Kenangan masa kuliah - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Kamis di bulan, April 1998. Hujan tak juga reda. Aku gelisah berharap hujan segera reda. Hari ini akhir dari ujian semester ku. Gelar sarjana sosial terus membayangi diri ku di tahun ini.

Para pembaca, kenalan diriku. Aby. Singkat saja nama kusebut. Agar menghindari rasa marah dan benci dari mereka yang pernah bergelut dan berpeluh keringat di kos-kosanku.

Orang tua dulu, bilang, kalau mau meminta hujan carilah kodok. Aku pun bingung bilang mau meminta hujan reda, apakah harus membunuh kodok.

Nada pesan singkat membuyarkan lamunan dalam harapan kepada hujan agar reda. “Kau mau wisuda tidak. 15 menit lagi waktu tersisa untuk mata kuliah akhir.” Begitu isi pesan singkat yang kubaca dari hape merek Nokia butut milik. Si pengirim adalah, Listi. Dia temen satu kabupaten dengan ku yang kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta tak terkenal di Kota Medan .

“Aku terjebak hujan di kos.” Balasan sms ku tak sampai. Ternyata pulsa di handphone sudah habis. “Sial, mana duit gak ada lagi,” aku membatin.

“Persetanlah. Gak jadi wisuda gak apalah.” Aku pun merebahkan diri di kasur kusam yang sudah melar. Hujan makin deras. Halilintar memecah kota ini. Aku mengutuk hari ini, memaki dan mengumpat dengan teriakan tak mampu menandingi suara gemuruh. Aku pun lelah berteriak. Hingga terpejam dan terlelap.

Entah berapa lama aku tertidur hingga suara ketukkan di kamar kos, membangunkanku. “Siapa…” teriaku dari dalam. Ku berdiri dan mencari saklar lampu kamar. Ternyata sudah malam.

“Aku, Listi,” balas si pengetuk pintu kamarku. “Bentar…,” kata ku lalu mengarah pintu. Listi, dia adalah remaja yang biasa saja. Tingginya 158 centimeter. Rambut ikal panjang sebahu, wajah oval dan memiliki tahi lalat di bibir bawahnya. Berat badannya tidak lebih dari 50 kilogram, dengan ukuran baju medium dan pinggang 28. Soal bra, setahu ukurannya 34.

Hal yang bikin aku penasaran terhadapnya. Ia mahasiswi yang tergolong tak punya masalah soal keuangan. Setahuku dari informasi teman-teman di kampus, orang tua Listi hanya pegawai negeri golongan dua. Tentu, gajinya tidak akan cukup membiaya Listi dan empat adiknya.

Gosip akan Listi menjadi buah bibir di kalangan kampus, khususnya yang seangkatan dengan kami. “Listi, ayam kampus. Dia peliaraannya pengusaha Malaysia .” Begitulah gosip akan Listi.

Keakraban ku dengan Listi terjalin saat pulang ke kampung. Kami bertemu di kereta api. Semalaman suntuk aku dan dia asik bercengkrama di restorasi. Bercerita masa kecil hingga kelak, setamat kuliah.

“Kenapa gak ke kampus. Emang udah gak mau sarjana. Mana janjimu yang akan selesai tahun ini.” Listi mengomel dan mengumpat atas ketidakhadiran ku mengikuti mata ujian akhir.

Aku diam, tak menjawab. Hanya menyalakan rokok dan menguk air putih dalam botol aqua. “Nih ngoceh aja,” kata ku sembari menawarinya rokok. “Jawab dulu pertanyaanku,” katanya.

“Apa kau gak tahu tadi hujan lebat.” Listi menepis alasan itu. “Kau kan bisa pakai jas hujan ke kampus. Dasar malas mu aja yang dituruti,” umpatnya. Aku tak ingin memperpanjang perdebatan dengannya. “Sudahlah, besok aku ke kampus jumpai bu Habibi minta ujian susulan,” jawab ku dengan nada suara pasrah.

Bu Habibi, dosen bahasa Inggris yang dikenal raja tega. Jarang mahasiswa-mahasiswi mendapatkan nilai B. Paling banter memperoleh nilai C alias Cukup. Bu Habibi juga dikenal mata duitan. Bagi yang ingin ujian susulan maka tarifnya akan dinaikkan.

“Lis, kau naik apa kemari,” tanyaku. “Aku diantarin teman. Nanti aku minta dirimu mengantar aku pulang ke kos ya,” katanya. Aku tak ingin menyelidiki siapa yang mengantarnya. Amat sering kami lihat Listi dijemput dengan kendaraan roda empat, produksi Jerman dan Inggris.

Ok, asal kamu traktirin aku makan. “Emang gak punya uang,” balasnya. “Iya, aku lagi bokek nih. Cuma ada 15 ribu di dompet,” jawabku. “Duh…, kasian deh,” ledek Listi. “Ntar aku cuci muka dulu,” jawabku.

Sepeda motor empat tak yang terparkir sejak siang tadi kustater. Yuk berangkat, ajak pada Listi. “Kita makan di KFC, ya. Singgah dulu di ATM, aku mau ambil duit,” katanya.

***

Udara kota ini begitu sejuk. Dingin. Bulan yang mengantung di langit kelam, menjadi pusat indah malam ini.

Usai melakukan transaksi di mesin ATM, Listi kembali naik ke boncenganku. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju restoran siap saji, milik warga abang sam itu.

Aku sengaja mengambil kursi paling pojok. Itu adalah kegemaranku. Dari sini aku bisa memperhatikan siapa saja. Dan melirik wanita yang manis, ayu dan cakep.

Biasanya, etnis cina paling banyak. Wanitanya dengan pakaian minim menjadi santapan mataku. Paha mereka yang mulus, dada yang menyembul dari baju kaos super ketat. Membuat mataku manja dan hayalan untuk melucuti dan bercinta dengan mereka.

Meski terobsesi dengan wanita cina, aku belum begitu berhasrat untuk bercinta dengan mereka. Ya, tentunya dengan wanita etnis cina yang berprofesi sebagai pelacur. Banyak teman yang bilang mereka sangat berkicau saat melakukan making love. Merintih gak karuan.

Dibanding mereka, aku lebih tertarik dengan etnis manggali atau India . Bukan rahasia lagi, di Indonesia semua PSK dari beragam etnis dan ras ada.

“Kenapa, montok payudara cewek itu.” Suara Listi menyudahi tatapan mataku ke arah gadis, kutaksir masih berumur 14 tahun, duduk bersama dua temannya di sisi kanan meja kami. “Ha…ha. Masih tetap montokan payudaramu, Lis,” bisikku padanya. Listi hanya tersenyum dan menundukkan wajahnya ke arah dadanya. “Makasi, pujianmu.”

“Eh, Lis boleh tanya yang pribadi. Tapi kamu jangan marah ya. Karena aku ingin tahu soal,” tak kulanjutkan. Listi melepas sedotan minum dari bibirnya. Matanya melirik tajam ke arahku. Dan mendekatkan wajahnya. “Soal apa. Soal aku yang disebut ayam kampus.”

“Ehem,” suara itu saja keluar dari bibir ku. “Iya, By. Aku ayam kampus. Sama mu aku akan terus terang. Ini kulakukan, ya memang didasari ekonomi. Kau tahu kan, ayahku hanya seorang pegawai rendahan. Jadi, dengan apa yang kulakukan sejak empat tahun ini, demi obsesiku, demi cita-citaku dan untuk meringankan beban orang tuaku. Kalau tidak begini, tentu aku tak bisa menafkahi dan membiaya dua adikku yang kuliah di sini.

Tapi, aku tidak sembarangan, By. Aku hanya menjalin hubungan dan mau diboking oleh mereka yang sudah menikah dan memang hanya menginginkan seks. Tidak lebih. Ya, tak sedikit dari mereka yang mau menjadikan aku simpanan. Tapi kutolak. Itu kulakukan karena aku tidak bodoh. Aku tahu mereka mau jadikan aku simpanan, agar bisa mengikatku, tapi aku tak ingin terikat. Walau imbalan yang mereka tawarankan cukup menggiurkan. Mulai dari rumah, mobil, pekerjaan. Itu kutolak. Aku hanya menyerahkan tubuhku, tidak hatiku.

Kepulan asap rokok dari bibirku, bersamaan dengan kalimat tanya yang kulontarkan pada Listi dengan mimik melucu. “Hatimu buat siapa.” Listi mengerutkan keningnya. Entahlah, By, aku tak punya rasa cinta belum. Yang ada masih uang, uang dan uang. “Pinjamin aku dong,” sambil menelentangkan telapak tanganku ke arahnya.

Listi hanya tersenyum. “Kerja dong,” katanya. Mau kerja apa, Lis. Hari gini ngandalin ijazah SMA. Ya gak laku. Palingan diterima jadi satpam, cleaning service dan sopir.

Bersambung . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Kenangan masa kuliah - 1"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald