The blue broadcasting - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
Hari pertama kujalani begitu 'panas', karena melihat secara langsung aktivitas seks para gay dari balik lensa. Mereka beradu dengan erotisnya di atas ranjang di ruang utama, lalu babak ke 2 di kamar mandi, lalu malamnya di depan perapian. Setiap selesai bermain, mereka pasti saling memimikkan penis mereka, saling berebut cairan putih kental yang pasti mereka telan sampai habis tak bersisa. Wah-wah-wah.. aku bingung dengan jati diriku ini, melihat situasi seperti ini kenapa aku juga punya hasrat untuk melakukannya dengan sesama jenis. Pak Canetti selain menjadi produser, beliau juga bertindak sebagai Sutradara. Tapi ia tidak terlihat horny dengan menyaksikan hal yang sudah pasti disukainya di depan mata.

Hari kedua juga berjalan serupa, makin panas dan menggairahkan. Kali ini di tempat terbuka, di taman, lalu di dekat telaga buatan, dan terakhir di dalam garasi. Aku yang menyaksikan setiap detik framenya sudah tidak tahan lagi dengan nafsu seks yang meluap-luap, tapi aku bingung, apa aku harus meminta pada mereka atau sebaiknya cari jalan lain, onani misalnya. Malamnya, saya sudah tidak sanggup menahannya lagi, aku memeloroti celanaku, lalu duduk di atas ranjang, meludahi penisku dan mengocoknya. Saat itu aku tidak sadar, karena sedang asik-asiknya menikmati kocokanku sendiri sehingga tidak mengetahui kalau seseorang masuk ke kamarku. Aku juga tidak melihat siapa yang masuk karena kebetulan aku lagi merem. Tiba-tiba orang itu mengulum kepala penisku, dijilatnya, diisapnya dan dikenyotnya sampai basah semua batang kontolku. Ternyata orang itu adalah Pak Canetti.

Tanpa basa-basi sedikitpun, dia segera menelanjangiku, membuka kancing kemejaku satu per satu, menarik celana panjangku yang sedah merosot selutut. Kini aku hanya mengenakan singlet saja, lalu tanpa pikir panjang, segera kubuka baju Pak Canetti, dan ia akhirnya tidak tertutupi sesenti benang sekalipun. Badannya dipenuhi bulu halus, sedangkan bulu di selangkangnya lebatnya bukan main. Dia menari-nari kecil di depanku, meletakkan kedua tangannya di atas pundakku dan akhirnya mulai menciumiku sepenuh hati. Aku layani ciumannya dengan membalas juga dengan ganasnya. Pak Canetti bernafas berat, dia mengerang lembut di dalam pendengaranku, kemudian ia mulai menjilati seluruh permukaan wajahku, turun ke dadaku dan melahap ketiakku. Setelah puas dengan bagian kiri dan kanan ketiakku, dia turun menyusuri otot-otot perutku dan mulai mencium kontolku yang menegang dan mulai memerah.

Aku cuma bisa mengerang menahan rasa nikmat yang menjalar sampai ke seluruh permukaan kulitku. Segera Pak Canetti memasukkan kontolku ke dalam mulutnya. Begitu bernafsunya Pak Canetti sehingga dia seperti sedang mabuk saat mengisap kontolku. Tak lama kemudian aku tersadar, bahwa ini sudah diluar kewajaran. Segera kuhentikan tindakan Pak Canetti padaku.
"Hentikan Pak! Apa yang kita lakukan!" Sahutku dengan nafas masih memburu.
"Ayolah, saya ingin menyelesaikannya satu kali ini saja, ayolah sayang." Pintanya sambil mengelus-elus wajahku.
"Tidak, tidak, saya tidak bisa Pak, maafkan saya. Tolong anda keluar dari kamar saya!"
Setelah kuucapkan kata-kata tadi, wajah Pak Canetti menjadi merah padam, dia tampak kesal. Kemudian Pak Canetti keluar setelah mengenakan busananya kembali. Aku tahu resiko kehilangan pekerjaan sudah berada di depan mataku. Tapi itu terserah Pak Canetti, dialah yang mempunyai wewenang dengan keputusan itu.

Hari selanjutnya kami segera meninggalkan bungalo itu dan kembali ke Manila. Kami mengurus proses pasca produksi dan gaji para kru. Untungnya aku tidak mendapat masalah, saya tetap digaji dan tidak ada masalah dengan Pak Canetti. Hanya saja dalam perjalanan ke bandara tadi, dia bertindak acuh saja padaku. Setelah gajiku diserahkan, saya segera meninggalkan Filipina dan kembali ke Malaysia untuk menemui sepupuku. Setibanya di sana, saya pergi menuju ke apartemen miliknya. Dia ternyata tidak ada di sana, lalu resepsionis memberikanku sebuah pesan. Alamat baru milik Hadi, dia pindah ke Jakarta, akhirnya aku susul dia secepat mungkin.

Februari tanggal 12, hari dimana aku sudah tiba di Jakarta. Dan seminggu lagi adalah ulang tahun Hadi ke 24, aku harus hadir hitung-hitung membalas budi orang yang sudah berjasa dalam kehidupanku. Kucari alamat yang ditulis di pesan yang ia tinggalkan untukku, dan akhirnya aku menemukan sebuah rumah sederhana di salah satu perumahan di Jakarta timur. Kuketuk pintunya dan yang menyambutku adalah Hadi sendiri. Lucu sekali penampilannya, memakai sarung dan bertelanjang dada.

"A.. a.. Abang yah? Wah! Abang Nug (nama rumahku), Abang Nug." Sahutnya sambil kegirangan, ia memelukku lagi erat-erat.
"Eh.. Abang capek nih, mau istirahat, persilahkan masuk dulu kek."
"Maaf Bang, habis.. Hadi kangen banget sama Abang."
"Rumah kamu?" Tanyaku sambil melepas sepatu.
"Oh, ini rumah kontrakan Bang, kalo rumah saya ada di Bandung."
Kemudian kami masuk ke dalam dan Hadi mengunci pintunya karena sudah larut.

"Bagaimana Bang? Sudah rampung pekerjaannya?"
"Sudah-sudah." Jawabku sambil memperhatikan tingkah Hadi yang gelisah menatapku.
"Lalu..? Eng.. Apa ada sesuatu..?" Tanyanya penasaran
"Maksudmu..?"
"Ah.. tidak Bang. Oh ya, kalau mau mandi, kamar mandinya ada di belakang."
"Hadi.."
"Terus kalo Abang haus nanti saya buatkan air panas deh, mau teh atau.."
"Hadi!"
"Eh iya Bang!" Jawabnya setelah terkejut mendengar bentakanku
"Kenapa kamu mau berkorban banyak untuk saya?"
Hadi diam saja dan malah melongo.
"Kamu punya maksud?"
Hadi tetap diam saja.
"Ayo jawab!" Bentakku membuatnya terhentak kembali.

Dia berusaha menghindar tapi kutahan tangannya dan menghadapkan wajahnya dengan wajahku. Hadi tampak ketakutan, dia meneteskan keringat dan berusaha untuk tertunduk, tapi aku tahu jantungnya berdebar-debar tidak menentu. Saat itu kurasakan hangatnya setiap sentuhan kulit kami. Kutatap hangat matanya, lalu kudekatkan wajahku agar ia bisa mengerti maksud dan tujuan si 'penggoda' ini. Sesaat ia masih belum menyadarinya, tapi setelah kulepaskan nafas 'panas'ku ke mulutnya. Ia terkejut dan menatapku dengan penuh arti. Lalu aku mengiyakan keinginannya. Segera ia mencium lembut bibirku, kami saling melumat bibir satu sama lain. Dia memegang kepalaku seakan ingin mengisap seluruh permukaan wajahku ke dalam mulutnya. Kuisap seluruh liurnya masuk kedalam mulutku. Ia menggosok-gosokkan burungnya ke arah selangkangku. Saat itu aku tahu kalau Hadi masih memakai CD karena penisnya sudah sangat tegang dan membengkak dibalik CD-nya itu.

Kubopong dia ke kamar tidur, saking manjanya, dia terus memeluk leherku saat kugendong dan terus melumat bibirku dengan begitu bersemangat. Karena tak sabar, kulempar badannya di atas kasur dan terdengar bunyi 'krak' keras.
"Aduh!" Rintihnya kesakitan.
"Maaf, harusnya kamu tidak kuperlakukan seperti itu sayang. Maafkan aku yah."
"Tidak pa-pa Bang, memang ranjang tua kok, sudah lapuk." Lalu ia kembali menciumi bibirku.
"Sangat disayang," bisikku padanya.
"Saat kita ingin berbagi kasih, malah dapat fasilitas kurang memuaskan. Tapi tak apa, bila kita bersama, suasana pun akan serasa di surga", lanjutnya.

Kemudian kulepas kemejaku, tetapi ia malah menarik-narik bretelku. Katanya saya terlihat seksi dengan bretelku itu. Ia bangkit dan menciumi seluruh permukaan badanku, tak sesenti pun dilewatinya, terutama di bagian dada, beberapa kali ia mengisap dan menggigit putingku. Itu membuatku bergelinjangan karena merasa geli bercampur nikmat. Setelah puas, ia menarik celanaku sehingga tinggal CDku yang sudah hampir 'robek' karena kontolku sudah sangat membengkak. Dia menjilati daerah yang basah karena precumku yang sudah banyak keluar. Kulihat wajahnya semakin merah seperti kepiting rebus, ia segera menarik CDku dan mengulum kontolku. Oooh.. Nikmat sekali rasanya, nikmatnya merasuk hingga ke dalam tulang sum-sumku. Kupegang kepalanya dan kudorong kuat-kuat agar dia mengulum semua penisku. Semakin dalam semakin nikmat. Akhirnya Croot! Croot! Croot!, kumuntahkan spermaku ke dalam mulutnya, dan dia menelannya tanpa sisa.

Untuk sesaat kami berhenti sejenak untuk mengatur nafas, lalu saat Hadi mulai menciumi dadaku tanpa henti-hentinya, nafsu birahiku mulai bangkit kembali. Kujilat dada Hadi yang banyak ditumbuhi bulu terus hingga ke bawah perutnya, kejilati lubang kencing pada penisnya, rasanya asin dan gurih, ia juga banyak mengeluarkan sperma.
"Ahh! Ahh! Ahh!" Erangnya sambil menjambak rambutku.
Penisku kembali menegang, dan kali ini ia meminta lebih.
"Boleh tidak Abang menusuk kamu?" Tanyaku dengan suara lembut, dan ia mengangguk saja.
Tanpa pikir panjang, kuludahi penisku dan menjilati lubang analnya. Ia meronta-ronta karena merasa keenakan. Aku sudah tidak kuasa lagi menahan nafsu melihat pantatnya yang menggiurkan, akhirnya kusodok tepat dan Bless! Masuk juga akhirnya. Rasanya ada listrik berkekuatan 10.000 volt yang menyengat kepalaku, rasanya nikmat sekali. Langsung saja kumaju mundurkan pantatku dengan irama yang teratur sambil sesekali kucium lembut dadanya, pipinya, mulutnya sehingga si Hadi menjadi 'gila' merasakan nikmatnya permainan yang kuberikan.

Pesta seks kami dilanjutkan dengan berbagai macam gaya bersenggama yang entahlah apa itu namanya, yang jelas kami hanya memikirkan sisi keintiman kami saja, karena baginya, cinta yang kuberikan sudah cukup untuk membalas semua pengorbanan yang ia berikan padaku selama ini.

Semalaman kami terus nge-seks sampai persediaan kami habis semua. Ternyata Hadi pemain yang handal, tapi ternyata dia pertama kalinya melakukan itu, dan perasaannya terhadapku selama ini terus ia pendam. Sayangnya, dia memang selalu benar. Ya, saya benar-benar jatuh cinta padanya. Pada sepupuku sendiri.

Tamat




Komentar

0 Komentar untuk "The blue broadcasting - 2"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald