Sonny amulet - Roman picisan - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Sore itu gerimis telah berhenti dan lambaian tangan Erika dan Imel dari balik kaca mobil menambah kesejukan dihatiku. Terus terang udara sore yang dingin itu kontras dengan perasaanku yang masih 'hangat' karena pengalaman yang baru saja aku alami dengan seorang gadis manis bernama Imel. Masih terbayang wajahnya saat kugeluti diatas sofa kamar flat-ku. Baru kali ini kutemui gadis yang penuh 'kejutan' seperti dirinya. Sejenak sosok Imel memenuhi hatiku menggantikan bayangan Erika yang sepertinya masih jauh dari jangkauanku.

Dengan langkah malas aku berjalan ke tempat parkir mobilku. Erika menitipkan barang-barang yang dibawa Imel kepadaku. Barang-barang itu terdiri dari peralatan foto serta beberapa kamera buat keperluan kantor. Aku tadinya sempat senang melihat ada kemera kecil jenis probe yang biasa digunakan buat Close circuit TV karena jadi teringat akan film Sliver yang dibintangi Sharon Stone itu. Sempat membayangkan kalau saja aku bisa memasangnya di kamar tetanggaku di flat ini (seperti yang telah kuceritakan kalau para tetanggaku yang tinggal satu lantai rata-rata cewek semuanya) wah pasti asyk tuh!!

Tapi ternyata keinginan tinggal keinginan, fantasi tinggal fantasi karena aku baru sadar; 'gimana meletakan kameranya serta ngatur kabelnya??'. Emangnya aku ini FBI atau intel yang bisa bikin yang kayak begituan? Aku jadi malu sendiri mikirin itu sambil mengakui dalam hati kalau aku ini kebanyakan nonton film semi' (hehehee..). Maka dengan malasnya aku menenteng tas besar berisi alat-alat tersebut ke kamarku di lantai 4 (toloong!!).

Karena pikiranku masih melayang memikirkan Imel, aku jadi berjalan tanpa begitu memperhatikan sekelilingku. Aku tidak memperhatikan ada sesosok bayangan yang juga sedang berjalan ke arah tangga. Dan ketika secara bersamaan mencapai tangga, badan kita saling bersenggolan seperti berebutan menaiki tangga tersebut.

"Oh maaf" kataku sambil terkejut.
"Sorry" terdengar jawaban disebelahku.

Bersamaan dengan itu hidungku tiba-tiba dibekap oleh aroma parfum yang halus namun menyenangkan. Aku segera menoleh penasaran ingin tahu siapa pemilik suara dan wangi tersebut.

Kemudian kulihat seorang gadis bertubuh ramping dengan wajah tirus yang terlihat begitu sensual dengan tulang pipi yang tinggi di wajahnya. Tampang gadis itu biasa saja tapi tulang pipi serta matanya yang besar dan bulat itu terlihat sangat menarik pandanganku. Dia menegurku dengan ekspresi ramah. Walaupun dia tidak mengucapkan sepatah kata-pun selain kata sorry tadi, terlihat dia seperti menyapaku dengan pandangan dapat di-'interpretasikan' macam-macam itu. Gadis itu segera mendahuluiku sambil melangkah cepat dan gesit menaiki anak tangga di depanku. Dari belakang baru terlihat kalau gadis itu memakai busana yang cukup 'berani'. Dia memakai kamisol berwarna krem dengan rok yang pendek (bisa dibilang mini) berwarna coklat dengan belahan yang cukup tinggi.

Sepasang kakinya yang ramping namun kencang itu terlihat sangat lincah menaiki anak tangga di depanku dengan langkah cepat. Sepatu berhak-tinggi yang dikenakannya tampak tidak mempengaruhi langkahnya yang lincah menaiki tiap anak tangga itu. Dia terlihat agak" murahan" dengan pakaian 'sumringah' seperti itu (lagipula di flat ini banyak tinggal berbagai jenis 'ayam'). Namun aku merasa ada sesuatu dalam tatapan mata dan nada suaranya yang membuatku merasa gadis itu bukan tipe 'komersial'. Walaupun hanya sepatah kata, aku merasakan adanya sikap penuh percaya diri dan inteletualitas dalam pandangan matanya.

Siapakah dia? pikirku. Aku tidak memastikan karena aku masih baru disini sehingga belum begitu mengenal wajah-wajah tetanggaku. Mungkin saja dia tinggal di lantai lain. Aku terdiam di ambang tangga melongo melihat sosok ramping itu menghilang di kelokan tangga. Peduli ah, pikirku, ketemu syukur, enggak ketemu lagi ya sudah. Aku segera menaiki tangga dengan sedikit terseok-seok. Tiba di ruang flat, aku sempat mengutak-atik beberapa peralatan fotografi yang ada dalam tas itu. Salut juga aku sama Imel melihat peralatan yang bakal dihadapinya itu. Peralatan yang cukup rumit bagi orang awam sepertiku.

Iseng-iseng aku mencoba-coba kamera probe yang berukuran kecil sebesar walkman itu. Aku mencoba meletakannya di berbagai tempat di ruanganku sambil melihat hasilnya yang dapat langsung dihubungkan ke televisi. Waw.. pikirku, alangkah asyiknya kalau aku bisa gunakan buat ngintip cewek-cewek tetanggaku. Aku bayangkan bila kamera itu bisa kuselundupkan ke salah satu kamar mereka. Pastinya aku dapat menikmati hiburan gratis dan orisinil (hehehe). Tapi aku sadar kalau ternyata kabel standar yang tersedia kurang panjang untuk mencapai salah satu kamar tetanggaku. Kemudian aku iseng mencoba meletakkan kamera tersebut di kamar mandiku sambil mencari-cari sudut yang baik dengan membayangkan ada seorang wanita cantik sedang bugil disitu.

Lumayan sih menurutku setidaknya sampai disitulah usahaku. Mungkin nanti atau besok ada cewek yang kesini terus enggak sadar terekam di kamar mandiku khan enggak ada ruginya juga. Puas bermain-main dengan kamera-kamera itu, aku merebahkan diriku diatas permukaan lembut sofa kuning yang membawa 'hoki' itu. Siang ini cukup melelahkan buatku, untung cuaca yang gerimis menghilangkan penat yang biasanya menghiasi siang hari di Jakarta ini. Tanpa terasa aku terlelap diatas sofa itu dengan bayangan gadis misterius berwajah tirus tadi terus menggoda.

*.. Tatap matamu bagai busur panah.. Yang kau lepaskan ke jantung hatiku.. *

Waktu menunjukan sekitar pukul delapan malam ketika aku terbangun karena mendengar suara ribut yang berasal dari kamar sebelahku. Segera kukenali suara itu milik pasangan suami istri Mas Agus sama Mbak Leny di kamar 43. Sejak hari pertama aku tinggal disini, pasangan itu selalu bertengkar tiap harinya. Aku betul-betul males nguping pertengkaran mereka yang enggak jelas juntrungannya. Biasanya aku nyetel CD keras-keras buat meredam suara menjengkelkan itu namun perut lapar membuatku segera keluar cari makan.

Cuaca malam yang dingin itu bikin aku nggak sempat mandi lagi langsung keluar kamar meninggalkan suara bising pertengkaran mereka. Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, para penghuni flat ini sepertinya memiliki prinsip hidup cuek dalam bertetangga. Hal itu membuat penghuni memiliki privacy yang besar (sesuatu yang tidak aku dapatkan kalau tinggal di tempat kost-apalagi jika yang punya kost juga tinggal di tempat yang sama). Seperti biasa aku makan malam di warung RB (Rotibakar) yang terletak diseberang flat, dimana aku biasanya manghabiskan satu porsi internet (indomie-telor-kornet) ditambah segelas STMJ (biar siaga setiap saat.. Hehehe).

Begitu aku melongok ke dalam warung itu sabaris senyum ramah menyambutku. Aku terkejut karena senyum itu bukan miliki Mas Heru-pemilik warung itu tapi milik seorang wanita manis yang juga tetanggaku-Mbak Ratri!

"Eh Mbak makan disini?" aku menegur setengah salah tingkah.
"Sendirian aja Son?" pertanyaan dibalas dengan pertanyaan yang artinya cuma satu: basa-basi standar.

Aku mengiyakan dengan mengangguk sambil tersenyum Kemudian duduk disampingnya diatas bangku kayu panjang. Mbak Ratri adalah tetanggaku di lantai empat itu. Dia menghuni ruang 44 bersama kakaknya Mbak Laras. Mbak Ratri bekerja sebagai Costumer Service di sebuah bank swasta sedang kakaknya Laras adalah seorang polwan. Keduanya memiliki postur badan yang sama, tipe medium yang proporsional. Perbedaannya adalah kulit Mbak Ratri lebih putih dari kulit Mbak Laras, mungkin karena Mbak Laras itu polisi makanya kulitnya kalah putih. Selain itu yang sangat menyolok adalah sifat Mbak Ratri amat feminim dan keibuan.

Perangainya begitu ramah dan hangat (mungkin karena dia costumer service kali yah). Mbak Ratri adalah tetangga pertama yang aku kenal dan sudah sering bertegur sapa denganku.

"Eh Sonny, kenalin nih sepupu saya Denita," Kata-kata Mbak Ratri menyadarkanku kalau dia tidak sendiri.

Mbak Ratri memundurkan badannya sedikit memberikan ruang buat orang disebelahnya mengulurkan tangan padaku. BZZT!! bagaikan tersengat aliran listrik aku terkejut melihat seraut wajah tirus seorang gadis dengan matanya yang dalam dan tajam penuh provokasi menatapku sambil mengulurkan tangannya buat kenalan.

"Hmm.. Sonny" Aku menyambut uluran tangannya tanpa dapat menyembunyikan ekspresi, alamak!! yang terpancar dari wajahku.
"Hai" ucapnya ramah.

Kuperhatikan jemari tangannya yang lentik itu manyalami tanganku dengan ganggaman yang mantap. Terus terang baru kali ini ketemu cewek yang menyalami tanganku dengan begitu 'niat' dan mantap.

"Sorry yah tadi aku nabrak kamu ditangga" kataku sambil membalas senyumnya.
"Ah its ok, bukan kamu tapi aku yang nabrak koq" dia menjawab sambil melepaskan senyumnya dengan bebas.

Kami kemudian menjelaskan kejadian itu pada Mbak Ratri. Selanjutnya kami bertiga tenggelam dalam obrolan yang menyenangkan dan akrab. Aku terkejut ketika tahu kalau Denita baru berusia 18 tahun. Gaya bicara dan sikapnya terlihat sangat dewasa dan penuh percaya diri. Terlalu matang buat gadis seusianya menurutku. Denita kemudian menjelaskan kalau dia kuliah di Melbourne Australia dan sedang liburan di Jakarta. Dia juga bilang kalau liburannya akah segera berakhir dan dia akan kembali ke sana akhir minggu ini. 'Jreeng!! tiba-tiba secara otomatis muncul sebuah time schedule dalam benakku!

Denita ini adalah tropi yang harus aku 'dapatkan' sebelum akhir minggu ini!! Dan otomatis aku segera berhitung dangan schedule itu mengenai target-target yang harus aku capai. Pikiran kotorku itu berakhir ketika Mbak Ratri membayar makanan ke Mas Heru sekalian dengan makananku.

"Eh nggak usah Mbak biar aku saja" ucapku terburu-buru dengan perasaan bersyukur karena telah dibayarin (hehehe).
"Sudahlah biar Mbak aja yang bayar sekalian mau tukar duit nih," jawab Mbak Ratri sambil menyerahkan selembar uang seratus ribu yang disambut dengan pandangan kucel Mas Heru si pemilik warung karena dia harus ngubek-ngubek kotak penyimpanan uang untuk memberikan kembaliannya.

Selesai makan, kami bertiga meninggalkan warung itu bersama-sama. Denita rupanya mau langsung pulang maka kami mengantarnya sampai ke mobilnya.

"Hmm.. Den kapan lagi kamu main-main kemari" ucapku malu-malu berusaha menyembunyikan niatku.
"Tuh Den, kapan lagi kamu kesini" ujar Mbak Ratri menggoda kami berdua.

Lega rasanya mengetahui Mbak Ratri memberi lampu hijau padaku.

"Hmm kapan yah?" Denita terlihat seperti memikirkan sesuatu, aku menangkap maksudnya lalu barkata
"Gini aja Den.. Aku boleh minta no telepon kamu? biar kita kontak lewat telpon aja lagi"

Bersambung . . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Sonny amulet - Roman picisan - 1"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald