapa.. kalo udah kenapa,” jawabnya sambil memukul bola.
“Kalo udah, saya nggak akan bertanya lagi dan mainnya mo udahan aja karena takut ada yang ngambek.. tapi kalo belom, boleh khan saya daftar,” jawabku sambil tertawa.
“Iihhh.. buntut-buntutnya malah mau daftar,” jawabnya sambil matanya memandang ke arahku.
Tatapan matanya nakal sekali, pikiran kotorku mulai keluar. Tapi setelah itu, kami malah asyik bermain sampai tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah 2 pagi, dan akhirnya kusudahi bermainnya karena merasa capek.
“Mbak, udahan ah.. capek nih.. oh ya, aku pesen minumnya lagi dong,” kataku kepada Lia.
“Iya.. tapi Lia minta krating daeng ya,” pintanya.
“Boleh.. boleh.. ngambil aja..” kataku sambil memperhatikan Lia yang berjalan lenggak lenggok bak peragawati yang berjalan di catwalk.
Tak beberapa lama dia datang lagi sambil membawa minumannya, kemudian duduk di sebelahku yang mana pahanya yang mulus dan ditumbuhi bulu-bulu halus sengaja dia perlihatkan pada semua orang.
“Mbak tinggal di mana?” tanyaku.
“Di daerah X***(edited),” jawabnya.
“Ooo.. deket juga,” kataku, lalu aku bertanya lagi tentang hal yang belum dia jawab waktu diawal perjumpaan tadi.”Oh ya Mbak, udah merried?” selidikku sambil tersenyum, dia menggelengkan kepala.
Yes! artinya itu belum merried pikirku, aku jadi tambah bersemangat untuk mengenalnya lagi.
“Hmmm.. Mbak pulangnya sama siapa,” tanyaku lagi.
“Ikut jemputan, kenapa emangnya?” dia balik bertanya.
“Nggak pa-pa Mbak, tapi kalo Mbak nggak keberatan, boleh dong saya anter pulang?” kataku sambil mengharapkan dia mau bareng pulangnya.
Mbak Lia terdiam, sepertinya dia sedang mempertimbangkan tawaranku, yang pada akhirnya…
“Boleh aja, tapi kamu sendirian khan?” kata Lia, senang juga aku mendengarnya, memang itu yang kuharapkan jawaban darinya.
“Berdua Mbak, tuh ama bayangan,” kataku sambil tertawa, mendengar jawabanku dia tersenyum sambil memukul pahaku.
Kemudian kami ngobrol sambil menunggu waktu pulang, yang sebelumnya kubereskan dulu pembayaranbekas aku main tadi berikut minumannya. Jam sudah menunjukan pukul 2 pagi lewat, tampak waitress yang lain sudah pada pulang, yang sebelumnya mereka setor dulu penghasilan koin mereka malam itu, dan aku baru tahu kalau keluar dari situ ternyata mereka sudah pada berganti pakaian, jadi cuma di dalam ruangan saja mereka seksi dalam berpakaian, akan tetapi sepertinya Mbak Lia tidak berganti pakaian.
“Nggak ganti pakaiannya dulu Mbak?” tanyaku.
“Nggak ah, males.. lagipula aku kan nggak ikut jemputan, jadinya nggak risih,” jawabnya sambil menuju ke kasir untuk menyetor koin, tapi sebelum sampai ke kasir dia setengah berbisik kepadaku, “Kamu duluan aja Rick, ntar aku nyusul.. kamu tunggu di depan warung aja.”
Aku cuma mengangguk saja, aku langsung keluar dan segera menuju mobilku lalu kuparkir mobilku di depan warung yang tidak jauh dari tempat billiard.
Tidak berapa lama Mbak Lia datang.
“Sorry ya, agak lama.. lagipula tadi aku kasih alasan dulu kalo sekarang nggak ikut jemputan,” katanya.
“Nggak pa-pa Mbak,” kataku sambil menghidupkan mobil dari tempat billiard ke rumahnya yang cuma membutuhkan waktu 15 menit, tapi otak kotorku malah mulai mencari ide agar aku dapat bersamanya agak lebih lama lagi. Akhirnya aku dapat juga ide tersebut, memang kalau untuk hal-hal seperti itu akulah ahlinya.
“Mbak, mau langsung ke rumah atau mau jalan-jalan dulu,” tanyaku pada Mbak Lia sambil melirik pahanya yang mulus dan agak berbulu tersebut.
“Hmm.. emang mau ke mana gitu Rick?” kata Lia sambil menyalakan sebatang rokok, aku sempat berpikir, yang akhirnya..
“Kalau ke Lembang aja gimana Mbak, ya.. sambil liat kota Bandung dari atas sana.. terus makan jagung bakar,” kataku lagi.
“Hmmm.. boleh lah Rick,” jawabnya lagi.
Dalam perjalanan kami tidak banyak bicara, mungkin karena dia dan aku sudah agak capek karena main billiard tadi.
Setelah sampai di sana, lalu kuparkirkan mobil ke tempat yang agak gelap, di samping itu dapat juga melihat pemandangan kota Bandung yang mungkin hanya terlihat lampu-lampunya saja. Kemudian aku memesan beberapa makanan yang tentunya menu utamanya jagung bakar, dan aku memesan beer hitam supaya badanku agak hangat.
Setelah makanan dan minuman sudah selesai dihidangkan, aku balik lagi ke mobil. Lalu kuberikan makannan yang Mbak Lia pesan.
“Pemandangannya bagus ya Mbak, betah aku kalo udah di sini,” kataku mengawali pembicaraan.
“Iya Rick, bagus banget,” jawabnya sambil makan jagung bakar.
“Mbak udah lama kerja di situ?” kataku lagi.
“Baru 2 bulan Rick, kenapa emangnya?” jawabnya.
“Nggak pa-pa Mbak, sayang aja.” kataku sambil meminum beer-ku.
“Sayang kenapa Rick?” jawab Lia dengan dengan agak keheranan atas pertanyaanku itu.
“Sayang aja Mbak, kok mau-maunya Mbak kerja di situ, kan banyak kerjaan yang lain, apalagi Mbak wajahnya cantik.. pasti gampang nyari kerjaan yang lain,” kataku dengan sedikit agak merayu.
“Terima kasih Rick, kamu perhatian juga.. tapi aku terpaksa Rick, jaman sekarang kerjaan susah, apalagi ijasahku cuma lulus SMA.. ya jadinya terpaksa, tapi aku ngucapin terima kasih dehRick.. kamu perhatian banget,” kata Lia sambil tangan kanannya mengusap pipiku, kubalas dengan mencium telapak tangannya.
“Mbak, Erick harap pertemuan kita nggak sampai disini.. nanti Erick akan sering-sering main ke tempat itu,” kataku merajuk.
“Terima kasih Rick,” ucap Lia sambil mencium hangat pipiku.
Serrr! ada suatu yang lain, kurasakan kehangatan dalam jiwaku, perasaan kasih sayang yang amat dalam terasa sekali. Lama aku memandangi wajahnya, sepertinya dia tahu kalau aku memperhatikannya.
“Kok ngeliatin terus Rick?” tanya Mbak Lia.
Kaget juga aku, ternyata dia tahu kalau aku sedang memperhatikannya.
“Eh, nggak kok Mbak.. pengen aja liat Mbak.. biar puas.” kataku sambil bercanda dikit.
“Idihh.. genit kamu Rick,” kata Lia sambil mencubit pahaku.
“Rick.. jangan panggil Mbak ya.. lagipula umur kita nggak beda jauh kok,” katanya.
“Hmmm.. oke deh.. Om.. eh.. Lia,” kataku sambil bercanda lagi.
Lia tersenyum sambil mencubit lagi pahaku.
Selang beberapa waktu kami terdiam karena menikmati makanan yang tadi kami pesan.
“Auuww!” Lia agak menjerit, aku kaget juga.
“Kenapa Lia?” tanyaku.
“Bibirku kegigit.. kayaknya berdarah nih,” katanya sambil agak meringis.
Kemudian kunyalakan lampu yang ada di dalam, lalu aku memperhatikan bibirnya yang memang berdarah, tapi sedikit. Lalu aku mengambil tissue yang ada di belakang jok depan.
“Makanya kalo lagi makan jangan sambil ngelamun.. jadinya salah gigit,” kataku sambil membersihkan darah yang keluar dari bibirnya.
“Siapa juga yang ngelamun.. ngarang aja kamu Rick,” katanya.
“Udah.. ntar nggak bisa dibersihkan dong kalo nyerocos terus.” kataku lagi.
Dia diam aja, sementara aku membersihkan seputar bibirnya. Setelah selesai, kubuang tissue itukeluar, dengan posisi jari tanganku masih memegang bibirnya. Aku sempat tertegun memandang bibirnya yang mungil itu, dengan perlahan kucium dengan lembut bibir itu, kulepaskan lagi, kemudian memandang wajahnya, dia tersenyum lalu memejamkan matanya. Lalu kucium kembali bibirnya yang mungil, lama juga aku melumat bibirnya, lalu tangan kananku mematikan lampu yang masih menyala.
Bersambung . . . .
Komentar
0 Komentar untuk "Berawal dari meja billiard 01"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.