Eline, sebuah kerinduan

0 comments

Temukan kami di Facebook
Aku mempunyai banyak kisah pengalaman pribadi dengan beberapa gadis yang ingin kuceritakan semua. Tetapi tentunya tergantung apakah ceritaku yang pertama ini membosankan atau tidak.

Aku bergegas mengejar salah satu pintu lift yang terbuka dari sederetan lift yang ada. Pagi itu agak sepi hanya ada beberapa orang di dalam lift. Sampai di lantai 6 tinggal aku dan seorang gadis, dari tombol lift kuketahui dia akan turun di lantai 8. Kulirik gadis itu, wajahnya tirus hidung kecil mancung, bibir tipis dan mata agak sipit, rambutnya lurus sebahu. Kulitnya putih halus khas gadis chinesse. Tubuhnya sedang tinggi sekitar 158 cm dengan berat proporsional, mungkin 48 kg. Mengenakan setelan blazer dan rok mini warna kuning gading kontras dengan kulitnya yang putih bersih.

Gadis yang menarik, kutaksir umurnya sekitar 26 tahun. Kucoba mengajak tersenyum yang disambutnya ramah, dengan singkat kami saling berkenalan. Namanya Eline, bekerja di kantor consultant management di lantai 8. Aku sendiri bekerja di lantai 10. Kami terlibat obrolan basa ? basi sampai dia turun di lantai 8.

Aku terus menuju lantai 10 ke kantorku. Sesampai di kantor aku segera tenggelam dalam pekerjaan mengecek report ? report yang masuk sampai menjelang istirahat siang. Aku teringat Eline dan ingin meneleponnya. Dari pengelola gedung dengan mudah kudapatkan nomor telepon kantornya. Kutelepon dia yang disambutnya dengan ramah. Kami ngobrol sampai sekitar 15 menit.

"Eh, Lin, makan siang bareng yuk", ajakku.
"Aku tahu tempat makan yang enak" lanjutku.
"Makasih Fer, kayaknya nggak bsas deh", tolaknya halus.
"Aku ada janji sama temen, tuh sudah nungguin orangnya", sambungnya lagi.
"Wah, sayang sekali.. gimana kalau besok", kejarku.
"Lihat besok aja deh..", elaknya.
Demikianlah, Eline selalu menolak dengan halus setiap kali kuajak makan siang. Sampai hampir dua minggu kemudian aku baru bisa mengajaknya makan siang kembali. Selama itu setiap hari kami saling menelepon.

Oh ya aku lupa mengenalkan diri, namaku Ferdy seorang pribumi, umur 30 dengan postur sedang tinggi 175 berat 66. Lulusan sebuah institut teknologi ternama di negeri ini dan sekarang bekerja di sebuah perusahaan kontraktor pertambangan minyak sebagai asisten manager, berkantor di kawasan bisnis Jakarta. Aku sudah beristeri, Miranda namanya, umur 28 lulusan fakultas ekonomi dari universitas swasta terkemuka di Jakarta. Miranda bekerja di sebuah perusahaan akuntan publik dan karena keinginanya bekerja demikian tinggi hingga sekarang belum ingin punya anak.
Hubunganku dengan isteri baik-baik saja bahkan bisa dibilang harmonis.

Setelah dua bulan sejak perkenalanku dengan Eline, kucoba mengajaknya menonton bioskop. Kebetulan hari Minggu siang isteriku berangkat ke Balikpapan untuk mengaudit sebuah perusahaan di sana. Eline menerima ajakanku nonton dan minta dijemput di tempat kostnya. Eline ini orang tuanya tinggal di Bandung jadi dia kost di Jakarta di daerah Kuningan.

Pada jam yang ditentukan aku meluncur menuju kost Eline, tepat pukul 17.15 aku sampai. Rupanya dia sudah menunggu di ruang tamu. Sejenak aku tertegun melihatnyanya, mengenakan T-shirt Armani biru tua ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Dadanya tampak menonjol kencang walau tidak terlalu besar. Dipadu dengan celana jeans yang juga ketat sungguh menarik penampilannya.

"Ehh, kok malah bengong sih.. ayo berangkat!", serunya dengan muka memerah.
"OK..!, kemana nih?", tanyaku.
"Lho, bukanya kamu yang punya acara..?", sergah Eline.
"Ok.. Ok.. ke planet Holywood saja ya..?", aku memotong cepat.
"Terserah..", jawabnya pendek.
Tidak terlalu tergesa aku mengemudikan mobil sambil mengobrol menuju ke planet Holywood. Aku tidak terlalu memusingkan mau menonton film apa, yang penting bisa mengajak Eline keluar. Sesampai tujuan, ternyata antrian loket sangat panjang.
"Wah, kayaknya harus antri nih..", kataku.
"Iya, jadi males nih..", sambung Eline.
"Nggak usah nonton saja ya..?", tanyaku minta pertimbangan.
"Iya deh.. makan saja yuk, aku agak lapar nih", jawab Eline.
Kami batal nonton, akhirnya makan di sebuah restoran yang ada di situ.

Kami mengobrol agak lama sampai pukul 20.30, sampai akhirnya dia mengajak pulang. Obrolannya diteruskan di tempat kost saja katanya. Tentu saja aku sangat setuju. Segera kami meninggalkan restoran tersebut menuju kost Eline. Sesampai di kostnya suasananya sepi, teman?teman kostnya masih pada keluar. Eline mengajaku langsung masuk ke kamarnya.

"Ngobrol di dalam saja Fer..", ajak Eline.
Aku mengangguk senang.
"Tapi.. nggak apa-apa nih..?", tanyaku pura-pura ragu.
"Ah kamu.. di sini orang dewasa semua kok, santai saja.", jawabnya.

Kamarnya cukup luas dan tertata rapi, khas kamar seorang gadis. Kami duduk berhadapan di atas spring bed yang digelar di lantai. Eline menyandarkan punggungnya ke dinding. Kami segera terlibat obrolan ringan sampai akhirnya matanya memandang cincin di jariku.
"Kamu sudah married, Fer.. atau tunangan?", tanyanya.
"Married", jawabku singkat.
Dia terdiam cukup lama. Sebenarnya dia sudah melihat cincin itu agak lama tapi baru sekarang dia mempertanyakannya. Suasana jadi agak kaku, aku jadi serba salah. Akhirnya aku pindah ke sebelahnya agak merapat. Kuraih tangannya dan kugenggam.

"Eline, sejak kita ketemu aku selalu memikirkanmu.. aku ingin dekat denganmu", kataku perlahan.
Dia diam saja dengan mata menatap kosong ke depan. Kucoba mengelus rambutnya.
"Apa yang kau harapkan dariku?", tanyanya agak ketus.
"Aku hanya ingin dekat, itu saja." jawabku cepat.
"Hanya pelarian dari masalah dengan isterimu, begitukah..?!" sergah Eline.
"Tidak!" jawabku.
"Hubungan kami OK-OK saja", lanjutku.
"Aku hanya ingin berada dekat kamu."

Eline terdiam sambil tercenung. Memang benar. Meskipun isteriku sebenarnya cantik tapi sejak bertemu Eline aku sangat terobsesi. Dalam pergaulanku sekarang ini aku banyak bertemu wanita cantik tapi sebelum?sebelumnya tidak ada ketertarikan. Berbeda dengan Eline, begitu melihatnya aku sangat tertarik. Memang sebenarnya aku selalu tertarik melihat wanita keturunan. Menurutku mereka sangat cute, lembut dan punya daya tarik yang lebih. Walau menurutku mereka sangat menarik tak tahu kenapa dulu aku tidak mengawini mereka saja. Padahal dengan pergaulanku yang luas semasa kuliah dulu sebagai aktivis kampus, teman-temanku tidak terbatas di lingkungan kampusku saja tapi juga dari berbagai kampus di Jakarta maupun Bandung. Dengan penampilanku yang sampai sekarangpun masih sering dilirik para wanita, tentu tidak sulit buatku untuk memperistri gadis chinese. Entah kenapa, yang jelas isteriku adalah juga seorang pribumi sepertiku.

Eline masih terdiam cukup lama. Perlahan kuelus rambutnya. Tanganku bergeser mengelus pipinya yang halus, Eline masih diam. Dari pipi tanganku bergeser menuju lehernya yang putih, mengelus-elus leher. Eline agak merosot duduknya setengah rebah, matanya terpejam. Bibirku mulai mendekati mulutnya.
"Paling aku kena tampar kalau dia marah nanti", pikirku.
Pelan kukecup sekilas. Eline tidak bereaksi. Kuberanikan lagi kembali mengecup kali ini agak lama, masih tidak ada reaksi. Matanya tetap terpejam. Aku merasa tidak mendapat penolakan. Maka kembali bibirku mendarat di bibirnya kali ini dengan lumatan halus.
"Mmmhh..", Eline melenguh pelan.
Aku seperti mendapat persetujuan saja. Segera bibirnya kulumat dengan panas. Lidahku menyusup ke dalam mulutnya yang agak terbuka, mengais-ngais lidah dan rongga mulutnya. Mulutnya mulai bereaksi membalas lumatanku.. cukup lama lidahku bermain dalam mulutnya. Tanganku yang mengelusi lehernya mulai turun menyusuri leher ke bawah menuju dada.
Dari luar T-shirtnya tanganku menggapai.. meraba dada kananya. Perlahan tanganku mulai meremas lembut bukit dadanya.

"Mmmhh.. hh..", Eline kembali melenguh pelan.
Sementara mulut dan lidahku kembali menyerang dengan ganasnya. Tanganku mulai menarik lepas ujung T-shirtnya dari dalam celana dan menyusup ke balik pakaian atasnya. Tanganku terayapi perut yang halus terus ke atas menuju dada kanan. Tanganku kembali meremas-remas dada dari luar BH. Sementara itu di atas Eline dengan panas mengimbangi kulumanku. Lidahnya tak mau kalah menyelusup ke dalam mulutku. Lidah kami saling membelit dengan mulut menghisap kuat. Tanganku mulai menyusup dari celah cup BH masuk menyentuh langsung bukit dadanya.

Jariku mencari-cari puting payudaranya. Putingnya terasa mungil namun tegang mencuat. Kuelus?elus dengan jari sambil sesekali kupilin pelan. Lenguhan Eline semakin keras. Kualihkan serangan bibir dan lidahku ke lehernya yang halus.
"Oouuhh.. Fer..", erang Eline.

Perlahan aku mengangkat T-shirtnya ke atas sampai melewati dada. Terlihat dadanya yang putih. T-shirt itu terus kuangkat sampai akhirnya melewati kepalanya, lepas. Sekarang dadanya sudah terbuka. Dadanya putih sekali, tertutup Triumph ukuran 32 B warna soft cream menutupi bukit dada yang tidak begitu besar. Kembali mulutku mengecupi leher dan belakang telinga, sementara tanganku sudah menyusup kebalik BH meremasi secara langsung bukit dada yang sudah mengembang tegang. Jariku memilin putingnya yang mungil.

"Oouuhh..", Eline melenguh sambil menggelinjang.
Tubuhnya sekarang sudah rebah sepenunya. Tanganku terus bermain di bukit dadanya sebelah kanan kemudian berpindah ke dada kiri. Mulutku bergerak menyusuri leher, dengan jilatan panas dan basah terus menuju bawah. Sementara tanganku keluar dari dalam cup BH dan mengelus-elus punggungnya yang halus. Kubuka kaitan BH-nya di punggung, lepas sudah. Lidahku menyusuri leher menuju bahunya sebelah kanan, terhalang tali BH. Sesampai pada tali BH di bahu tersebut kugigit tali itu sambil kugeser turun melewati ujung bahu kananya. Karena kaitan BH di punggung sudah lepas maka tali BH di bahu kanan itupun akhirnya terlepas. Mulutku kembali ke atas menyeberangi dada menuju sebelah kiri. Dengan cara yang sama aku melepaskan tali BH dari bahu kirinya. Terlepas sudah BH tersebut. Tapi karena posisi Eline telentang maka meskipun sudah lepas, BH tersebut masih menutupi dada.

Sementara itu tanganku sudah menyusup ke balik celana jeansnya terus masuk dibalik CD. Sambil mengelus-elus tanganku bergerak terus ke bawah. Tanganku menyentuh bulu-bulu halus yang tidak terlalu lebat. Terus bergerak ke bawah menuju pusat kewanitaannya. Basah.. lembab. Jariku menggesek-gesek di mulut kewanitaannya.
"Ouughh.. Fer.. rr..", Eline mengerang.
Kupandangi wajahnya, matanya terpejam. Mulutku segera mengambil inisiatif menggigit BH-nya dan menariknya lepas dari tubuh bagian atas. Terpampanglah keindahan yang benar-benar elok. Bukit dadanya sangat putih kencang, dihiasi puting kecil mungil berwarna kemerahan di kedua ujungnya. Tidak terlalu besar, bahkan cenderung kecil. Bagai buah apel muda. Tapi justru itulah keindahannya. Buah dada yang tidak besar namun kencang seperti yang umumnya dimiliki gadis chinese, sungguh mendatangkan pesona bagai sihir yang tak pernah habis.

Perutnya rata, putih halus tanpa noda dihiasi dengan pusar yang indah. Mulutku segera mendarat di perut, lidahku menjilati pusarnya, bergerak terus ke atas dengan jilatan hangat menyusuri perut menuju dada kirinya. Sesampai di dada tidak langsung menuju pusat tapi mengitari lereng bukit dadanya dengan jilatan basah. Di bawah, tanganku tetap menggesek-gesek mulut kemaluannya sehingga menjadi semakin basah.
"Oohh.. Ferr..", Eline kembali mengerang.

Puas menyusuri lereng dadanya mulutku menuju puncak dada, lidahku menjilati putingnya. Kemudian mulutku pun langsung mengulum bukit dadanya tersebut. Bukit dada kiri itu segera hilang dalam mulutku. Mulutku langsung menyedot kuat sambil lidahku mengais-ngais putingnya. Di bawah, jariku sudah masuk ke dalam kemaluannya.
Kugerakan maju mundur perlahan, terasa lubang itu semakin basah.
"Ouugghh.. hh..", Eline mengerang semakin keras.
Tubuhnya menggeliat perlahan. Aku semakin bersemangat menyedot-nyedot buah dadanya dan jariku semakin cepat bergerak keluar masuk di kemaluannya. Ada sekitar 5 menit aku mempermainkan buah dada dan kemaluannya.
Sampai akhirnya tiba-tiba tubuhnya menegang. Kakinya kaku, lurus mengarah ke bawah. Pangkal pahanya menjepit tanganku. Tubuh Eline mengejang beberapa saat.
"Aarrgghh.. Ouuhh", Eline mengerang keras sekali.
Kurasakan ada aliran hangat meleleh dari lubang kemaluannya.
"Ah.. Eline sudah mendapatkan orgasmenya yang pertama", pikirku.

Eline tergolek lemas dengan mata terpejam. Kukeluarkan tanganku dari dalam celananya yang basah. Kucoba menarik turun celana jeans sekaligus dengan CD-nya, tetapi agak sulit. Akhirnya Eline sedikit mengangkat pinggulnya ke atas untuk membantuku melepaskan celananya. Kutarik turun jeans berikut CD itu melewati paha terus sampai lutut.. tidak ada hambatan, terus melewati mata kaki, dan akhirnya terlepas seluruhnya.

Terpampanglah pemandangan indah yang lain. Sepasang paha yang putih mulus dengan bulu-bulu halus, di atas pangkalnya dihiasi rambut halus yang tidak terlalu lebat melindungi pusat kewanitaanya. Kemaluanya tampak membentuk parit kecil dengan bibir kemerahan agak membentuk gundukan. Sejenak kupandangi tubuh Eline. Yang terlihat adalah sosok seorang dewi. Tubuhnya yang sedang dengan dada yang indah dibalut kulit putih halus sungguh merupakan perpaduan yang luar biasa. Aku kembali mencium bibirnya.. memagut dengan lumatan-lumatan panas. Eline menyambutnya dengan bergairah. Tanganku meremasi bukit dadanya kiri dan kanan bergantian. Sementara itu Eline memagutku.. menyedot mulutku kuat-kuat. Sambil tetap menciumnya aku melepas kemeja sport yang kukenakan. Kemudian menyusul celana jeans sekaligus CD-ku.

Penisku yang sudah tegang sedari tadi segera mengacung ke depan. Kini aku menempatkan tubuhku di atasnya. Tubuhku sepenuhnya menindih tubuhnya. Dengan tangan kanan kutempatkan batang penisku tepat mengganjal di depan mulut kemaluannya. Tanganku kembali meremasi bukit dadanya bergantian kiri dan kanan. Sementara mulutku masih terus menyedot-nyedot mulutnya dengan lidah saling membelit. Sejenak kuhentikan remasan tanganku di dadanya.. Aku memeluk erat-erat tubuhnya. Kunikmati sentuhan kulitnya ditubuhku.. terasa bukit dadanya yang mengganjal di dadaku. Putingnya terasa tegang mengeras.. terasa sangat nikmat. Gesekan kulit telanjang yang halus sungguh mendatangkan sensasi luar biasa. Setelah berdiam sejenak aku mulai menggerakkan pinggulku, menggesek-gesekan batang penisku di mulut kemaluannya. Sementara tanganku meremasi bukit dadanya lagi.

"Oohh.. mmppffhh..", mulut Eline mencari-cari mulutku.
Setelah ketemu, lidahnya langsung menyerbu masuk ke rongga mulutku. Dengan goyangan berirama aku terus menggesekan-gesekan penisku.
"Oouuhh.. Ferr..", Eline kembali mengerang.
Mulutnya menyedot sangat kuat.. Eline tampak sudah kehilangan kendali. Aku sendiri juga sudah tak tahan.. sudah terbakar. Segera tanganku mencari penisku yang sudah mengembang sangat tegang dan keras. Kuarahkan ujungnya ke lubang kemaluannya.

Walau kemaluannya sudah sangat basah tapi aku tidak langsung memasukkanya. Kugeser-geserkan di mulut kemaluannya beberapa saat.. Kemudian perlahan kutekan masuk.
"Plepp..", sedikit masuk ujungnya.
Pelan-pelan kugoyang-goyang sambil kudorong masuk.
"Aahh.. ouuhh", Eline mengerang sambil menggelinjang.
Pelan tapi pasti penisku masuk semakin ke dalam. Mata Eline terpejam rapat.. tidak ada kesakitan di sana, yang ada hanya nikmat. Penisku sudah masuk lebih separuhnya.. Sambil kugoyang terus maju.. sampai akhirnya tenggelam ditelan kemaluannya.

Kugoyang keluar masuk penisku pelan-pelan makin lama makin cepat. Mulutku bergeser dari bibir ke rahang bawahnya.. menjilati dengan dengan lidahku terus bergeser kearah leher. Tanganku tetap meremasi kedua bukit dadanya sambil memilin putingnya.
"Aaahh.. ouuhh.. ahh..", erangan Eline semakin sering dan keras.
Lidahku menjilati leher, belakang telinga dan masuk kedalam lubang telinganya. Ada sekitar lima belas menit tubuh Eline kugoyang terus yang diimbanginya dengan menggerak-gerakkan pinggulnya ke kiri ke kanan sambil sesekali dia desakkan keatas. Sampai akhirnya tubuhnya mulai menegang. Makin kupercepat gerakan penisku keluar masuk dikemaluannya.
"Plepp.. pleep.. plepp", terdengar bunyi gesekan penis dengan lubang kemaluan yang sudah sangat basah.
"Aaahh.. hh..", tiba-tiba tubuh Eline mengejang sambil tangannya mencengkeram pangkal lenganku.
"Ouuhh.. Ferr..", matanya terkatup rapat.
"Seerr..", terasa aliran hangat membasahi ujung dan batang penisku.

Eline mengejang sampai beberapa saat kemudian akhirnya tubuhnya terkulai lemas. Aku sendiri sudah mulai mendaki ke puncak, tanpa memberi waktu Eline beristirahat, segera aku tancap gas. Goyanganku makin kupercepat sambil mulutku kembali memagut mulutnya. Setelah berdiam beberapa waktu Eline kembali naik. Lumatanku dibalasnya dengan ganas.
Sementara tanganya meremas-remas rambutku. Dengan penuh perasaan tanganku meremas dan memilin dadanya.

"Pplepp.. plopp.. pplepp..", terdengar bunyi kecipak basah.
Batangku terasa penuh menyesaki lubang kemaluannya. Gesekan kemaluan kami sungguh terasa nikmat. Akhirnya tubuh Eline kembali menegang. Aku sendiri merasakan ada aliran hangat mengaliri batang kemaluanku menuju ujungnya.
"Ahh.. Ferr.. Ouhh..", Eline mengejang sambil menggigit bibirnya, tangannya memelukku erat.
"Serr.. seerr", terasa aliran hangat dalam kemaluannya.
Kutekan penisku dalam-dalam sampai pangkalnya.
"Arrgghh.. hh.."
"Croott.. croott.. crroott..", beberapa kali penisku menyemburkan lahar panas di rongga kemaluannya.
"Aahh.."

Badanku terasa lemas. Aku berdiam diri beberapa saat diatas tubuhnya sambil batang penis masih tetap menancap di dalam kemaluannya. Kami nikmati sensasi pasca orgasme yang terasa tak kalah nikmatnya. Suasana terasa hening.. sepi. Eline membuka matanya dan kemudian melihat ke dalam mataku. Kukecup lembut bibirnya.. kemudian dahinya.
Aku lalu berguling turun ke sampingnya. Kami berbaring bersisian dengan berdiam diri agak lama. Aku beringsut dan memandanginya, kutatap wajahnya. Terlihat ada butiran air mata.
"Kamu menyesal?", tanyaku.
"Wanita ke berapa aku ini dalam petualanganmu, Fer!", Eline tidak menjawab malah balik bertanya.
Aku diam saja tidak berusaha menjawab. Suasana jadi hening.
"Sudahlah, nggak usah dijawab!", sambungnya lagi tiba-tiba.
"Sudah malam Fer, pulanglah!", lanjut Eline sambil bangkit menuju lemari pakaian.

Kulirik jam dinding, sudah pukul 11.45. Wah, cukup lama juga kami bercinta. Aku segera bangkit dan mengenakan pakaianku. Sementara Eline sudah mengenakan daster tidurnya dan berdiri menyandar dinding sambil memandangiku yang masih memasang sepatu. Selesai berpakaian kuhampiri Eline.
"Barusan tadi sangat berarti buatku", kataku sambil memegang tanganya.
Eline tidak menjawab dan memalingkan mukanya dengan mulut terkatup rapat. Akhirnya kukecup lembut bibirnya. Dia diam saja tidak bereaksi.

Aku pamit padanya dan bergegas meninggalkan kamarnya. Pelan-pelan aku menyusuri jalanan Jakarta yang masih ramai.
Semenjak kejadian itu hubunganku dengan Eline terus berlanjut. Kami mengulanginya setiap ada kesempatan dan itu terjadinya hampir seminggu dua kali. Kami melakukanya di hotel, di kostnya, bahkan pernah juga di ruangan kerjaku di kantor. Tapi yang paling sering di hotel saat makan siang. Selama delapan bulan kami masih tetap berhubungan sampai akhirnya Eline melanjutkan S-2 nya keluar negeri. Kadang-kadang aku masih menerima emailnya sampai sekarang yang menceritakan kerinduanya.

Tamat




Komentar

0 Komentar untuk "Eline, sebuah kerinduan"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald