Dari semua gadis itu, Lia bisa digolongkan berbeda. Penampilannya yang tomboy lah yang membuatnya berbeda. Meski begitu tidak ada yang membantah kalau Lia jugalah gadis yang paling menawan dalam rombongan itu. Lia memiliki wajah bulat dengan hidung mancung. Matanya sedikit sipit karena ada darah campuran Cina di dalam tubuhnya. Giginya putih bagaikan mutiara membuat senyumnya terlihat menawan. Rambutnya dipotong pendek makin mengesankan sifatnya yang tomboy, meskipun justru bagi sebagian orang Lia terlihat semakin manis dan feminin dengan potongan rambut pendeknya. Hal itu masih ditambah dengan tubuh yang langsing tapi padat dan putih bersih. Tinggi badannya yang 169 cm tidak tampak terlalu jangkung karena proporsinya yang ideal. Jika dia berjalan, maka yang menjadi perhatian, terutama kaum lelaki adalah pantatnya yang padat dan payudaranya yang terlihat kenyal meski tidak terlalu besar. Pakaiannya yang hampir selalu ketat membuat cetakan menonjol di bagian-bagian itu.
Siang itu, di tengah cuaca yang panas menyengat, terlihat Lia berjalan sendirian menyusuri jalan desa dengan langkah agak terburu-buru. Dia memakai pakaiannya yang ketat, kaus warna putih yang pas sebatas pinggang dan celana jins yang juga ketat yang jika bergerak membuatnya repot setengah mati karena bagian pinggangnya yang putih mulus jadi terbuka, mengintip diantara sela-sela pakaiannya. Lia terlihat membawa setumpuk map yang berisi kertas, yang membuatnya agak repot.
Tanpa diduga dari arah belakang, sebuah mobil jeep butut berwarna putih kusam tampak kotor berdebu- dan berkarat di sana-sini berhenti tepat di depannya. Seorang pria menengok dari jendela mobil. Pria itu sudah cukup tua, terlihat dari wajahnya yang gemuk berminyak sudah berkerut, dan rambutnya yang agak botak hampir semuanya beruban. Kumisnya yang juga sebagian beruban tampak melintang sebesar jempol. Pria itu memakai seragam pegawai kelurahan.
Lho Neng Lia.. kata bapak itu sambil nyengir. Karena terkejut Lia menoleh cepat, sampai seolah lehernya terpuntir.
Oh.. Pak Kades.. kata Lia agak kaget. Pria itu rupanya adalah Kepala Desa. Saat perkenalan, Lia tahu namanya adalah Wirya, sering disapa dengan sebutan Kades Wirya. Lia tidak terlalu mengenal Kades Wirya, tapi dia sering mendengar penduduk membicarakannya. Desas-desus yang Lia sering dengar adalah, Kades wirya adalah seorang mata keranjang yang doyan kawin cerai. Dari cerita orang Lia pernah mendengar kalau istri Kades Wirya sudah lama meninggal, tapi dia masih memilii beberapa istri simpanan di desa lain. Benar atau tidaknya Lia tidak tahu, dan tidak peduli.
Neng Lia mau ke mana? tanya Kades Wirya, dengan nada ramah dibuat-buat.
Eh.. itu.. Lia jadi agak gugup. Saya mau ke kecamatan. Ada laporan yang harus saya ambil buat program nanti.
Oh.. Kades Wirya mengangguk mengerti. Kalau begitu kebetulan. Saya juga mau ke kecamatan, ada pertemuan dengan Pak Camat. Neng ikut Bapak saja sekalian.
Lia agak bimbang sesaat mendengar tawaran itu. Tapi setelah dipikir-pikir dia akhirnya menerima tawaran itu, mengingat jarak ke kantor kecamatan, apalagi jarang ada kendaraan umum yang bisa ditumpanginya. Penduduk biasa menggunakan sepeda atau berjalan kaki kalau ke kecamatan. Sementara Lia yang terbiasa dimanja teknologi jelas tidak akan mau membuang tenaganya untuk jalan kaki kalau ada yang bersedia memberinya tumpangan.
Sepanjang perjalanan, Kades Wirya lebih banyak diam. Hanya sesekali ida bercerita tentang masa lalunya. Lia hanya mendengarkannya sambil lalu. Dari apa yang didengarnya, Pak Kades ini sebetulnya sedang ingin memamerkan dirinya waktu masih muda. Tapi Lia tidak menyadari kalau selama perjalanan itu Kades Wirya tidak hanya bercerita, tapi juga beberapa kali mencuri-curi mengamati bagian-bagian tubuhnya.
Mereka baru saja mencapai batas desa ketika mobil yang mereka tumpangi tiba-tiba berdecit-decit dan berjalan tersendat-sendat dengan suara mesin benderum kasar. Sesaat kemudian asap tipis mengepul keluar dari kap mesin diiringi dengan matinya mesin mobil secara total.
Kenapa mobilnya Pak? tanya Lia.
Tidak tahu Neng. Kades Wirya menggelengkan kepalanya dengan sedikit gugup. Kayaknya sih mesinnya ngadat.
Bisa diperbaiki nggak Pak? Soalnya kita kan musti ke kecamatan.. Lian betanya dengan nada sedikit cemas.
Wah, nggak tahu Neng, saya bukan ahli mesin.. jawab Pak Kades pelan. Lia makin cemas, dia melihat ke atas, cuaca mulai gelap karena mendung.
Kalau begitu sebaiknya saya pergi ke kecamatan sendiri saja. Kata Lia setelah memeutuskan. Tapi Pak Kades mencegah langkah Lia sambil mencekal pergelangan tangannya.
Jangan Neng. Soalnya sebentar lagi hujan. Lagipula kantor kecamatan masih jauh dari sini. Ujar Pak Kades.
Lia mendadak menjadi gelisah mendengar ucapan Pak Kades Wirya, apalagi dia melihat cuaca yang memburuk. Dan tepat seperti perkiraan Pak Kades, gerimis mulai turun membuat pola bintik-bintik basah pada baju yang mereka pakai.
Wah.. sial.. Pak Kades memaki pendek sambil menoleh ke arah Lia. Kita sebaiknya cari tempat berteduh Neng. Kebetulan rumah saudara saya ada di dekat sini.
Lia yang tidak tahu harus berbuat apa menghadapi situasi seperti ini tampaknya hanya bisa menurut. Mereka berlarian menyusuri jalan yang mulai becek oleh siraman air hujan yang makin lama makin lebat. Tak berapa lama mereka sampai di sebuah rumah kecil separo tembok dan separo kayu. Rumah itu terletak agak menjorok dan jauh dari rumah-rumah yang lain, bahkan bisa dibilang itulah rumah satu-satunya yang ada di sekitar situ. Agak jauh ke belakang rumah sudah berbatasan dengan hutan yang menjadi pembatas desa.
Keduanya basah kuyup saat masuk ke rumah itu. Rumah itu ternyata tidak dikunci. Pak Kades membimbing Lia masuk ke rumah kecil itu. Mereka memasuki ruang depan yang kecil dan suram karena jendelanya tertutup. Hanya ada sepasang kursi kayu dan sebuah meja kayu kusam di situ. Lantainya terbuat dari ubin dingin agak berdebu. Pak Jamal meraih lampu minyak di meja dan menyalakannya. Seketika ruangan jadi terang oleh nyala lampu.
Eh.. Pak Kades.. apa ada kain atau baju ganti buat saya? tanya Lia polos setelah menggigil karena bajunya yang basah kuyup. Pak Kades tidak langsung menjawab, dia untuk sesaat hanya memandangi Lia dengan tubuhnya yang indah sedang terbalut kaus basah, kaus itu begitu basahnya sehingga menempel di kulit Lia membuat kaus itu menjadi semi transparan sehingga Pak Kades bisa melihat lekuk tubuh Lia yang mulus. Selama beberapa detik Pak Kades memandangi tubuh Lia dengan sorot mata yang aneh.
Oh.. ya.. ada. Pak Kades menjawab, tapi suaranya menjadi berubah, tidak seperti suara Pak Kades yang asli, seolah Pak Kades sedang menahan sesuatu yang menggebu di dalam tubuhnya. Di dalam kamar situ. Pak Kades menunjuk kamar yang ada di sebelah ruang depan.
Tanpa berpikir panjang lagi Lia langsung bergegas masuk ke kamar itu. Kamar itu sempit dan sesak oleh sebuah ranjang kayu berlapis kasur usang berseprai usang yang warnanya sudah tidak jelas. Di dekatnya ada sebuah lemari kecil dari kayu yang sama usangnya. Lia melihat ada sebuah jendela dengan terali besi kokoh tepat di seberang pintu kamar. Tidak ada daun jendela di sana, hanya ada sebuah tirai tipis berwarna putih kekuningan, sinar matahari yang suram tertutup mendung menerobos masuk.
Lia mengaduk isi lemari usang itu. Di sana ditemukannya sebuah kemeja berwarna putih yang kelihatannya terlalu besar untuknya, dan itu adalah satu-satunya pakaian bersih yang ada di sana karena sisanya hanya kain-kain tua yang sudah bau apak.
Untuk sesaat dipandanginya kemeja itu seperti menimbang apakah cocok untuk dirinya. Kemudian tanpa memperhatikan kiri kanan, Lia mulai melepaskan kaus dan celana jinsnya yang sudah basah kuyup, sekarang hanya tinggal BH dan Celana dalam berwarna putih berenda-renda yang tampak sangat lembut. Sekujur tubuhnya yang seksi itu nyaris telanjang, payudaranya yang sekal dan padat terlihat menonjol dengan putingnya yang membayang di balik mangkuk BH nya, sementara pinggangnya yang ramping ditambah pinggul yang bulat padat bertemu membentuk segitiga yang tertutup celana dalam. Saat Lia baru saja akan memakai kemeja yang didapatnya di lemari, Tiba-tiba Pak Kades menyerbu masuk lalu menutup pintu dan menguncinya. Tubuh Lia saat itu masih terbalut bra dan celana dalam. Lia kaget bercampur marah.
"Ada apa, Pak? Saya kan baru ganti pakaian...?" katanya dengan nada melengking, campuran antara marah dan malu. Tapi Pak Kades menanggapinya dengan seringai liar.
"Tenang saja Neng... Bapak cuman pingin melihat keindahan tubuh Neng Lia dari dekat... Soalnya jarang sekali Bapak ketemu wanita secantikNeng Lia... Bapak hanya ingin lihat..." kata Pak Kades dengan kalem..
"Keluar Pak... Jika tidak saya akan berteriak..." jawab Lia sengit sambil menutup dengan kemeja di tangannya, belahan payudaranya yang menonjol dari sela-sela BH nya.
Ayolah Neng.. Jangan marah begitu... Silakan berteriak sekerasnya... Tidak ada yang akan menolong Neng Lia di sini...
Jangan Pak, Jangan.. Lia mundur menjauhi Pak Kades. Tolong Pak.. jangan sakiti saya..
Tenang Neng, Bapak tidak akan menyakiti Neng Lia kalau Neng Lia nurut sama Bapak, jawab Pak Kades masih dengan ketenangan yang sama seperti sebelumnya. Mendengar itu Lia benar-benar nekad melaksanakan ancamannya untuk berteriak, tapi Pak Kades menggelengkan kepala.
Percuma juga Neng teriak, tempat ini jauh dari mana saja. Kata Pak Kades. Lagipula kalau Neng teriak, apakah penduduk akan percaya pada Neng yang orang asing? Mereka tentu lebih percaya pada saya.
Hal inilah yang tidak diperhitungkan oleh Lia, seketika itu Lia menghentikan usahanya untuk berteriak.
Ma.. maksud Bapak...? Lia mulai gemetar.
Gampang saja kan Neng? Bapak bisa dengan mudah memutarbalikkan fakta, Bapak bisa saja menuduh Neng berbuat mesum di tempat terlarang. Mereka pasti lebih percaya pada Bapak, karena Bapak adalah Kepala Desa.
Lia seolah kehilangan keseimbangan, tubuhnya mendadak lemas, kakinya menjadi gemetar. Dia tidak berpikir sampai sejauh itu. Otaknya mendadak buntu oleh ketakutan dan kekalutan.
Bagaimana Neng..? tanya Pak Kades dengan senyum penuh kemenangan. Lia diam saja. Hatinya terasa sedih dan sakit. Pak Kades menganggap diamnya Lia sebagai tanda setuju, karena itulah dia segera meraih tangan Lia dan membawa Lia ke arah tubuhnya untuk dipeluknya. Lia terpaksa menurut karena tak bisa melawan. Dalam pelukan Pak Kades, Lia menangis membayangkan petaka yang akan ia alami. Tapi Pak Kades tidak mempedulikan tangisan Lia, dia meraih dagu Lia dan mengulum bibirnya yang kecil mungil. Lia berusaha mengatupkan bibirnya agar tidak bisa dikulum oleh Pak Kades. Namun segala upayanya sia-sia. Pak Kades mendekap tubuhnya dengan begitu erat. Secara spontan, gadis itu pun berusaha melepaskan dirinya. Apa daya, rontaan tubuh Lia di dalam pelukan Pak Kades malah menimbulkan kontak dan gesekan-gesekan dengan tubuhnya yang pada gilirannya malah semakin memberikan kenikmatan dan menaikkan birahinya.
Tiba-tiba dengan sekali sentakan Pak Kades berhasil menarik BH Lia sampai terlepas dari tubuhnya, Lia menjerit kecil, payudaranya yang bulat dan padat menggantung telanjang begitu menggairahkan. Bentuknya sangat bagus dan masih kenyal dengan puting susu yang merah segar.
Whuua..ternyata lebih indah dari yang Bapak bayangkan, mimpi apa Bapak bisa merasakan pentilnya gadis kota secantik Neng Lia.. pujinya ketika melihat payudara Lia yang sudah tidak tertutup apa-apa lagi. Kini dengan leluasa tangannya yang kasar itu menjelajahi payudara Lia yang mulus terawat dengan melakukan remasan, belaian, dan pelintiran pada puting susunya. Pak Kades berganti-ganti melumat dan mengulum puting susu Lia . Lia mengejang mendapat perlakuan itu. Kesadarannya mulai hilang, dirinya sekarang sudah dikuasai oleh dorongan seks yang makin kuat. Lia selama ini belum pernah berhubungan dengan laki-laki sampai sejauh ini, dengan pacarnya dia hanya berani berciuman, karena itu mendapat perlakuan Pak Kades, desakan birahinya perlahan meledak.
Perlahan Pak Kades membaringkan tubuh Lia di atas kasur yang lusuh itu sambil terus meremas-remas kedua belah payudaranya. di hadapan Pak Kades sekarang tampak sepasang paha yang panjang dan mulus yang berakhir pada celana dalam putih berenda. Lalu dengan kasar Pak Kades menarik celana dalam Lia sampai lepas. Dan Lia sekarang benar-benar sempurna telanjang bulat terbaring di depan Pak Kades.Pak Kades memandangi kemulusan tubuh telanjang itu dengan takjub.
Ohh.. tidak Bapak sangka ternyata Neng Lia lebih cantik jika ditelanjangi seperti ini, kata Pak Kades dangan deru nafas memburu. Lalu Pak Kades mulai menelusuri sekujur tubuh telanjang itu dengan bibir dan tangannya. Bibir Lia yang merah segar tidak henti-hentinya dilumat sementara tangan Pak Kades tidak berhenti menggerayangi dan meremas payudara Lia. Pak Kades lalu menjilati bagian perut Lia yang rata dan licin. Kemudian dia membuka paha Lia lebar-lebar hingga terkuaklah liang vagina Lia yang licin tak berbulu. Rupanya Lia secara rutin selalu mencukur rambut kemaluannya.
Lalu Pak Kadespun mendekatkan wajahnya dan menyapu liang vagina itu dengan lidahnya yang panjang juga kasar. Lidah Pak Kades mencari klitoris yang ada di sela liang itu. Lisa masih terus menangis namun kini tubuhnya telah terbuka seluruhnya dan gairah yang dari tadi ia tahan akhirnya meledak juga.
Oohhh... aahhh... oohhhh .... aahssss... ehhsss... Tanpa sadar Lia mulai mendesah merasakan kenikmatan yang baru pertama kali dia rasakan. Pak Kades mengetahui Lia mulai terangsang makin buas menggeluti tubuh yang putih mulus itu. Dia mengangkangkan kaki Lia dan membenamkan wajahnya ke vagina Lia. Bibir dan lidahnya terus-menerus mengorek liang kemaluan Lia, sementara tangannya yang kekar dan berbulu meremas-remas payudara mulus Lia.
Oohh... Tak tahan lagi Lia akhirnya mengalami orgasme, tubuhnya mengejang sesaat sebelum akhirnya melemas lagi, dari vaginanya mengucur cairan bening kewanitaan.
Bersambung . . . .
Komentar
0 Komentar untuk "Malapetaka KKN - Dalam pelukan pak Kades - 1"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.