Awal Februari 1994
Aku menghampiri Lala dan menarik tubuhnya, kucium bibirnya, kulumat. Dia terperanjat dan hampir saja menampar wajahku, tapi niatannya itu urung dan dia hanya tersenyum simpul. Dengan raut wajah yang penuh tanya dia menatapku, "Kenapa?"
"Aku menciummu karena aku mau menciummu, kau keberatan?"
"Tidak!" raut wajah yang merahnya memudar mengatakan itu. "Aku hanya kaget dan senang.." meluncur itu dari bibirnya yang tebal sensual.
"Adi, kupikir kau mau menciumku bukan hanya karena kamu mau menciumku, tapi adakah hal lain dibalik semua itu?"
"Ada, aku ingin kau jadi pacarku."
Memerah lagi wajahnya dan ia kelihatan senang sekali.
Sejak saat itu hampir setiap malam minggu aku mendatanginya untuk bercumbu dan bercerita tentang apa saja, pekerjaan, percintaan, atau seks dan setiap kalinya kami bercumbu kami selalu melakukan hal-hal yang aku senangi, merayunya, merabanya, memangkunya, bahkan memasukkan tangannya ke dalam celanaku.
Aku senang ketika aku mencium telinganya yang bersih, meremas payudaranya yang besar dan kencang, merasakan kehangatan tubuhnya yang tak begitu tinggi namun mempunyai anggota badan yang mampu membuat semua pria melirikkan mata dan berdecak kagum. Aku suka mendengar lirihannya saat kutelusuri kemaluannya yang lembab dan bulu-bulu pemanisnya yang lembut dan memberikan imajinasi yang membuatku payah.
Dia suka sekali ketika aku memangkunya, dan dia menaikkan bajunya yang kemudian tersembul payudara yang putih jernih dengan puting yang masih merah senja, dan aku mengulumnya, menyedotnya dalam-dalam, dan dia mulai menggoyangkan pinggulnya naik turun sehingga antara penis dan kemaluannya yang masih tertutup celana terjadi gesekan yang cukup membuatku bertambah semangat menyedot puting susunya.
Akhir Agustus 1994
Ayah mengajakku pergi camping ke Cikole - Lembang sore itu. Aku mau saja, walaupun sore itu aku baru saja kembali dari pekerjaanku. Jelek-jelek begini aku bekerja pada sebuah perusahaan yang cukup besar dan gajiku mencukupi kebutuhanku selama satu bulan. Aku pergi ke tempat camping bersama ayah dan seorang sahabat sejatiku. Di tempat camping aku berjumpa dengan dua orang gadis yang masih belia, dan kedengarannya dia masih duduk di bangku SMEA kelas dua. Aku dan sahabatku berkenalan dengan mereka, singkat kata kami mulai bercengkrama satu sama lain.
Pertemuan yang singkat. Memang aku baru mengenalnya beberapa jam yang lalu, tapi dari semua yang diceritakannya, tingkah lakunya, dan tutur sapanya padaku seolah dia memberikan apa yang sangat kubutuhkan, yaitu cinta dan nafsu.
Malam itu udara Cikole cukup dingin, membuat aku dan dia berpelukan untuk menghangatkan diri masing-masing, tapi rupanya "setan" berkata lain. Lama-lama aku menjadi tergoda untuk menciumnya, meraba bagian yang sensitive, dan mulai dengan sentuhan-sentuhan kecil di daerah yang katanya belum pernah dijamah sebelumnya oleh orang lain. Aku dan dia terlena dalam pelukan, sampai-sampai kami berpelukan dalam keadaan telentang, aku di atas, dan dia di bawah, oh hangatnya.
"Irda.." begitulah namanya, "Keberatan kalau aku mencintaimu?" kata-kata itu meluncur saja dari mulutku tanpa kusadari sebelumnya.
Dia tidak menjawab, sepertinya dia perlu cukup waktu untuk memikirkan hal tersebut. Tak apalah, toh umpan sudah kulempar, tinggal aku menunggu apakah dia mau makan umpanku.
Awal September 1994
Kejadian di Cikole itu berbuntut panjang yang akhirnya membawaku selalu ingin bertemu dengan Amry. Lalu bagaimana dengan Lala? Ah, aku hampir lupa dengan pacarku yang satu itu. Aku tidak akan melupakan semua yang telah terjadi dengannya, tapi kejadian di tempat kerjanya cukup membuatku kecewa. Sore itu aku mampir ke tempat kerja Lala, niatanku menjemputnya sambil jalan-jalan sore, tapi ketika aku masuk ke tempat kerjanya, aku melihat dia sedang mengelus-elus pipi seorang pria teman kerjanya. Aku sendiri heran Kenapa aku tidak marah! Aku malah mencuekkannya. Kusapa dia dan dia terbelalak. Ingin sekali dia menjelaskan perbuatannya, tapi sayangnya perbuatannya itu cukup membuat alasan bagiku untuk menyudahi hubungan kami.
Kali ini setiap malam minggu aku tidak lagi bertemu dengan Lala tapi aku punya gebetan baru, Irda yang bekulit kuning langsat, berambut panjang dan bertubuh ideal, oke deh. Tidak seperti hubunganku dengan Lala, dia gadis yang agak pendiam dan libidonya jauh di bawah Lala yang selalu bergairah. Hubungan intim kami hanya sebatas ciuman saja, tidak lebih, dan itu kurang kusukai. Tapi aku menghormatinya karena dia mungkin masih belia dan dia masih belajar dalam hal ini, dia masih anak sekolah.
Irda tak dapat menahan isakannya ketika aku memberitahu tentang mutasi pekerjaanku dari Ciganjur ke Kotabumi yang jaraknya lumayan agak jauh. Tapi "live must go on". Bagaimanapun aku harus tetap menjalankan semuanya dan itu tidak merubah yang sudah terjadi. Kucium bibirnya untuk meredakan isakannya. Aku berupaya membuat hatinya senang, tapi dia berkata lain. Dibalasnya ciumanku, dilumat, dikulum, dan memeluk tubuhku erat-erat seolah tak ingin berpisah jauh.
Kami saling berpelukan lama sekali, sampai-sampai kami bergulingan di lantai. Hasrat kami pun mulai menggebu. Irda yang menurutku pendiam ternyata pada waktu itu libidonya meningkat. Dia membuka pakaianku dan aku hanya memakai celana dalamku saja. Aku tak mengerti apa kemauannya, tapi kuikuti saja sampai dimana dia akan melakukannya. Ternyata dia membuka pakaiannya juga dan hampir telanjang bulat. Dia mengulum meremas puting susuku, dan menjilatinya. Tak kuasa lagi aku pun langsung merangkulnya, menciumnya dan membuka pakaian dalamnya sehingga dia dalam keadaan tubuh tanpa selembar benang pun. Dia sepertinya sudah rela memberikan tubuh dan jiwanya kepadaku.
Kuremas susunya, kupuntir putingnya dan kusedot-sedot dengan mulutku.
"Ahh Adi, teruskan sayang jangan berhenti, aku sayang padamu. oh." Irda merintih kenikmatan dan itu membuatku semakin bergairah.
Tangannya mulai menggerayangi alat vitalku, dan tanganku pun mulai meraba bagian yang berjumput kecil di bagian tengah di antara kedua pahanya. Terasa agak lembab, namun memberikan kesan yang membuat otakku semakin panas. Kemudian.. Semuanya terhenti tatkala berkumandang adzan maghrib, dan kami pun segera mengucap nama Tuhan kami, dan besyukur semuanya tidak terjadi.
Di tempat kerjaku yang baru.
Semula aku ragu apakah aku dapat berkembang di tempat kerjaku yang baru, sebab rasa pesimis dalam hati membuat sejuta pertanyaan. Tapi semua itu dapat kulalui, aku membuat suasana yang nyaman untuk diriku sendiri di sana. Tak banyak yang dapat kuceritakan, hanya pekerjaan yang terkadang agak membosankan, kadang membuat senang dan terkadang menantang.
Kantor baruku itu terletak pada ujung suatu perumahan yang agak besar dengan dibatasi dan dikelilingi oleh perkampungan, kebun dan sawah. Agak ramai memang, dan aku mulai menikmati keramaian di sekelilingku. Aku tidak mempunyai teman sebaya, yang kudapatkan hanya orang-orang yang usianya rata-rata jauh di atasku. Hal itulah yang membuatku terkadang bosan akan suasana ini, pikirku harus mendapatkan teman yang sebaya yang dapat diajak berbicara, diskusi dan lain-lain.
Sampai pada suatu hari, aku mengisi kebosananku dengan "berbicara melalui pesawat radio 2 meteran" atau lebih populernya ngebrik. Singkat kata aku kenalan dengan seorang gadis di udara, dan aku mengajaknya "kopi darat".
"Lusi nama aslimu?" aku bertanya.
"Ya, Lusia Anggiwening lengkapnya," dia menjawab, "Nama aslimu siapa?" dia balik bertanya.
"Adi, Adi Layung Gilar, kau boleh memanggilku Adi atau Gilar, atau apa sajalah, tapi jangan Layung, aku tidak suka dipanggil dengan nama itu."
"Kenapa?"
"Kedengarannya seperti jaman Majapahit, kataku."
Dia tersenyum dan menyibakkan rambut ikal sebahunya ke belakang, dan terlihat barisan gigi yang putih, bibir yang sensual. Pendeknya raut wajah yang agak melankolis. Aku menatapnya dalam-dalam dan dia agak tersipu.
"Mau tambahkan kopinya lagi, atau kamu mau yang lain?" pertanyaannya padaku membuat tatapanku memudar.
"Kalau boleh aku minta yang lain deh."
"Apa itu?" tanyanya.
"Besok ajak aku berkeliling kota ini. Aku ingin lebih jauh mengenal kota baruku ini. Itu juga kalau kamu tidak keberatan.." pintaku.
"Kamu mau pergi ke tempat seperti apa?" dia bertanya lagi sebelum sempat memjawab pertanyaanku tadi.
"Misalnya tempat yang ramai seperti mall, atau ke tempat yang sepi seperti pegunungan atau terserah kamu saja deh yang jadi tuan rumah.." jawabku.
"Baiklah, aku akan membawamu pergi berkeliling kota ini, asal syaratnya terserah aku, dan kamu jemput aku besok pagi, setuju?"
"Setuju."
Aku melewati hari itu dengannya, berdua, berkeliling kota, makan, jajan, jalan kaki, tertawa, bercanda, sampai tak terasa hari sudah menjelang sore.
"Pulang yuk." pintanya, "Sudah sore nih. Aku tidak mau terlambat pulang."
"Oke Non, kita pulang, tapi suatu hari nanti aku ingin kita pergi jalan-jalan lagi. Kamu mau kan?"
"Mau saja, tapi kalau nanti kamu yang ajak aku, yah."
Aku agak kecewa tentang teman baruku itu, halnya aku ingin berteman dengan seseorang yang mempunyai gender yang sama seperti aku, tapi malahan dapat seorang gadis. Aku takut aku lupa dengan pacarku, "Irda". Sejak itu hampir setiap malam aku bercengkrama dengan Lusi melalui pesawat radio HT, dan kami membicarakan hal-hal yang kami senangi.
3 bulan berlalu..
Aku pulang ke Ciganjur 2 kali setiap bulannya, dan tak kulewatkan aku menemui pacarku Irda, dan sepertinya dia mulai terbiasa dengan keadaan ini. Rindu terlepaskan setiap dua minggu sekali kami pergunakan dengan sebaik-baiknya, bercumbu, bercinta. Tapi sejak kejadian 3 bulan lalu, kami tidak terlalu jauh melangkah dalam hubungan intim, hanya sampai pada saling memegang alat vital, mengocok penisku, menguntil klitorisnya, sampai kami orgasme dengan tidak berhubungan suami istri, dan sampai detik itu aku juga tidak berani memasukkan benda apapun ke dalam vaginanya.
"Adi, aku kangen berat" suaranya lirih berbisik di telingaku.
"Aku juga, bagaimana kabarmu minggu ini, baik saja kan?"
"Aku baik-baik saja, tapi kangen ini selalu saja menggangu konsentrasiku mengikuti pelajaran sekolah. Aku terlanjur sayang sama kamu."
Aku hanya tertawa mendengar penjelasannya. Kupeluk dia dan kucium keningnya. Dia masih terlalu polos. Malam itu kami lewati dengan kerinduan masing-masing yang ada dalam hati dengan ngobrol, ciuman, pelukan, tapi tidak untuk yang satu itu.
"Ir, besok kita pergi yuk!" aku mulai mengalihkan pembicaraan.
"Kemana?" tanyanya.
"Beberapa temanku mengajakku pergi ke Danau, katanya sih kita harus membawa pasangan kita masing-masing, semacam kencan ganda, atau seperti itulah."
"Berapa orang yang ikut?" tanyanya lagi.
"Kira-kira tiga sampai empat orang, aku kurang pasti tuh."
Irda terdiam sejenak seperti menimbang-nimbang ajakanku.
"Pulangnya malam enggak?" bertanya lagi dia.
"Sampai jam tiga sore deh. Aku janji, nanti aku yang bilang sama ortumu. Gimana, mau kan?"
"Baiklah, kau jemput aku besok pagi, tapi sekarang kau bilang dulu sama mama dan papaku."
Danau itu..
Kami pergi ke danau enam orang atau tiga pasang, yang dua pasang adalah sobatku yang membawa pacarnya masing-masing. Acara di sana tidak lain halnya seperti di tempat lain, kami berperahu, makan, bercengkrama, ngobrol, berlari-lari. Pendeknya kami semua menikmati acara hari itu.Sampai pada tengah hari, hanya aku dan Irda yang tersisa duduk pada tikar tempat kami ngobrol dan makan tadi.
"Ir, pada kemana mereka?" tanyaku.
"Engga tau tuh, tadi mereka ada di sekitar sini, tapi sekarang tidak kelihatan sama sekali."
"Sepertinya mereka mencari tempat khusus buat berdua-duaan.." kataku.
"Iya kali." Irda mendukung.
"Yah, jadi tinggal kita berdua yang jagain tikar." aku bersungut.
Tapi waktu itu hanya kami berdua, duduk di tepi danau saling tidak bicara, saling berpelukan, mencium keningnya, bibirnya. Rasa sayang yang ada dalam hatiku bertambah ketika kemanjaannya kepadaku bertambah pula.
"Adi, kamu sayang padaku kan?" pertanyaan Irda seolah memecah keheningan sekitar danau.
"Yah, aku sayang padamu."
Tepi danau yang Indah itu menjadi saksi bisu, menyaksikan rasa sayang yang kami tumpahkan masing-masing. Dalam benakku kuyakinkan bahwa aku akan menunggunya dan akan kujadikan dia "Istriku", karena begitu sayang aku kepadanya.
Pukul dua siang, kami pulang.
Setelah aku mengantar Irda sampai depan rumahnya, Irda sempatnya membisikkan pertanyaan lagi.
"Adi kamu betul-betul menyayangi aku?"
Aku mengangguk memastikannya.
Hari-hari selanjutnya kami yakin akan cinta kami. Sampai pada suatu pagi di awal bulan April 1995.
Awal April 1995.
Aku agak kecewa dengan Lusi yang pindah dari rumah bibinya ke rumah orang tuanya. Yah, selama ini dia tinggal bersama bibinya yang rumahnya tidak terlalu jauh dari kantorku. Seharian aku mencarinya lewat radio, tapi hasilnya nihil. Sampai pada suatu pagi, ketika aku sedang mencuci motor di pelataran parkir depan kantorku. Aku memang tinggal dekat sekali dengan kantor, perusahaanku menyediakan sebuah mess bagi karyawan yang tinggalnya jauh dari tempat dimana dia tinggal sesungguhnya.
Pandanganku tertumpu pada seorang gadis yang sedang berjalan melewati depan kantor, dan dia melirikkan matanya seolah dia ingin tahu apa yang sedang kukerjakan. Wuih.. matanya, wajahnya cantik nian gadis ini. Baru kali ini aku melihat gadis yang cantik, dengan kepolosan wajahnya yang lebih polos dari Irda pacarku, tapi lebih cantik. Wajahnya bulat telur, matanya besar dan Indah dengan bulu mata yang lentik, hidungnya kecil dan mancung, bibirnya tipis kecil dan seksi, rambut sebahu hitam mengkilat, kulit putih dengan potongan tubuh ideal, 165 tinggi dan 45 kg perkiraanku. Seperti bidadari.
Aku melayangkan senyuman padanya, tapi senyumanku tidak dibalasnya. Dia malah melengos dan tidak mengacuhkanku. Aku tertantang dengan kesombongannya. Serentak aku kasak kusuk mencari tahu siapa gadis itu. Pertama aku bertanya pada satpam kantorku, dia tidak tahu. Pada tetanggaku!
"Yah, anak itu keponakannya Ibu Komala tuh. Rumahnya tepat di belakang messmu.." kata tetangga yang kukenal sejak tiga bulan lalu.
"Masa sih mas? Kok aku yang hampir enam bulan tinggal di sini baru melihatnya?"
"Dia kan tidak tinggal di sini, hanya aku tahu kalau dia suka mampir ke rumah Bu Komala itu. Kenapa? Kamu tertarik sama dia? Dia memang cantik kok.." menggodaku dia.
"Ah, tidak mas. Hanya saja sepertinya dia itu sombong sekali. Masa aku tersenyum dia cuma membalas dengan lirikannya dan 'ngelengos' gitu aja, tanpa mau memandangku sebentar saja."
Sebetulnya yang ada dalam pikiranku dan hatiku hanyalah Irda semata. Dia pujaanku, dia kekasihku yang baik, yang selama ini tidak pernah menuntut banyak dari diriku. Bahkan kalau sudah waktunya 'apel' dan aku tidak dapat hadir karena kepentingan keluargaku dia tidak marah. Dia mengerti keadaanku. Sesungguhnya gadis seperti ini yang kuinginkan menjadi istriku. Perempuan yang mengerti, tidak pencemburu, baik hati, berani dan jujur. Irda, hanya kamu yang memenuhi semuanya itu. Tapi lirikan gadis di pagi dua hari yang lalu itu selalu menggangu perasaanku. Kenapa yah? Dia selalu hadir dalam benakku, apa karena dia lebih cantik? Ah, segera saja kusingkirkan pikiran-pikiran yang dapat membuatku lupa pada Irda.
Bukan waktu yang sebentar untuk mengetahui namanya, sekolahnya, rumahnya. Ah, anak sekolah rupanya. Dia masih duduk di bangku SLTP kelas 3. He.. he.., tapi dari penampilannya itu dia seperti gadis yang sudah beranjak dewasa. Apakah memang umurnya sudah dewasa tapi dia tidak naik kelas karena otaknya bodoh? Ihh amit-amit dah, tapi enggaklah. Dari tingkah lakunya dia tidak menampakkan orang yang bodoh. Benar sekali memang dia masih duduk di bangku SLTP kelas 3 dan umurnya kira-kira baru 15 tahun. Amel namanya. Aku cukup senang dengan hanya mengetahui namanya saja, dan sempat terlintasi dalam benakku bagaimana caranya agar aku dapat berkenalan.
Tapi memang dia itu gadis yang angkuh. Sore itu aku melihatnya sedang bermain volley di lapangan belakang kantorku. Aku sengaja mengawasinya agak jauh dan berdiri di depan gang rumahnya. Pikiranku aku bisa mencegatnya kalau dia pulang. Benar, dia harus melewatiku kalau dia mau pulang, seraya mengawasi Amel yang berjalan ke arahku. Aku tersenyum ketika dia lewat di depan batang hidungku, tapi di luar dugaan dia sama sekali tidak menoleh malah sepertinya dia menganggapku tidak ada di situ. Dengan tatapan yang lurus ke depan dia berjalan di depanku dengan seenaknya. Awas kamu Amel.
Di rumah Irda..
Tangannya menjambak rambutku, ketika kukulum puting payudaranya, kuhisap-hisap, kupuntir dengan jariku dan sesekali kujilat.
"Adi, teruskan sayang. Aku menikmatinya." Irda mendesah dan sesekali melenguh kenikmatan.
Tanpa satu patah kata pun aku melanjutkan aksiku menggerayangi tubuh Irda yang sudah setengah telanjang. Dengan cepat aku membuka baju sebelah atas dan mencopot bra yang sudah sejak tadi terkulai ke atas. Dan tanpa diminta dia pun membuka semua pakaianku hingga kami berdua dalam keadaan telanjang penuh.
Bersambung . . . .
Komentar
0 Komentar untuk "Cerita asli - 1"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.