Berbagi pelangi - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Aku kembali ke ruang keluarga untuk pamit dan minta dipanggilkan taxi atau ikut salah satu dari mereka saat pulang nanti, karena jarang sekali taxi yang lewat daerah ini.

"Ly, kami sepakat lanjut, gimana?" tanya salah seorang dari mereka
"Aku sih terserah saja, tapi sama siapa?" tanyaku, mereka saling berpandangan seakan tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dan tak ada yang mengalah untuk memberikan kesempatan ini pada temannya.
Setelah berunding beberapa lama, akhirnya aku usulkan untuk diadakan lelang, dijadiken obyek pelelangan aku sih oke saja. Penawar tertinggi akan mendapatkan tubuhku, diluar urusan pembayaran dengan GM, jadi yang dilelang adalah tips yang akan aku terima.

Serempak mereka menulis angka angka di kertas tisu dan menyerahkan padaku sebagai juri. Satu persatu kubuka, kuumumkan nama dan jumlah yang ditulis, ternyata angka tertinggi ada 2 orang, masing masing menulis 2,5 juta, yaitu Robi dan David. Aku tak tahu bagaimana harus menentukan pemenang, bagiku bukan orangnya yang harus kupilih tapi angkanya, toh melayani siapa saja sudah biasa bagiku.
Apakah diundi pakai coin atau suit atau lelang lanjutan, aku benar benar nggak tahu, tapi aku tahu ada potensi untuk mendapatkan angka yang lebih besar dari yang tertulis namun dengan cara yang lebih halus dan tidak terlihat terlalu mata duitan.

Kuminta Robi dan David mendekatiku.
"Sorry lainnya, sebagai juri aku harus menentukan siapa pemenangnya," kataku pada yang lain
Begitu mereka mendekat, kupeluk mereka berdua dan kuremas selangkangannya seakan menguji seberapa besar yang mereka punya, ini hanyalah untuk mengalihkan perhatian yang lain dan juga untuk membuat kedua orang ini terhanyut dalam skenarioku.

"Aku tahu kamu menikmati saat aku dikeroyok di sofa tadi," bisikku sambil menatap mata mereka satu persatu meski aku tak yakin betul mereka menikmatinya.
"Kalau masing mau menggandakan apa yang kamu tulis tadi, aku mau menemani kalian berdua bersamaan, pasti jauh lebih heboh dari yang tadi, tapi tidak ditempat ini, kita bertiga aja.. kalau nggak mau aku tawarkan pada yang lain," bisikku, mereka berpandangan, kuremas remas makin kuat kejantanannya dan kutempelkan tubuhku pada mereka seraya menggeser geserkan buah dada, sekedar menggoyahkan logika mereka supaya menuruti usulanku.

Usahaku berhasil, mereka menyetujui tanpa berpikir lebih lama lagi, tentu saja bagi mereka apalah artinya uang sebesar itu ditambah tarif yang harus dia urus dengan si GM, apabila dibandingkan sensasi yang bakal mereka nikmati.
Kutatap mereka bergantian, hanya anggukan yang kuterima sebagai jawabannya.

"Sorry, kami sepakat melanjutkan acara sendiri diluar, kalian nggak keberatan kan?" tanyaku sambil menggandeng Robi dan David keluar tanpa menunggu jawaban dari lainnya, meskipun begitu sempat kudengar teriakan "Huu", tapi aku tak peduli.

"Fren, bawa mobilku dulu" kata David sambil melempar kunci kontak ke arah temannya.

Dengan mengendarai si mata kucing, kami bertiga meluncur meninggalkan kawasan Galaxy menuju hotel terdekat.
"Aku belum pernah main rame rame kayak gini" kata Robi yang sedang nyetir.
"Aku juga, meski pinginnya sih udah lama" timpal David yang duduk dibelakang.
"Emang aku pernah, gara gara kalian tadi aku jadi pingin nyoba" cetusku berbohong.
"Kalo aku nggak suka boleh mundur kan?" tanya David lagi.
"Terserah tapi janji tetap janji seperti yang ditulis tadi," godaku.

"Ly, kamu pindah belakang dong, jangan ganggu sopir," pinta Robi, kamipun berhenti sebentar dan aku berpindah ke jok belakang, aku tahu maksud dari Robi menyuruhku pindah.

"Awas kamu nanti, aku balas di kamar, pokoknya aku yang duluan," ancam Robi sambil kembali menjalankan Mercy-nya dan mengatur kaca spion menghadap ke kami.

Begitu aku duduk di belakang, Robi memelukku, bersamaan tangannya menjamah buah dadaku bibirnya mendarat di pipi dan leher, aku menggelinjang. Kusambut bibirnya saat menyentuh bibirku, kulumat dengan penuh gairah. Kaca film yang gelap menyembunyikan perbuatan kami dari pandangan luar.

Tangan Robi menyelinap dibalik kaosku, aku menolak saat dia minta kulepas, terlalu berani, dengan trampilnya tangan itu melepas kaitan bra dipunggung, buah dadaku sudah bergantung tanpa penyangga lagi, makin gemas dia meremas remasnya. Jalanan Kertajaya mulai macet, memberi kesempatan lebih lama pada Robi untuk menikmati tubuhku lebih dulu, dengan menyingkap kaos hingga ke dada, dia semakin berani dan mengulum kedua putingku bergantian, akupun mendesah dalam nikmat seraya mengeluarkan penisnya, sesaat kulirik mata David mengamati kami dari kaca spion, beruntung macetnya jalanan tak terlalu membutuhkan konsentrasi saat nyetir.

Aku tahu sambil melirik David meremas remas sendiri kejantanannya yang kuyakin sudah setegang batu karang, namun aku tak bisa memperhatikan lebih jauh saat Robi menundukkan kepalaku pada selangkangannya. Sedetik kemudian penis Robi sudah keluar masuk mulutku, sambil menerima kulumanku, dia tak melepaskan remasannya pada buah dada diiringi permainan di puting.

Tanpa kusadari, aku tidak lagi menolak ketika dia melepas kaosku hingga topless. Kulumanku semakin bergairah, desahan Robi seakan mengundang temannya untuk segera bergabung. Aku tahu dia tak akan bertahan lebih lama lagi, maka semakin kupercepat kulumanku diselingi remasan remasan menggoda, dan.. muncratlah spermanya di dalam mulutku, aku tak mau mengeluarkannya, kutahan penis itu tetap berada dimulut hingga habis spermanya. Banyak sekali sperma yang ditumpahkan ke mulut, meskipun aku berusaha menelan semua tapi tak bisa dihindari beberapa tetes mengalir keluar mengenai celananya, kuremas remas seakan memeras habis sisa sisa sperma yang ada, dia mengerang berusaha menarik kepalaku tapi aku tak mau, malahan kupermainkan lidahku di ujung penisnya.

"Ah disini sajalah, kalian sudah mulai duluan," kata David ketika tiba didepan Hotel Sahid.
"Jangan disini, nggak enak, situ aja di Garden Palace, lebih asik," usulku ketika dia hendak belok kanan memasuki area hotel Sahid, aku masih menjilati sisa sisa sperma yang masih ada di penis Robi.

Ketika mobil memasuki halaman parkir Garden Palace, aku masih bertelanjang dada di pangkuan Robi, dari belakang dia meremas remas buah dadaku sambil mencium dan menjilati punggungku seakan tak pernah bosah untuk menjamah tubuhku.
Entahlah apakah tukang parkir yang mengatur parkir bisa melihatku telanjang atau tidak karena kaca depan memang terang. Segera aku turun dan mengenakan kaosku tanpa bra yang sudah dikantongi Robi, bertiga kami menuju Lobby, David menggandengku dan menunggu di sofa saat Robi check in di meja Receptionis.

Kuamati Lobby hotel yang sempat menjadi "rumahku" selama 3 bulan saat aku menjadi "simpanan" Koh Wi, tak banyak yang berubah bahkan mungkin tak ada yang berubah, beberapa bell boy dan satpam masih kukenali dan mereka tampaknya masih mengenali aku, mungkin karena penampilanku memang tak banyak berubah.

Sesampai di kamar di lantai 14, David yang dari tadi sudah menahan birahinya, langsung memelukku hingga kami terjatuh ke ranjang. Bukannya berhenti malah semakin ganas menggumuliku, dengan kasar ditariknya lepas kaosku dan dilempar ke arah temannya.
Celanakupun meninggalkanku tak lama kemudian, aku telanjang didepan kedua pria yang masih berpakaian lengkap, sesaat mereka membiarkanku telentang sendirian di ranjang. Dengan tergesa gesa David melepas pakaiannya, begitu telanjang dia langsung melompat ke atasku, kusambut dengan pelukan dan ciuman hangat, bibir dan lidah kami saling bertaut menyalurkan getar getar birahi. Begitu ganas David mencumbuiku, entah karena tipenya atau karena tak mampu lagi menahan birahi sejak kejadian di rumah Indra tadi, yang jelas ciumannya sangat liar, namun justru membuatku semakin bergairah. Lidahnya menyusuri tubuhku, dari leher turun dan berhenti di buah dada dan turun lagi hingga selangkangan tapi dia tidak melakukan oral, mungkin masih ragu karena sperma temannya telah membasahi saat di rumah Indra, ciumannya kembali naik setelah sampai di klitoris.

Kami berpelukan bergulingan hingga hampir jatuh, kuminta dia telentang dan diam saja menikmati kenikmatan yang akan kuberikan. Mula mula kujilati putingnya, aku membalas seperti apa yang dia lakukan padaku tadi, dia masih terdiam menahan desahan, namun begitu lidahku menyentuh lipatan pahanya, desahan lirih mulai terdengar dan semakin keras ketika kuremas kejantanannya sambil menjilati kepala penisnya yang tidak disunat. Akhirnya diapun mendesah lepas saat lidahku menjilati dan menyusuri sekujur batang kemaluan hingga ke kantong bola dan menyentuh lubang anus. Kubuka lebar dan kuangkat kakinya ke atas hingga aku lebih bebas menjilati daerah seputar lubang pembuangannya, dia menjerit semakin keras tak menyangka mendapat servis seperti itu, servis yang tak kuberikan pada temannya sebelumnya, apalagi tanganku tak pernah berhenti mengocok penisnya.

Kurasakan elusan di punggungku, ternyata Robi sudah telanjang bersiap ikutan menikmati tubuhku, kuminta dia telentang di samping David untuk mendapatkan servis yang sama, tapi dia menolak, malahan menciumi pantatku yang sedang nungging. Robi menciumi vaginaku dari belakang, sesekali menyentuh lubang anusku, seperti halnya David, akupun tak menyangka dia akan melakukan itu, akupun mendesah sambil menjilati David.

Cukup lama aku menjilat dan dijilat di tempat yang sama, kemudian kurasakan penis Robi menyapu vaginaku dari belakang disusul dorongan pelan menguak liang kenikmatanku. Aku beranjak dari posisiku, belum tiba saatnya, aku ingin pemanasan yang lama dengan dua laki laki ini, kurebahkan tubuhku telentang disamping David dan kubuka kakiku lebar mengundang untuk dikulum. David yang dari tadi cuma telentang, menyerobot posisi temannya, dia segera menyusupkan kepalanya di selangkanganku, rupanya dia ingin membalas perlakuanku. Aku mendesah nikmat dikala bibir dan lidahnya menyentuh klitorisku, dan semakin keras saat Robi ikutan mendaratkan lidahnya pada putingku bergantian.
Dua lidah laki laki bermain di kedua daerah sensitifku, sungguh kenikmatan yang tak terbayangkan, begitu indah rasanya, apalagi permainan lidah David tak kalah liar dengan Robi menari nari di vagina, kukocok keras penis Robi yang berada dalam genggamanku, diapun ikutan mendesah.
Robi menggumuli bagian atas tubuhku dengan penuh gairah, mengulum putingku, melumat bibir sambil meremas kedua buah dadaku, menciumi leher hingga kembali ke puting, rasanya tidak satu centi-pun tubuhku yang terlewatkan dari sapuan bibir dan lidahnya. David yang berada dibawah juga tak kalah liarnya, menyusuri bagian bawah, dari jilatan di klitoris menyebar ke bibir vagina hingga ke lipatan paha dan paha dalam terus kembali lagi ke vagina dan sekitar dubur. Semua dia lakukan bersamaan dengan temannya, seperti paduan antara keahlian dan gerak tari lidah yang terpadu di atas tubuhku, sungguh permainan yang penuh gelora birahi tinggi.

"Oke siapa duluan," tantangku setelah merasakan serbuan liar bertubi tubi dari bibir dan lidah mereka, agak kewalahan juga menikmati permainan oral mereka. Mereka berpandangan seakan tidak ada yang mau ngalah.

"Kamu berunding aja dulu dan jangan berantem, semua pasti kebagian, tunggu dulu ya," kataku menggoda sembari turun dari ranjang mengambil kondom dari tas Eigner-ku yang selalu ready.
"Pake ini dulu, kecuali kalian mau sama sama nggak pake," kataku sambil meletakkan beberapa bungkus kondom di atas ranjang dan aku kembali telentang menunggu siapa yang beruntung mendapatkan vaginaku terlebih dahulu.

"Kamu yang pilih deh," kata David.
"Nggak," jawabku singkat sambil mendesah pelan, mempermainkan klitorisku sendiri dengan tangan, selain untuk menggoda mereka, aku tak mau gairahku drop hanya karena menunggu mereka berebut, tentu saja kedua laki laki itu semakin sengit berebut. Mereka berunding berbisik, aku tak peduli sambil mendesah semakin keras melanjutkan kocokan jariku yang sudah keluar masuk vagina.

Bersambung . . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Berbagi pelangi - 1"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald