The other side of horizon - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
First Contact, Akhir November 2002

Suatu sore seperti biasanya aku main ke kamar kerja Direktur Keuangan dan Akunting yang merupakan salah satu orang asal Indonesia yang bersama-sama kerja dengan ku di perusahaan yang sama. Pembicaraan awalnya biasa-biasa saja hanya seputar masalah keuangan perusahaan, produksi dan lain sebagainya. Mendadak mataku tertumbuk pada salah satu form kartu kredit milik bank asing terkemuka di dunia, yang nampaknya masih kosong tergeletak di meja kerjanya.

"Ini apaan Jack?" ujarku.
"Form apply credit card" ujarnya kalem.
"Oh, dapat dari mana? Bagi dong, susah nggak bikinnya" sahutku memberondong dengan banyak pertanyaan.
"Hahaha, ya minta aja di bikinin sama staff ku, ada tuh satu yang nawar-nawarin aplikasinya" ujarnya.

Lalu ia memanggil via interphone telepon internal ke departementnya lalu datanglah salah satu staff accounting yang baru, sebentar kemudian gadis itu sudah sibuk menerangkan segala macam syarat-syarat aplikasi dan juga benefit dari masing-masing jenis kartu yang ada. Aku hanya mengangguk-angguk lalu memilih jenis Gold Visa. Tidak berapa lama kawan ku si Jack sudah memanggil salah satu staff nya lagi untuk membuatkan surat keterangan gaji bagi diriku sebagai salah satu syarat pendaftaran kartu kredit tersebut.

Keesokan harinya aku menemui staff kawan ku dan menyerahkan form aplikasi yang telah ku isi lengkap beserta sejumlah fotokopi persyaratan dari mulai passport, working permit, fotokopi rekening bank dan lain sebagainya. Lalu gadis itu menjanjikan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan segera kuterima jawabannya dari Bank yang bersangkutan.


Awal-Pertengahan Desember 2002

Aku kembali ke bagian accounting menemui gadis tersebut, karena sudah cukup lama menunggu lebih dari dua minggu tapi masih belum ada jawaban resmi dari Bank yang bersangkutan, padahal dengan bantuan kawan ku si Jack, ia sudah merekomendasikan diri ku di surat keterangan gaji dengan posisi sebagai Direktur Produksi dengan standard gaji yang di lebih-lebihkan sedikit. Gadis itu berjanji akan menanyakan lagi ke Bank tersebut karena yang punya hubungan dengan Bank tersebut adalah kakaknya bukan dirinya.

Seminggu kemudian, di suatu sore menjelang malam, aku turun dari mobil milik Direktur Produksi di tempat ku, sehabis menghadiri acara farewell party salah seorang Marketing Manager dari klien kami yang rencananya akan di mutasikan ke pabrik lain yang juga merupakan mitra kerja klien kami. Sore itu suasana sangat mendung dan hujan turun rintik-rintik, aku berlari-lari kecil ke arah parkiran mobilku dan masuk ke dalam.

Kepala ku sebenarnya masih agak pusing akibat mabok meminum arak Korea berusia 100 tahun, tapi handphone motorola ku yang baru saja kubeli dari Indonesia ketika pulang cuti terus-menerus bergetar di kantong celana ku. Saat kulihat nampak nomer handphone bukan nomer fixed line lalu kuangkat dan terdengar suara wanita yang sangat ramah dan lembut, wanita itu dalam bahasa Inggris bercampur aduk dengan bahasa Thai mengabarkan bahwa aplikasi kartu kredit ku pada prinsipnya sudah di setujui oleh Bank tersebut, hanya saja masih ada yang kurang yakni tagihan telepon pribadi ku, karena statusku sebagai expatriate tanpa tempat tinggal tetap/pribadi menyulitkan Bank untuk mendapatkan quarantee alamatku ataupun ke mana harus menyelesaikan masalah jika terjadi tunggakan pembayaran.

Untung saja aku memiliki satu nomer GSM berlangganan atas nama pribadi ku, sehingga yang perlu kulakukan adalah cukup mengirimkan fax tagihan telepon selular ku ke Bank. Lalu ia pun memberikan nomer fax ke mana aku harus mengirimkan fax yang bersangkutan.

Tiga hari kemudian aku mendapatkan telepon yang sama, menanyakan masalah fax tagihan telepon genggam ku karena wanita tersebut belum menerima sama sekali, aku saat itu meminta maaf karena lupa nomer fax yang ia berikan, lalu ia memberikan sekali lagi dan saat itu juga aku segera mengirimkan fax tagihan bulanan handphone karena khawatir lupa kembali. Lalu beberapa hari kemudian seorang wanita dari bagian credit approval menelfonku lewat nomer telepon bank mengabarkan bahwa permohonan kartu kreditku telah disetujui oleh bank dan akan segera diberikan ke alamatku.

Dua hari kemudian (menjelang akhir tahun 2002) aku menerima kiriman kartu kredit gold visa dari Bank idamanku walaupun saat itu belum menerima pin numbernya sehingga aku belum berani menggunakannya namun tepat sehari menjelang akhir tahun aku menerima kiriman pin number kartu kreditku sehingga dapat kupergunakan untuk merayakan libur akhir tahun di Jakarta.


Love at First Sight, Awal January 2003

Penerbangan kembali ke Bkk dengan pesawat TG 433 di hari Minggu tanggal 5 January terasa membosankan terutama karena merupakan penerbangan nonstop selama tiga jam lebih. Begitu usai check baggage dan keluar dari pintu bea cukai aku bergegas mencari supir kantor yang telah menunggu di pintu keluar. Bergegas kumasukan barang-barang ke dalam VW Caravelle milik pemegang saham dan mobil pun keluar dari airport menuju kediamanku di Bangna.


Jum'at 10 January 2003

Minggu-minggu pertama kembali masuk kerja setelah seminggu penuh mengambil cuti terasa sangat menjemukan mungkin ini penyakit awam bagi para pekerja kantoran apalagi suasana masih diliputi oleh berbagai perayaan tahun baru, baik di lingkungan condominium maupun lingkungan kerja.

Namun ada satu hal yang terasa sangat mengganggu konsentrasi kerjaku sejak sebelum tahun baru kemarin, suara ramah dan lemah lembut yang menelefon ku di kala hujan tahun kemarin masih saja terngiang-ngiang di telingaku. Ku timang-timang HP Motorola T720 ku, kulihat di list memory received call, masih tertera di sana nomer HP marketing Bank tersebut, aku ragu bagaimana harus memulai pembicaraannya, bagaimana caranya agar aku bisa mengenal dia, bagaimana agar aku tidak malu ataupun kehilangan muka di hadapan dia, bagaimana agar ia tidak curiga dengan keinginanku untuk mengenalnya lebih lanjut.

Akhirnya muncul ide konyol dipikiran ku, perlahan kutulis di SMS HP dalam bahasa Inggris yang sangat simple karena perkiraanku ia tidak begitu mahir berbahasa Inggris seperti umumnya wanita Thailand yang bersekolah di dalam negeri. Dalam SMS yang kutulis kuucapkan terima kasih atas bantuannya sehingga aku bisa menerima kartu kredit tersebut. Lalu sambil panas dingin aku menunggu sesorean itu reaksi yang akan muncul, namun hingga sore hari bahkan malamnya tidak ada panggilan masuk ataupun SMS balasan darinya.


Sabtu 11 January 2003

Sabtu sore hari, menjelang jam tiga sore tatkala export barang-barang sudah hampir selesai, dan lot terakhir shipment sedang masuk ke dalam container mendadak HP ku bergetar, sambil waswas kulihat di layar kaca HP ku, ternyata berasal dari nomer yang kemarin kukirim SMS, terdengar suara lembut itu menyapa ku dan menanyakan bagaimana kabar ku, aku pun menjawab baik-baik saja dan mengucapkan terima kasih bahwa kartu kredit sudah aku terima dan aku pergunakan selama liburan di Jakarta.

Sambil basa-basi aku menanyakan bagaimana kabarnya dan hal-hal lainnya lalu pembicaraan mengalir lancar, dari sana aku tahu namanya (tapi saat itu ia hanya memberitahu nama semasa kecilnya belum nama lengkapnya) dan ia saat itu sedang berada di salah satu lobby cafe terkemuka menikmati sore hari seorang diri begitu katanya. Lalu saat kurasakan pembicaraan mulai melambat aku perlahan nekad mengajaknya untuk sekedar lunch sebagai tanda terima kasihku atas bantuannya, tanganku terasa dingin dan hatiku deg-degan biar bagaimanapun aku tetap takut di tolak karena ini adalah pengalaman pertamaku nekad mengajak kencan seorang wanita di jumpa pertama ini pun bahkan belum pernah bertemu muka hanya sebatas lewat telepon.

Awalnya ia hanya terdiam sejenak, lalu beberapa saat ia menjawab bagaimana kalau nanti saat tahun baru Cina di hari Sabtu tanggal 1 February. Aku saat itu ingin loncat berteriak kegirangan, lalu segera menyetujui usulnya, lalu ia mengatakan akan memastikan sekali lagi lokasi dan jamnya dan akan menelefonku kembali di sekitar hari pertemuan nanti. Kemudian hubungan telepon pun berakhir. Hatiku berdebar-debar menanti tanggal pertemuan, saat itu aku sama sekali tidak berfikir ia akan tampil seperti apa dan berwujud bagaimana, hanya saja hatiku terasa begitu exited mengharapkan perjumpaan yang akan terjadi.


Kamis malam 30 January 2003

Handphone ku berbunyi bising dan bergetar-getar tatkala aku sedang mandi di malam hari pukul delapan malam sepulang dari kantor. Aku segera pontang-panting berlari mengambil handphone ku, kulihat nomer yang tertera adalah nomer telepon fix line bukan nomer selular ternyata dari Khun Anchelly gadis Bank yang akan berkencan dengan ku di tahun baru cina nanti. Ia memastikan sekali lagi apakah aku benar-benar akan bertemu dengannya, lalu aku mengiyakan. Sejenak kemudian ia menanyakan di manakah lokasi yang menurutnya aku mau, aku hanya menyerahkan kepada dia, karena saat itu aku belum begitu paham daerah Bangkok karena baru saja pindah dari luar kota masuk ke dalam Bangkok.

Ia diam sejenak lalu menanyakan apakah aku tahu daerah Sathorn, kujawab hanya tahu sebatas Silom-Saladaeng yang di lalui oleh rute BTS Skytrain. Kembali ia menanyakan di Silom Saladaeng manakah tempat yang kira-kira aku tahu pasti, aku mengatakan Central Silom Saladaeng yang terdapat BTS Skytrain Silom Saladaeng. Lalu ia menyetujui tempat pertemuan kami, sementara lokasi restoran akan ia pilihkan belakangan.


Bersambung . . . .




Komentar

0 Komentar untuk "The other side of horizon - 2"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald