Aku sebenarnya ragu untuk mengiyakan tapi juga merasa bersalah untuk menolak permintaannya. Perasaanku sudah kering dan hampa sejak kejadian tadi namun sepertinya Denita tidak terlalu menghiraukan ekspresi 'garing' diwajahku. Rasa bersalah membuatku tidak sanggup menolak permintaannya.
"Papa sama Mama kamu nggak marah kamu bawa tamu tengah malam begini?"
"Nggak koq.. Just relax ok, jangan tegang begitu dong.. Mama sudah tidur, papa lagi keluar kota" katanya sambil menjelaskan sepintas tentang bisnis ayahnya.
Kami berjalan melewati ruang tamunya yang luas dan memasuki satu ruangan yang juga luas dan memiliki sebuah minibar. Sepertinya itu ruang keluarga karena disitu terbentang karpet tebal dan banyak bantal buat duduk lesehan. Denita kemudian membuatkanku minum karena pembantunya sudah tidur, lalu memintaku menunggunya untuk berganti baju.
Aku duduk di ruangan besar itu sendirian sambil memandang gelas ditanganku dengan tanpa harapan. Aku merasa seperti anak kecil yang sedang disetrap gurunya. Ingin rasanya aku untuk segera menyelinap diam-diam untuk segera pulang meninggalkan rumah Denita.
Sekitar 10 menit kemudian Denita muncul dengan mengenakan t-shirt gombrong yang saking besarnya hingga terlihat seperti long dress sampai kebawah lututnya. Dalam pakaian seperti itu dan tanpa sepatu hak tinggi, tubuh Denita terlihat mungil dan dengan bandana berwarna pink yang dikenakannya, wajahnya terlihat lebih muda (tepatnya terlihat sesuai dengan usianya).
"Gimana bandana-nya lucu yah' katanya dengan suara manja.
Dia duduk disampingku, meraih remote control lalu menyalakan stereo set diruangan itu.
"Eh Mama kamu ntar bangun lho" kataku cemas.
"Nggak kok.. Diatas nggak kedengeran" katanya cuek.
"Sonny kamu pulangnya nanti aja yah.. temanin aku dulu," ujarnya sambil duduk lesehan disampingku. Dia menyambar gelas ditanganku dan meminumnya, "Haus banget nih"
"Kamu ngambil minum aja lagi," jawabku, "Nggak ah aku mau minum dari gelas kamu" suaranya terdengar manja.
Aku bingung melihat perubahan sikapnya yang jadi manja dan agak mesra. Aku malah cemas kalau dia sedang mempermainkan perasaanku. Kesal jadinya berada dalam posisi 'persona non grata' seperti ini. Semuanya jadi serba salah.
"Khan aku sudah bilang.. Relax aja Son.. Jangan merasa bersalah begitu dong"
"Hmm.. benar lho Den.. Im very very sorry.. Aku ngerasa punya kesalahan besar sama kamu"
"Gini aja.. Jangan anggap itu kesalahan, tapi anggap aja itu hutang," katanya sambil menatap mataku dengan intens.
Aku berusaha menangkap apa yang tersembunyi dibalik bola matanya yang tampak begitu bersinar itu. Dalam hatiku aku berpikir.. Permainan apa yang sedang dia mainkan saat ini? Aku merasa kalau dia menikmati sekali melihatku dalam keadaan bersalah seperti ini. Denita kemudian mengajakku bermain scramble yang aku sambut dengan berat hati. Sampai kapan aku disini? Begitulah pikiranku saat itu.
Denita-pun rupanya sangat pintar membaca suasana dan berusaha mengalihkan perhatianku dengan membicarakan topik yang kita sama-sama senangi. Mulai dari hal-hal tentang hobi kita sampai ke curhat masalah pribadi.
"Son.. Kamu tuh cowok paling muda yang nge-date sama aku"
"Masa sih?" jawabku penasaran.
"Iya tuh.. Pacarku yang dulu-dulu selalu beda usia sampai sekitar sepuluh tahun denganku.. Aku tuh nggak begitu nyambung sama teman-teman seumuranku"
"Kalau buat jalan rame-rame sih enggak masalah tapi kalau buat nge-date aku selalu sama yang lebih dewasa gitu"
"Banyak yang bilang sih karena aku kelihatan terlalu dewasa.. Menurut kamu gimana Son?"
"Hmm.. Iya juga sih.." aku belum sempat melanjutkan omonganku Denita langsung menyela pembicaraanku.
"Iya makanya kamu langsung ngajakin check-in yah" katanya sambil bercanda.
Aku tersenyum kikuk dan mengangguk mengiyakan dengan tersenyum. Kali ini senyumku tidak lagi kering karena Denita telah mampu 'mencairkan perasaan' bersalah dalam hatiku.
"Tapi sejak awal kamu tuh sudah kebaca koq.." katanya dengan genit.
"Kebaca apaan? Ada juga kamu tuh yang kebaca" kataku tidak mau kalah.
"Oh ya? Aku kebaca gimana? Jawab dong.. Kebaca apaan?" kata Denita.
Posisinya yang semula tengkurap menghadap ke papan scramble kini dirubah menjadi duduk bersimpuh sambil menatapku menunggu jawaban. Nah lho' pikirku.. Sekarang dia menantang lagi.
"Males jawabnya.. Ntar kepancing lagi, salah paham lagi deh" kataku (dengan jujur!).
"Koq takut sih.. Siapa yang mancing, siapa yang dipancing sih?" suara Denita agak meninggi seperti penasaran dan kembali membuatku terpojok.
Dia kemudian menghampiriku hingga dekat sekali sampai kami bertatapan. Aku duduk dalam posisi bersila dengan pundaku bersandar di belakang sofa. Aku terdiam dan memutuskan untuk menantikan reaksinya. Dia tetap saja diam dan matanya yang bulat itu menatapku dengan sangat tajam. Aku membalasnya dengan tersenyum pasrah sambil mengangkat pundaku seolah aku tidak tahu jawabannya. Kulihat Senyum Denita tertahan di bibirnya, matanya masih menatapku dengan tajam seakan hendak mengintimidasi diriku.
"Ayo jawab.. Koq diam sih?" katanya setengah mengancam, namun aku tahu kalau dia menahan senyum di bibirnya.
Cukup lama juga kita saling diam menunggu sampai akhirnya aku menyerah dan pasrah karena kupikir makin lama aku disitu aku hanya akan dikerjain sama dia. Aku mulai kesal dan frustasi dibuatnya.
"Eh Den, aku pulang deh.. sudah malam banget nih"
Aku sengaja menunjukan kesan ngambek dan kesal padanya. Aku dalam posisi nothing to lose, nggak ada yang lebih buruk dari kejadian tadi, so kalau dia kesal sama sikapku dan marah, ya biar sekalian aja. Aku merasa seperti layangan yang ditarik-ulur seenaknya oleh gadis berusia delapan belas tahun di depanku ini.
Aku merasa sudah cukup meladeninya dan mulai frustasi dibuatnya. (Mungkin sampai disini para pembaca sekalian mulai bosan dan frustasi membaca kisah saya ini namun coba bayangkan apabila anda yang mengalaminya sendiri, kesal dan frustasi juga khan? Sekedar baca aja sudah frustasi, apabila ngalamin sendiri.. Nah begitulah kira-kira perasaan saya saat itu).
"Ups.. Ada yang ngambek nih" katanya dengan girang, ekspresi wajahnya berubah menjadi riang. Tangannya menyentuh pipiku dengan mesra.
"Sonny marah yah.. Kaciaan" suaranya sengaja di-imut-imutin dan sikapnya berubah menjadi manja membuatku makin salting (kali ini nggak ada keinginan untuk salto).
"Den.. Kamu tuh senang banget ngegantungin orang yah?" kataku berusaha menghilangkan ekspresi 'bete' dari wajahku.
"Kenapa sih.. Just kidding koq.. Kamu ngerasa digantungin yah? Sorry deh Sonny"
"Jangan pulang dulu dong.. kalau kamu pulang berarti kamu yang ngegantungin aku" katanya sambil tangannya menggenggam erat tanganku. Aku jadi makin bingung!
"Maksud kamu apa?"
"Maksudku tuh.. Sesuatu yang ngambang dan nanggung itu nggak enak" ujar Denita sambil merebahkan dirinya disampingku.
Kepalanya dia sandarkan diatas bantal duduk.
"Jadi..?" Aku seperti menangkap maksud Denita namun karena trauma, aku tidak mau terpancing lagi.
"Jadi terserah kamu.. Kalau kamu mau ngegantung dan nanggung ya pulang aja," kata Denita sambil merendahkan intonasi suaranya.
Secercah sinar terang terpancar di benakku! Alangkah bodohnya aku hingga baru menyadari kalau Denita sedang bermain 'tarik-ulur' denganku. Ini khan permainan kucing-kucingan standar yang seharusnya aku sadari sejak awal. Semangatku tadi keburu jatuh hingga nalarku sempat tidak berfungsi. Kini aku baru bisa mikir jernih, ngapain juga Denita menahanku di rumahnya selama ini di tengah malam begini? Karena aku yang 'lemot maka Denita-pun tampaknya kehabisan akal hingga keluarlah kata-kata terakhirnya tadi.. 'kalau mau nanggung dan ngegantung ya pulang aja '
Rupanya bukan cuma aku yang frustasi tapi dia juga. Bedanya aku frustasi karena tidak paham akan 'permainan yang dia mainkan, sedangkan Denita frustasi karena termakan oleh 'permainannya sendiri. (Setiap orang memiliki semacam 'tirai' semu yang diakibatkan oleh keinginan hasratnya sendiri. 'tirai/tabir' semu itulah yang membuat seutas tambang kelihatan seperti seekor ular demikian juga sebaliknya. -baca kisah sex; a sprirtual journey).
"Jadi menurut kamu.. Sebaiknya jangan dibikin nanggung yah" jawabku sambil menatapnya dengan penuh hasrat.
Denita menjawab dengan mematikan rokoknya lalu menarik tanganku hingga badanku condong ke arah tubuhnya yang terbaring disampingku. Aku segera merespon dengan mendaratkan bibirku diatas bibirnya. Hmm.. Hangat dan begitu lembut rasanya.
'Hmm' suara denita terdengar lirih penuh gairah.
Cukup lama gairah dan keinginan ini terpendam hingga nafsu tertahan itu bagaikan meledak ketika bibir kami bersentuhan. Lidah Denita terasa begitu lincah dan agresif merambah mulutku. Akupun membalasnya dengan mengulum lidah Denita yang 'terjebak' dalam mulutku.
'Hmmh!!' kembali Denita bergumam tanpa arti.
Dengus nafasnya terasa di wajahku dan sepasang mata indahnya itu kini tertutup rapat hingga alisnya seperti bertemu ditengah pelipis matanya. Kini giliran lidahku merambah ke dalam mulutnya. Kusapukan lidahku di deretan gigi atasnya. Terasa tubuh Denita bergetar menahan geli yang ditimbulkan oleh permainan lidahku dalam mulutnya. Lebih dari semenit bibir kita berpagutan, sehingga begitu terpisah terasa agak 'kram (sorry aku nggak tahu kata-kata lain buat menggambarkan kondisi bibir seperti itu.. Memang sih setahuku nggak ada yang namanya kram bibir, asal pembaca mengerti maksudku aja). Kami berdua mengambil nafas sejenak karena ciuman tadi betul-betul memboroskan oksigen.
"Den.. Nanti ada yang bangun lho" kataku cemas kalau ibu atau orang rumahnya yang lain bangun dan memergoki kami berdua. Denita hanya menggelengkan kepalanya mengisyaratkan agar aku tidak mencemaskan hal itu.
"Dont worry.. Satu-satunya yang bangun cuma ini" ujarnya sambil mengelus 'juniorku' yang sudah dilanda ereksi.
Bola mata Denita masih tampak bersinar namun kelopak matanya sudah makin terlihat sayu karena nafsu dan kenikmatan yang dia rasakan. Aku segera mengecup lehernya dan sempat memainkan lidahku disitu. Tubuh denita menggelinjang kegelian kala kedua tanganku menelusup di balik kaos gombrong yang dikenakannya. Rupanya dia tinggal memakai celana dalam dibalik baju kaosnya itu. Aku segera menarik celana dalamnya hingga terlepas kemudian kepalaku aku selundupkan ke balik bajunya itu dengan maksud menjelajahi bagian vital dari tubuhnya. Tiba-tiba Denita berontak dan dengan halus menepis kepalaku hingga menjauhi bagian kewanitaannya.
"Wait.. Hold on.." katanya kemudian bangkit menghampiriku, "This is my place, so i wanna do it my way" katanya dengan wajah penuh nafsu.
Butir-butir keringat sudah mulai membasahi wajahnya ketika dia mulai membuka celana jeans-ku. Kemudian dia memintaku melepas sendiri celana dalamku sementara Denita duduk bersimpu di depanku sambil menatap lekat bagian vitalku bagaikan seekor elang siap menerkam mangsanya. Aku melepaskan celana dalamku dengan perlahan dibawah tatapan Denita.
Bersambung . . . .
Komentar
0 Komentar untuk "Sonny amulet - Roman picisan - 5"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.