Karena sebuah lagu

0 comments

Temukan kami di Facebook
Sejujurnya, aku merasa menyesal berdomisili di Surabaya, karena panas dan lingkungannya tidak sesuai denganku. Akan tetapi aku harus menjalaninya karena aku sedang dalam masa menuntut ilmu, kuliah. Dan, aku semakin betah sejak mengenal Tante Stella, tetangga sebelah.

Untuk mengisi waktu luang, aku membentuk group musik bersama teman-temanku. Kami memilih aliran latin sebagai anutan. Seperti biasa, kami latihan setiap sabtu pagi di beranda rumah kontrakan. Kebetulan rumah kontrakan kami berada di lingkungan perumahan yang mayoritas dihuni oleh keturunan Chinese.

Pagi itu aku kebagian lagu di mana aku harus menyanyikannya. Oh ya, kami semua bisa bernyanyi dengan baik. Latihan pun dimulai. Aku membawakan lagu Habla Me dari kelompok Gipsy Kings dengan serius dan menghayatinya. Ketika asyik-asyiknya menyanyi, tiba-tiba pintu rumah tetangga depan terbuka. Dari dalam keluar seorang wanita yang tak asing lagi bagi kami. Dialah Tante Stella, wanita berumur sekitar 35 tahun. Dia juga seorang guru les piano, disamping sebagai ibu rumah tangga tentunya.

Pagi itu dia tampak cantik dan seksi, dengan celana ketat hitam berpadu dengan kaos ketat hijau muda tanpa lengan menambah kecantikan wajah Chinese-nya yang putih bersih. Dadanya yang menantang tampak sedikit tersembul di balik pakaiannya yang tampak hot. Dengan senyum manis dia berjalan mendekat seolah-olah ingin memberi penilaian atas lagu yang sedang kami bawakan. Teman-temanku tampak salah tingkah. Aku sendiri sempat tidak konsentrasi ketika secara naluriah aku memandangi bagian dadanya yang aduhai.

"Lagunya bagus", pujinya singkat.
"Terima kasih Ci", balasku spontan. Kami memang biasa memanggilnya Cici.
"Gimana kalo Cici coba gabungkan dengan piano.. akan kedengaran luar biasa."
"Ide yang bagus Ci", sambar Tigor temanku dengan cepat, seolah-olah dia sudah membayangkan hal yang sedap.
"Tapi Cici cuma perlu seorang gitaris saja, biar tidak terlalu berisik", katanya sambil menatapku penuh arti. Alamak, dadaku berdesir.
"Kamu aja, lagian kamu kan yang nyanyi tadi", lanjutnya.
"Iya Ci", balasku. Tampak jelas teman-temanku seketika lemas.
"Besok jam 5 sore", katanya seraya meninggalkan kami.

Hari yang ditentukan tiba juga. Aku merasa deg-degan karena baru pertama itu aku melihatnya jelas sekali. Dengan pakaian daster yang santai tapi mengundang birahi, membuat darahku mengalir tak menentu.
"Orang rumah pada ke mana Ci", tanyaku.
"Ke mall."
"Ohh.."
"Pianonya sebelah sini", katanya sambil menunjuk ruangan di sebelah pojok.
Aku menenteng gitarku yang tadi kubawa. Dia segera duduk di kursi piano dan memintaku menyanyikan lagu yang kemarin, sambil dia mencoba menyesuaikan dengan permainan pianonya.

"Suara kamu bagus, seksi.." pujinya tentang suaraku yang serak-serak basah.
Saat itu pikiranku sudah tak menentu. Entah kenapa, batang kejantananku tiba-tiba menegang.
"Cici punya tablature lagu latin yang agak klasik, mungkin kamu cocok menyanyikannya.. mari ikut Cici.. bukunya ada di kamar", ajaknya.
Aku menurut saja ketika dibawa ke dalam kamarnya. Kamar itu mewah sekali. Foto-foto keluarga berjejer rapi di dinding yang putih mulus.
"Tolong kamu cari di sini", katanya sambil berlalu.
Semula aku mengira dia hendak menyediakan air minum buatku. Tapi.., "Klikk.." Pintu kamar segera ditutupnya, dan dikunci.

"Ke sini dong", pintanya sambil menarik tanganku. Dia merebahkan dirinya di ranjang empuk itu. Aku agak gemetaran juga ketika mendekatinya. "Temani Cici yaahh.." pintanya manja. Direngkuhnya tubuhku dan bibirku langsung dipagutnya dengan ganas. Aku yang masih agak bingung seperti orang bodoh.

Sesaat kemudian naluri alamiahku pun keluar. Bibirnya balik kuserbu dan mengeluarkan lidahku. "Oughh.." dia mengerang. Sambil menciumi bibirnya, tanganku mulai bergerilya. Kuelus dadanya yang montok itu dengan birahi. Dia terus mengerang manja.

"Ci.. aku pengen liat dada Cici.." pintaku sambil melepas lumatan bibirku.
"Ini.. tapi buka sendiri yahh.." balasnya manja.
Aku membuka bajunya dengan agak terburu-buru. Wow.. indahnya. Sepasang payudara yang lumayan besar. Walaupun agak berkerut dimakan usia tapi bersih dan menantang. Segera saja kujilati puting yang satu sementara tanganku meremas payudara lainnya. Dia cuma bisa menggelinjang. Karena gemas aku memberi cupangan pada permukaan dadanya yang mulus.
"Ahh.. jangan, nanti suami Cici liat", pintanya mesra.
"Oh.. maaf Ci", balasku.
"Di jilat aja.." pintanya.

Kali ini tanganku bergerilya ke arah bawah. Sejenak aku berjongkok dan melepas celana ketatnya. Aku juga sekalian melepas celana dalamnya karena sudah tidak sabar.
"Sini Cici bukain punya kamu", katanya. Dengan sigap dia mulai melepaskan pakaianku. Ketika CD-ku dibukanya dia sedikit terkejut. "Wuihh.." pekiknya sambil tersenyum. Batang kemaluanku yang sejak tadi menegang tampak makin kokoh mengeras. Tak kuduga tiba-tiba langsung dipegangnya dan dikocok-kocok. Aku hanya bisa menahan kenikmatan sambil mengelus rambutnya yang indah.

"Ci.. diemut dong", pintaku terbata-bata.
"Iya.. iya.. sabar dong.."
Batang kemaluanku yang membesar di masukkannya ke dalam mulut mungilnya. Aku menarik dan mendorong kepalanya agar batang kemaluanku terasa terkocok di mulutnya. Dengan rakus dia menjilat dan mengulum batang kejantananku. Sesekali kuremas payudaranya yang empuk.

"Ci.. gantian", kataku. Dia kutarik dan kusuruh telentang. Kakinya kutarik sampai lututnya tepat di pinggir ranjang. Pahanya kulebarkan dan aku berjongkok di depan liang kewanitaannya. Segera kujilati sambil mengocok senjataku sendiri. "Auugghh.. " serunya tertahan. Aku makin beringas. Lidahku kumasukkan ke liang sanggamanya sambil terus mengocok batang kemaluan. "Ini diremas sayangg.. ahh", katanya sambil menarik tanganku tepat di payudaranya. Semakin cepat jilatanku mengitari liang kewanitaannya, dan remasanku makin kuat. Dia sampai menjerit menahan nikmat yang kupersembahkan buat Tante Chinese-ku yang cantik itu.

"Aduhh, Cici nggak kuat lagi.. ayo dimasukin.. ayo.. ohh", dia meminta ketika liang kewanitaannya sudah digenangi cairan lendir yang beraroma khas itu. Sebagian lendir itu juga kucicipi karena gemas. Segera saja aku berlutut dan mengangkat kedua kakinya. Batang kenikmatanku kuarahkan ke liang senggamanya yang becek. "Ahh.. Oughh.." kami berseru berbarengan. Dengan ganas, kuhantam liang kewanitaan Tante Stella tanpa ampun. Terdengar bunyi berdecap di sela rintihannya yang menghanyutkan.

Permainan sudah berlangsung 20 menit.
"Ci.. nungging yah.." pintaku mesra.
"Tapi jangan main anus ya sayang.." balas Tante Stella.
"Iya Ci.. santai aja"
Dari belakang dia kusodok sekuatnya. Gempuranku makin gencar sambil meremas kedua payudaranya. Dia pun hanya bisa berteriak kenikmatan. Ada beberapa cairan berjatuhan ke sprei tempat tidurnya. Ternyata Tante Stella sudah keluar. Tak puas dengan posisi itu, aku memutar tubuh dan membiarkannya di atas. Dia menari-nari sambil menggoyang pinggulnya dengan hebat. Aku hanya pasrah menerima rezeki ini. Dia pun mulai meremas payudaranya sendiri.

Suasana kamar ber-AC itu makin panas. Kami berdua berkeringat.
"Ahh.. Ci.. aku mau keluar.. di dalam atau di luar nihh Cii? tanyaku bergetar.
"Dalem aja sayang.. ayo, kita sama-sama.. saattuu.. duaa.. ti.." pada hitungan ketiga aku menggenjot sekuat tenaga. Kupeluk dia sekuat tenaga ketika spermaku memancar keluar di dalam liang kewanitaannya. Aku juga merasakan cairan hangat membasuh batang kemaluanku di dalam sana.
"Ahh.. Ci.. nikmaatt.."
"Ougghh.. ahh.. yahh.. yah.."
Kami pun terkulai lemas. Dia memelukku sambil tersenyum puas. Batang kejantananku belum kucabut karena aku tidak mau kehilangan kenikmatan yang tersisa.

Lima menit kemudian dia menyuruhku berpakaian.
"Nanti Cici hubungi kamu lagi yah.."
"Sering-sering ya Ci", kataku nakal.
Aku pun keluar dari rumahnya dengan senyuman walau sedikit capek. Malamnya dia meneleponku dan berjanji untuk bercinta itu dua hari lagi. Hidup ini memang indah.

Tamat




Komentar

0 Komentar untuk "Karena sebuah lagu"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald