Oase laut utara - Ujung sebuah hujan - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
Kutarik batang yang masih terselip itu lalu pelan-pelan kukeluarkan dari sarangnya. Masih setengah tegang, tapi ukurannya sudah tampak gede dan agak hangat. Kulirik ke atas dia masih asyik menonton TV. Tak peduli dengan apa yang sedang kulakukan.

Kecuekannya itu kubalas. Otot kenyal yang kini ada di genggamanku sengaja kudiamkan saja. Kutunggu reaksinya. Beberapa saat barulah Bahar tersadar bahwa aku tak melakukan apa-apa terhadapnya lagi. Sejenak pandangannya lepas dari TV berganti ke arahku. Matanya memicing, dahinya berkerut dan bibirnya manyun seperti anak kecil minta sesuatu tapi tak dituruti.

"Please.." rengeknya. Manja banget nih orang, pikirku.

Sebenarnya aku tak betah juga membiarkan benda bulat panjang itu menganggur tergolek di genggamanku. Apalagi Bahar memang jagonya merayu meski hanya dengan mengandalkan ekspresi wajah saja.

Mulutku lalu mulai melahap dan kubenamkan seluruh wajahku ke pangkuannya. Sehingga seluruh otot yang mulai menegang itu masuk hingga ke pangkal tenggorokanku. Dia tampak terhenyak. Lalu kurasakan tangannya mulai memegang kepalaku dan mulai mengusap-usap rambutku seperti memberi semangat.

Bahar memang orang yang tak suka banyak bicara. Dia lebih banyak bertindak lewat sikapnya, ekspresi atau isyarat lainnya yang makin lama bisa mulai kupahami bahasa tubuhnya itu. Maka tekanan dan usapan tangannya bagiku sudah cukup bicara banyak, meminta aku untuk berbuat lebih banyak lagi.

Terus saja kujilati meriam kecil miliknya itu yang kulitnya sudah berlumuran dengan air liurku sehingga kini seluruh permukaan batang itu sudah basah dan mengkilat. Lalu bagian topi bajanya yang membengkak itu pun menjadi sasaran gerakan lidahku. Kujilat dan kuoles-oleskan lidahku ke permukaan daerah itu.

Kurasakan tangannya makin menekan kepalaku ke bawah, padahal apa yang kuperbuat menurutku sudah lebih dari cukup. Mau yang seperti apa lagi sih?

Matanya kulihat masih tertuju ke arah TV, namun konsentrasinya tampaknya mulai buyar. Sesekali ia melirik ke bawah, melihat perbuatanku, lalu memandang lagi ke TV. Baru tahu rasa dia, pikirku.

Di luar suara hujan mulai terdengar cukup deras. Kadang-kadang diselingi suara petir. Akankah datang badai malam ini? 'Badai' seperti apakah yang akan terjadi pada puncak birahi kami nanti?

Puas melumati seluruh bagian yang ada. Tanganku mulai merayap masuk lebih dalam ke pangkal selangkangannya, ke gumpalan kantung pelirnya yang membulat dan berkulit tebal. Bagian itu sudah mulai basah oleh keringat. Rambut yang tumbuh di daerah itu sangat lebat dan kasar. Dan aromanya sungguh seksi, serasa aprodisiak buatku..

Tanganku lalu menggenggam dan meremas-remas dua bulatan 'telor' yang menonjol di situ. Pelan dan lembut. Dia bereaksi. Pinggulnya mulai bergerak gelisah. Sesekali pantatnya sedikit terangkat ke atas, entah karena rasa geli dan nikmat akibat perbuatanku, atau ingin memberi kelonggaran agar tanganku lebih leluasa bergerak.

Bodo amat! Tanganku malah makin masuk ke bawah, lebih jauh, sehingga kini mencapai daerah antara pangkal kantung pelir dan celah pantatnya. Jariku mengusap-usap daerah itu. Bulu yang ada di sekitarnya laksana rumput yang tak pernah dicukur. Daerah ini pun kurasakan telah basah oleh keringat.

Aku tak hanya bergerilya di daerah itu saja. Jariku juga menari-nari nakal di sela lipatan pantatnya yang juga mulai terasa basah dan licin. Membuat ujung jariku meluncur-luncur. Membuat daerah sekitar pantatnya berdenyut-denyut.

Tiba-tiba, Bahar mengangkat pinggulnya, lalu berusaha melepas seluruh celana panjangnya ke bawah karena sedari tadi hanya terbuka sampai di bagian pinggul saja. Rupanya acara TV yang ditontonnya sudah selesai. Dan kini dia tampaknya mulai menanggapi aktivitasku.

Bahar lalu mengubah posisinya, duduk bersandar pada ujung sofa. Kini bagian bawah tubuhnya sudah terbuka, tak memakai celana panjang lagi. Ditariknya baju kaosnya ke atas sebatas dada, lalu kedua lututnya dilipat dan kedua pahanya dibuka agak lebar. Pose yang dibuat sungguh sangat menantang!

Kini terpampang jelas batang kemaluannya yang sudah tegang besar dan berotot itu mengacung hingga ke daerah pusar dan perutnya yang berbulu lebat. Sementara di bawah otot tegang itu menggantung indah dua bulatan sebesar telur ayam yang terbungkus oleh kulit tebal dan berkerut-kerut. Dan di bawahnya lagi, di tengah-tengah bongkahan pantatnya yang gempal dan berbulu itu tampak sebuah celah kecil. Legam oleh bulu dan basah oleh cairan keringat.

Aku tertegun menatap semua pemandangan yang ia ciptakan itu. Sungguh, Bahar memang laki-laki yang sexy. Aku sampai tak menyadari bahwa ia pun terus menatapku. Hingga tiba-tiba terdengar suaranya.

"Aku ingin Mas Harso melakukannya padaku.. Malam ini juga" katanya dengan suara agak serak terpengaruh nafsu birahinya. Nafsu yang tampak memancar dari matanya yang sedikit memerah dan berkaca-kaca. Di luar suara air hujan terdengar menimpa atap seng dengan ramainya. Tapi entah kenapa di ruangan ini suasana jadi agak mencekam.

"Bang..?" aku membalas permohonannya dengan pertanyaan dan menatap matanya dengan serius. Mataku juga agak berkaca-kaca. Aku tak bisa menyembunyikan keherananku. Aku sangat tahu apa yang Bahar maksudkan. Tapi aku sama sekali tak menyangka kalau dia memintaku untuk melakukan itu..

Memang, beberapa minggu yang lalu, saat hubungan kami sudah sangat akrab dan menyatu, kami pernah menyinggung satu masalah yang cukup sensitif. Sejauh ini kami telah melakukan apa saja yang bisa kami lakukan selama berhubungan, kecuali satu: anal seks.

Bukan apa-apa. Tapi kami merasa bahwa hubungan semacam itu memerlukan kesiapan khusus baik secara fisik maupun mental, khususnya bagiku. Mungkin bagi Bahar lain lagi, karena berdasarkan ceritanya sendiri, Bahar sudah pernah mengalami hal itu sejak pertama kali mengenal dunia homoseksualitas di lingkungan kerjanya.

Menurut ceritanya, Bahar pertama kali punya pengalaman demikian dengan seorang awak kapal asing (Portugis, kalau tak salah) dengan imbalan uang. Waktu itu usianya masih sekitar duapuluh tahun. Jadi sekitar sepuluh tahun yang lalu.

Waktu itu Bahar memang diajak berkencan sambil mandi bersama di kapal si Portugis itu. Semula Bahar hanya mau berkencan seperti biasa saja dan menolak ajakan untuk ber-anal seks karena belum pernah melakukannya.

Tapi karena awak kapal tersebut memaksa sambil terus memberikan rangsangan secara seksual kepada Bahar, maka Bahar pun terhanyut dan takluk terutama karena rasa sensasi yang timbul ketika bagian belakangnya dirangsang sedemikian rupa oleh si Portugis itu.

Masih menurut Bahar, di kamar mandi itu orang Portugis tersebut mula-mula memandikan dan membersihan seluruh tubuh Bahar, sambil melakukan stimulasi terutama pada bagian belakang tubuh Bahar baik dengan jari maupun dengan rangsangan mulut. Sebuah pengalaman 'fore-play' baru bagi Bahar.

Waktu itu Bahar merasakan rasa nikmat yang belum pernah ia rasakan. Daerah di sela-sela pantatnya menjadi terasa licin, lembut dan basah karena ludah si Portugis. Dan daerah itu ternyata sangat sensitif, bahkan hanya oleh sentuhan lidah yang lembut sekalipun.

Akhirnya setelah kondisi Bahar sudah dirasa"siap", orang Portugis itu lalu pelan-pelan dan sabar mencoba melakukan penetrasi dengan tanpa menghentikan rangsangannya terhadap Bahar. Kali ini malah dengan menggunakan jari tengahnya. Lalu ditambah jari telunjuk. Dan akhirnya tiga buah jari masuk semua. Membelai-belai celah milik Bahar yang makin lama makin melentur.

Dan akhirnya bobollah pertahanan Bahar. Jari-jari Portugis itu kemudian berganti dengan sebuah batang pejal dan kenyal.

Terjadilah adegan sodomi yang baru sekali ini dialami Bahar. Bagian bawah tubuh Bahar memang terasa sakit namun tak timbul luka. Mungkin karena sudah 'dipanasi' dulu sebelumnya. Namun di sela-sela menahan rasa sakit itu, Bahar ternyata merasakan juga sebuah rasa nikmat yang sangat lain dari kenikmatan yang pernah dialaminya selama ini.

Genjotan dan geseran batang kemaluan Portugis yang berukuran besar itu sangat terasa menggelitik seluruh urat syaraf yang ada di situ. Menimbulkan rasa geli yang sangat. Apalagi selama itu tangan si bule juga tak tinggal diam, giat memasturbasi Bahar.

Satu, dua, tiga.. Begitu kira-kira irama genjotan yang dibuat si Portugis. Seirama kocokan tangannya pada batang kemaluan Bahar. Hingga akhirnya Bahar tak mampu menahan orgasmenya yang dirasanya datang terlalu cepat. Namun rasa nikmat muncul sangat sulit untuk dilukiskan. Menurut Bahar, ia sampai menyemprot sekitar tiga-empat kali. Semua memancar kuat dan banyak.

Pada saat itulah, akibat orgasme, pantat Bahar menjadi ikut bereaksi dan berkonstraksi dengan kuat, sehingga makin menjepit batang kemaluan si Portugis. Maka akibatnya tak lama kemudian si bule itu pun mencapai puncak seksualnya hampir bersamaan dengan Bahar.

Sejak kejadian itulah Bahar mulai melakukan beberapa pengalaman serupa dengan rekan-rekannya di kapal atau pelabuhan yang ternyata sudah ada yang mempunyai pengalaman begituan lebih dulu. Namun dalam pengalaman selanjutnya, Bahar tampaknya cenderung lebih menyukai posisi sebagai pihak yang aktif ketika melakukan hal itu.

Itulah yang kini membuatku heran. Karena malam ini Bahar justru memintaku sebagai pihak yang aktif berbuat itu kepadanya.

Matanya masih terus memandangiku, aku sendiri bingung harus berbuat apa. Harus mulai dari mana. Karena aku belum pernah mengalami kejadian seperti itu. Meskipun tak jarang aku sering membayangkan bagaimana nikmatnya hal itu. Tak jarang pula aku sering merangsang sendiri daerah di sekitar itu, baik ketika sedang ber-onani maupun sedang bermain cinta dengan Bahar. Memang timbul kenikmatan tersendiri melakukan rangsangan di daerah sensitif itu. Apalagi bila..

"Mas.." tegurannya menyadarkan pikiranku. Aku gelagapan.
"Abang serius mau melakukan itu?" tanyaku tak percaya.
"Ya!" jawabnya singkat, masih dengan suara yang serak.

Hampir tenggelam oleh bunyi gemeretak hujan di luar sana.

Tamat




Komentar

0 Komentar untuk "Oase laut utara - Ujung sebuah hujan - 2"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald