Damned true story - 4

0 comments

Temukan kami di Facebook
Memalukan, saat mengingat aku hanyalah seorang bocah kelas tiga SMP.

***

Sampai di situ aku terenyum lagi. Aku seolah dapat merasakan kehangatan pemuda itu di sisiku. Ah, Sayang, terkadang kamu terihat begitu baik pada semua orang. Dan kamu memiliki kehangatan yang membanjir. Yang bagimu, kautujukan bagi siapa saja yang membutuhkannya saat itu. Aku mengira-ngira sebelum membaca, apakah ia selalu begitu? Memberikan kehangatan pada semua orang yang membutuhkan? Lalu apakah ia tidak pernah salah? Dan itu terjawab selanjutnya, ketika mataku kembali menatap layar monitor di hadapanku.

***

"Aku ngga percaya kamu mau padaku," ia berkata sambil menundukkan kepala.
"Hmm," ucapku tersenyum, "Kalau kamu tidak mengijinkanku. Terserah."
Ia mengangkat kepala dan menatapku dengan pandangan protes.
"Bukan itu," kilahnya, "Maksudku, apa kamu tidak sadar. Siapa aku? Dan siapa kamu? Kita jauh berbeda. Dan aku.. aku.."

Saat itu aku juga menyadarinya. Aku berbeda dengannya. Lebih jauh secara prinsipil. Tapi sekali lagi, keinginan untuk memeluk dan membantunya melangkah membuatku mengesampingkan segalanya.
"Aku suka kamu," itu saja kataku saat itu. Dan ia mulai menangis.
Aku tidak pernah sadar kalau kata-kata itu menjadi awal dari keseluruhan isi cerita hidupku.

Kehidupannya berubah drastis setelah orang-orang melihatnya berduaan denganku. Ejekan demi ejekan berangsur lenyap, seiring tinju-tinju yang melayang dari kepalanku. Ini gadisku, dan siapa saja tidak punya hak untuk menghinanya! Aku menariknya ke dalam lingkup pergaulanku. Ia menjadi salah satu dari kami setelahnya. Ia memiliki sahabat-sahabatku, dan segala yang menjadi kebahagiaanku juga menjadi kebahagiaannya.

Banyak orang mengkritik pedas tentang hubungan kami berdua. Tapi tidak ada seorang pun yang berani mengatakannya padaku. Tapi mereka mengatakannya pada Enni, baik secara lisan, maupun melalui surat-surat kaleng yang bodoh itu. Ia selalu menangis saat membacanya. Dan aku selalu ada di sisinya untuk menguatkannya.

Hari demi hari berlalu dalam semua cobaan yang kami harus jalani. Ia berubah perlahan, dari bukan siapa-siapa menjadi seorang gadis yang dikenal. Bukan lagi dikenal dalam arti konotasi, namun semua orang kini mengenalnya dengan atribut 'kekasih Ray', si itu.. luar biasa. Pemuda-pemuda dari segala penjuru mulai mendatanginya secara diam-diam. Semua pemuda dengan rasa ketertarikan yang sama. Dan semua pemuda yang tidak memiliki 'perbedaan' dalam kamusnya. Sejauh itu ia tidak tergoda pada mereka. Ia tetap setia di sisiku, menemaniku.

Lalu hari itu datang. Sebuah awal yang menyakitkan. Menjelang tahun ketiga kami berpacaran.

"Papa memarahiku. Katanya 'anak tak tahu malu!'. Dan itu sakit, Ray. Itu sakit."
Aku hanya termenung. Kepalanya bergetar di dadaku. Bukan hanya dia yang begitu. Aku pun begitu, dijauhi oleh seluruh anggota keluargaku. Semua memusuhi kami.
"Tapi kamu harus kuat," kataku padanya.
"Aku tahu. Tapi sampai kapan kamu mau terus begini?"
Aku terhenyak seketika.

Saat seseorang mulai menanyakan 'sampai kapan', itu berarti ia sudah mulai merasakan rasa tidak puas dalam dirinya. Dan itu hanya berarti satu, ia akan meninggalkanku setelah ini. Hatiku teriris. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan lagi padanya. Namun saat itu aku 'masih' dapat menenangkannya. Aku tidak tahu, sampai kapan.

***

Aku membaca sampai di situ dan mulai merasakan kesedihan itu dalam ceritanya. Aku membayangkan menjadi seorang yang bukan siapa-siapa, lalu kemudian menjadi seorang yang berarti, hanya karena campur tangan seseorang, yang lalu ia akan kuanggap sebagai suatu 'kesalahan dalam kehidupanku'. Aku benci wanita itu. Tapi di lain pihak, aku merasa mengerti pula apa yang dirasakannya saat itu. Sebuah ketakutan yang wajar dalam diri seorang wanita yang mulai beranjak dewasa. Ketakutan saat melihat masa depan yang tidak pasti.

***

Aku sampai di Indonesia dengan senyum di bibirku. Sebuah tas besar berisi boneka koala dan baju-baju kugendong di bahu kananku. Aku merindukannya saat itu. Aku tiba di rumah sekitar pukul sebelas malam. Dan hal yang pertama kali kulakukan adalah meneleponnya. Ia masih belum tidur, seperti yang sudah kuduga sebelumnya.
"Aku mau ke sana," kataku, "Aku rindu kamu."
Ia tertawa di seberang, "Besok saja, ini sudah terlalu malam."
"Tidak," ucapku setengah memaksa, "Sekarang."

Lalu malam itu aku di rumahnya, menyaksikan ia tersenyum dan melonjak girang saat membuka tas besar itu. Ia tampak begitu cantik. Rambut sepinggulnya bergoyang saat ia memainkan boneka koala itu di udara.
"Aku sayang kamu," ucapku saat itu.
Ia menghentikan kegiatannya, mendekat padaku dan duduk di pangkuanku.
"Aku juga sayang kamu."

Aku mengecup bibirnya, dan ia membalas kecupanku. Boneka koala itu terjatuh saat ia memelukku, dan kami bergulat di atas sofa. Aku begitu merindukannya saat itu, begitu menginginkannya. Perpisahan satu semester ini membuatku seolah gila. Kami berpagutan dan saling melilit. Rintihan dan desahan keluar seiring keringat yang mulai mengucur.

"Stop! Stop!" mendadak kudengar ia menjerit tertahan.
Aku terhenyak dan mengangkat tubuhku, "Kenapa?"
Yang kusaksikan saat itu hanya, ia menangis. Aku tidak tahu mengapa.

***

Aku merasa hatiku sedih sampai di situ. Aku teringat ceritanya, pada malam sebelum ia mengatakan bahwa ia mencintaiku. Seorang gadis yang beberapa kali mencoba menyelewenginya, untuk dapat menjauh darinya.

***

Aku seolah gila saat ia meninggalkanku. Aku melupakan sekolahku. Aku menangis dan merintih setiap malam. Lintasan demi lintasan akan perjuanganku mempertahankannya muncul satu demi satu. Menusuk hatiku dengan ribuan mata pisau. Melukai perasaanku. Saat aku begitu mencintainya. Saat aku berjuang mengangkatnya dari semua kesusahan yang dialaminya. Ia pergi dariku. Ia berlalu! Berlalu!

Hari-hari yang kulalui selanjutnya seolah tanpa makna. Aku merehabilitasi diriku beberapa bulan sesudahnya. Bahkan obat-obatan dan jarum suntik itu sudah tidak berkesan lagi di hatiku. Beberapa kali aku mencoba untuk mengakhiri hidupku. Bekas-bekasnya sampai saat ini masih dapat terlihat, sebuah sayatan panjang di pergelangan tanganku, jahitan tiga sentimeter di perutku. Tapi masih saja Tuhan menyuruh salah seorang umat-Nya untuk memergokiku. Kehidupan itu masih melekat padaku. Kehidupan dengan senyum yang jahat dan menyakitkan.

***

Aku terenyuh, sebegitu dalamnyakah rasa cintanya pada gadis itu? Lalu aku mencoba membayangkan kembali seandainya aku menjadi dia (pemuda itu). Dengan semua rasa cintanya, semua perjuangannya untuk menentang adat. Hanya untuk ditinggalkan.

Aku membaca terus. Setelah kejadian itu ada beberapa kisah tentang beberapa gadis yang mengisi hidupnya. Semua ceritanya sama tentang hal itu, kecuali beberapa cerita tambahan seputar keluarganya, yaitu antara Cinta, Kebencian, dan Pengkhianatan. Dan semuanya selalu berakhir dengan satu, kembalinya Enni untuk menuntut cinta pemuda itu kembali padanya. Persis seperti apa yang diceritakannya padaku malam itu. Ah, Sayang, pikirku dalam hati, mengapa kau begini terluka?

Mataku terasa basah. Ia sama sekali bukan seorang pemuda yang kukenal. Pemuda di dalam cerita yang sedang kubaca. Ia tampak begitu beringas karena lukanya. Ia mempermainkan setiap gadis yang ia kenal, semua yang masuk ke dalam jaring-jaring pesona yang ia tebarkan.

"Mempermainkan..," desahku.
Ia hanya ketakutan. Dan ketakutan itu digambarkan oleh orang-orang sebagai sebuah 'mempermainkan'. Aku tidak mau seperti orang-orang itu. Dilain pihak, aku juga tidak mau membayangkan apa yang terjadi pada gadis-gadis itu. Korban ketakutannya. Saat itu aku hanya ingin berada di dekatnya dan memeluknya erat di dadaku.

Aku ingin terus membaca. Tapi kukira aku sudah tahu kisah selanjutnya. Lalu aku berhenti pada sebuah halaman baru dengan judul 'MOOGIE'. Kuurungkan niatku untuk menatap kalimat demi kalimat itu. Kututup window itu dan mematikan komputer. Saat aku bangkit berdiri, sinar matahari ternyata sudah menembus tirai, menimbulkan silhouette yang bergoyang di lantai. Kulirik jam yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Ternyata waktu begitu cepat berlalu.

Aku terkejut saat mendengar pintu terbuka di luar. Suara-suara tawa terdengar menyusul. Suara-suara wanita. Aku bergegas menuju pintu kamar, dan membuka sedikit untuk dapat mengintip.

"Wah, capai sekali. Aku mau tidur dulu. Nanti bangunkan jam sepuluh, oke?"
Aku mendengar suara centil seorang wanita. Tidak berapa lama kemudian sesosok tubuh melintas di depanku. Seorang wanita yang cantik sekali dan tinggi, mungkin sekitar seratus tujuh puluh lima. Rambutnya yang bergelombang mengingatkanku padanya (pemuda itu). Ia mengenakan baju ketat yang membuat tubuhnya tampak indah berisi. Aku termangu saat ia menoleh. Inikah Chin?

"Hey? Ada sepatu cewek di sini? Ini sepatu kalian?" aku mendengar wanita itu bertanya.
Ia melangkah mendekat ke depan pintu kamar. Jantungku berdebar. Apa yang akan dikatakannya kalau ia tahu aku di sini?
"Mana Chin? Itu? Bukan. Paling juga si Ray," seorang wanita lain terdengar berkata dari ruang tamu.
Aku melihat Chin (wanita itu), kakak Ray, dia tersenyum. Chin melirik ke arahku, dan ia tertawa kecil. Ia cantik sekali, pikirku dalam hati. Garis matanya terlihat tegas, wajahnya yang tirus tanpa polesan bedak. Dan alisnya yang digambar melengkung indah. Bibirnya merah muda, dengan deretan gigi yang rapi di dalamnya.

"Siapa? Keluar saja, Dik. Jangan malu-malu."
Aku membuka pintu. Chin berkecak pinggang saat menatapku. Aku merasa seolah sedang ditelanjangi. Aku tidak berani membalas tatapannya. Lagipula, aku sudah merasa minder saat melihatnya. Khas persaingan wanita.
"Hehehe," ia tertawa sejenak kemudian. Lalu ia berpaling ke arah ruang tamu.
"Hey, ini ada ceweknya adik gue yang baru. Kalian ngga kenalan? Seksi loh. Hanya mengenakan selimut."

Wajahku memerah seketika. Aku baru sadar kalau aku masih melilitkan selimut itu di tubuhku. Tidak berapa lama kemudian, tiga orang wanita muncul dari balik pembatas ruang tamu. Dan aku terkesima melihat penampilan mereka. Mereka semua cantik-cantik! Dan tinggi-tinggi, dibandingkan denganku yang hanya seratus lima puluh tujuh. Mereka lalu mengerubungi dan menjabat tanganku dengan gaya bersahabat.

***

Aku tiba di kantor satu setengah jam kemudian. Dengan mengenakan baju baru. Yang pertama kali kulakukan adalah mengetuk pintu ruang tempat ia biasa nongkrong dengan pekerjaan editingnya. Ia menyambutku dengan senyum di wajahnya.
"Sini..!" ucapnya seraya melambaikan tangan.
Aku mendekat, lalu ia meraihku dan mendaratkan sebuah kecupan lembut di bibirku.

"Selamat pagi, Honey," katanya. Aku tersenyum.
"Tadi aku ketemu kakakmu," ucapku tidak berapa lama setelahnya.
Wajahnya terlihat terkejut. "Oh, ya?" tanyanya, "Lalu? Kamu tidak apa-apa?"
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Chin kan lesbi," aku mendengar ia berkata sambil tertawa.
"Wah?" seruku, lalu aku ikut tertawa.

Aku sama sekali tidak menduganya. Ia tidak menceritakan perihal kakaknya di dalam cerita-ceritanya. Jadi aku tidak tahu. Aku jadi sedikit merinding mengingat tadi ia pertama kali melihatku dengan hanya mengenakan selimut di tubuhku.

"Say," panggilku setelah tawa kami reda.
"Apa?" ia menatapku dengan mata yang hangat.
"Aku mau memelukmu," bisikku sambil tersenyum.
Ia tertawa, lalu memandang ke sekeliling ruangan. Sepi. Hanya musik dari tape kecil yang mengalun. Ia membuka kedua lengannya. Aku berdiri di depannya, lalu mendekap kepalanya ke dadaku. Kupejamkan mataku, membelai rambutnya.

"Kenapa kamu kembali padaku..?" aku bertanya tanpa sadar.
Pemuda itu menggeliatkan kepalanya, mencari posisi yang lebih nyaman.
"Karena aku mencintaimu. Itu saja. Dan lebih daripada yang lainnya."
"Kamu tidak takut lagi?"
Ia mendesah. Terdiam beberapa saat lamanya.
"Gadis itu sudah menikah. Ia sudah pergi. Selamanya."

Bersambung . . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Damned true story - 4"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald