Telah seminggu Rita menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya. Resepsi pernikahannya di Balai Kartini cukup meriah, dan aku datang dengan isteriku untuk menyampaikan selamat. Ketika aku menyalaminya, dia tertegun dan terasa agak kikuk dan serba salah, aku pun merasakan hal yang sama. "Terima kasih ya Pak", katanya hampir tak terdengar. Di hatiku berkecamuk seribu macam pikiran, tapi kuusahakan untuk tetap wajar. Ritaku begitu cantik dan anggun dengan pakaian pengantinnya. Aku membayangkan bahwa sebentar lagi Rita kekasihku, isteriku, yang beberapa tahun telah memadu cinta denganku akan menjadi isteri orang.
Meskipun kutahu bahwa dia tetap mencintaiku, tapi secara resmi dia akan menjadi isteri orang lain, tentu tidak akan sebebas dulu ketika dia masih single. Sebentar lagi Rita akan tidur berdua-duaan dengan lelaki lain, mungkin untuk selamanya, karena aku pun tak ingin dia menjadi janda dan kalau Rita menjadi janda tentu akan menjadi gunjingan orang. Tidak, aku tak rela Ritaku menjadi gunjingan orang. Sekilas aku berpikir untuk mengakhiri saja hubunganku dengan Rita, karena dia telah menjadi isteri orang, tapi apakah bisa semudah itu aku melupakannya? Dunia rasanya sepi dan kejam, dan aku melangkah gontai meninggalkan pesta perkawinannya yang masih penuh tawa dan canda teman-teman dan keluarganya.
Beberapa hari setelah pernikahannya aku membenamkan diri dengan pekerjaanku, siang dan malam kusibukkan diriku dengan pekerjaan dan mengurus anak-anaku. Aku tak mau membayangkan, dan memang tak sanggup membayangkan sedang apa Rita beberapa hari setelah pernikahannya. Aku cemburu, marah, masgul, gundah jika membayangkan dirinya sedang bersenang-senang dengan suaminya yang tentunya sudah tak sabar ingin menikmati kemontokan dan kemulusan tubuh Rita, yang sudah resmi jadi isterinya. Aku membayangkan Rita telanjang bulat bersama suaminya, manja, bersenggama bebas tanpa takut oleh siapapun dan melenguh mesra seperti ketika bersenggama denganku.
Tiba-tiba aku sangat benci padanya, aku menganggap Rita nggak setia padaku, Rita telah mengkhianati cintaku, buktinya dia mau saja digilir oleh lelaki lain. Apakah itu yang namanya cinta dan kesetiaan? Aku bertekad untuk menjauhinya mulai sekarang, dan aku tak akan menerima teleponnya. Rita memang berjanji akan meneleponku paling lambat satu minggu setelah dia menikah dan sebelum ikut suaminya pindah ke Bandung.
Tidak! aku tak akan menerimanya jika dia meneleponku, biar dia tahu rasa, aku tak mau bekas orang lain. Benar saja, pada hari kelima setelah kawin dia meneleponku.
"Pak, ada telepon", kata sekretarisku yang baru, pengganti Rita.
Anehnya, meskipun dia berparas lumayan, aku tak tertarik sama sekali dengan sekretaris baruku itu. Aku memang bukan type "hidung belang" yang sekedar mau iseng bercumbu dengan perempuan. Aku hanya jatuh hati dua kali seumur hidupku, kepada isteriku dan kepada Rita.
"Pak, kok melamun, ada telepon dari Ibu Rita, katanya bekas sekretaris bapak", sekretaris baruku kembali mengagetkan lamunanku.
"Ooh.. ya.. ya.. sebentar Rani.., emh.. dari siapa? Rita? bilang saja Bapak sedang ke luar kantor ya!" aku mengajari dia bohong.
"Lho, Pak, kenapa? kan kasihan Pak, katanya penting sekali, dan besok Ibu Rita mau pindah ke Bandung"
Rani, sekretaris baruku itu mulai mendesakku untuk menerima saja telepon Rita itu. Aku sejenak merasa bingung, aku rasanya masih benci tapi juga sangat rindu sama Rita, apalagi kata Rani besok akan jadi pindah mengikuti suaminya yang bekerja di Bandung.
Setelah berfikir sejenak.. "OK, Rani, sambungkan ke sini!" dan aku agak gugup untuk kembali berbicara dengan Rita, untuk kembali mendengar suaranya, Rita yang sekarang sudah menjadi isteri orang lain.
"Halloo.., siapa nich?", kataku agak malas.
"Papah, ini Rita Pah, Papah kok gitu sih?" jawab Rita di ujung sana.
"Oh, Nyonya Prayogo, saya kira Rita Prameswara kawanku", kataku menggoda.
"Nggak lucu ah.., Mamah sekarang tanya serius, apa Papah mau nemui Mamah nggak sebelum besok Mamah pindah ke Bandung?", jawabnya lagi setengah mengancam. Aku bingung juga ditanya begitu, sebab jauh di dalam hatiku sebenarnya aku rindu berat sama Rita, tapi kebencian dan kekesalan masih menempel erat di benakku.
Beberapa jenak, aku nggak bisa menjawab sampai Rita nyerocos lagi.
"Mamah ngerti, Papah masih kesal dan benci sama Mamah, tapi kamu kan sudah setuju kalau Mamah terpaksa harus kawin, demi kebaikan hubungan kita dan demi menjaga nama baikmu juga. Papah, dengar! Mamah sudah seminggu nggak menstruasi lagi sampai sekarang. Ingat hubungan kita di Hotel Sahid terakhir kali? Sudahlah, nanti Mamah ceritakan lebih lengkap, sekarang mau nggak jemput Mamah di toko biasa di Blok M? Soalnya mumpung si Yudi pulang agak larut malam" Nama suaminya memang Yudi Prayogo dan hanya selisih dua tahun dengan Rita, katanya sih ketemu di kursus Inggris LIA.
Hatiku mulai melunak mendengar pengakuannya dan serta merta aku menyetujui untuk menjemputnya di Blok M. Aku memarkir mobilku di tempat parkir yang agak memojok dan sepi, maklum kami harus semakin berhati-hati, karena Rita sudah menjadi isteri orang. Rita segera hafal melihat mobilku dan setelah Rita duduk di sampingku, segera kukebut lagi keluar Blok M menuju ke utara melewati Sisingamangaraja, Sudirman, naik jembatan Semanggi terus memutar ke jalan Jenderal Subroto dan dengan cepat masuk ke halaman parkir Hotel Kartika Chandra. Rita terlihat lebih cantik, sedikit gemuk dan tambah bersih dan putih mukanya. Rambut dan bulu-bulu halus di sekitar jidatnya terlihat hilang, mungkin karena dikerok oleh perias pengantinnya.
Dia mengenakan celana panjang merah dan T-Shirt putih kembang-kembang ditutupi blazer warna hitam. Terlihat serasi dengan kulitnya yang putih bersih. Banyak yang nyangka dia keturunan Tionghoa, padahal Jatul. Tahu jatul? Jatul itu "Jowo Tenan" atau "Jawa Tulen". Ibunya dari Purwokerto dan bapaknya dari Surakarta, katanya sih masih kerabat Kesultanan Surakarta, masih trah langsung Raja Paku Bowono. Setelah check-in sebentar, aku sudah berdua-dua dengan Rita di kamar hotel, dan untuk pertama kalinya aku berduaan dengan isteri orang. Ada perasaan berdosa menyelinap di hatiku. Tapi semuanya menjadi hilang karena betapa besarnya cintaku pada Rita. Juga sebaliknya, jika Rita tak mencintaiku, mana mungkin dia berani bertemu dengan lelaki lain padahal dia baru kawin lima hari lalu?
"Papah, Rita sedang mengandung janin anakmu, biasanya tanggal lima minggu lalu Mamah menstruasi ternyata nggak keluar sampai sekarang", Rita menambahkan keterangannya tadi di telepon, dan aku semakin cinta dan sayang rasanya. Tapi tetap saja ingin menggodanya dan mengetes cintanya padaku.
"Oh, ya, hampir lupa, gimana dong bulan madunya kemarin, ceritain dong Rit! pasti seru dan rame dengan lenguhan. Dan apa suamimu nggak ribut tanya perawanmu kaya Farid Hardja?" Rita mendelikkan matanya dan mencubit pahaku keras sekali.
"Percaya atau tidak terserah Papah, yang pasti nggak ada lenguhan, nggak ada goyangan, persis kaya gedebong pisang. Si Yudi memang sempat marah-marah karena mungkin Mamah ternyata begitu dingin dan nggak gairah. Tapi memang nggak bisa dipaksakan. Mamah hanya bergairah kalau bersenggama dengan Papah. Dia nggak nanya tuh, kenapa nggak ada darah perawan Mamah di sprei, ah.. sudah.. sudah! nggak usah tanya gitu-gituan lagi. Nanti malah berantem terus. Pokoknya Mamah sayaang benar sama Papah, nggak ada duanya deh".
Seperti bisa dia mulai mencopoti pakaianku satu persatu, sampai CD-ku dia pelorotin juga. Begitu di buka CD-ku, penisku langsung bergerak liar dan setengah tegang begitu tersentuh tangan halus Rita. Tak buang waktu lama, Rita melemparkan semua pakaiannya ke lantai karpet sampai terlihat bodinya yang seksi, putih mulus dengan puting susu yang semakin ranum. Mungkin pengaruh dari kehamilannya meskipun baru beberapa hari mengandung anakku. Penisku yang masih setengah tertidur langsung dikulumnya ke dalam mulutnya dan dihisapnya dalam-dalam, padahal aku masih berdiri seperti patung dengan bersandar ke tembok. Dengan ganas dia menghisap, menggigit dan menyedot penisku dalam-dalam sampai penisku mentok ke langit-langit mulutnya. Tak lama penisku langsung tegang dan memerah dan mengkilap bercampur ludahnya.
"Ooogghh.. Maahh.. terus Maahh.. jilaat.. oogghh.." Aku mulai terangsang dan kenikmatan setiap penisku dihisapnya. Rita memang suka sekali menjilat dan menghisap penisku, tapi ketika kutanya apakah dia juga menghisap penis suaminya, dia bilang amit-amit, nggak nafsu katanya. Mulut Rita pindah menghisap dan menjilat penisku, dia juga senang menggigit-gigit dua bakso penisku, sampai aku kesakitan campur geli dan nikmat bukan kepalang. "Oooghh.. Maahh.. jangan digigit, Papah sakiitt". Aku minta Rita berhenti dulu mengulum batang penisku, aku juga sudah rindu untuk menjilat vagina dan klitorisnya. Kuminta Rita tiduran di pinggir tempat tidur empuk itu dengan kaki terjuntai ke bawah, dengan begitu aku bisa duduk di tengah-tengah selangkangannya. Vagina dan klitorisnya terlihat jelas kalau begitu. Oh, begitu indah dengan warna merah jambu klitoris dan lubang vaginanya terlihat jelas di hadapan mukaku. Kujilat dengkul dan pahanya, terus merayap kujilati selangkangannya yang mulus, sesekali kujilatkan lidahku ke lubang pantat, klitoris dan lubang vaginanya, Rita melenguh-lenguh tertahan. "Oooghh, Papaahh.. eemghh, aduuhh.., teruuss.. Paahh.. ooghh.. enaakk." Kalau Rita sudah mulai melenguh begitu aku semakin bernafsu untuk terus menjilat, mengigit dan menyedot-nyedot klitoris dan lubang vaginanya sambil menyedot air maninya yang mulai meleleh keluar dan lubang vaginanya. Oh, nikmat.. manis dan sedikit asin, kaya kuah asinan Bogor. Kukeraskan lidahku supaya semakin tegang dan kutusukkan ke dalam lubang vaginanya, Rita semakin melenguh keenakan, karena mungkin lidahku terasa seperti penis menyodok-nyodok semakin ke dalam lubang vaginanya. Cairan vaginanya semakin banyak keluar dan kuhisap dan kutelan dengan nikmat. Kadang-kadang rambut kemaluan Rita ada yang putus dan ikut termakan. "Paahh.. ooghh.. Paahh.., enaakk, teruuss.. Paahh.. oogghh.. aduuhh", Rita semakin ramai, barangkali suaranya terdengar tamu di sebelah atau room-boy yang sedang lewat. Kujilatkan lidahku ke lubang pantatnya berkali-kali Rita bergelinjang kegelian. "Papaahh.. gelii.." penisku menggesek pahanya yang mulus sehingga semakin tegang. "Paahh.. penisnya geli tuch di paha Mamah, udahan dulu ngisepnya sayang.., kesini deh, cium Mamah dan masukin penisnya."
Kuhentikan jilatan lidahku, memang sudah mulai pegal juga menegangkan lidahku hampir seperempat jam. Kugeserkan badanku ke atas, sejajar dengan tubuh Rita dan sambil kulumat mulutnya dalam-dalam kugesekan penisku ke vaginanya yang basah, oh.. betapa nikmatnya. Kukulum dan kugigit lidahnya. Rita menjerit tertahan, kemudian kujulurkan juga lidahku dan dia balas menggigit lidahku dengan bernafsu. Aku gantian teriak, sampai keluar sedikit air mata. Untung kenang-kenangan kalau Rita di Bandung katanya. Kujilati kupingnya, jidatnya, hidungnya, matanya sampai Rita menggelinjang-gelinjang ketika kujilati dan kugigit kupingnya. "Tuuhh.. Paah lihat, sampai merinding, "katanya manja. "Paahh, masukin penisnya Paahh, Mamah sudah rinduu."
Rita melenguh manja. Rita merenggangkan selangkangannya untuk membuka lubang vaginanya lebih lebar lagi. Penisku yang tambah keras nyasar-nyasar di lubang vaginanya setelah menembus bulu-bulu vaginanya yang mulai basah dan "Bleess.." Rita berteriak keenakan sambil menggigit bibirku. "Paahh.., oogghh.., pelaan pelaann.. doongg." Matanya terpejam, nafasnya yang harum dan bau mulutnya yang wangi masuk semua terhirup oleh hidungku. Kutarik dan kutekan penisku semakin kuat dan sering, keringatku semakin bercucuran, mungkin berkat bir hitam cap kucing yang kuminum sebelum bermain dengan Rita tadi. Rita juga semakin mengencangkan goyangan pinggul dan pantatnya turun naik sampai aku merasakan kepala penisku mentok di ujung lubang vaginanya. "Paappaahh.. oogghh.. teruuss, cumbu Mamaah Paahh.., Mamaahh cintaa, Mamaahh.. sayy.. ooghh.. aduuhh.. aangg." Rita semakin ramai mengerang dan melenguh tak peduli suaranya akan didengar orang. Kuminta Rita menungging setelah kucabut penisku. Rita menurut dan wow! aku selalu semakin bernafsu kalau melihat pantat dan pinggul Rita yang mulus dan seksi. Sambil setelah jongkok, aku menyodokan penisku dari belakang setelah membuka lubang vaginanya sedikit dengan tanganku dan, "Bleezz", Rita berteriak keenakan. "aagghh, ooghh.. Paahh.. terus genjot Paahh.. woowww.. enaakk Paahh.." aku semakin mengencangkan sodokan penisku. Rita melenguh, merintih dan teriak-teriak kecil sementara itu keringat kami semakin bercucuran membasahi seprei. Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa setiap mempraktekkan berhubungan badan dengan gaya "doggy style" sehingga spermaku mulai meleleh keluar, semakin meramaikan bunyi gesekan penisku dengan vagina Rita. Rita semakin menunggingkan pantatnya sehingga penisku semakin amblas di dalam vaginanya. Rasanya air maniku sudah mengumpul di kepala penisku menunggu dimuntahkan habis. "Maahh.. ooghh.. aduuhh.. Maahh, vaginanya enaakk.., punya Papah yaa sayaang.." Rita menjawab sambil merintih "Iyaa.. sayaangg, semuanya punya Papaahh." Kusodokkan penisku semakin dalam. "Maahh.. adduuhh.. Papaahh.. moo keluaarr! cabut dulu ya Maahh.." Rita setuju dan segera telentang kembali. Aku segera menggumulinya dari atas badannya, kulumat pentil buah dadanya. Rita kenikmatan dan minta penisku segera dimasukan kembali ke vaginanya. Dia minta aku merasakan kenikmatan bersenggama dengannya, sampai nanti bertemu lagi di Bandung dengan segala cara. Kumasukan kembali penisku ke vaginanya yang semakin basah dengan cairan sperma kami yang sudah bercampur satu.
"Bleesszz, crroockk.. chhoozkk.. breesszz.. crrockk.. bunyinya semakin gaduh. Rita semakin membabi buta menggoyang dan menaik-turunkan pinggulnya dan aku juga demikian. Kutekan dan kucabut penisku yang panas dan keras ke lubang vaginanya. Ingin rasanya kutumpahkan semua sperma dan spermaku ke lubang vagina dan rahim Rita supaya anakku semakin sehat dengan tambahan vitamin dan mineral dari sperma bapaknya. Supaya kegantengan dan kepintarannya juga turun ke anakku yang ada di dalam rahim Rita. Tiba-tiba kami merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa, kami meregang dan melenguh bersama-sama merasakan sorga dunia yang tiada taranya, meregang, meremas dan memeluk erat-erat dua badan anak manusia yang saling mencinta dan seakan tak mampu terpisahkan. Rita mengejang badannya dan menggigit bibir dan lidahku, pinggulnya terangkat sambil berteriak. "Papaahh.. ooghh.. Mamaah.. ooghh, keluaar.. sayaangg", sambil mencubit dan mencakar punggungku.
Bersambung . . . . .
Komentar
0 Komentar untuk "Sekretarisku tercinta - 3"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.