Damned true story - 8

0 comments

Temukan kami di Facebook
Kepala gadis itu terjatuh ke samping karena sentakan yang kuat. Tapi matanya masih tetap menatap ke arah si pemuda. Tangannya terulur, menyeka lendir lengket di sudut bibir pemuda itu. Ray merasa napasnya lebih tenang. Tapi cengkeramannya mulai terasa sakit bagi si gadis.
"Sakit, Sayang." bisik si gadis dengan tersenyum.
"Ah, maaf," Ray melepaskan jemarinya.
"Sini..!" si gadis berbisik, tangannya terulur.
Pemuda itu menurut seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

Tidak berapa lama kemudian ia sudah berada dalam dekapan si gadis. Mata pemuda itu terpejam saat si gadis membelainya. Bibir si gadis tersenyum, lalu ia bersenandung dengan menggumam. Sampai si pemuda tenang, lalu mendengkur. Air mata si gadis menitik turun. Saat ia melihat sepasang mata mengintip dari lubang tersembunyi di atas pintu, si gadis anggukkan kepalanya. Aku baik-baik saja, kata lirikan mata si gadis.
Si pemuda mengerang, badannya mengejang, "Ssshh.. aku di sini.. di sini.."
Si gadis mendekap pemuda itu kencang-kencang. Badannya bergoyang-goyang. Lampu itu juga masih bergoyang. Walau lebih perlahan.

***

"Jangan! Tolong jangan.. huuhuu.. ia tidak gila.. tolong..!" gadis itu merintih.
Ia tidak tahan menyaksikan cintanya tersiksa. Pemuda itu meronta dari lengan-lengan yang mencekalnya. Empat orang pria kekar, memegangnya kasar. Si gadis menyesal telah menjerit tadi, saat si pemuda berusaha memperkosanya. Seorang pria lain menjentikkan ujung jemarinya pada jarum suntik. Si pemuda memandang dengan mata mendelik.

"PENDOSAA..! PENDOSA..! WANITA PENDOSA..! AKU DOSA..!"
Si gadis menutup bibirnya dengan tangan saat menyadari pemuda itu menatapnya.
"Aku.. aku sayang kamu.. huuhuu..," gadis itu meraung.
"PENDO.. HKK.. YA ALLAH.. ARRGGHH..!" Ray meronta untuk yang terakhir kali.
Tapi seseorang memegang rahangnya dan menarik kepalanya ke belakang, mirip kambing yang mau disembelih. Si gadis menjerit melihatnya.

Pria yang membawa suntik bergegas mencari nadi di tangan pemuda yang tertarik. Satu suntikan, itu saja yang dibutuhkan. Ray mengejang beberapa detik kemudian. Matanya membalik ke atas, dan kaki-kakinya melemas. Ia terjatuh. Pria-pria menghembuskan napas lega. Pemuda itu yang terkuat sebangsal. Keringat mereka mengucur.

Si gadis terjatuh di sisi pintu. Pria-pria itu melangkah keluar setelah mengikat tubuh Ray di atas tempat tidur. Pemuda itu merintih dan menggumam tidak jelas. Wajahnya terlipat seolah menahan nyeri yang amat sangat. Bukan nyeri pada tubuhnya yang sudah diracun valium. Tapi pada otaknya.

Si gadis merangkak menuju tempat tidur, lalu mengangkat tubuhnya sendiri ke atas kursi. Tangannya meraba sabuk kulit di pergelangan tangan si pemuda. Hatinya terasa pilu.
"Aku mencintaimu," ia berbisik.

Ray mengejang. Air liurnya kembali mengalir. Si gadis meletakkan kepalanya di atas perut si pemuda, menekan tubuh itu. Orang-orang itu memberinya dosis terlalu banyak, umpat si gadis. Dan memang itu dibutuhkan untuk menenangkan seseorang yang sudah terbiasa dengan anastesi. Tapi.. tapi.. dia Ray-ku, bisik si gadis. Si gadis memeluk Ray dengan hangat. Menangis di atas baju kusut. Si pemuda menggerung, mengerang beberapa kali. Lalu kerutan di wajahnya berangsur lenyap. Lalu pemuda itu terdiam. Lelapnya sudah datang.

Si gadis mengangkat kepalanya. Menatap wajah itu. Wajah yang begitu dirindukannya. Tanpa guratan luka. Tanpa lirikan yang liar. Tanpa senyum kegetiran. Ah, betapa inginnya ia pemuda itu mendadak membuka mata dan menarik senyumnya, lalu mereka dapat tertawa seperti dulu lagi. Dua minggu yang lalu..

Orang-orang menyeret pemuda itu ke rumah sakit dalam kondisi koma. Darah mengalir dari ujung sampai ke ujung lain lantai kamar. Sebuah sayatan panjang melintang di pergelangan tangannya. Matanya membuka (kata mereka, yang kemudian menjadi gossip menyeramkan di rumah sakit selama beberapa hari) dan air liur mengalir di sudut bibirnya. Napasnya tinggal satu-satu. Pisau lipat kecil tergeletak di sampingnya. Di samping gitar bergagang patah, dan botol tequila berleher panjang. Kamar itu hancur lebur. Pecahan kata di mana-mana. Dan di lantai, digurat dengan darah, 'PENDOSA'.

Tidak ada seorang pun yang mengerti maksudnya. Hanya si gadis yang kebetulan datang di tempat itu, memucat saat melihat segalanya. Ia punya kunci. Dan kunci itu membukakan gerbang keperihan itu untuknya. Menjerit, ia menghebohkan orang sekompleks. Ramai-ramai mereka datang. Ada yang membantu, ada pula yang lalu menggunjing.

Sekarang, gadis itu tetap di sisinya. Menatap dengan pilu, dengan kasih yang tiada taranya. Kasih yang sama yang membuat orang-orang berbaju putih itu pasrah saat ia memaksa untuk menunggui si pemuda tiap saat. Tangannya mengusap pipi pemuda lembut.

"Tolong, jaga anak kami." begitu ia mendengar wanita setengah baya berambut pirang itu berkata sambil tersedu, setelah anaknya mendorong tubuhnya keluar kamar, menghempaskannya ke lorong. Lelaki lima puluhan berwajah kaku di koridor rumah hanya menatap kosong. Urat-urat kemerahan di sudut matanya terlihat jelas. Gadis lain, yang berperawakan tinggi, berambut pirang juga, memeluk si wanita dengan menangis. Itu sebelum pria-pria kekar menyeret pemuda itu ke atas perbukitan yang dingin. Tempat orang-orang malang dibelenggu.

Tapi bukan itu yang membuat Moogie bertahan di tempat itu. Tidak ada siapa pun yang dapat memerintahkannya untuk menyayangi seseorang. Saat ini, ia merasa bahwa pemuda itulah yang terpenting dalam seluruh bagian kehidupannya. Jauh melebihi kuliah, pekerjaan sambilannya, dan keluarganya yang selalu meneleponnya untuk pulang ke rumah. Itu yang membuatnya berada di situ.

***

Siang hari, saat semua orang bahkan dapat merasakan teriknya matahari yang menembus hawa dingin, gadis itu merenung di depan makanannya, benaknya melayang-layang. Ia sama sekali tidak merasa lapar di hari yang keempat belas itu. Sesuatu mengatakan padanya bahwa 'sesuatu' akan terjadi. Ia memandang ke sekelilingnya. Keramaian itu tidak menghapus kesepiannya.

"Ini si Ray," ia berkata seraya menyisihkan segumpal nasi dengan sendoknya.
Ia tersenyum beberapa saat, lalu menyisihkan lagi segumpal nasi.
"Ini aku," ucapnya kemudian.
Ia memandang ke arah dua gumpalan nasi itu beberapa saat lamanya. Ia lalu mengambil empat butir kacang dan memberi mata pada gumpalan tersebut. Sehelai ca kangkung, menempati gumpalan pertama.
"Janggutnya Ray," canda si gadis pada dirinya sendiri.
Lalu ia mulai tenggelam dalam asiknya dua gumpal nasi yang lalu berciuman.

Seorang suster tua terenyuh saat melihat tetes air mata yang jatuh ke pipi gadis itu.

***

Aku tidak gila, pikir pemuda itu dalam hatinya. Aku hanya sedih. Tapi mereka menyuntikku seperti seorang pesakitan. Ia yakin, bekas-bekas benjol kemerahan di lengannya, di sebelah noda-noda hitam itulah yang berdenyut-denyut sekarang. Dan aku tidak dapat tidur. Mereka mengambil kasur itu dari kamar. Kini malah mereka memakaikan baju 'hannibal' ini padaku. Sial benar.

Pemuda itu menyandarkan kepalanya di tembok gabus. Aku capai, pikirnya dalam hati. Capai untuk meronta lepas. Aku bukan Houdini. Bukan Copperfield. Baju ini mengikatku terlalu kencang. Pemuda itu menengadahkan kepalanya, menatap lampu bertopi. Ia lalu merasa kebenciannya meledak terhadap lampu tenang itu. Ia berdiri, lalu melangkah ke bawah lampu. Ia meloncat setinggi-tingginya, berusaha memecahkan lampu itu. Tapi yang ia bisa hanya membuat lampu itu bergoyang. Ruangan menjadi gelap dan terang.. gelap dan terang.

Beberapa kali ia melompat, sampai kakinya pegal. Ia lalu jatuh terguling di atas lantai matras. Bahunya berguncang dan ia menangis seperti seorang anak kecil. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa saat kemudian. Sosok gadis itu tampak jelas di depan matanya. Kulit yang membiru. Lengan yang memeluk lutut. Wajah yang tersembunyi di lipatan tangan. Rambut-rambut basah dan gimbal lengket di mana-mana. Pemuda itu menahan napas.

Gadis itu mengangkat kepalanya. Matanya setengah terkatup. Bekas kulit pohon tempatnya bersandar sampai pagi terlihat jelas di pipinya. Bibirnya yang pecah dan kebiruan sedikit terbuka. Si pemuda merasa bulu kuduknya merinding. Lampu bertopi bergoyang terus. Sesekali menerangi, sesekali membayangi.
"Dingin, Ray.. dingin.."
Pemuda itu terhenyak. Ia membeliakkan matanya. Ray berguling, sedapat mungkin berdiri. Ia menubrukkan tubuhnya ke tembok gabus. Menjerit-jerit. Memanggil-manggil siapa saja.

"DINGIN.. RAY.. DINGIN.. SAYANG.. PENDOSAKU.."
"AARRGGHH..!" Ray menjerit sekuat tenaga.
Suara itu mengiang di telinganya. Pertama satu. Lalu sosok-sosok gadis lain muncul dari sudut-sudut ruangan. Berdiri dalam kondisi yang mengerikan. Kebiruan di kulit mereka. Dan mata-mata yang setengah terkatup menatapnya dengan beku. Bibir mereka bergerak-gerak.

Sosok-sosok itu mendekat, tangan mereka menggapai-gapai. Ray menggerung, meraung, berlari dari sudut ke sudut. Lalu kembali ke awal. Ia menabrakkan kepalanya ke sudut ruangan. Air matanya membanjir keluar.
"Tidak.. jangan.. maafkan aku.. ya Allah.."
Tapi bahkan Tuhan tidak menghapus ilusi itu. Hembusan angin dingin dari ventilasi seolah ratusan jemari hantu yang mengelus tengkuknya. Ray mengejang.

Ia membalikkan tubuh, menatap beringas ke arah sosok-sosok itu. Sesuatu melintas di benaknya, sesuatu yang dulu sekali, waktu ia dalam situasi yang sama, selalu terbayang olehnya. Cara paling mudah saat kau diikat. Dan kau ingin lepas. Ia tertawa, terkekeh dalam tangisnya.
"Kalian.. huhuhu.. hahaha.. kalian takkan bisa mendapatkanku.."

Sosok-sosok itu mendekat. Ray menegangkan seluruh tulang belakangnya. Ia memejamkan mata, mengerutkan keningnya, tertawa terbahak-bahak. Bayangan gadis berparas ayu yang selalu menemaninya selama di ruangan itu membuatnya pilu.
"Maafkan aku.. aku.. mencintaimu.. tulus.. satu-satunya.. yang terakhir.."
Lalu ia berjongkok, meletakkan setiap tenaganya pada kedua kakinya. Dan melompat berputar di udara. Lehernya menegang kaku. Matanya masih terpejam. Lalu sosok-sosok itu menghilang. Mengabur saat pemuda itu mendarat dengan kepala kaku ke bawah.

Lampu bertopi masih bergoyang. Kadang gelap.. kadang terang..

***

"Aku mencintaimu. Dan aku akan menunggumu sampai sembuh." Moogie menatap dua gumpalan nasi yang sudah menyatu itu.
Si gadis tersenyum. Hatinya hangat. Aku lapar, pikirnya dalam hati. Aku harus makan, supaya aku bisa menjaga Ray nanti. Menemaninya. Ia terkekeh saat membayangkan menyuapkan nasi bubur ke mulut pemuda itu. Kata-kata itu terngiang di otaknya. Kata-kata yang akan diucapkannya nanti, saat ia mendekap pemuda itu. Mungkin berguna.

"Aku sayang kamu. Dan aku berjanji takkan ada yang bisa menyakitimu lagi, atau membawamu kembali ke dalam masa lalumu. Aku akan menumbuhkan kekuatan di hatiku, supaya kamu bisa menyerapnya dariku. Cintaku. Dan kasihku.."
Burung-burung gagak mengepakkan sayapnya.

EPILOG:

Aku melangkahkan kakiku menelusuri trotoar. Saat-saat seperti ini aku lebih suka berjalan daripada naik mobil. Lagipula angin malam akan membuatku merasa lebih lega. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua pagi. Kurapatkan jaket kulitku.

Surabaya bukanlah sebuah kota yang nyaman untuk pejalan kaki. Jarak antar tempat di pusat kota masih terlalu jauh. Tapi aku berjalan memang tanpa tujuan. Beberapa orang pemuda beraut sangar tampak saling bercanda di pinggir jalan. Saat aku lewat, mereka memandangiku. Aku tidak menoleh dan terus melangkah. Aku tidak bawa handphone, pikirku, uang di sakuku pun hanya tinggal dua puluh ribu.

Bersambung . . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Damned true story - 8"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald