Ketika pompaanku makin cepat, ketika aku telah tiba saatnya untuk mencabut, Alia justru mengunci tubuhku dengan kakinya. Dibiarkannya aku ejakulasi di dalam tubuhnya. Padahal dia tahu, kami berdua sama-sama tak menggunakan proteksi. Akupun dengan tenangnya menikmati orgasme di dalam tubuhnya. Seluruh maniku telah tertampung di tubuhnya. Menit-menit berikutnya aku masih di dalam. Kebiasaanku kalau berhubungan seks memang begitu, sampai penisku lepas dengan sendirinya ketika mengecil kembali. Lucunya, ketika aku lepas dan rebah ke sampingnya, Alia cepat-cepat menutup roknya kembali. Dia sama sekali tak mengizinkan mataku menikmati kewanitaannya. Apa sebenarnya yang dia sembunyikan? Kurasakan kewanitaannya tak ada masalah, masih cukup erat menjepit penisku. Masih ada "rem"nya. Pahanya pun oke saja, tadi tanganku merasakaannya, halus berbulu lembut.
"Kenapa sih Yang?" reaksiku ketika dia menutup roknya kembali.
"Engga apa-apa."
"Pakaianmu masih lengkap."
"Sama aja kan, Mas puas juga kan?"
"Benar, barusan Mas puas sekali, tapi.."
"Engga pakai tapi," potongnya.
"Bagusnya kan kita berdua telanjang bulat."
Diam saja, tak ada komentar.
"Jadi foreplay kita bisa lebih panjang, gue paling suka foreplay dengan nyiumin tubuh loe," lanjutku. "Loe juga bisa 'tinggi' dan mencapai puncak, engga kaya tadi," lanjutku lagi. Aku yakin tadi dia belum sampai orgasme.
"Tadi aku puas juga kok Mas," katanya sambil mencium pipiku.
"Tapi belum orgasme, kan?" lenganku merangkul memeluk bahunya.
"Tak masalah, yang penting Mas bisa puas."
Dia pernah cerita, dengan pacarnya jarang mendapatkan orgasme tapi pacarnya selalu sampai puncak setiap berhubungan seks. Baginya tak problem asalkan bisa memuaskan pacarnya.
"Lebih indah kalau kita berdua bisa ke puncak."
"Mas, kita engga usah bahas ini lagi, OK?"
"Okay, okay." Kupeluk tubuhnya. Aku benar-benar jatuh cinta.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu yang mencemaskan. Kupegang kedua belah bahunya.
"Yang, tadi gue keluar di dalam, gue.."
"Engga usah khawatir Mas," potongnya.
"Loe pakai spiral?"
"Engga ih, kayak ibu-ibu aja."
"Lalu?"
"Sejak pertama gue ama pacar selalu keluar di dalam, engga ada efek."
"Pacar loe mandul, kali?" Kalau benar, wah, dia bisa hamil nih.
"Engga juga, dia pernah hamilin anak SMU."
"Oh.." Aku lega, tapi belum 100 persen yakin.
"Kayaknya dari gue Mas."
Aku diam saja, mau komentar apa? Rangkulan di bahunya kupererat lalu kuciumi wajahnya. Menenangkan maksudku.
"Entar Mas, mau ke kamar mandi." Dia bangkit, masuk kamar mandi dan pintunya dikunci. Di luar kebiasaan memang. Dengan pasangan seks yang lain umumnya aku sama-sama ke kamar mandi, saling membersihkan, atau langsung mandi bersama, atau kalau sama-sama terangsang bisa dilanjutkan main di kamar mandi. Alia memang berbeda. Aku ingin segera mandi tapi mesti nunggu Alia selesai. Gemericik suara douce menandakan Alia sedang mandi. Membayangkan tubuh putihnya yang telanjang bulat di kamar mandi penisku mulai bergerak bangkit lagi. Oh, aku kepingin lagi.
Oho.. Alia lupa celana dalamnya. Kupungut CD-nya yang masih tergeletak di lantai, kusimpan. Alia keluar kamar mandi sudah berpakaian lengkap, wajahnya segar, pipinya masih memerah. Aku cepat-cepat masuk kamar mandi sebelum dia mencari celana dalamnya. Selesai mandi dengan hanya berbalut handuk aku keluar.
"Mana celana gue," tagihnya.
"Gue simpen, buat kenang-kenangan."
"Ngaco, masa gue balik engga pakai celana dalam."
"Loe bener engga mau nginep sini?"
"Mas Ajie, tadi kan gue udah bilang, gue izinnya cuman mengunjungi famili, engga nginap."
"Jadi kapan dong boleh izin nginap?" celana dalamnya aku berikan.
"Ini kan baru pertama gue izin keluar. Entar deh, lihat-lihat situasi." Alia duduk di ranjang dan mengangkat sebelah kakinya mulai mengenakan celana dalam. Sekilas aku nampak pahanya yang putih. Kubuang handuk yang menutupi tubuhku dan aku mendekat. Sebelum Alia sempat bangkit untuk menarik ke atas celananya, Aku menubruknya dan merebahkan punggungnya ke kasur.
"Mas..!"
Bibirnya kulumat. Payudaranya kuremas. Tubuhku yang telanjang telah menindih selangkangannya.
"Maass, gue kan musti balik," katanya ketika Aku melepas bibirnya untuk menelusuri lehernya. Aku terus menciumi leher dan meremasi dadanya. Mulutnya mengatakan menolak, tapi nafasnya yang mulai memburu menandakan lain.
"Kan baru sekali, Yang, sekali lagi ya?"
"Kita masih banyak waktu."
Ya, masih banyak, tapi suaramu serak dan nafasmu memburu. Diapun tak berusaha mencegah ketika celana dalam yang masih di pahanya itu kutarik lepas kembali. Juga tak menampik jariku yang meraba pintu vaginanya. Basah. Alia malah membuka pahanya lebar-lebar, membantu penisku memasuki tubuhnya. Kembali kami menyatukan tubuhku yang bugil dengan tubuhnya yang masih berpakaian lengkap. Ronde kedua ini aku lebih "ganas". Kadang tusukan kubarengi dengan hentakan kuat. Alia mengerang. Mulutnya lebih ribut dibandingkan ronde pertama tadi. Tubuhnya mengejang. Hah, apa ini? Denyutan-denyutan kuat teratur kurasakan pada batang kelaminku di dalam sana. Oh nikmatnya. Tubuhnya masih bergetar mengejang ketika aku ejakulasi. Pun masih kurasakan getaran itu walau aku sudah rebah lemas di atas tubuhnya.
"Oh, udah gelap," katanya mengejutkanku. Alia menolak tubuhku ke samping dan bangkit. Dengan panik dia mencari-cari celana dalamnya dan mengenakannya. Cara memakai celana dalamnya yang buru-buru menyebabkan mataku sempat menikmati bulu lebat kelaminnya. Kulihat arlojiku. Rupanya kami sempat tertidur setengah jam setelah orgasme yang nikmat tadi.
"Tenang Yang, nanti gue anter."
Sesuai permintaannya, Alia kuturunkan di dekat Mess penginapannya. Aku tidak boleh mengantarnya sampai Mess, untuk menghindari kecurigaan teman-temannya. Aku kembali ke hotel meneruskan tidur.
----------
Begitulah. Aku dan Alia menikmati seks dengan cara ini. Alia tak bisa setiap hari "mengunjungi famili". Selang sehari kami setelah bertemu bisa bertemu lagi. Alia menelepon memintaku menunggu di dekat Mess lalu berdua kami ke hotel. Gaya berhubungan seks-nyapun masih sama seperti yang pertama. Gaya missionarist, Alia berpakaian lengkap (kecuali celana dalam tentunya) meskipun Aku selalu telanjang bulat. Tanganku belum pernah menyentuh langsung buah dadanya, apalagi menghisap putingnya. Remasan dada kulakukan dari luar. Mataku belum pernah menikmati klitoris dan liang senggamanya. Penis dan jariku yang sudah menikmatinya. Aku belum pernah menikmati tubuh telanjangnya secara utuh walaupun sudah menyetubuhinya belasan kali.
Kalaupun ada yang berbeda, terjadi pada pertemuan ketiga (hari ketujuh Alia di Jakarta). Dalam foreplay Alia bersedia meng-oralku. Tadinya Aku berencana untuk "keluar" di mulutnya. Sekaligus semacam "test" apakah dia mau menelannya. Tapi Alia keburu minta dimasuki. Ketika pada ronde berikutnya Aku gantian minta meng-oral dia, sudah kuduga Alia menolak. Tapi bagiku tak menjadi soal benar. Yang penting kami berdua puas. Beberapa kali aku mampu membuatnya orgasme. Bahkan dua kali Alia mengalami multiple orgasme. Satu hal lagi yang kudambakan, ketika bangun pagi Alia ada di sampingku sehingga kami bisa menikmati seks pagi hari yang menyegarkan. Ketika hal ini kuutarakan, Alia berjanji nanti pada malam terakhir dia di Jakarta akan minta izin menginap.
Tibalah saat yang kunantikan. Jam 3 sore Alia meneleponku. Biasanya dia menelepon sekitar jam 5.
"Udah selesai, besok siang tinggal pulang," katanya.
"Bisa nginap dong."
"Beres," sahutnya. Hatiku bersorak. Sebentar lagi sampai besok pagi Aku bisa bersamanya.
"Gue jemput sekarang," Penisku berdenyut. Engga sabaran "dia", sejak dua hari lalu "nganggur" saja.
Begitu masuk kamar, Aku langsung bertelanjang dan memelorotkan celana dalam Alia, mendorongnya ke ranjang. Untuk kesekian kalinya kami bersetubuh dengan cara yang sama, cuma kewanitaannya yang terbuka. Keringat kami lebih banyak keluar, mungkin karena main di siang hari walaupun AC kamar cukup dingin. Alia benar-benar teriak! Sampai aku harus menutup mulutnya agar suaranya tak sampai kedengaran dari luar kamar.
----------
Kami berdua masih tergeletak lemas, tak berbicara, asyik dengan pikiran masing-masing. Penisku baru saja lepas dari vaginannya setelah orgasme yang amat nikmat tadi. Kurasakan, inilah orgasme yang paling nikmat setelah belasan kali kami bersetubuh. Alia memang agak aneh, tak sekalipun aku diizinkan untuk menciumi bagian tubuhnya yang tak tertutup pakaian walaupun telah menghantarnya ke puncak kenikmatan hubungan seksual. Tak apalah, Aku punya banyak waktu untuk mencoba dan mencoba lagi. Malam ini Alia sepenuhnya menjadi milikku. Kalau perlu aku akan begadang malam ini. Bertelanjang terus dan setiap saat bila siap akan menyetubuhinya. Kalaupun perlu tidur akan kulakukan lewat tengah malam. Itupun hanya supaya besok bangun pagi Aku siap menyetubuhinya lagi, suatu hal yang aku idam-idamkan: bangun pagi dengan wanita selain isteri ada di sampingku. Membayangkan itu semua Aku jadi horny lagi.
"Yang.." sapaku sambil mencium pipinya.
"Hmm..?"
Aku terus menciumi wajahnya, tanganku ke dadanya. Meremasi.
"Eemm. Apa sih?"
Kutempelkan penisku yang setengah tegang ke pahanya.
"Mau lagi."
"Kok terus-terusan."
"Iya dong, kan malam terakhir."
"Tenang dong. Kita banyak waktu. Kita mandi dulu aja ya."
Wow, kalau nggak salah dengar, mandi bersama adalah ajakan baru.
"Ayo!" sahutku semangat. Aku bangkit lalu menariknya ke kamar mandi.
"Yee.. siapa yang ngajak mandi bareng?"
"Lho, tadi katanya kita mandi dulu."
"Iya. Kita berdua mandi tapi gantian. Gue dulu," sahutnya.
Seperti biasa, selesai mandi Alia tampil dengan pakaian lengkapnya. Walaupun begitu, tampilan segar dan wangi tubuhnya membuatku tak sabaran untuk cepat-cepat mandi kilat. Keluar dari kamar mandi itulah aku mendapatkan kejutan luar biasa dari Alia.
Di kasur, Alia rebah terlentang dengan kaki membuka dan telanjang bulat! Tubuh langsat itu mengkilat tertimpa bias sinar matahari dari jendela kaca. Matanya tajam menatapku, sepasang buah dadanya membulat dengan puting menjulang seolah menantang, bulu-bulu lebat di permukaan kewanitaannya menjadi kontras "dikawal" sepasang paha saljunya. Aku sempat terpaku beberapa saat di depan pintu kamar mandi karena pemandangan yang tak biasa ini. Perilaku Alia ini lagi-lagi kurasakan aneh. Selama sepuluh hari ini dia sama sekali tak mengizinkan aku melihat tubuhnya yang tertutup pakaian, apalagi menyentuh. Tapi kali ini Alia "menghidangkan" seluruhnya! "Alia!" seruku sebelum akhirnya tersadar dari bengong, membuang handuk dan mendekatinya. Aku tak langsung menubruknya. Masih menatapi tubuhnya bahkan sempat berpikir, mulai dari mana? Akhirnya, masih berlutut di lantai, jari telunjukku (hanya satu jari) merabai bukit dadanya. Berputar di kaki dan lereng bukit dan berakhir dengan menyentuh ujung jariku di putingnya. Sudah mengeras. Alia melenguh pelan. Dengan gemas kedua telapak tanganku meremasi kedua bukit itu.
"Aah.. sakit. Pelan-pelan dong."
"Oh, sorry Yang."
Kukecup keningnya semesra mungkin, penuh perasaan. Lalu matanya, hidungnya, dan bibirnya. Disini aku lama mengeksplorasi bibir dan lidahnya. Aku akan melaksanakan niatku sekarang, menciumi seluruh tubuh kekasih gelapku ini. Dagunya kugigit pelan, Alia melenguh Lehernya kutelusuri dengan bibirku, Alia mengkikik. Tiada semilipun bagian payudaranya yang terlewat oleh bibir dan lidahku, Alia merintih. Waktu putingnya kuhisap-hisap, Alia mendesis. Waktu lidahku menyapu-nyapu pusarnya, Alia kegelian ketika bibirku "mencabuti" bulu-bulu di bawah perutnya, Alia terkaget. Dan.. tubuhnya menggigil gemetaran waktu Aku menjilati klitorisnya.
----------
Benar-benar malam yang menikmatkan dan melelahkan. Entah berapa kali tubuh Alia mengejang dalam dekapan tubuhku. Malam itu kami "menghabiskan" semuanya seolah-olah kami tak akan bertemu lagi. Dari jam 4 sore tadi kami tak ke luar kamar. Makan malampun tinggal telepon room service (dan Alia dengan telanjang bulat lari ke kamar mandi, ngumpet, sewaktu room boy mengantar makanan). Sampai kami lunglai dan tanpa sadar ketiduran.
Suara pintu setengah dibanting membangunkanku. Oh.. di mana aku? Masih mengantuk berat kulihat sekeliling. Di kamar hotel. Pintu kamar masih tertutup, rupanya tadi suara dari kamar sebelah. Kesadaranku berangsur pulih. Aku menengok ke samping. Oh! Tubuh langsat itu masih terlentang dengan kaki masih membuka. Tak ada sehelai benangpun menempel di tubuhnya. Sepasang buah kembar itu kembang-kempis sesuai irama dengkuran halusnya. Bulu-bulu di tengah paha yang membuka itu begitu kontras dibanding sekelilingnya. Betapa indahnya Alia! Rupanya, begitu aku "turun" dari tubuhnya setelah persetubuhan kami terakhir lewat tengah malam tadi Alia langsung tertidur. Badannya masih dalam posisi bersetubuh gaya missionarist, terlentang dengan kaki membuka. Inilah saat yang kutunggu-tunggu. Bangun pagi dengan kekasih telanjang bulat tertidur di sampingku.
Dengan amat perlahan aku bangkit menuju ke kamar mandi, pipis. Aku masih menikmati pemandangan indah ini. Tidurnya begitu 'damai', aku punya kesempatan mengamatinya. Inilah wanita yang beberapa bulan terakhir ini memenuhi benakku dan mengisi hatiku. Inilah tubuh yang beberapa hari terakhir ini terus tertutup walaupun banyak kali aku 'menyuntik' maniku. Inilah bukit kembar yang seminggu terakhir ini Aku ciumi beralaskan bra dan baju. Inilah kewanitaan yang beberapa kali sempat kumasuki tanpa melihatnya. Dan, inilah clit yang..
Aku menunduk mendekati selangkangannya. Kuusap, amat pelan, klitorisnya dengan telunjukku. Dengkurannya berhenti, Alia menggeliat dan membuka mata.
"Maass.. Ih," dengan refleks kaki Alia menutup.
"Sebentar Yang," kataku sambil membuka pahanya kembali. Alia menahan.
"Malu ah Mas. Sini aja deh," kedua tangannya terjulur. Kusambut tangannya. Aku menindih tubuhnya. Kami berpelukan erat. Inilah juga yang Aku dambakan, seks di pagi hari dengan wanita selain isteri.
Pada detik-detik terakhir kebersamaan kami, Aku masih penasaran tentang seminggu terakhir Alia "menutup" diri. Ketika hal ini kutanyakan, lama Alia berdiam diri, lalu..
"Sebenarnya, gue kurang pede, Mas."
"Gue nggak melihat begitu, kenapa sih?" tanyaku.
Kami masih bertindihan, penisku masih di dalam tubuhnya. Baru saja kami mengalami orgasme pagi yang nikmat.
"Dada gue Mas," Dengan refleks Aku bangkit sehingga penisku terlepas. Memeriksa dadanya. Bulatan kembar itu memang tak besar, tapi juga tak kecil. Mulus kulit "pembungkus"nya. Tak ada yang salah dengan dada itu.
"Hmm.. bagus begini," ungkapku jujur.
"Tapi.." Alia bangkit duduk.
"Agak turun, Mas.. gue malu," katanya lagi. Aku amati dadanya dari samping, rasanya wajar-wajar saja.
"Nggak kok Yang, bener!"
"Menghibur ya?"
"Tidak, Alia. Lagian kalaupun turun, tak ada masalah bagi Mas."
Dia diam lagi.
"Di paha ada ini.." katanya kemudian.
"Apa lagi, Yang?" Memang ada sedikit "warna lain" di paha kirinya bagian dalam. Tapi Aku tak melihatnya kalau tak ditunjukkan Alia.
"Ah.. begitu aja kok engga pede."
Oh wanita! hal-hal yang sepele begini kok bisa jadi mengurangi rasa percaya diri. Wanita memang sensitif mengenai keadaan tubuhnya.
Lalu, inilah saat yang kubenci, perpisahan.
Walaupun kami saling berjanji untuk berusaha bertemu lagi, tak urung membuatku sedih. Alia sempat meneteskan air mata. Perpisahan memang harus terjadi, setelah kemesraan kami nikmati. Toh hanya perpisahan sementara. Sementara? Nampaknya tidak. Beberapa hari setelah Alia tiba kembali di Makassar, kami memang masih berkiriman mail, tapi Aku bisa merasakan ada perubahan dalam gayanya menulis. Tak semesra dulu lagi. Terakhir, Aku mendapatkan mailnya dengan bahasa yang "resmi" yang berisi ucapan terima kasih, bahagia selama bersamaku di Jakarta, dan, ini yang bikin Aku "pingsan": Kita tak bisa meneruskan hubungan ini, tanpa menyebutkan mengapa harus begitu.
Beberapa kali Aku kirim email untuk minta penjelasan tentang hal ini, tak dibalasnya. Aku coba kontak melalui chat, dia tak pernah on-line. Aku sempat 'limbung'. Gairah kerja menurun, marah-marah tanpa sebab. Alia begitu saja meninggalkanku tanpa penjelasan kenapa. Sampai aku menulis cerita inipun Aku tetap tak tahu!
TAMAT
Komentar
0 Komentar untuk "Cyberlove story - 2"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.