Niki adalah mantan kekasihku beberapa tahun lampau. Ia menikah dengan pria lain tahun 1996, aku menyusul dua tahun kemudian, saat itu Niki sudah mempunyai anak satu. Kami berpisah baik-baik, dan sesudahnya kami masih berhubungan. Aku juga kenal baik dengan suaminya.
Aku dan Niki sama-sama kerja di perusahaan konsultan. Sesudah menikah ia bertugas di salah satu proyek, sedangkan aku di head office, sehingga kami lama tidak ketemu. Cerita ini terjadi pada pertengahan tahun 2000, saat ia kembali bertugas di Head office menjadi sekretaris salah seorang expert kami dari Hongkong.
Aku sering berhubungan kerja dengannya. Semula kami bersama dalam tugas. Lama-lama berlanjut untuk hal-hal di luar kerjaan, hingga tidak terasa kebiasaan dulu kembali muncul. Misalnya makan siang. Seperti dulu waktu masih pacaran, sering ia 'mencomot' lauk dari piringku, atau sesuatu yang ia makan diberikan separuh ke piringku. Kebiasaanku menyiapkan sendok dan minuman untuknya, atau menghabiskan makanannya juga menjadi kegiatan rutin, seolah hal yang wajar saja dalam hubungan kami. Untungnya teman-teman sekantor juga menganggapnya wajar. Sering juga kami ngobrol soal rumah tangga, suami(nya), istri(ku), dan anak-anak (kami). Tidak ada cerita jelek, semua baik-baik saja. Tapi di balik yang 'baik-baik' tersirat kerinduan (atau kecewaan?) tersembunyi.
Dalam suasana seperti itulah hubungan kami berlanjut dan menghasilkan kisah-kisah yang sebagian kucuplik di sini, khusus yang punya kesan mendalam untukku.
Pertama: Saung Ikan Mas
Hari itu bossnya Niki sedang ke tempat client. Si boss bawa mobil sendiri, maka seperti biasa Niki memanfaatkan mobil kantor yang menganggur buat jalan-jalan. Driver-nya cs kami, jadi ia mengajakku bergabung cari makan siang di luar. ("Kamu yang traktir yaa.." katanya).
Pukul 11.30 kami bertiga berangkat ke Cwie Mie Fatmawati. Baru sampai di Prapatan Pejaten (kantor kami di Buncit), si boss menelpon minta supaya driver-nya menyusul karena tidak enak badan. Maksudnya minta disupiri pulang. Driver kami turun sambil mengomel, minta uang taksi ke Niki terus menyusul bossnya di sekitar blok M. Niki menggantikan pegang kemudi (dulu, Niki yang mengajariku bawa mobil) dan melanjutkan perjalanan.
"Kalo dulu, sambil nyetir gini biasanya aku dipijitin.." Niki mulai membuka kenangan.
"Sekarang juga boleh.." kataku, sambil mengusap lututnya, biasanya aku pindah ke belakang, memijat leher dan pundaknya dari belakang, dan tentu saja berakhir di payudaranya.
"Jangaan ahh, kacanya terang.." kata Niki.
Usapan di lutut memang lebih aman dari pandangan mobil lain. Dari desahan 'ahh'-nya kurasakan bahwa Niki menikmatinya.
"Kita ke saung aja yuk..!" lanjut Niki.
Saung adalah istilah kami berdua untuk sebuah restoran pemancingan di sekitar Ragunan. Aku tidak menjawab, hanya semakin meningkatkan sentuhan di lutut dan ke atas 'sedikit' sambil mata tetap waspada memantau kiri kanan takut dilongok pengendara motor. Niki dengan trampil meluncurkan mobil di sepanjang jalan dengan meminimalkan penggunaan kopling supaya paha kirinya lebih mudah terjangkau jari-jariku.
"Berapa tahun aku tidak nyentuh ini.." kataku saat jariku mulai nyelusuri pinggiran CD-nya.
Niki agak tergetar oleh sentuhanku itu, sambil mendesis ia mengoyangkan kakinya.
"Kamu bangun enggak Mas..?" katanya (ia memanggilku 'Mas').
"Liat aja," jawabku.
Ia melirik dan terkikik melihat tonjolan yang mengeras di celanaku.
"Hihihi.. masih mempan juga.."
"Masih dong, remasanmu belum ada duanya.."
Restoran itu terletak di pinggir kolam, dihubungkan ke beberapa saung (gubuk dari bambu) di tengah kolam dengan jembatan kayu. Saung beratap rumbia ukuran 2,5 m x 2,5 m itu diberi pagar bambu rapat setinggi 60 cm. Bagian atasnya terbuka sehingga dapat dipantau dari jauh, tapi dilengkapi krey bambu yang jarang-jarang, dan dapat diturunkan 'kalau perlu', juga disediakan bantal duduk.
Tidak ada pengunjung lain. Kami meniti jembatan kayu, memilih saung yang paling jauh dari kasir, dan memesan makanan yang paling cepat saji. Tidak lupa kami minta krey diturunkan. Begitu pelayan pergi, aku segera menjatuhkan pantatku di sebelahnya. Ia menyandar ke tiang bambu di pojok, bersila di bantal dengan cuek. Aku meneruskan elusanku yang terhenti, menyusuri pahanya yang terbuka.
"Mana dong yang keras-keras tadi, aku pegang.." katanya tanpa mempedulikan jariku yang sudah terbenam di dalam roknya.
Aku merapatkan duduk agar terjangkau tangannya. Ia menekan-nekan celana di bagian penisku dengan keempat jarinya. Dengan hati-hati sabukku dibuka, lalu zipku diturunkan. Dari sela-sela baju dan singlet, dirogohnya penisku yang sudah mengeras lalu diusapnya lembut.
"Segini aja dulu, biar gampang ditutup," katanya saat aku mau menurunkan celana panjang.
Rasa nikmat yang halus merambat seperti aliran setrum dari selangkanganku, menjalar ke kaki, badan terus ke otak. Kami duduk berdampingan, aku selonjor dengan penis mencuat keluar dari celana, sementara paha kiri Niki menopang di atas paha kananku. Tangan kirinya mengusap lembut batangku sementara sambil menikmati elusannya, tangan kananku melakukan eksplorasi ke permukaan vaginanya yang terbungkus CD.
Percumbuan ringan itu terhenti ketika pelayan datang membawa pesanan. Aku menaikkan zipku kembali seraya merapatkan jaket.
"Sana kamu ke kamar mandi Mas, CD sama singletnya dikantongin aja. Sabuknya masukin tas," ia berbisik memerintahku (Dari dulu aku suka 'perintah-perintahnya').
Ia membereskan makanan sementara aku ke kamar mandi, membukai semua sesuai instruksi dan mencuci batangku supaya dingin dan segar kembali.
Keluar kamar mandi, aku berpapasan dengan Niki menuju ke tempat yang sama sambil mengedipi aku. Sambil menunggu, membayangkan ulah Niki batangku yang baru didinginkan mengeras lagi. Aku tidak menyentuh makanan, hanya minum Aqua untuk mengurangi bau mulut. Niki datang langsung duduk di bantal lagi.
"Udah lega.. ganjelnya udah masuk sini semua.. Beha, CD.." Niki melemparkan tasnya.
Aku kembali merapat.
"Jangan deket-deket, kelihatan dari kasir," ia mencegah.
Tangan kiriku beralih ke perutnya, pelan-pelan menggeser ke atas. Semua 'daleman' Niki sudah tersimpan dengan aman di dalam tas. Niki mengeluh saat tanganku menyentuh bulatan kenyal itu, menggeser posisi sehingga dapat mengawasi kasir di seberang, sekaligus memudahkan aku 'bekerja'.
Ia kembali mendesah lirih saat kusentuh putingnya. Darahku bergejolak merasakan lembutnya buah dada Niki. Beda dengan dulu, sekarang lebih berisi karena menyusui. Aku tidak berani mencium bibir atau mendekapnya karena kepala kami kelihatan sayup dari restoran. Perlahan kubuka kancing blus dengan menyisakan satu kancing paling atas (Niki biasa begitu supaya cepat 'memberesinya') hingga aku dapat leluasa menciumi perutnya.
Buah dada Niki mengembang segar, putingnya yang menonjol sudah mulai mengeras, coklat dilingkari semburat merah jambu. Dengan lembut jariku mengelus puting itu. Kuremas tubuh Niki dengan penuh perasaan. Lidahku menjelajahi perutnya, membuat Niki mendesah-desah dengan mata setengah terpejam.
Bersembunyi di balik blus longgarnya, ciumanku beralih ke buah dada. Lidahku berputar-putar menyapu lingkaran merah di seputar puting, lalu diteruskan dengan mengulum ujungnya. Sementara itu tanganku menjelajahi gunung yang sebelahnya. Niki semakin merintih-rintih menikmati sentuhanku. Birahinya semakin menggelora. Sambil tetap menciumi puting susu, tangan kiriku pindah menelusuri paha Niki sambil tangan lainnya menyusup ke belakang, membuka kaitan roknya.
Sentuhan dan rabaanku akhirnya sampai ke pangkal pahanya yang tidak terbungkus apa apa. Usapanku pada bukit lembut yang ditumbuhi bulu halus membuat birahi Niki menggelegak, meluap ke seluruh nadi dan pori-pori. Ketika tanganku menyelusup ke celah kewanitaannya yang basah, Niki makin menggeliat tidak terkendali.
"Ahh.. Mass, ahh.." Niki merintih tidak karuan, sementara sekujur tubuhnya mulai dirangsang nikmat yang tidak tertahankan.
Dengan hati-hati rok Niki kusingkapkan, pahanya yang mulus sudah menganga menantikan sentuhan lebih jauh. Celah di pangkal paha Niki yang ditutupi rambut halus, merekah indah. Kepalaku menyusup ke dalam roknya yang tersingkap, Niki mengangkangkan pahanya lebar-lebar seraya menyodorkan pangkal pahanya, memudahkanku mencapai lembahnya. Jariku mengusap-usap celah itu yang mulai basah dan menebal, sementara lidahku menciumi pinggiran bulu-bulu kemaluannya.
Niki mengerang keenakan saat jari-jariku menggetar dan memilin kelentitnya.
"Akh.. Mas, gila..! Udah dong Mass..!"
Jari-jariku membasahi kelentit Niki dengan cairan yang merembes keluar dari celahnya. Setiap jariku mengorek lubang kemaluan untuk membasahi kelentit, Niki menggeliat kelojotan. Apalagi sambil membenamkan jari, aku memutar-mutarkannya sedikit.
Sambil meremas rambutku yang masih menciumi pubisnya, Niki mencari-cari zipku, ketemu, terus dibukanya. Dan kemaluanku yang sudah menegang kencang terbebas dari 'kungkungan'. Batangku tidak terlalu panjang, tapi cukup besar dan padat. Sementara ujungnya yang ditutupi topi baja licin mengkilat, bergerak kembang kempis. Di ujung topi itu, lubang kecilku sudah licin berair. Sementara tubuh Niki makin melengkung dan tinggal punggungnya yang bersandar karena pahanya mengangkang semakin lebar, aku pun berusaha mencari posisi yang enak.
Sambil menindih paha kirinya, wajahku membenam di selangkangan menjilati lipatan pangkal pahanya dengan bernafsu, dan tangan kiri tetap bebas menjelajahi liang kemaluannya. Pinggulku mendekat ke tubuhnya untuk memudahkan ia meraih batangku. Soal 'keamanan lingkungan' sepenuhnya kupercayakan kepada Niki yang dapat memandang sekeliling.
Dengan gemas tangan Niki meraih tonggakku yang semakin tegak mengeras. Jari-jarinya yang halus dan dingin segera menjadi hangat ketika berhasil menggenggam batang itu. Ketika pangkal paha Niki mencuat semakin terbuka, ciumanku mendarat di pinggiran bibir vaginanya. Ciuman pada vaginanya membuat Niki bergetar. Ketika lidahku yang menjelajahi bibir kemaluan menggelitik kelentitnya, Niki semakin mengasongkan pinggulnya. Lalu.., tiba-tiba ia mengerang, kaki kanannya terlipat memiting kepalaku dan tangannya mencengkeram pangkal leherku, mendesakkan mulut vaginanya ke bibirku, dan mengejang di situ. Niki orgasme!
Niki menyandar lemas di tiang pagar. Tapi itu tidak berlangsung lama, segera didorongnya tubuhku telentang dan dimintanya merapat ke dinding bambu. Aku mengerti yang dimauinya, aku tahu orgasmenya belum tuntas, tapi aku masih ragu. Semula aku hanya ingin menawarkan kenikmatan lewat lidah dan jariku, tapi kini telanjur Niki ingin lebih.
"Kamu oke, Ki..?" tanyaku. Ia mengangguk.
"Aman..?" lanjutku sambil memutar biji mataku berkeliling. Ia kembali mengangguk.
"Ayo.. sini..!" kataku memberi kode tapak tangan menyilang, Niki langsung mengerti bahasa kami masa pacaran.
Ia mengangkang di atas badanku, jongkok membelakangiku dan kembali menghadap ke restoran. Ia mengangkat rok dan memundurkan pinggulnya hingga vaginanya tepat di mulutku. Tanganku yang menganggur merogoh saku, mengambil 'sarung' yang sudah kusiapkan, kuselipkan di tangan Niki.
"Ihh, udah siap-siap yaa..?" katanya, sambil mencubit batangku.
Dengan sebelah tangan bertumpu pada dinding bambu, Niki berjongkok di wajahku yang berkerudung roknya. Dengan mendesah ia menggerakkan pinggulnya, menyapukan vaginanya ke lidahku yang menjulur, kadang mendesak hidungku dengan tekanan beraturan. Tangannya sebelah lagi mengurut pelan penisku yang semakin tegang, lalu dengan susah payah berusaha memasang 'sarung' dengan sebelah tangan, gagal, malah dilempar ke lantai.
Saat sapuan vaginanya di bibirku semakin kuat sementara lidahku yang menjulur sudah kebanjiran cairannya, pinggulnya ditarik dari mulutku, bergerak menuruni tubuhku ke arah selangkangan. Aku tidak tinggal diam, vaginanya yang lepas dari lidahku kurogoh, kujelajahi dengan jari-jariku. Niki semakin menggelinjang, pahanya mengangkang mengharapkan datangnya tusukanku, sementara tangannya yang menggenggam mengarahkan kemaluan itu ke liang vaginanya yang sudah berdenyut keras.
"Mas.. masukin yaa..!" Niki merintih sambil menarik batang kemaluanku, sementara aku masih memainkan jari di kelentit dan liangnya.
"Hhh, kamu lepaass dulu.. Ini udah keras banget..!"
Aku mengambil alih menggenggam tongkat. Kusentuh dan kugosok-gosokkan otot perkasa yang ujungnya mulai basah itu ke kelentit Niki. Niki melenguh. Sentuhan dengan ujung kemaluan yang lembut dan basah membuat kelentitnya serasa dijilati lidah. Napas Niki semakin terengah-engah.
Bersambung . . . . .
Komentar
0 Komentar untuk "Niki yang tak terlupakan - 1"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.