Oase laut utara - Morning blues - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
Musik blues masih terus mengalun dari piringan hitam milik Om Tei. Bahar masih dalam posisi memunggungiku. Kedua tangannya kini pindah ke bagian depan celana dalamnya, sementara bagian pantatnya tetap dibiarkan terkuak. Tangannya lalu membuat gerakan-gerakan tertentu yang seolah tak boleh terlihat olehku. Nampaknya ia ingin membuatku penasaran. Tapi aku tahu apa yang sebenarnya tengah dilakukannya: ia tengah merangsang miliknya sendiri. Kulihat beberapa kali bukit pantatnya mengempis berkonstraksi seperti tengah menahan rasa nikmat.

Sialan! Aku mulai terpengaruh. Milikku yang tertutup handuk itu mulai bereaksi. Tapi kubiarkan saja. Aku tetap duduk santai dan kedua tanganku tetap bertelekan di kedua lengan kursi. Hanya kini nafasku mulai agak sesak menahan getaran yang mulai memercik-mercik.

Dan percikan itu berubah menjadi desiran-desiran yang kuat ketika tiba-tiba kulihat Bahar memelorotkan celana dalamnya hingga terlepas ke lantai. Tapi posisinya masih membelakangiku, hingga aku tetap tak bisa melihat kondisi tubuh bagian depannya. Yang mulai kudengar hanya sayup-sayup lenguhannya meningkahi musik blues yang tampaknya kini tak lagi dihiraukannya. Dia lebih asyik bermasturbasi!

Aku menelan ludah melihat gerakan-gerakan tubuhnya dari belakang. Tampaknya nikmat sekali ia melakukan onani. Sesekali kepalanya mendongak dan mengeluarkan desahan yang merangsang. Aku tak tahu apakah kini Bahar masih ingin menggodaku ataukah ia sudah larut dalam keasyikannya sendiri. Biarlah, toh aku tadi juga berjanji tak akan menanggapinya.

Tiba-tiba ia membalik tubuhnya menghadapku. Tentu saja kondisi kemaluannya sudah sangat meradang. Kulit dadanya tampak memerah sehingga makin menambah gelap bulu-bulu yang tumbuh di sekitarnya. Nafasnya ngos-ngosan dan wajahnya serius menatapku, seperti orang sedang marah. Aku balas tatapannya dengan pandangan yang serius dan mimik muka yang seolah mengatakan: 'mau apa kau?'.

Tadinya kupikir ia akan mendatangiku. Ternyata tidak. Tubuhnya malah bergerak mundur sambil terus menatapku, menuju ke ranjang. Lalu dalam posisi telentang dan bersandar pada bantal, ia meneruskan acara swalayannya di atas kasur. Kali ini aku benar-benar tergoda demi melihat posisi dan gerakannya di atas ranjang sambil asyik mengocok-ngocok. Ia memberiku sebuah pertunjukan striptease yang meskipun amatiran tapi cukup menggoda. Tapi, kembali gengsiku mengingatkan nafsuku, bahwa aku harus bisa bertahan dari godaannya pagi ini, sampai kuperoleh jawaban: ia mau singgah di mess-ku.

Blues masih mendayu-dayu di kamar ini. Musiknya jadi terdengar lebih romatis-erotis. Cocok untuk mengiringi orang tengah bercinta. Sayangnya pagi ini kami sedang tidak bermain cinta. Kami sedang perang urat syaraf!

Di atas kasur Bahar masih sibuk meloco miliknya. Benda bulat panjang berwarna kecoklatan itu kini tampak meluncur-luncur dalam genggamannya. Kulit batangnya tampak mengkilat. Mungkin basah oleh olesan air liurnya atau cairan lendir yang memang terlihat sudah keluar dari ujung kepala kemaluannya. Urat-urat di sekitar batangnya pun tampak menonjol, menandakan betapa tegang dan kerasnya benda itu saat ini.

Aku sendiri kini dalam kondisi yang tak jauh berbeda. Hanya tanganku tak beraksi. Kubiarkan si kecil bandel meronta-ronta di balik handuk. Tonjolannya nyata sekali menyembul. Meronta ingin keluar dan 'dikeluarkan'. Lendir precum-ku juga sudah keluar dan tampak merembes ke serat handuk. Menimbulkan bercak basah pada ujung tonjolan itu.

Posisi dudukku kini agak menyandar ke belakang dengan kedua kaki terentang menjuntai. Kedua sikuku tetap bertelekan di kedua sandaran kursi. Aku sengaja berbuat begitu demi melihat Bahar mulai melirik-lirik ke arahku, terutama ke gundukan di selangkanganku. Barangkali dia heran karena aku sudah terangsang tapi tetap tak bergeming. Kini, giliran aku membuatnya penasaran.

Kulihat dia dengan nafas yang memburu terus mengocok dan mengocok. Sesekali ekspresinya menyeringai seperti menahan sesuatu yang seharusnya dikeluarkannya. Matanya yang mulai sayu itu terus memandangku dengan tatapan yang sudah sulit untuk diartikan.

Tiba-tiba ia menghentikan kegiatannya, lalu memberi isyarat, tepatnya memohon, padaku untuk naik ke atas ranjang. Tak tahan lagi rupanya. Aku menggeleng menanggapi isyaratnya. Ia mendengus kesal. Dan aku merasa setengah meraih kemenangan.

Setengah kemenanganku semakin nampak ketika kulihat Bahar pelan-pelan mulai beringsut turun dari ranjang. Batang miliknya terayun-ayun seiring langkahnya menuju ke arahku. Lagu blues, entah yang ke berapa, seperti mengiringi langkahnya yang pelan namun penuh dendam, bagai koboi berjalan menuju arena duel.

Aku tetap diam di kursi. Menanti apa kelanjutannya. Karena ia kadang penuh dengan kejutan. Tapi ternyata tidak. Pahanya langsung mengangkangi kedua kakiku yang selonjor di pinggir kursi. Tangannya lalu mencoba menyingkap handuk yang melilit di pinggangku, tapi segera kucekal. Ia melotot. Aku menatapnya dengan tenang."Mau apa?!" kataku setengah meledek.

".. Please.." Bahar mendesah. Memohon.
"Apa.., Bang..?" tanyaku kali ini dengan nada benar-benar meledek.

Ia tak menjawab, tapi malah meremas-remas kemaluannya yang dari tadi mengacung beberapa inchi di depan wajahku. Seolah memberi isyarat padaku apa yang diinginkannya. Aku mengangguk, pura-pura memahami maksudnya yang memang sudah aku pahami.

"Boleh saja..," kataku santai, "Tapi, Abang harus janji dulu..," kataku mengultimatum.
"Ya" jawabnya cepat-cepat dengan nafas yang masih memburu. Padahal aku belum mengatakan permintaanku agar ia berjanji mau ikut aku ke mess.
"Ya, apa?" tanyaku mendesak.
"Ngembaliin kunci lemari," jawabnya sekenanya.

Aku tak bisa lagi menahan ketawaku mendengar jawabannya yang pura-pura bodoh itu.

"Bukan ituu!!" kataku sambil mencubit pahanya. Ia mengaduh.
"Apa dong?" ia masih pura-pura bodoh.
"Sudah ah! Sana! Sana..!" kudorong tubuhnya dengan kesal. Kali ini aku benar-benar kesal. Aku capek menghadapi candanya.

Aku hampir berdiri ketika tangannya menahan bahuku dan mendudukkanku kembali. Ia lalu membisikiku, minta maaf dan berjanji mau singgah di mess sepulang dari kebun ini..

Oh, akhirnya.. Aku hanya bisa menghela nafas. Kenapa harus pakai acara marah dulu untuk menerima jawaban seperti itu, hah? Aku kembali mengumpat.

"Maaf ya.." katanya sekali lagi, tapi kali ini kata maafnya sekaligus dipakai untuk meminta ijin agar tangannya boleh merogoh ke celah handuk yang kupakai.

Kali ini aku tak berontak dan mendiamkannya. Tak kucekal lagi tangannya. Kubiarkan ia meremas-remas agar semua kembali menegang. Kubiarkan tangannya menyingkap handukku dan mengeluarkan isinya. Lalu jari-jarinya bermain-main dengan liarnya. Tanganku sendiri sengaja tak bereaksi, tetap bertenger di kedua sisi sandaran kursi. Aku bahkan tak menyentuh tubuhnya sama sekali. Masih ada sedikit rasa 'kesal' padanya.

Ketika semua sudah siap, Bahar mengambil ancang-ancang mengangkangiku dan mencoba menyelipkan milikku ke sela-sela pantatnya. Agak susah. Karena celah itu belum lentur benar. Tapi bukan Bahar namanya kalau tak berusaha. Kepala kemaluanku yang tumpul membulat itu dioles-oleskannya di sekitar celah miliknya. Menimbulkan rasa geli pada kami berdua. Merangsang lendirku keluar lebih banyak sehingga mulai melumasi liang kecil miliknya yang juga mulai terasa membasah.

Aku tetap tak bergeming dari posisi dudukku. Sementara Bahar terus menggunakan milikku untuk merangsang bagian bawah tubuhnya. Sampai akhirnya aku mulai merasa sesuatu telah menjepit milikku. Lalu pelan-pelan seperti terisap dan akhirnya terlahap seluruhnya oleh sebuah liang liat ketat yang berdenyut-denyut. Tak sengaja pantatku sedikit terangkat ke atas, hingga milikku makin tertusuk lebih dalam..

Bahar mengira aku telah memberi reaksi padanya. Maka pelan-pelan diputarnya pinggulnya, bagai tengah mengaduk sesuatu. Aku hanya bisa memejamkan matanya menikmati lumatan-lumatan pada batangku yang ditimbulkan oleh gerakan itu.

Akhirnya kami melakukannya pagi itu. Aku tak lagi diam pasif. Kuimbangi semua gerakan-gerakan Bahar di atas tubuhku. Aku cukup dalam posisi duduk bersender dan menyentak-nyentakkan pinggulku ke atas. Menusuk dan mengocokkan batangku bila sudah masuk sampai pangkalnya. Sementara Bahar tak henti-hentinya mengulir dan menggenjot pantatnya. Batang kemaluannya tampak mengangguk-angguk di atas perutku. Sedikitpun Bahar tak tampak lelah, meskipun ia harus menekuk lututnya berkali-kali.

Akhirnya dialah yang pertama kali memuncratkan cairan kepuasannya. Banyak dan menyembur ke arah perut dan dadaku. Memang dialah yang memulai semua ini. Orgasmenya menurutku datang terlalu cepat, tak seperti biasanya. Mungkin ia sudah demikian meradangnya.

Puncak kenikmatanku datang tak beberapa lama kemudian, setelah Bahar dengan sisa-sisa tenaganya membuat gerakan pantat sedemikian rupa hingga aku mengerang kenikmatan mencapai puncak. Keringatnya yang deras mengalir bercampur dengan keringatku sewaktu kami berpelukan di atas kursi itu. Sesekali aku masih menyentakkan pantatku ke atas, menusuk. Dan Bahar membalasnya dengan memutar pantatnya, meremas. Lalu yang tinggal hanya dengus dan desahan nafas kami berdua.

Musik blues masih mengalun. Tapi cahaya matahari di luar sana sudah mulai terang. Siang ini kami akan balik ke mess di Manado.

"Bang, mana kunci lemarinya?" kataku mengingatkan sambil kudorong tubuh bugilnya dari pangkuanku.
"Kunci??" wajah Bahar tampak kebingungan. Ia berdiri sambil celingak celinguk.
"Tadi katanya ditaruh di celanamu," aku mengingatkan lagi

Tiba-tiba tawa Bahar meledak. Lalu pelan-pelan ia berjalan ke arah lemari pakaian. Lalu dengan gaya meledek, digesernya pintu lemari dan..

"Bukan ditarik Mas.. Tapi digeser.." ia memeragakan cara membuka lemari.

Ya ampun! Aku cuma melongo. Hampir kupukul dia kalau saja tak segera menghilang ke kamar mandi.

Tamat




Komentar

0 Komentar untuk "Oase laut utara - Morning blues - 2"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald