A Taste of Honey 6 - The Party Must Over 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Beberapa hari setelah pulang dari Pangandaran, setelah jam makan malam aku dipanggil Bapak kostku. Kupikir tumben malam-malam begini Bapak memanggilku. Sudah beberapa malam aku memang tidak ke rumah induk, JJM ke Bogor cari suasana yang baru. Biasanya hampir tiap malam, meskipun sebentar aku menyempatkan numpang nonton berita di TV agar tahu kondisi terkini.

"Duduk, To!" katanya datar.

Suasana kurasakan agak asing, tidak seperti biasanya. Biasanya tanpa disuruHPun aku sudah duduk, bahkan kadang tiduran di lantai. Akupun duduk di depannya. Ibu kosku duduk agak jauh dari tempat kami.

"Saya mau tanya, jawab dengan jujur!" katanya lembut tapi tegas. Aku diam saja, tapi debaran jantung mulai meningkat.
"Langsung saja. Saya mulai denger bisik-bisik, kalau kamu belakangan ini sering pergi dengan Ibu Heni?" Aku tercekat, tidak bisa mengeluarkan suara apapun.
"Eee.. Eehh..," aku tergagap.

Pantas saja kemarin waktu aku jalan di gang, ada tetangga yang melihatku dan memberikan isyarat pada teman bicaranya. Aku sebenarnya bukan orang yang sensitif, namun kata-kata Bapak kosku mengingatkanku.

"Tadinya saya senang kamu bisa membantu mengajari Eka. Tapi tidak kukira kalau kamu kemudian memanfaatkan kesempatan ini. Sayang sekali kalau kuliahmu sampai terganggu, lagian Ibu Heni kan sudah berkeluarga. Kenapa sih kamu tidak cari yang masih single saja?"

Aku hanya diam dan semakin menundukkan kepalaku. Setelah Bapak kosku berbicara panjang lebar menasehatiku, akhirnya dia berkata.

"Saya anggap kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Ya sudah, mulai sekarang jauhi dia. Saya tidak melarang kamu mengajari Eka, tapi jangan bikin affair dengan ibunya lagi. Tentu kamu pernah dengar gosip tentang hubungannya dengan seorang pejabat. Namun demikian semuanya terpulang kepadamu, apapun yang kau putuskan. Saya memberi nasehat bukan karena saya pandai, namun lebih karena saya sudah lebih dahulu lahir dan lebih dahulu menikmati masa muda!"

Aku kembali ke kamar dengan kepala berdenyut-denyut. Tapi kupikir benar juga. Dalam hal ini memang aku yang salah. Apapun alasannya. Sampai malam aku masih memikirkan ucapan Bapak kosku dan berpikir tentang hubungan gelapku dengan Hanny ke depannya.

Esoknya aku menyempatkan diri bertemu dengan Hanny dan kami janjian di sebuah kafe di Bogor. Aku berbicara panjang lebar mengulangi apa yang sudah kudengar tadi malam. Mukanya terlihat keruh, matanya mulai sembab dan berair.

"Aku tahu bahwa hubungan kita ini memang tidak benar dilihat dari sisi manapun. Namun aku juga tidak dapat menahan dorongan dari hatiku untuk selalu bertemu dan berbagi kenikmatan denganmu. Kalau harus berpisah begitu saja, untuk saat ini aku tidak sanggup. Lebih baik kita kurangi frekuensi pertemuan dan lebih berhati-hati memilih waktu dan tempat pertemuan," katanya sambil terisak. Aku hanya diam dan menggenggam jarinya.

Akhirnya kami sepakat untuk mengurangi frekuensi pertemuan dan lama waktu pertemuan. Sejak itu kami bertemu dua atau tiga minggu sekali dan itupun tidak dalam waktu yang lama. Selesai menumpahkan gairah, maka kamipun segera pulang secara terpisah. Namun kadang dia masih meminta kenikmatan ekstra sekali lagi dan kuberikan dengan Quicky.. Quicky. Perlahan-lahan bisik-bisik tentangku pun menghilang.

Akhirnya setelah setahun setengah tinggal di kosku tersebut akupun dinyatakan lulus dan sebulan lagi akan ada wisuda. Ketika bertemu maka kuberitahukan kepada Hanny tentang kelulusanku dan iapun mengucapkan selamat, "Selamat ya, sarjanaku. Nanti aku akan memberikan hadiah yang khusus buatmu".

Menjelang wisuda akupun sudah melamar kerja di Jakarta dan diterima sebagai staf pembukuan di sebuah perusahaan yang berkantor di sekitar Harmoni. Namun aku minta agar dapat mulai bekerja setelah wisuda saja. Tiga hari setelah wisuda Hanny memintaku untuk bertemu.

"Aku sebenarnya tidak mengharapkan kita berpisah. Namun aku juga sadar bahwa jalan hidupmu tentu tidak bisa aku yang mengaturnya. Aku kali ini ingin bercinta denganmu, mungkin untuk terakhir kalinya. Kalaupun nanti kita masih bertemu aku sangat senang, namun kalau tidak, pertemuan ini menjadi kenangan yang indah bagiku. Aku ingin semalaman memelukmu. Aku sudah mencari alasan untuk pergi selama sehari semalam. Kalaupun orang atau bahkan Pak Edi tahu aku sudah siap dengan segala resikonya," katanya.

Ia mengajakku untuk menginap di sebuah hotel di Ancol. Rupanya ia sudah memesan kamar khusus. Setelah kami masuk ke dalam kamar, maka aku menjadi sangat terkejut melihat suasana kamar. Sebuah kamar dengan pandangan ke laut, sebuah ranjang bundar dengan bed cover merah muda dan langit-langit kamar yang dilapisi cermin. Kupikir ia mengeluarkan uang cukup banyak untuk kencan terakhir ini.

Ketika aku masuk ke kamar mandi, Hanny masih merapikan ranjang. Entah apalagi yang diperbuatnya. Baru pada saat kembali ke dalam kamar aku merasakan suatu perasaan yang very very excited. Kucium harum bunga melati dan kulihat ia sedang menaburi ranjang dengan bunga melati.

Kupeluk ia dari belakang dan kuusap pinggangnya. Kurapatkan tubuhku ke tubuhnya sehingga kejantananku menekan belahan pantatnya. Ia mengenakan baju panjang warna krem dengan ritlsuiting di depan dada sampai sebatas perut. Celana panjangnya berwarna hitam dengan sepatu hak tinggi di bawah telapak kakinya.

Kubawa ia ke jendela sambil melihat Teluk Jakarta di waktu siang menjelang sore. Kucium tengkuknya dan ia menarik napas panjang.

"Hhmmh.. Anto".

Ia membalikkan badannya. Mukanya sedikit mendongak, bibirnya yang merah setengah terbuka dan semakin mendekat ke bibirku. Kami berciuman dengan lembut namun penuh gairah terpendam. Ia merogoh kantung celananya dan mengambil sebutir pil, dan menyuruhku untuk meminumnya.

"To ini diminum dulu agar kamu bisa memuaskanku sampai besok pagi".

Aku menolaknya. Kupikir badanku saat ini dalam kondisi fit. Kalau untuk tiga atau empat pendakian sampai esok pagi rasanya masih mampu. Kalau ia ingin lebih, biarlah aku menunda kepuasanku dan kupuaskan ia terlebih dahulu sampai ia menyerah.

"Nggak usah Han, kalau kamu ingin lebih aku akan menunda orgasmeku dan memuaskanmu dahulu".

Kutarik ritsluiting baju di depan dadanya dengan gigiku dan kemudian tanganku melanjutkan untuk membukanya. Dadanya yang terbuka berwarna putih mulus terlihat kontras dengan bra berwarna hitam yang masih menutup payudaranya. Kucium bahunya, kumainkan tali bra-nya. Ia memelukku dan mengusapkan pipinya di kepalaku. Mulutnya menjilati lubang telingaku dan membisikkan kata-kata penuh gairah.

"Ouhh Anto.. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang. Kita akan menikmatinya detik demi detik.. Ouhh!"

Kucium dan kugigit bagian dada di antara dua gundukan daging payudaranya. Kulitnya memerah karena bekas gigitanku tadi. Ia tidak mencegahku untuk mencupangnya, bahkan ia memintaku untuk melakukannya lagi.

"Anto.. Berikan lagi gigitan semutmu.. Aoouhh!"

Kubuka bajunya kemudian bajuku sendiri dengan posisi tetap berciuman dan berpelukan. Kudorong tubuhnya ke ranjang dan kutindih tubuhnya. Bibirku menyusuri bahunya melepas tali bra-nya lewat tangannya bergantian kanan kiri, kubiarkan bra-nya masih menutup dadanya karena pengait dipunggungnya belum kubuka. Kembali bahunya yang sudah terbuka kucium dan kugigit sampai memerah.

Aku bergerak memutar sehingga berada di belakangnya. Kulepas pengait bra-nya, dan kutarik dengan gigitanku. Kini dadanya terbuka polos. Dari belakangnya, tanganku meremas pantatnya dan menciumi punggungnya yang putih. Tanganku meremas buah dadanya yang kencang. Kuciumi leher dan belakang telinganya, kemudian kugesekkan pipi kananku ke pipi kirinya. Sambil kucium punggungnya kini tanganku melepas celananya dan celana dalamnya sekaligus, tapi kubiarkan sepatu hak tingginya masih melekat di tumitnya. Tak lama celana dan celana dalamkupun sudah melayang. Aku tetap menciuminya sambil berbaring miring di belakangnya. Kugigit punggungnya dan terus menyusuri sekujur punggungnya ke bawah. Tanganku mengusap pantat dan kugigit pelan. Hanny menggelinjang.

Ia berbalik dengan posisi dadanya di depan mukaku. Putingnya yang berwarna coklat kemerahan digesekkannya di ujung hidungku dan segera kutangkap dengan bibirku. Mulutku bergerak ke bawah perutnya, ia membuka pahanya agar memudahkan aksiku. Aku hanya menggesekkan hidungku ke bibir vaginanya. Aku tidak ingin merangsangnya dengan mulutku. Kepalaku bergerak ke atas dan menciumi ketiaknya yang terbuka, karena tangannya berada di atas kepala sambil meremas bantal.

Kami berguling sedikit dan sebentar kemudian ia sudah berada di atasku. Bibirnya lincah menyusuri wajah, bibir dan leherku. Hanny mendorong lidahnya jauh ke dalam mulutku, kemudian menggelitik dan memilin lidahku. Kubiarkan Hanny yang mengambil inisiatif menyerang. Sesekali lidahku yang membalas mendorong lidahnya. Tanganku meremas-remas payudaranya.

"Auhh, Ayolah Anto.. Terus," ia merintih pelan.

Kemaluanku mulai menegang dan mengeras. Kukulum payudaranya semuanya masuk ke dalam mulutku, kuhisap dengan kuat, putingnya kumainkan dengan lidahku. Napasnya memburu dengan cepat. Detak jantung kami semakin cepat meningkat.

"Ayo puaskan aku untuk saat-saat terakhir sayang.. Ahh.. Auuh!" Hanny mendesis ketika ciumanku berpindah turun ke leher dan daun telinganya.

Tangan kiriku mulai menjalar di pangkal pahanya, kumasukkan jari tengahku ke belahan di tengah selangkangannya dan kugesek-gesekkan ke dinding depan vaginanya.

"Ah sayang. Kamu liar dan nakal sekali".

Sementara itu tangan kananku meremas halus buah dadanya. Tangannya tak mau kalah memegang, meremas dan mnegocok kejantananku. Dengan ganas aku menciumi seluruh bagian tubuh yang dapat kujangkau. Beberapa saat kemudian ereksiku sudah mendekati maksimal. Kepalanya berdenyut menantang lawan di depannya.

Jari tengah kiriku kugerakkan lebih cepat dan tubuhnya kemudian meliuk-liuk menahan kenikmatan. Pinggulnya naik dan berputar-putar. Tangan kananku memelintir puting payudara kirinya dan dan mulutku kini menggigit puting kanannya. Sementara jari kiriku tetap mengocok lubang vaginanya. Semakin cepat kocokanku, semakin cepat pula gerakan pantat dan pinggulnya.

Permainan tangan kiriku kuhentikan dan kuarahkan kejantananku untuk memasuki liang vaginanya. Sebentar kemudian dengan mudah aku sudah menembus guanya yang panas. Pinggulku kugerakkan naik turun dan ia mengimbangi dengan memutar pinggulnya dan menaik turunkan pantatnya. Harumnya bunga melati sangat membantuku untuk lebih rileks namun sekaligus juga sangat menimbulkan gairah tersendiri. Kakinya yang masih memakai sepatu hak tingginya menjepit pahaku dan kadang dikangkangkan lebar-lebar. Kuciumi leher dan dadanya. Beberapa kali kugigit sampai meninggalkan bekas kemerahan. Aku akan menghujaninya dengan cupangan pada sekujur tubuhnya.

Bersambung . . . .




Komentar

0 Komentar untuk "A Taste of Honey 6 - The Party Must Over 1"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald