Ketika keluar dari kamar Jeanne, aku mencium wangi makanan. Sepertinya Jeanne membuat nasi goreng dan oseng-oseng ayam dan udang dengan sayuran. Perutku dengan kurang ajarnya berkeruyuk. Kulihat Jeanne sibuk menyiapkan makanan dan menata meja makan. Kuhampiri dia dan kupeluk dari belakang. Kucium balik telinganya sambil tanganku dengan nakalnya meraba dadanya.
"Do you need help, Sweety?" bisikku pada telinganya.
Jeanne menepiskan tanganku dan membalikkan badannya.
"No thanks Honey. Just wait there, watch TV or something. It'll be a moment and not too long."
"Okay.."
Aku berjalan menuju baby grand piano yang ada di sudut ruangan. Kumatikan suara TV yang sedang menyiarkan berita CNN melalui remote control.
"Sweety.. this one is for you!" kataku sambil mulai memainkan tuts-tuts piano.
Aku memainkan sebuah lagu melalui denting piano. Malam itu (atau lebih tepatnya pagi dini hari) kulewati dengan makan bersama Jeanne (masakannya enak lho!) dan aku menginap di apartemennya.
Pagi itu aku bangun dengan pikiran yang berkecamuk. Jeanne masih tidur di dekapanku. Aku bisa merasakan hembusan napas halusnya. Berbagai macam perasaan silih berganti menerpaku. Aku merasa bahagia, sedih, senang, susah, gembira, dan entah apa lagi. Sukar sekali untuk bisa mengatakannya. Pikiranku melayang ke masa laluku.
Aku dilahirkan tahun 1969, anak tertua dari 2 bersaudara. Adikku, perempuan, lahir 3 tahun kemudian setelah aku (dia sudah menikah dan berputra seorang sekarang). Ayahku adalah seorang pegawai negeri. Aku benci ayahku! Dia bukanlah seorang bisa dijadikan contoh dan dibanggakan oleh anak-anaknya. Ayahku sering sekali memarahi ibuku di depan anak-anaknya. Bahkan terkadang tak segan-segan menempeleng ibuku! Tak jarang pula aku harus menerima hajaran dari ayahku kalau aku berusaha melindungi ibuku. Tapi apa dayaku, waktu itu aku masih kecil. Di kantornya, ayahku pun bukan orang yang dihormati. Tentu saja orang akan "hormat" di depan dia. Dia adalah seorang koruptor dan tukang main perempuan! Aku pun sebetulnya malu untuk menceritakan tentang dia.
Makanya, tak heran apabila aku tumbuh menjadi anak jalanan. Aku tumbuh menjadi anak yang nakal. Sangat nakal! Walaupun demikian, aku tetap punya prinsip. Aku berprinsip untuk tidak "melukai" diriku sendiri. Itu sebabnya aku tidak merokok, tidak minum minuman keras dan tidak berurusan dengan narkotik (walaupun nantinya aku menjadi salah seorang pengedar). Beberapa kali ayahku harus "menebusku" di kantor polisi atas tingkah lakuku yang sudah termasuk tindakan kriminal.
Akhirnya saat UMPTN tiba. Aku ingat akan kata-kata ibuku yang memintaku untuk belajar sungguh-sungguh, demi diriku sendiri dan demi ibuku. Aku turuti kata-kata ibuku. Tuhan memang memberiku otak yang encer. Aku diterima di perguruan negeri paling bergengsi di Indonesia. Berangkatlah aku ke Bandung.
Di kota ini aku tambah liar, bagaikan kuda yang lepas dari ikatan. Bayangkan, tidak ada yang perduli, kost dan hidup sendiri, punya banyak uang (yang aku tahu itu adalah uang haram hasil korupsi ayahku), mau apa lagi? Di kota ini pertama kali aku kehilangan keperjakaanku oleh seorang gadis manis yang tadinya cuma iseng aku pacari (dan dia aku perawani). Namanya Yolanda. Aku panggil dia Yo, saat itu dia kuliah di perguruan negeri lain yang juga ada di Bandung. Aku kenal dia pertama kali waktu aku jalan-jalan di Cihampelas. Setelah berkenalan, aku sering menelepon dia. Kami banyak ngobrol dan aku semakin tertarik dengan dia (walaupun dengan niat cuma iseng). Yo mempunyai darah Belanda dari ibunya. Dia berambut panjang, berkulit kuning langsat dan bermata coklat. Tidak terlalu tinggi, hanya rata-rata tinggi perempuan Indonesia.
Setelah sekitar 2-3 bulan, aku "jadian" dengan Yo. Aku tahu, Yo sangat mencintaiku. Suatu hari, Yo datang ke tempat kost-ku di daerah Bukit Dago. Dia datang sambil menangis (karena suatu hal yang membuatnya demikian). Aku mencoba untuk menghiburnya, memberikan dukungan dan menyatakan bahwa ada orang yang mencintainya. Entah siapa yang memulai duluan, akhirnya kami terlibat dalam suatu ciuman yang mesra, hangat dan sangat intim. Yo mendesah. Mungkin saat itu situasi sangat mendukung. Aku menggerayangi tubuh Yo, dan dia tidak menolak. Selama ini kami belum pernah berciuman seperti saat itu. Tanganku menyusup ke bajunya setelah kancing-kancingnya aku lepaskan. Bra yang dikenakan Yo berwarna krem, berukuran 34B. Kuraba dan kuremas perlahan buah dada Yo yang kanan. Dia mengerang. Mulut kami masih berciuman. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya aku berhasil melepaskan "atribut" atas Yo, sehingga Yo telanjang dada. Kucium buah dada Yo yang putingnya berwarna coklat muda.
Kukulum dan kuhisap putingnya sambil kuremas-remas dengan tanganku. Waktu itu aku sangat berdebar-debar dengan pikiran yang tidak karuan. Banyak pertanyaan silih berganti di kepalaku, tapi tidak kuperdulikan. Aku pikir, kapan lagi? Yo mendesis dan mengerang saat buah dadanya aku "kerjai". Akhirnya, kami berdua sama-sama telanjang bulat. Bagiku, inilah pertama kalinya aku melihat tubuh mulus seorang perempuan secara nyata. Selama ini aku hanya mengetahuinya dari buku, majalah, atau film. Gerbang kewanitaan Yo ditumbuhi rambut-rambut halus yang lebat sekali dan ia memiliki gundukan mons pubis yang membukit. Pinggulnya benar-benar seperti "bodi gitar". Yo terbelalak melihat batang kelelakianku yang tegak tegang dan besar mengacung dan berdenyut-denyut. Dia menarik selimutku dan menutupi tubuh telanjangnya. Badannya bagus dan mulus! Aku memeluknya.
"Frank.. aku pengin, tapi aku takut!" kata Yo.
"Aku sayang kamu Yo.. Aku juga pengin. Pelan-pelan ya.."
"Aku pengin memberikan ini buatmu, Frank!"
Pelan-pelan, kucumbu Yo dan kurasakan gerbang kewanitaannya sudah sangat basah ketika jari-jari tanganku bermain di sana. Kuarahkan batang kelelakianku ke arah gerbang kewanitaan Yo. Yo membuka pahanya. Perlahan kumasukkan batang kemaluanku ke liang kemaluan Yo. Tidak berhasil! Susah sekali! Seret dan meleset. Aku mencoba beberapa kali. Setelah kupikir sudah pas pada lubangnya, aku tusukkan batang kemaluanku ke dalam liang kemaluan Yo. Yo memekik dan menangis di pelukanku. Kurasakan ada cairan hangat mengalir di batang kemaluanku. Kugoyang-goyangkan pantatku maju-mundur (waktu itu pengetahuanku tentang seks sangatlah minim, hanya lewat majalah dan video porno) seperti yang kulihat di film porno. Yo memelukku semakin erat dan air matanya mengalir. "Frank.. Sakit! Sakit sekali!" katanya di antara sesenggukannya.
Kukecup Yo dan kucabut batang kemaluanku dari liang kemaluannya. Aku melihat batang kemaluanku "berdarah" dan beberapa bercak darah menetes ke sprei tempat tidurku. Darah perawan Yo! Yo dengan tertatih-tatih bangun dan menuju ke kamar mandiku. Dia melap liang kemaluannya dengan tissue. Kuhampiri dia dan kupeluk dia. Kucium. Hari itu aku "tuntas"-kan dengan "self-service" di kamar mandi karena aku tidak tega melihat Yo kesakitan. Akhirnya kami berdua tidur telanjang berpelukan setelah kuganti sepreiku.
Aku dan Yo akhirnya bisa melakukan hubungan seks dengan nyaman dan kami berdua bisa menikmatinya setelah kami melakukan yang ke-3 atau ke-4 kalinya (aku lupa). Akhirnya aku jadi sangat mencintai Yo dan dia juga demikian. Dia sangat sabar dan dia pula yang membuatku untuk mulai "bertobat" dari segala kenakalanku. Aku berubah karena Yo.
Hingga suatu hari, aku mendengar kabar yang sangat mengejutkan dan membuat tubuhku lemas dan aku sempat mengalami pukulan yang telak. Yo meninggal dunia karena kecelakaan. Dan yang membuatku semakin menyesal adalah aku tidak sempat melihat jenazahnya, karena telah dikuburkan di sebuah pemakaman umum di Jakarta. Aku mendengar kabar ini sepulangku dari latihan survivalku selama seminggu. Begitu aku mendengar kabar ini dan aku sadar dari rasa terkejutku, aku segera berangkat ke Jakarta dengan motorku dan kularikan motorku dengan kecepatan sangat tinggi. Bayangkan, saat itu Bandung-Jakarta kutempuh hanya dalam waktu kurang dari 2 jam! Baru kuketahui dari keluarganya bahwa Yo telah dimakamkan. Aku segera menuju makamnya yang masih basah dan penuh dengan taburan bunga. Aku menangis di sana hingga tak terasa aku tertidur dan dibangunkan oleh orangtua penjaga makam.
"What's the matter, Honey..?" tiba-tiba pertanyaan Jeanne mengagetkan aku dan menyadarkanku pada situasiku yang sekarang. Jeanne memandangku dengan penuh tanda tanya dan ia mengusap dadaku, kemudian mencium dadaku. Kucium kening Jeanne dan aku menarik napas panjang. "Why are you crying..?" Jeanne mengusap setetes air mata yang menetes dari mataku saat bertanya kepadaku. Aku tersenyum padanya. "I just have a feeling about how happy I am now!" kataku sambil mengecup kening Jeanne. Maafkan aku Yo, kataku dalam hati. Aku jatuh cinta pada perempuan ini. Semoga kamu berbahagia di alam sana, batinku.
"I'm still tired, Frank. I want to continue my sleep," kata Jeanne, dan dia memelukku semakin erat. Kuelus rambutnya. "It's all right, Baby.. Go back to sleep. I'm fine." Kulirik jam dinding di kamar Jeanne yang samar-samar kulihat menunjukkan sekitar pukul sepuluh pagi. Aku sendiri pun masih malas beranjak dari tempat tidur, lagipula hari ini adalah hari libur.
Kembali pikiranku melayang dan melamun. Setelah ditinggal oleh Yo untuk selamanya, aku sempat seperti orang linglung yang kehilangan semangat kira-kira selama 2-3 bulan. Orang yang menyadarkanku adalah kakak seperguruanku yang sangat perhatian dengan diriku. Dia mengetahui perubahan pada diriku. Akhirnya, dia berhasil meyakinkanku untuk "get over it" dan "get real" dengan situasiku. Katanya lagi, Yo akan sangat marah dan kecewa bila laki-laki yang dicintainya ternyata sangat lemah. Aku sempat marah padanya dan kutantang dia berkelahi. Tentu saja dia menolak, tapi kupaksa karena aku sudah mata gelap. Rupanya dia memang jagoan (biarpun dia kelihatan seperti biasa saja). Dengan mudah aku dikalahkannya dan aku dilumpuhkan hanya dengan 2 kali totokan 2 jarinya. Dia menasihatiku seperti dia menasihati adiknya. Aku sadar dan bisa mengerti. Dari dia aku belajar silat dengan giat dan tekun untuk mengisi hari-hariku di samping belajar lebih sungguh-sungguh pada pelajaranku di bangku kuliah.
Di tahun yang sama, petaka datang lagi. Ayahku menceraikan ibuku karena dia kawin lagi dengan perempuan lain. Aku sangat marah saat itu. Kudatangi ayahku di kantornya dan kuhajar dia hingga bibir dan hidungnya pecah berdarah. Sampai-sampai aku harus diamankan oleh para satpam kantor ayahku karena aku mengamuk.
Akhirnya aku dikirim oleh ibuku ke Amerika Serikat dengan biaya dari harta pembagian ayahku. Aku hanya dibiayai untuk semester pertama, selanjutnya, aku harus membiayai hidupku sendiri. Ibuku "menantang"-ku dan aku menerima tantangannya untuk bisa hidup dan survive di negeri orang. Setelah kutunjukkan kemampuanku pada semester pertama kuliah, akhirnya semester berikutnya aku mendapatkan beasiswa. Untuk hidup, aku bekerja apa saja dan di mana saja. Di negeri orang inilah aku mengenal arti hidup sesungguhnya. Karena keberuntunganku, aku diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan engineering. Dari situlah aku mulai menata hidupku dan bisa seperti sekarang.
Aku masih ingat pertama kali aku melihat Jeanne. Waktu itu aku lagi duduk-duduk di sebuah bangku putih panjang di Palm Court di UCLA setelah selesai kuliahku hari itu. Entah mengapa aku begitu tertarik dengan dia yang melenggang tepat di depanku. Baru kuketahui bahwa dia adalah seorang mahasiswi dari jurusanku juga.
Aku tersadar dari lamunanku saat Jeanne melepaskan pelukannya dan membalikkan badannya memunggungiku. Aku mendesah pelan, dan tersenyum sendiri. Kupeluk Jeanne dengan mesra dan kulanjutkan tidurku.
TAMAT
Komentar
0 Komentar untuk "Musim panas di Los Angeles - 3"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.