Tamu dari Yogya - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
"Om..," kupanggil namanya karena tiba-tiba suasana menjadi sepi.
Yang kupanggil diam saja. Mungkin ia sudah tertidur lagi. Tapi tiba-tiba kurasakan wajahnya ditenggelamkan di bagian belakang kepalaku dan menciumi rambutku. Ada suara isakan lirih. Om Wi' rupanya menangis.
"Kenapa Om?" kataku sambil membalikkan badanku menghadapnya.
Kulihat mata Om Wi' sudah basah. Nampak sekali ia sedang sedih. Ia menangis, tapi tanpa suara. Tangis laki-laki. Dan aku menjadi trenyuh melihatnya.
"Kenapa sih, Om?" aku bertanya lagi. "Tadi barusan ngomongin masalah ereksi kok tiba-tiba jadi sedih begini," lanjutku dengan nada guyon untuk menetralisir suasana.
Yang kuajak bercanda hanya tersenyum. Dan matanya yang basah lalu diusapnya sendiri.
"Hendro pasti tahu, kenapa Om sedih," kalimatnya masih agak terbata. "Om sekarang merasa makin sendiri saja. Selama ini Om selalu mencurahkan semua kasih sayang untuk Dede dan adiknya. Segalanya. Tapi Om sadar, nggak mungkin bisa memiliki mereka selamanya. Mereka sudah gede, sudah mandiri dan sebentar lagi pasti mereka pada berkeluarga."
Aku diam saja mendengar penuturannya yang kelihatan sekali sangat emosional. Aku jadi punya pikiran, jangan-jangan Om Wi' datang ke sini memang untuk menghindari kesepian atau ingin mencari 'tempat' untuk berbagi rasa. Karena ia memang dekat sekali dengan keluarga kami dibandingkan dengan keluarga Ayah yang lain.
"Makanya, Om main ke sini. Biar Om bisa sedikit mengurangi rasa sepi," lanjutnya seolah-olah menjawab apa yang sedang kupikirkan.
Akhirnya Om Wi' bercerita bahwa sejak kematian istrinya, semua kasih sayang ia curahkan ke keluarganya yang tersisa. Padahal kalau mau, Om Wi' punya banyak kesempatan untuk nikah lagi. Apalagi ia orangnya baik, kaya dan ganteng. Tapi mungkin ia belum bisa melupakan kematian istrinya.
Meskipun Om Wijoyo dapat mencurahkan semua kasih dan sayangnya pada keluarganya, namun menurutnya ada satu hal yang tidak mungkin ia curahkan, masalah pribadi, masalah seks. Bahkan untuk membicarakannya saja rasanya tidak mungkin, meskipun mereka sudah dewasa.
"Tapi kalau sama kamu, mungkin Om malah bisa lebih bebas bicara masalah itu," katanya dengan emosi sudah mulai terkendali lagi.
Aku hanya dapat tersenyum saja mendengar penuturannya. Karena tiba-tiba aku menyadari bahwa aku sendiri juga merasa tidak bebas bicara masalah seks dengan keluargaku.
"Hendro sudah punya pacar kan?" tanyanya.
Aku mengangguk, "Emang kenapa Om?"
"Seumur gini kamu sudah pantas kawin."
"Kawin apa nikah?"
"Hush..!" Om Wi' terbahak mendengar ucapanku. "Ah, kamu pasti sudah pernah..," kata Om Wi' lebih lanjut dengan nada tertentu.
Aku segera menggeleng untuk meyakinkan dia. Dan rupanya ia memang hanya mau menggodaku saja.
Tiba-tiba Om Wi' menanyakan apakah punyaku masih 'bangun'. Kini gantian aku yang ketawa. Karena punyaku sudah 'reda' dari tadi. Spontan aku melirik ke arah depan celana pendek Om Wi'. Dan ternyata ia masih tegang!
"Maklum, Om kan nggak pernah bisa bicara seperti ini. Jadi langsung terpengaruh," ujarnya seolah minta permaklumanku kenapa punyanya masih 'berdiri'.
"Atau, mungkin sudah lama nggak," godaku.
"Sok tahu! Kayak yang pernah ngerasain saja." sahutnya dengan nada kocak.
"Mendingan sekalian belum pernah, Om. Daripada sudah pernah terus tiba-tiba berhenti, katanya akan," kalimatku terpotong, karena aku merasa sedikit keceplosan.
Dan memang, kulihat Om Wi' diam menunduk begitu mendengar omonganku barusan.
"Maaf Om, saya."
"Nggak pa-pa! Memang begitulah kenyataannya."
Beberapa saat kemudian kulihat Om Wi' malah tersenyum, dan bertanya, "Mau bantuin Om nggak?"
Tapi aku tidak mengerti apa maksudnya. Baru ketika tangannya mengelus-elus bagian depan celananya, aku jadi faham. Tapi aku diam saja, tidak mengerti harus berbuat apa. Sampai akhirnya ia membimbing tanganku untuk memegangnya. Dan anehnya, aku menurut saja, meski masih dengan perasaan gundah.
"Nggak pa-pa kok. Ayo..!" rayunya sambil menggesekkan tanganku pada tonjolan di bagian depan celananya.
Dengan ragu-ragu tanganku pun mulai menggenggam. Semula agak aneh rasanya memegang punya sesama lelaki. Tetapi lama kelamaan aku terbiasa juga. Apalagi ini adalah 'permintaan tolong' dan Om-ku tampaknya 'welcome' saja.
Aku lalu mulai berani sedikit meremas. Om Wi' tersenyum melihat apa yang kulakukan. Dan ketika aku mulai meremas lagi ia pun lalu melepas tanganku seolah membiarkan aku untuk melanjutkan sendiri 'pekerjaan' itu. Ia kemudian berbaring berbantal kedua tangannya sendiri sambil memperhatikan apa yang kulakukan. Pelan-pelan aku pun mulai melakukannya tanpa rasa bersalah lagi. Aku tidak tahu apakah ini karena kedekatanku dengan Om Wi', atau karena ini pengalaman baru, atau karena memang aku mulai menikmati permainan ini.
Gerimis di luar telah berubah menjadi hujan. Di luar kamar masih sepi. Tampaknya keluargaku juga belum pada bangun, apalagi karena ini hari minggu.
Om Wijoyo mulai membimbingku untuk berbuat lebih jauh. Sejauh ini aku hanya meremas-remas batang kemaluannya yang masih tertutup celana pendek. Aku dapat merasakan bahwa Om Wi' ternyata tidak memakai celana dalam, membuat sentuhanku seperti tanpa halangan, kecuali kain tipis celana kolornya itu. Terasa sekali kemaluan Om Wi' telah mengeras.
"Buka saja, Hend..!" bisik Om Wi' terdengar agak serak.
Tapi aku tidak segera menuruti perintahnya. Aku hanya menelusupkan tanganku ke sela bawah celananya dan segera kutemukan sebuah benda bulat panjang yang padat, kenyal dan hangat. Kudengar Om Wi' mulai mendengus. Aku tersenyum melihat reaksinya. Entah kenapa tiba-tiba pagi ini aku menjadi keponakannya yang nakal.
Pelan-pelan aku mulai memilin-milin batang kemaluan Omku. Ia makin gelisah. Dan ketika gerakan tanganku menjadi sebuah kocokan ringan. Ia menggeliat dan mengerang tertahan.
"Buka saja, Hend..!" ia kembali memintaku.
Tapi aku tidak menggubrisnya dan tetap membiarkan tanganku bermain di dalam celana pendeknya. Meskipun dengan begitu aku hanya dapat menebak-nebak seberapa besar punya Omku, seperti apa bentuknya dan selebat apa rambut yang tumbuh di sana.
Erangan Om Wi' terdengar lagi ketika tanganku mencoba meremas kantong pelirnya. Melihat reaksinya itu, aku sengaja memperlama usapanku di sana karena ia tampaknya keenakan bila buah pelirnya itu kuusap-usap.
Tiba-tiba tangan Om Wi' terjulur ke bagian bawah tubuhku. Dan aku baru sadar ternyata milikku juga sudah tegang. Sentuhan tangan Om Wi' pada bagian celana dalamku makin membuat barangku mengeras. Anehnya, aku merasakan sebuah sensasi rasa nikmat yang selama ini belum pernah kurasakan.
Kebutuhan seksualku selama ini memang kupenuhi dengan cara onani saja. Meskipun dulu aku pernah mencoba main dengan pelacur, tapi aku tidak sempat menyelesaikannya karena takut penyakit. Dan sekarang, ini adalah pengalaman seksualku yang lain dan lebih jauh, dibandingkan kalau aku melakukannya sendiri.
Akhirnya Om Wi' lah yang justru melepas celana dalamku. Tadinya aku agak segan. Tapi ketika jari-jarinya mulai merangsang milikku, aku pun membiarkan ia menelanjangiku. Lalu ia sendiri kemudian memelorotkan celana pendeknya, merebahkan tubuhku dan langsung menindihku dalam satu gerakan cepat sebelum aku sempat menyadari semua yang dilakukan. Aku memalingkan wajahku ketika kurasakan dengus napas Om Wi' menerpa leherku. Mataku terpejam. Ini benar-benar pengalaman baru buatku. Masih aneh rasanya badanku ditindih oleh laki-laki, meskipun ia orang yang dekat denganku.
Dengan mata tertutup, aku merasakan tubuh Om Wi' mendesak-desak. Batang kemaluannya yang besar tegang itu sengaja digesek-gesekkan pada kemaluanku yang juga makin mengeras. Aku belum sempat melihat milik Om Wi' waktu ia mencopot celananya tadi. Tapi demi merasakan gesekannya, aku dapat membayangkan besarnya ukuran kemaluan Omku.
Entah sudah berapa lama Om Wi' 'naik-turun' dan bergoyang di atas tubuhku. Aku masih memejamkan mata, dan yang kudengar hanya desahan dan sesekali erangan yang tidak jelas dari mulutnya. Aku sendiri makin lama merasakan rasa nikmat ditindih seperti itu. Bahkan aku mulai merespon gerakannya dengan memutar pinggul dan sesekali menyentakkan pantatku ke atas. Menyadari reaksiku, Om Wi' makin bersemangat menggesekku.
Ketika rasa nikmat makin menjalar ke seluruh tubuhku, kuberanikan diri membuka mata dan kulihat ia sudah tidak memakai kaos oblong lagi. Omku sudah telanjang bulat! Wajahnya basah oleh keringat. Beberapa titik air tampak membasahi kumisnya. Matanya sayu tapi penuh nafsu dan mulutnya terbuka terengah-engah. Tampak sekali ia sedang meresapi rasa nikmat yang mungkin selama ini terhalang untuk disalurkan. Matanya terus menatapku tanpa mengurangi gerakan dan goyangan tubuhnya di bawah sana. Kuberanikan diri untuk memeluknya dan ia menurut saja ketika wajahnya kubenamkan di leherku. Malah ia mulai menciumi daerah di sekitar leher dan dadaku. Membuatku kegelian.
"Jepit ya.. Hend..!" desah Om Wi' tiba-tiba sambil mengarahkan batang kemaluannya ke sela pahaku.
Dan aku pun paham akan maksudnya. Aku pun lalu mencoba mempermudah gerakannya dengan membuka sedikit pahaku. Ia langsung menyodok dan menusuk-nusuk selangkanganku. Terasa sekali gesekan benda bulat panjang yang terselip di pahaku. Ternyata rasanya enak, agak mengganjal dan geli. Sejauh ini gerakan Om Wi' tampaknya lancar-lancar saja. Mungkin karena bagian bawah tubuh kami sudah basah oleh keringat, atau mungkin karena Om Wi' sudah berpengalaman menusuk 'lubang'.
Inilah mungkin 'permintaan tolong' yang ia maksudkan. Ia ingin memasuki sebuah lubang dan butuh 'jepitan'. Dan kini setelah mendapatkannya, ia mulai melakukan gerakan senggama di atas tubuhku, memperlakukan aku layaknya 'istri'-nya. Entah berapa puluh kali ia menjejal-jejalkan batang dan kepala kemaluannya di celah pahaku. Gerakannya kadang lembut, kadang kasar dan sesekali disertai dengan sentakan yang kuat. Kulihat bukit pantatnya yang bulat padat itu bergerak naik turun, bagaikan gerakan lumba-lumba di atas permukaan air.
Akhirnya datanglah puncak birahi Om Wi', setelah sebelumnya ia memelukku erat-erat, mengerang dan membenamkan wajahnya di leherku dengan penuh nafsu. Sejenak kemudian tusukannya menjadi sangat dalam dan kuat. Membuatku agak kewalahan. Apalagi badannya yang gempal itu menindihku dengan tekanan yang lebih kuat dari sebelumnya. Sekilas aku dapat merasakan paha dan pantatku tersiram air hangat dan licin, dalam beberapa semprotan. Aku berusaha menjepitnya lebih ketat, tapi licinnya cairan maninya malah membuat pantat Om Wi' makin lancar bergerak naik turun.
Beberapa saat kemudian gerakan itu makin lama makin pelan, lalu berhenti disertai deru napasnya yang panas di leherku. Suara 'ooh' yang panjang terdengar berkali-kali dari mulutnya. Tubuhnya lalu berguling dan rebah di samping kiriku. Kulihat matanya terpejam dan napasnya satu-satu. Kuamati batang kemaluannya masih setengah tegang dan berlepotan cairan putih kental miliknya sendiri. Sementara kemaluanku masih berdiri penuh dan agak basah.
Beberapa saat kemudian aku duduk di pinggir ranjang, kuraih punyaku dan kukocok sendiri untuk menuntaskan kenikmatan yang tadi sempat mendesak-desak.
"Hend..," tiba-tiba Om Wi' bangun dari telentangnya dan langsung menggenggam punyaku.
Ia lalu mengocoknya pelan-pelan dan menyuruhku agar berbaring kembali.
"Gantian..," katanya dengan mimik lucu sambil tangannya terus merangsangku dengan berbagai cara.
Kurasakan ia mengusap sela pahaku yang tadi berlumuran spermanya dan lalu mengusapkannya ke sekujur batang kemaluanku sebagai pelicin, dan tentu saja membuatku nikmat kegelian. Darahku terasa berdesir-desir. Terutama di sekitar selangkangan. Ada desakan yang makin lama makin sulit kuatasi.
"Enak..?" tanyanya sambil tersenyum.
Aku hanya mengangguk. Aku tidak dapat berkata-kata lagi. Rasanya pikiranku mulai tegang dan hanya berkosentrasi pada rasa nikmat yang diciptakan oleh gerakan tangan Om Wi' di bawah sana. Tidak jarang perbuatannya membuatku menggelinjang dan mengeluh-ngeluh menyebut namanya. Tapi yang punya nama tidak perduli dan terus membuatku gelisah dengan pilinan tangannya di sekujur batangku. Hujan di luar masih deras. Bahkan sesekali terdengar gemuruh. Sementara di kamar ini yang terdengar hanya dengusan nafasku yang diakibatkan oleh perbuatan Omku.
Akhirnya orgasmeku datang tidak terkendali. Dan Om Wi' pun makin memperkuat kocokannya dan terus memilin-milin otot vitalku, begitu tahu aku akan keluar. Lumuran spermanya yang licin tadi telah membantunya mempercepat gerakan tangannya. Dan pertahananku pun akhirnya bobol. Air maniku pun muncrat! Entah dalam berapa kali semprotan. Badanku tersengal-sengal, lebih-lebih tangan Om Wi' bukannya berhenti, tapi malah terus meremas dan meremas. Kenikmatan yang kurasakan sangat intens sekali. Sampai akhirnya aku tidak kuat menanggungnya lebih jauh lagi.
Aku lalu berusaha telungkup untuk menghindari agar Om Wi' tidak terus merangsangku. Karena batang kemaluanku menjadi sangat sensitif sekali. Dia lalu menindih dan memeluk tubuhku yang telungkup dari belakang. Dapat kurasakan batang kemaluannya menempel di bukit pantatku. Ada beberapa saat kami dalam posisi seperti itu. Cukup lama wajahnya menempel di punggungku. Sesekali kurasakan tangannya mengusap keringat di bahuku. Aku diam saja, tidak bereaksi apa-apa.
"Hend.., kamu marah ya?" ia berbisik di telingaku. Aku diam.
"Om minta maaf ya..," lanjutnya kemudian.
Aku masih diam. Dan beberapa saat kemudian dia akhirnya juga diam tidak berbicara lagi. Aku lalu membalikkan tubuhku dan berhadapan dengannya. Kulihat mata Om Wi' agak kuyu dan penuh dengan pertanyaan. Sepertinya ada rasa bersalah sedang berkecamuk dalam pikirannya. Aku berusaha tersenyum untuk mencairkan semuanya.
"Nggak pa-pa kok, Om. Toh kita sama-sama menikmatinya kan?" tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja.
Aku sendiri heran kok aku dapat bicara seperti itu. Om Wi' sampai memegangi tanganku seperti ingin meyakinkan apa yang baru saja kuucapkan. Dan herannya lagi, aku mengangguk meyakinkannya. Tangannya lalu merengkuhku dan mendekapku seperti biasanya. Tapi bagiku pelukan itu sekarang terasa lain.
Ini memang sebuah pengalaman baru dan 'aneh'. Tapi terus terang aku tadi dapat menikmatinya. Mungkin karena kami sudah cukup dekat, atau mungkin Om Wi' tadi dapat memperlakukan aku sedemikian rupa sehingga aku dapat menikmatinya, atau? Entahlah. Mungkin kalau bukan dengan Om Wi' akan lain ceritanya.
Sejauh ini pengalamanku yang agak berbau 'seks' dengan laki-laki hanya sebatas saling lihat-lihatan ketika mandi bareng dengan teman-teman sewaktu piknik atau saling guyon-guyonan saja. Memang, selain cewek-cewek, ada beberapa laki-laki, tentu saja gay, yang naksir aku, baik secara diam-diam atau terang-terangan. Hanya saja, kebanyakan mereka risih, dan membuatku jengah. Tapi peristiwa dengan Om Wi' tadi, kenapa aku dapat terhanyut? Apakah karena ia Om-ku? Apakah karena ia baik? Atau karena ia gagah, ganteng dan bersih? Apakah aku sudah tertarik dengan Om Wijoyo, ataukah dia yang tertarik padaku? Atau..?
"Mandi yuk..!" suara Om Wi' mengagetkan aku.
Aku masih diam saja. Jelas sekali ia mengajakku mandi bersama. Aku bingung. Terus terang kini aku merasa bahwa Om Wi' seperti bukan Pakde-ku lagi. Ia bagaikan orang lain, tetapi dengan kedekatan yang lebih dibandingkan sebelumnya.
Tanpa menunggu jawabanku, tangan Om Wi' kemudian menggelandangku ke arah kamar mandi. Kemudian kami pun mandi berdua, tepatnya ia memandikan aku seperti seorang ayah memandikan anaknya. Dan selama itu sulit bagiku untuk menghindari sentuhannya pada bagian tertentu tubuhku. Aku sendiri melihat kemaluan Om Wi' pelan-pelan mulai bangun lagi. Baru kali ini aku punya kesempatan mengamati lebih jelas tubuhnya dalam kondisi tanpa penutup apapun. Ia memang gagah, tegap dan yang paling menarik adalah ukuran dan bentuk 'meriam'-nya. Besar dan padat. Dadanya bidang, padat tapi tidak berbulu, kecuali sedikit di bagian putingnya. Bulu itu justru tumbuh lebat di bagian pusar hingga ke bawah perutnya. Dan meskipun perutnya sedikit agak buncit, tetapi tetap terlihat proporsional dengan badannya.
Bersambung . . . .





Komentar

0 Komentar untuk "Tamu dari Yogya - 2"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald