Denita tersenyum dan memberikan no. telpon rumahnya padaku.
"Karena aku cuma sebentar disini jadi aku nggak pake HP.. Kamu harus ngebel ke rumah"
"Aku boleh juga dong minta nomor kamu," ujarnya setengah memerintah.
Sesuatu yang membuatku kagum padanya adalah sikap percaya diri yang mantap dan senantiasa menguasai keadaan. Mungkin itu disebabkan karena dia sejak sma sudah terbiasa hidup sendiri di luar negeri hingga punya sikap 'tough' seperti itu. Well, ngomong-ngomong tinggal di luar negeri, aku jadi ingat sama Imel. Itu bikin aku senang ' wah moga-moga dia juga freesex kayak Imel' (hehehe).
Denita menuliskan no HP-ku dibalik kartu namanya dan yang bikin aku tambah 'terprovokasi' adalah ketika dia spontan membalikan badanku lalu menggunakan pundak-ku sebagai alasnya menulis di kartu namanya.
"Pundak kamu lebar juga" ucapnya sambil berbisik.
Mendengar pengakuan itu, aku merasa seakan berubah menjadi Arnold Schwarzeneger! (siapapun cowok yang dipuji begitu sama cewek pasti egonya melengit.. Hehehe). Sesaat kemudian Denita berlalu sembil melambaikan tangan dari balik kemudi Opel Blazer-nya (bukan iklan lho aku nggak dibayar sepeser-pun sama Opel).
Aku dan Mbak Ratri kemudian beranjak meninggalkan areal parkir itu untuk kembali ke flat kami masing-masing.
"Mbak Laras koq nggak keliatan?" tanyaku sedikit berbasa-basi.
"Tadi sih diajak tapi dia lagi nggak enak badan katanya," jawab Mbak Ratri sembil membetulkan ikatan rambutnya.
"Eh Son, maaf yah kalau si Denita tadi terlalu gimana gitu" katanya lagi.
Rupanya dia merasa agak tidak enak karena sikap Denita yang rada-rada 'agresif' padaku. Biasalah mungkin dia takut aku berpikir macam-macam sama sepupunya itu.
"Ah nggak koq, anaknya asyik koq Mbak" jawabku, kali ini betul-betul jujur karena bagiku sikap seperti itu memang asyik (hehehe).
"Ya maklumlah soalnya dia khan sudah lama tinggal diluar jadi memang anaknya tuh ekspresif gitu" kata Mbak Ratri menjelaskan.
"Ah nggak apa-apa koq Mbak.. Ehm boleh dong kalau aku usaha ke dia" ujarku sambil becanda (padahal sih serius).
"Ah kamu tuh Son, sebentar lagi juga dia balik ke Ausi lagi.. Tapi kalau kamu tahan pacaran jarak jauh sih coba aja" ujarnya sambil tersenyum memperlihatkan sederet giginya yang putih itu.
Ya jelas boleh dong, lagian siapa juga yang mau pacaran' kataku dalam hati. Tidak terasa kami telah sampai ke depan pintu ruang masing-masing dan Mbak Ratri segera pamit dan menghilang dibalik pintu flat nomor 44 itu. Akupun segera kembali ke ruanganku dengan sofa kuning itu yang masih saja 'hangat' dengan sisa-sisa getaran nafsu yang aku lampiaskan tadi sore bersama Imel (baca kisah Sonny Amulet episode 2).
Suasana kembali terasa sepi dan suara pertengkaran dari ruang sebelah sudah tidak terdengar lagi. Mungkin mereka lelah dan jenuh sendiri bertengkar tanpa hasil atau telah kehabisan suara untuk berteriak dan menyumpah lagi. Atau mungkin saja mereka sekarang sedang menumpahkan segala gejolak dan amarah mereka dalam suatu senggama dahsyat dengan penuh nafsu dan dendam. Walah aku jadi membayangkan Mbak Leny tetanggaku disebelah itu bercinta dengan Mas Agus suaminya setelah bertengkar hebat. Bisa jadi mereka bercinta dengan gaya S&M seperti di film. Wah! koq jadi ngebayangin mereka? Kadang aku suka heran sendiri, kenapa isi kepalaku ini nggak jauh dari hal-hal seperti itu?
Sex melulu! Apa memang orang seumurku mikirnya itu semua? (Yang aku tahu sih teman2 kampusku juga yang cowok pikirannya sama aja sama aku.. Hehehe).
Suasana sepi itu justru membuatku tidak betah berada dalam ruang sepi ini sendirian. Akibat ketiduran tadi sore, mataku menjadi segar hingga sulit untuk diajak tidur. Pikiranku penuh dengan perasaan senang dan riang karena hari ini aku seperti mendapat banyak sekali kejutan. Mulai dari Imel tadi sore hingga Denita si manis berwajah tirus yang sangat provokatif.
Aku tidak menghitung berapa lama aku tenggelam dalam perasaan itu sampai tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Awalnya kupikir itu telpon dari Mbak Widya hingga aku langsung mnenrimanya tanpa melihat dari mana asal telpon tersebut.
"Halo" kataku singkat.
"Hai.. Son" terdengar suara merdu dari ujung sana.
Suara itu belum pernah kudengar di HP-ku sebelumnya. Jelas bukan suara Mbak Widya ataupun Erika, karena memang baru pertama kali suara itu terdengar melalui handphone-ku.. Suara milik Denita!!
"Halo..?" suara Denita memanggilku yang masih terbengong-bengong.
"Eh Den.. Kirain siapa" kataku sambil berusaha menguasai keadaan.
"Cepat juga kamu ingat sama suaraku Son"
"Tadinya aku mau kasih surprise ke kamu.. Kirain kamu sudah lupa" suara Denita terdengar sangat ekspresif.
Dari suaranya aku bisa membayangkan ekspresi wajahnya yang penuh keceriaan dan gairah.
"Sekarang juga sudah surprise koq" jawabku, "Kamu belum tidur?"
"Belum nih aku lagi susah tidur"
"Kenapa? Mikirin aku yah?" katanya menggoda.
"Ehm banyak sih yang dipikirin" jawabku.
"Oh ya.. Apa aja tuh? Aku nggak dipikirin yah?"
"Justru itu aku mikirin kamu sampai sudah rencana mau ngajak kamu jalan.." aku kemudian menantikan reaksinya.
"Yup.. Thats what i have in mind" ujarnya riang.
Wah kalau tiap cewek kayak begini enak banget (hehehe)." Oh iya?" kataku belagak nggak percaya.
"Ehm besok malam kamu ada acara?" tanyaku dengan penuh harap.
"Ada tuh.. Besok malam aku mau jalan" jawaban Denita agak menyurutkan keceriaanku.
"Ehm kalau lusa gimana?" kataku dengan semangat pantang menyerah.
"Kenapa lusa.. Besok aja gimana?" lho katanya dia enggak bisa besok.
"Besok tuh aku memang ada acara mau jalan.. Dan aku mau ngajak kamu" suara tawa lepasnya kemudian terdengar memenuhi handphone-ku.
"1-0!" kata Denita lagi dengan manja.
"Ok deh.. Non mau kemana besok" kataku dengan perasaan exciting.
Denita kemudian menyebut nama suatu cafe di daerah Kemang untuk tempat 'kencan' kita besok malam.
"Ok aku jemput kamu di rumah?" tanyaku.
Denita memintaku untuk menjemputnya di butik milik Mama-nya di daerah Kebayoran besok malam.
"Pick me up at 9 PM and don't be late" katanya singkat.
"Ok deh non.. Jadi kita nge-date nih besok" ujarku menggoda.
"Yup.. Its a date.. Baby" ujar Denita dengan nada menggodaku.
Aku hampir saja melompat manembus langit-langit flatku begitu kita mengakhiri pembicaraan di telpon. Waw! pikirku.. Terbayang sudah date ala barat yang (menurutku) biasa Denita lakukan di Australia. Kencan seperti itu biasa diakhiri dengan tidur bareng (dan aku sama sekali nggak keberatan tentang itu.. Hehehe).
*.. Desah nafasmu wangi hiasi suasana.. Saat kukecup manis bibirmu.. *
Pukul 10: 10 WIB keesokan harinya..
Kuliah Pemasaran dengan dosen yang membosankan baru saja selesai dan aku sedang duduk di kantin kampus bersama Adit salah satu teman 'cs'ku sambil menikmati batagor Pak Somad ketika handphone-ku berbunyi. Kali ini pasti dari Mbak Widya karena hari ini aku ada janji sama Widya kakak-ku untuk pergi ke ITC. Aku bermaksud mengganti monitor komputer serta modem-ku yang kayaknya sudah mulai ketinggalan jaman. Mbak Widya memang sudah lama menjanjikan untuk membelikan-ku tapi baru kali ini ada kesempatan soalnya dia juga mau ikut sekalian mau melihat asesoris handphone.
Mbak Widya ternyata menelponku dari tempat parkir dan memintaku segera menyusulnya ke sana. Aku kemudian pamit dengan Adit yang telah menemaniku di kantin sambil mendengarkan cerita-ku tentang Denita.
"Ok deh.. Salam buat kakak-loe bilang gue kangeen" suara Adit sengaja di-imutin terdengar menjijikan.
"Kangeen muke-lu.. Kenal aja nggak.. Ok deh, wish me luck" ujarku sambil bergegas meninggalkan kantin.
"Soon jangan lupa bawa koon.. Cii" kata Adit iseng.
Aku berjalan hingga agak jauh kemudian berbalik dan berteriak pada Adit
"Diit.. Batagornya lu bayarin dulu yaa" .
Adit tampak berkata-kata namun tidak terdengar suaranya karena jauh.. Yang kulihat hanya acungan kepalan tangannya pertanda kekesalannya padaku (hehehe.. Makan tuh konci). Sebuah sedan berwarna biru menghampiriku sambil menurunkan kaca sebelah kirinya sehingga dapat terlihat jelas seraut wajah cantik dengan kacamata hitam tersenyum padaku sambil berkata.
"Sonny.. Mobil kamu parkir dimana?".
"Sebelah situ.. Ikutin Sonny aja Mbak" jawabku sambil berjalan ke arah mobilku dengan diikuti Mbak Widya dari mobilnya.
Hari itu aku membawa monitor komputer dan modem-ku buat ditukar-tambah. Segera setelah barang-barang itu aku pindahkan ke mobil Mbak Widya, kami berdua segera berangkat menggunakan mobil kakak-ku. Oh ya buat para pembaca yang belum tahu, Mbak Widya itu nama aslinya Theresia Widya dan dia berumur 28 th jadi lebih tua delapan tahun dariku. Saya adalah anak paling bungsu dari empat bersaudara. Kakak saya tertua Mas Yudha adalah seorang dokter dan dia tinggal di Surabaya bersama keluarganya.
Nomor dua adalah Mbak Widya yang masih single dan tinggal di Jakarta dia adalah seorang manager di perusahan penerbitan dan percetakan. Ketiga adalah Mbak Silvy, dia sudah menikah dan sedang sekolah S2 di Australia. Orang tuaku tinggal di Semarang, ayah adalah seorang dokter dan ibuku guru di sebuah SMA swasta di sana. Karena kita hanya berdua yang tinggal di Jakarta, maka hubunganku dengan Mbak Widya sangat dekat. Bisa dibilang dia yang selalu menolong dalam tiap keperluanku. Berbeda dengan kakak-ku yang lain, Mbak Widya adalah yang paling asyik buat diajak bicara dan bertukar pikiran. Dia membuatku tidak merasa seperti anak kecil bila jalan atau ngobrol dengannya. Itu berbeda dengan kakak-ku yang lain yang cenderung memposisikan diri mereka sangat 'formal' denganku.
Posisi dimana aku sebagai anak bungsu harus mendengar dan menuruti. Aku pikir mungkin itu karena mereka telah berkeluarga jadi lebih serius sedang Mbak Widya karena belum berkeluarga masih lebih 'nyambung' sama aku. Ya begitulah kira-kira kisah mengenai keluarga saya (lain kali aja diterusin). Seperti yang telah kuduga, rencana semula yang hendak mengganti monitor serta modem komputer dan melihat asesoris HP saja ternyata meleset. Karena setelah itu Mbak Widya jadinya malah belanja macam-macam. Mulai dari walkman sampai mini dispenser diborongnya. Walah 'pikirku dasar perempuan kalau sudah belanja kayaknya nggak bakal berhenti sampai semuanya diborong.
Akulah yang jadi korban nenteng ini itu terus bolak-balik ke mobil bawa belanjaan. Lumayan pegel sih, padahal sejak awal Mbak Widya sendiri sudah complain kakinya pegel karena dia pake sepatu yang haknya lumayan tinggi. Tetap aja dia yang bawaannya nggak mau udahan. Apa boleh buat para pembaca, soalnya aku lagi mau minjem mobilnya buat nge-date sama Denita jadi perlu juga sedikit kerja ekstra (no pain, no gain.. Hehehe). Soalnya accu mobilku kayaknya sudah saatnya diganti dan kalau distater agak-agak susah gitu (kadang perlu dorong dan sedikit doa). So.. Aku nggak mau ambil resiko ngajak jalan cewek dengan mobil yang kondisinya miris gitu.
Bersambung . . . .
Komentar
0 Komentar untuk "Sonny amulet - Roman picisan - 2"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.