Dildo yang basah kuyup oleh cairan vagina Bu Retno itu disumpalkannya ke mulutku. Kudapatkan sensasi birahi yang bukan main hebatnya. Kujilati dildo bekas nonok Bu Retno. Cairan birahi yang masih menempel pada batang itu kutelan habis membasahi tenggorokanku. Kemudian oleh Surti, dildo itu dimasukkannya lagi ke nonokku. Dia pompakan ke dalamnya menggantikan kocokan jari-jariku. Kemudian nafsuku mendorongku untuk meraih nonok Bu Retno. Aku menyedot seluruh cairan birahinya. Yang meleleh keluar dan jatuh ke seprei sutra ranjang, kusedot hingga bersih. Dan dengan sensasi birahi yang melandaku dengan hebat, keinginan kencingku kembali mendesak untuk tumpah keluar. Aku menggelinjang mengangkat pantatku menjemput dildo di tangan Surti. Dan di saat yang paling puncak, kutarik wajah Surti. Aku minta 'imbalan' yang sama atas apa yang telah kuberikan padanya.
"Surtii, ludahi mulutku, ayyoo Surtii.."
Ternyata bukan hanya Surti, melainkan Bu Retno juga langsung merunduk ke wajahku. Gumpalan-gumpalan liurnya yang terkumpul di bibirnya diludahkannya ke mulutku, bergantian dengan ludah Surti yang juga terus menghujaniku. Aku merasa sangat tersanjung. Sepertinya mereka berdua memanjakanku. Mereka berdua melayaniku untuk meraih kepuasan nafsu birahiku. Dan akibatnya rasa kencingku serasa meledak, tumpah ruah. Kulihat Bu Retno dan Surti berebut untuk mengisap nonokku. Suara-suara geraman mereka seperti serigala-serigala yang berebut makanan. Serigala-sergala betina yang kelaparan. Dan kini, aku sendiri telah mengalami "metamorphose", telah berubah menjadi salah satu kawanan mereka.
Beberapa saat kemudian kami terlena di kamar tidur Bu Retno yang ber-AC dingin itu. Kami baru terbangun saat pelayan Bu Retno memberi tahu bahwa makan siang sudah terhidang di ruang makan. Kami sepakat untuk mandi sebentar, merapikan pakaian dan bersama-sama turun. Jam telah menunjukkan pukul 12.20 siang. Di meja makan, Bu Retno mengingatkan beberapa "point" materi yang perlu disampaikan dalam pertemuan bersama ibu-ibu pada pukul 4 sore nanti. Semua point itu menjadi catatan Surti selaku sekretaris boss, untuk menjadi perhatiannya. Dan aku ternyata tidak perlu melakukan apa-apa, karena semua masalah sudah dapat diselesaikan oleh pengurus yang lain.
Setelah selesai makan siang, Bu Retno mengisyaratkan pada pelayan yang juga merangkap sebagai kepala rumah tangganya agar tidak menerima telepon sampai dengan pukul 3 sore nanti. Pesannya, kami bertiga harus segera menyelesaikan tugas-tugas penting di kamar Bu Retno. Ah, ternyata belum juga kenyang makan siang para serigala betina ini. Sebelum beranjak kembali ke kamar beliau, Bu Retno memberikanku minuman sehat dalam kemasan botol seperti minuman sehat yang banyak beredar itu.
"Jeng, ini buatan Amerika, minumlah. Aku secara rutin minum ini untuk menjaga staminaku. Aku juga sudah memberikannya pada Surti. Kalau Jeng Marini suka, nanti akan selalu kusediakan buat Jeng".
"Tapi jangan kaget Jeng, kalau nanti sehabis minum ini Jeng Marini merasa ngantuk sekali. Tetapi itu hanya sebentar. Sesudah itu Jeng Marini akan segar kembali, bahkan akan merasa sangat bergairah".
"Dan Jeng, nanti Jeng Marini akan pipis banyak sekali. Itu berarti ginjal Jeng berfungsi dengan baik, mencuci segala kotoran untuk dibuang menjadi air seni yang banyak itu".
Aku percaya saja dengan perkataan Bu Retno. Kuterima pemberian Bu Retno. Kuamati sebentar kemasannya sebelum kuminum habis hingga tetes terakhir. Bu Retno secara konsisten dan konsekuen tetap sedemikian memperhatikanku sebagaimana yang telah terjadi selama ini. Hal-hal yang telah terjadi pada hari ini sama sekali tak mempengaruhinya.
Sementara itu Surti menyenggolku dan bertanya.
"Aku kok nggak dikasih tahu sih, kapan si Satpam itu kontrol rumah Mbak Marini?".
Dia mulai dengan tersenyum dan mengakhirinya dengan terbahak. Bu Retno yang mendengarnya dari seberang meja melepas senyum manisnya. Selesai makan siang, Bu Retno mengajak kami untuk duduk di taman beranda kamarnya di lantai 2. Ternyata taman itu sangat luas dan indah. Dibangun di atas beton di lantai 2, taman itu diisi tanaman yang indah penuh bunga. Masuk ke taman itu serasa berada di pedesaan. Ada air gemericik yang jatuh dari bebatuan, ada kolam ikan mas. Dan di taman itu Bu Retno bisa berjemur matahari dengan telanjang tanpa harus khawatir dilihat orang. Di sekeliling taman dibangun tembok tinggi. Tetapi berkat penutup tanaman rambat yang subur, tembok itu tidak terasa membatasi pandangan.
Kami memilih duduk di bawah payung taman itu. Kepalaku terasa ringan melayang. Aku ingat minuman buatan Amerika tadi. Rupanya efeknya sedang berproses dalam tubuhku. Aku mengantuk sekali dan aku juga merasakan keinginan akan adanya seseorang yang memeluk dan membelaiku. Aku jadi teringat akan semua kenikmatan yang baru saja kualami bersama Bu Retno dan Surti. Aku ingat betapa nikmatnya saat tangan-tangan mereka menjamah buah dadaku. Aku ingat betapa nikmatnya lidah-lidah mereka menjilati ketiakku. Aku ingat betapa nikmatnya saat dildo itu menyodok saraf-saraf peka di vaginaku. Aku juga ingat betapa nikmatnya saat-saat menjelang orgasme. Aku ingat wajah Surti yang menyeringai dilanda kenikmatan birahi yang diperoleh dari jilatan Bu Retno di nonoknya. Aku juga teringat saat aku menjilati anus Bu Retno dan mencium aromanya. Ahh.., aku sedikit limbung.
Sekarang, tiba-tiba aku telah dalam keadaan telanjang bulat. Tetapi aku tidak ingat, sejak kapan aku telanjang. Aku juga tidak ingat siapa yang telah melepas pakaianku. Aku juga tidak ingat, bagaimana bisa aku berada dan telentang di bangku taman yang tipis ini, dengan kedua kakiku yang mengangkang ke kanan dan ke kiri pada dudukan bangku yang tipis itu, terjuntai ke tanah. Yang kini dapat kurasakan hanyalah lumatan-lumatan lembut di bibirku. Aku juga merasakan ada lidah yang sedang menjilati nonokku.
Kurasakan kenikmatan yang tak terkira. Aku merasa seakan terbang jauh. Aku sepertinya terbang tinggi. Kurasakan saraf-sarafku menggelinjang di sekujur tubuhku. Aku merasakan keinginan yang amat sangat akan adanya seseorang yang bersedia menciumi seluruh pori-pori tubuhku. Aku tahu mataku agak berat untuk dibuka. Tetapi aku memang tak ada keinginan untuk membuka mataku. Kenikmatan lumatan di bibir dan jilatan di kemaluanku akan terasa lebih nikmat kurasakan dalam keadaan mataku yang setengah tertutup ini. Aku mendengar suara desahan, kucoba mengingat suara siapa itu. Kemudian aku juga mendengar suara rintihan, aku mencoba mengingat siapa yang merintih itu.
Kini, pelan-pelan kurasakan ada cahaya. Aku mulai ingat. Aku bersama Bu Retno dan Surti pergi ke taman ini. Dimanakah mereka saat ini? Apakah mereka yang kini sedang melumati bibir dan menjilati nonokku? Apakah desahan itu desahan Surti. Dan rintihan itu rintihan Bu Retno? Rasa gatalku memusat ke selangkanganku di mana seseorang tengah asyik menjilat nonokku. Kegatalan itu coba kutepis dengan mengangkat-angkat pantatku. Aku ingin agar jilatan lidah itu lebih merasuk ke dalam lagi. Aku ingin agar jilatan itu menyentuh hingga dinding vaginaku. Kemudian aku juga merasakan tenggorokanku yang sangat kering. Dan aku dilanda rasa haus yang sangat. Aku berusaha menguranginya. Aku coba membalas lumatan lembut di bibirku. Aku berusaha menyedot air liur dari bibir yang tengah melumatku itu.
Kemudian saat seluruh tubuhku akhirnya tak mampu lagi menahan kehausan yang amat sangat tersebut, kucoba meringankannya dengan merintih dan mendesah. Aku mencoba terus merintih dan mendesah.
Kini, aku semakin dapat mengingat. Desahan itu adalah desahan Surti yang sedang melumat bibirku. Dan di bawah sana adalah rintihan Bu Retno yang sedang menjilati kemaluanku. Ah, rupanya mereka sedang berpesta menikmati tubuhku.
Rasa kantuk yang sangat berat itu rupanya hanya gejala awal dari minuman pemberian Bu Retno yang mempengaruhi tubuhku. Kini aku merasakan hal yang lain. Kantukku pelan-pelan menghilang. Kini aku juga ingin berpesta bersama mereka. Kini aku ingin berpesta menjilati nonok Bu Retno dan melumati buah dada Surti. Aku mencoba untuk bangun. Tetapi aku belum bisa. Surti mulai melumat buah dada dan puting payudaraku. Tangannya memeluk dan mengelus-elus pinggulku. Desahannya makin terdengar jelas di telingaku.
"Duh, Mbak Marini, payudaramu sangat nikmat..".
Bu Retno meninggalkan cupang-cupang di sekujur pahaku. Tangannya mengelus bokongku. Rintihannya makin jelas di telingaku,
"Jeng Marini.., aku sudah lama mengimpikan seperti ini.., sudah lama ingin menjilati vaginamu.., sudah lama aku ingin agar kamu pasrah padaku, untuk kujilati.., untuk kulumat.., untuk kukecup seluruh tubuhmu".
Seharusnya aku yang berkata begitu, karena aku juga sudah lama menginginkan saat-saat seperti ini. Kucoba untuk menggerakkan tanganku. Kuraih kepala Bu Retno di selangkanganku. Kutarik rambutnya dan kuremas. Pantatku terus menggelinjang naik turun. Rupanya dengan mengangkang di bangku taman yang tipis dan dengan kakiku yang berjuntai ke tanah membuat lubang nonokku terkuak merekah. Lidah Bu Retno tak perlu bersusah payah lagi untuk menembus ke dalamnya. Sedari tadi Bu Retno belum bergeser dari lubang yang terkuak itu. Dia ingin mengeringkan dengan lidahnya semua cairan dan lendir birahiku yang kurasakan mulai hadir di vaginaku.
Tanganku yang lain kucoba untuk mengelus kepala Surti yang kini tengah berada di atas bukit buah dadaku. Ciuman dan jilatannya pada payudaraku dan puting-putingnya membuat saraf-saraf peka di sekujur tubuhku seakan mendapat giliran terkena aliran stroom ribuan watt. Aku menggelinjang dengan hebat. Aku berontak dari ketidakberdayaanku. Aku kembali memiliki kekuatanku. Aku kembali memiliki keinginan-keinginanku. Aku kembali merasakan sepenuhnya gelegak birahiku. Aku kembali ingin meraih kepuasan orgasmeku. Aku kembali ingin menyetubuhi perempuan-perempuan ini.
Kutolak tubuh Surti dari buah dadaku dan kutarik kembali agar dia mengangkang di atas tubuhku yang masih telentang di bangku tipis ini.
Surti melangkahkan paha kanannya menyeberangi tubuhku. Kini dia berposisi setengah berdiri dengan nonoknya berada tepat dia atas wajahku. Tak ayal lagi aku bergetar menyambutnya. Kubenamkam mulutku ke nonoknya yang terkuak merekah lebar itu dan kusedot isinya. Cairan birahinya kujilati dengan penuh kerakusan. Kini tangan-tangan Surti berganti meraih kepalaku, menariknya agar jilatanku lebih meruyak dalam ke liang vaginanya. Aku dan Surti bersama-sama menjadi histeris. Aku mendesah liar sementara Surti merintih dan mengaduh-aduh tak terkendali. Pantatnya dinaik-turunkan layaknya sedang memperkosa mulutku. Aku meremas dan menghunjamkan kuku-kukuku ke daging pahanya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku agar dapat meraih lebih banyak lendir vagina di selangkangannya. Aku diburu nafsuku. Aku diburu ledakan birahiku. Kenikmatan yang teramat sangat dahsyat.
Bersambung...
Komentar
0 Komentar untuk "Serigala lapar, trilogi 3 - The Bitches - 6"
Posting Komentar
Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.