Hadiah bagi pahlawan - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Saya berasal dari Tasikmalaya dan sudah 2 tahun menempuh kuliah di Jakarta. Di sini aku tinggal di sebuah rumah kost yang dihuni banyak mahasiswa perantauan sepertiku. Kisah ini bermula ketika aku sedang berbelanja ke sebuah mall di Jakarta. Aku tidak sendirian, tapi bersama 2 gadis teman kostku, mereka adalah Diana dan Sinta. Keduanya cantik dan sama-sama warga keturunan sepertiku. Diana adalah seniorku semester akhir, sama-sama jurusan manajemen denganku, sifatnya pendiam, banyak yang mengatakan dia judes karena jarang tersenyum, karena sifat tertutupnya inilah temannya cuma sedikit, tapi kalau sudah akrab ternyata orangnya baik dan menyenangkan. Dia sering membantuku dalam tugas-tugas kuliah. Hubungan kami seperti kakak adik, orangnya putih cantik, tinggi, rambut panjang, wajah oval dan bodinya ideal, kalau dilihat-lihat mirip dengan Vivian Hsu, sedangkan Sinta seangkatan denganku tapi dari fakultas psikologi, pacarnya adalah salah satu temanku yang sedang belajar di luar negeri, sifatnya periang dan humoris, kadang-kadang suka bercanda kelewatan, tingginya skitar 160 cm, bodinya langsing, berambut lurus sebahu, wajahnya putih licin dengan hidung mancung, dia dan aku termasuk beberapa dari segelintir orang yang dekat dengan Diana.

Malam itu langit sudah gelap kira-kira jam 19:00, kami sudah selesai berbelanja dan sedang menuju tempat parkir bertingkat. Tempat itu sudah sepi dan gelap karena aku kebetulan parkir di tingkat agak atas jadi jarang ada kendaraan. Suasana di sana cukup menyeramkan hanya diterangi lampu remang-remang. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh 2 orang preman berpenampilan sangar yang menghadang jalan kami.

"Hei babi, tunggu dulu kalo mau lewat serahin dulu duit yang kalian punya, ayo!" kata yang kurus gondrong itu.
"Wah gile bawa cewek juga nih dia, cakep-cakep lagi, eh cewek mau main sama kita nggak!" timpal temannya yang berambut cepak. Aku segera bergerak menepis tangan si cepak ketika hendak mengelus pipi Diana yang tampak ketakutan.
"Hei, hei.. kalau mau duit gua ada tapi jangan macam-macan sama temanku!" bentakku padanya.
Rupanya mereka tidak terima dan si gondrong mengeluarkan pisau lipatnya dan menyerang ke arahku, aku menghindar dan menangkap pergelangan tangannya, kupuntir dengan jurus aikido yang kupelajari sejak SMA, "Ci Diana, Sinta, cepat masuk ke mobil dan lari, jangan tunggu gua!" seruku pada mereka seraya memberi kunci mobil pada Diana, mereka segera masuk ke mobil dan kudengar mesin sudah dinyalakan tapi bukannya lari malah menungguku.

"Heh bangsat, mau jadi jagoan loe, ayo kita hajar dia dulu Wan baru kita kerjain cewek-ceweknya," kata yang gondrong pada temannya. Si cepak menerjang ke arahku tapi kutendang perutnya sampai terhuyung-huyung ke belakang.
"Ayo masih berani maju?" tantangku dengan memasang kuda-kuda. Yang cepak itu masih belum kapok, dia mengeluarkan pisaunya dan mencoba menusukku, kami sempat terlibat pertarungan seperti dalam film-film action. Tanganku sempat tersabet pisau dan membuat luka gores sepanjang kira-kira 10 cm, namun aku berhasil merebut pisau si gondrong dan kupatahkan pergelangan tangannya, sementara yang cepak terkena tinjuku pada mulutnya sehingga terlihat darah pada bibirnya.

Sebenarnya aku mulai kewalahan tapi aku mencoba tetap tenang dengan menggertak mereka dengan pisau yang kurebut sambil berdoa dalam hati, kami terdiam sesaat lalu mereka perlahan-lahan mundur, membalikkan badan dan kabur entah kemana, akhirnya berguna juga ilmu bela diri yang kupelajari selama ini. Aku segera masuk mobil, kusuruh Diana segera tancap gas, dengan wajah masih tampak tegang dia segera menjalankan mobil dan keluar dari situ.

Sinta berkata padaku, "Ihh tangan kamu berdarah tuh, kamu nggak apa-apa?". Sinta membantu mengobati lukaku dengan peralatan P3K di mobilku.
"Leo, kamu nggak apa-apa, kita ke rumah sakit ya," sambung Diana.
"Ah nggak usah kok cuma luka gores aja, nggak sampai kena tulang lagi, tinggal diobatin dan diperban sendiri aja, kalian tenang sajalah, harusnya gua yang terima kasih pada kalian, kalian sudah gua suruh kabur dulu tapi malahan nungguin, kalau gua kalah tadi gimana coba!"
"Leo, kamu masih anggap Cici ini temanmu nggak sih, kamu pikir kita tega ninggalin kamu sendirian kayak gitu!" kata Diana dengan ketus dan menatap tajam ke arahku.
"Udah Ci, lagi nyetir jangan marah-marah, Leo kan tadi kuatir keselamatan kita juga, uuhh.. kamu sih asal omong!" Sinta mencoba menenangkan sambil menyikut dadaku, aku diam saja daripada ribut sama cewek, bukannya takut tapi bikin pusing apalagi mendengar omelan Sinta kalau lagi bawel.

Sesampainya di kost, aku menyuruh mereka istirahat saja supaya tenang, aku sendiri segera masuk kamar. Kira-kira jam 9 malam, aku sedang membaca tabloid Bola, pintuku diketuk, ternyata yang datang Diana dan Sinta yang sudah memakai pakaian tidur.
"Loh, ngapain kalian berdua ke sini malam-malam begini?" tanyaku.
"Kita cuma mau berterima kasih barusan itu, kamu tadi hebat banget deh Le, mirip Jet Lee aja aksinya," puji Sinta dengan tersenyum.
"Boleh kami masuk, ngobrol-ngobrol sebentar?" tanya Diana.
Akhirnya kupersilakan mereka masuk juga mumpung belum ada yang lihat.

"Gimana lukamu Le, sori banget ya demi kita kamu jadi gini, kalo nggak ada kamu nggak tau deh gimana nasib kami," kata Sinta sambil memegangi lenganku yang sudah diperban.
"Ah luka kecil, nggak lama juga sembuh kok, kalian tenang deh."
"Le, kamu hebat deh tadi, makannya kita ke sini rencananya mau membalas budi nih, kami ada hadiah kecil buat kamu," sahut Diana.
"Oh, nggak usah Ci, kita kan temen kok pake hadiah-hadiahan segala."
"Eee, harus diterima lho kalo nggak gua nggak mau omong sama kamu lagi nih!" sambung Sinta setengah memaksa.
"Ya, iya deh, aku terima aja biar kalian puas, makasih loh."
"Tapi loe tutup mata yah, soalnya ini surprise loh," katanya lagi.
"Wah, apa sih pake rahasia segala, ya udah deh, gua merem nih," kataku.
Aku bersandar di ranjang sambil memejamkan mata, kudengar suara tirai ditutup dan Diana berkata, "Awas jangan ngintip ya, ntar batal loh hadiahnya!" disambung dengan suara Sinta ketawa cekikikan.

Akhirnya aku merasakan salah seorang duduk di sampingku dan meraih tanganku.
"Sudah siap?" ternyata suara Diana.
"Sudah, boleh buka mata belum Ci?"
"Tunggu bentar lagi." jawabnya.
Tanganku disentuh & diusapkan pada suatu benda kenyal olehnya. Betapa kagetnya aku ketika meraba benda itu ternyata adalah payudara wanita. Segera kubuka mata dan benar saja, Diana duduk di samping kiriku tanpa sehelai benangpun dan menumpangkan tanganku di payudaranya, sementara Sinta yang juga sudah polos mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu meja sehingga suasana menjadi remang-remang.

"Nah kalo gini kan jadi romantis suasananya." katanya.
Benar-benar kaget bercampur terangsang aku saat itu, aku baru pertama kalinya melihat mereka polos. Tubuh Diana ternyata benar-benar aduhai, perut rata, paha jenjang yang mulus, bulu kemaluan yang rapi dan lebat, dan payudaranya lumayan besar dan kencang, benar-benar mirip dengan Vivian Hsu yang sering kulihat gambar-gambar bugilnya. Tubuh Sinta tidak kalah menarik walaupun payudaranya tidak sebesar Diana, mungkin hanya 34 dengan puting merah muda dengan bulu kemaluan yang lebat pula.

"Loh, kok.. kok begini sih, terima kasihnya kelewatan deh kayaknya," kataku sedikit gagap dan jantungku berdebar kencang karena aku belum pernah main dengan perempuan lain selain pacarku sendiri.
"Tidak Le, kamu memang pantas menerimanya, jadi hutang budi ini impas," jawab Diana lalu dia membuka ikat rambutnya sehingga rambut panjangnya tergerai bebas sedada.
"Wah, Ci liat, mukanya merah tuh, dia malu sama kita kali," kata Sinta sambil tertawa.
"Nggak usah malu Le, kita kan temen dekat bukan orang lain," kata Diana seraya membelai pipiku dan mencium bibirku. Imanku langsung runtuh karena perlakuan mereka, begitu bibirnya menempel di bibirku segera kusambut dengan tarian lidahku di mulutnya, lidah kami saling beradu dengan penuh nafsu, tanganku sudah mulai memijat-mijat buah dadanya dan mulai turun meraba-raba paha mulusnya naik lagi ke kemaluannya dan kuberikan sentuhan halus pada klistorisnya.

Diana yang biasanya pendiam dan lemah lembut itu, malam itu begitu liar & penuh nafsu jauh dari yang sehari-hari. Sinta tidak tinggal diam, dia memelorotkan celana trainingku dan CD-ku sehingga barangku yang sudah tegang menyembul keluar. "Wah besar juga nih, pantes si Vivi betah sama lu Le," godanya. Dijilatinya senjataku dengan penuh nafsu, lalu dimasukkan ke mulutnya dan diemut-emut seperti seperti permen lolipop. Sementara ciumanku pada Diana sudah mulai turun ke dagunya, lalu ke leher. Kusibakkan rambut panjangnya ke samping kiri lalu kujilat-jilat leher kanannya, kugigit pelan sambil menyapunya dengan lidahku. Nafas Diana sudah mulai kacau matanya terpejam sambil mendesah dan meremas-remas rambutku, aku sendiri merasakan sensasi hebat pada batanganku yang sedang dikulum Sinta, baru pertama kalinya kurasakan kenikmatan bercinta dengan dua wanita.

Tanganku mulai naik dari kemaluannya menuju dadanya dan lidahku turun menuju sasaran yang sama, akhirnya kutangkap dada kanannya dengan tanganku dan dada kirinya dengan mulutku, disaat yang sama juga tangan kiriku mengelus-elus pantatnya yang indah itu. Puting yang ranum itu kusedot dan kutarik-tarik dengan mulutku dan dada kanannya kuremas-remas sambil memencet putingnya.

Setelah beberapa saat kurasakan barangku mau meledak karena kuluman Sinta.
"Sin, Sin udah stop dulu.. gua udah nggak tahan nih!" kataku terbata-bata.
Akhirnya dia menghentikan kegiatannya dan berkata, "Lu gitu ah, masa mainnya sama Ci Diana terus, kamu nggak suka Sinta ya, ntar gua bilangin loh ke Ko Hendy (pacar Diana) biar digebuk hehehe.."
"Sori dong Sin, abis kan tadi Ci Diana yang mulai dulu, jadi dia yang duluan dapet."
"Ya udah, biar adil kita undi saja siapa yang lebih dulu melayani Leo, gimana Sin?" Diana memberi usul. Mereka berdua suit dan yang menang adalah Diana.

"Yah, Sinta kalah, ya udah Cici duluan deh, jahat ah!" kata Sinta mencibir pada Diana.
"Tenang Sin kamu juga ntar kebagian kok, Leo kan kuat, ya nggak," kata Diana sambil melirik padaku. Kini Diana berbaring terlentang di ranjang dan Sinta duduk di tepi ranjang menunggu. Kuciumi sekujur tubuhnya mulai dari bibir dan sesampainya di kemaluan, kuangkat kedua kakinya ke bahuku sampai tubuhnya setengah terangkat lalu kudekatkan wajahku ke pangkal pahanya. Bulu-bulu lebat itu kusibakkan dengan jariku dan kujilati belahan di tengahnya. Lidahku bermain-main dengan ganas di daerah itu membuat tubuh Diana mengelinjang-gelinjang disertai suara-suara rintihannya. Tidak kuhiraukan lagi bahwa gadis ini sebenarnya adalah seniorku dan kuanggap kakak angkatku yang harusnya kuhormati, yang terpikir saat itu hanyalah nafsu dan nafsu yang makin membara.

Mendadak kurasakan sebuah tangan dengan jari-jarinya yang lembut menggenggam batang kemaluanku yang nganggur. Pemilik tangan lembut itu adalah Sinta yang tidak tahan hanya menjadi penonton. Dikocoknya batang kejantananku lalu dimasukkan ke mulutnya dan diemut-emut, sementara lidahku terus bekerja di liang kewanitaan Diana, tanganku membuka bibir kemaluan yang rapat itu sampai kulihat tonjolan kecil di tengahnya, dan kumasukkan lidahku lebih dalam lagi agar bisa menjilat benda itu. Rintihan Diana makin menjadi-jadi sambil meremas-remas sprei dan Sinta berpindah menciumi payudara Diana.

Sesaat kemudian kedua paha Diana mulai menjepit kepalaku, badannya tertekuk ke atas. "Oh, Leo.. akhh.. ah!" Erangan itu diiringi menyemburnya cairan hangat berwarna bening membasahi mulutku, setelah itu kuturunkan badannya dan Sinta membantuku menjilati cairan yang masih tersisa di kemaluan Diana sampai bersih, tubuh Diana mulai melemas kembali.

"Leo, kamu waktu main sama Vivi juga seperti ini ya, permainanmu bagus sekali," puji Diana padaku.
"Ah biasa aja kok Ci," sahutku sambil memiringkan tubuhnya dan kuarahkan batangku ke lubang yang sudah basah itu. Sedikit demi sedikit batang itu mulai tertancap di lubang itu diikuti desisan Diana sampai akhirnya dengan susah payah akhirnya mentok juga batangku di kemaluannya yang sempit itu. Setelah itu aku mulai memacu badanku maju mundur sambil meremas-remas payudaraya dan Sinta menjulurkan lidahnya untuk beradu dengan lidahku. Sungguh nikmat sekali rasanya menikmati pijatan-pijatan dinding liang kewanitaan Diana sambil memijat payudaranya dan bermain lidah dengan Sinta, sekali-sekali Sinta juga menjilati leher dan telingaku. Benar-benar aku merasakan diriku bagaikan seorang kaisar yang sedang dilayani selir-selirku saat itu.

Beberapa saat kemudian aku merasa mau keluar dan berkata, "Ci, mau keluar sebentar lagi nih."
"Siram di mulut.. ohh.. ahh.. di mulut Cici!" katanya lirih.
Akhirnya kami klimaks bersama dan kusuruh dia membuka mulut untuk menyemprot spermaku. Cairan putih kental membanjiri mulutnya sampai menetes di sekitar bibirnya, Sinta pun ikut menjilati spermaku yang masih berlepotan di batangku. Diana sekarang tergolek lemas dengan sisa-sisa sperma masih membekas di bibir, dagu, dan lehernya, sesudah mengatur nafas dia tersenyum padaku dan berkata, "Bisa-bisa besok pagi Cici nggak bisa kuliah gara-gara kecapean nih," jarang-jarang dia tersenyum begitu, padahal wajahnya semakin manis kalau lagi senyum. "Sama Ci, saya juga gitu mungkin, sekarang Cici istirahat aja dulu deh, Sinta udah nggak sabar nih," jawabku sambil merengkuh tubuh Sinta dalam pelukanku.

Bersambung . . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Hadiah bagi pahlawan - 1"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald