Lily Panther 12 Piala Bergilir - 4

0 comments

Temukan kami di Facebook
Keesokan paginya ketika kubuka mataku, kulihat Pak Napit sudah rapi bersiap untuk berangkat. Tak ada kesan capek dalam raut wajahnya, bahkan sepertinya tampak lebih ceria dibanding kemarin.
"Maaf Pak, aku terlalu lelap tidur" sapaku tergopoh gopoh beranjak ke kamar mandi.
"Kamu nggak usah ikut turun kalo masih ngantuk, ntar siangan aja pulang" katanya, aku tahu dia sudah terlambat menghadiri acara sarapan pagi.
"Nggak kok, aku cuma sikat gigi dan cuci muka"

Akhirnya tanpa mandi dan ber-make up aku mendampingi Pak Napit ke Coffe Shop.
"kamu tetap cantik meski tanpa make up" sapa Pak BAmbang ketika aku sudah berada diantara mereka.
Dengan mesra aku melayani Pak Napit selama sarapan, hal yang sama kulakukan pada Pak Bambang kemarin.
"Gimana tidurnya Pak, nyenyak?" tanya Pak Bambang, aku yakin dia sedikit cemburu.
"Tanya aja sama dia" jawab Pak Napit sambil mengunyah sandwich bikinanku, aku hanya menunduk malu.
"Melihat mata Lily yang masih cekung, aku bisa tebak bahwa kalian kurang tidur" goda Pak Ade.
"Jadi kesempatan kita terbuka untuk merebut piala dari Pak Napit" celetuk lainnya yang aku sudah lupa namanya.
Mukaku merah mendengar olokan mereka.

Setelah mencium pipi dan keningku, Pak Napit bergabung dengan rekan rekannya menuju Ciputra Golf Club (dulu masih bernama Citraland). Aku kembali ke tempat kost untuk melanjutkan istirahatku, vaginaku masih terasa sakit dan nyeri, hari ini kuputuskan untuk sementara tidak terima booking-an supaya tidak memperparah luka di vaginaku, apalagi bila ternyata pemenangnya kembali Pak Napit, tentu memerlukan stamina yang lebih prima. Semua itu harga yang harus kubayar atas kenikmaan yang kudapat dari Pak Napit, tapi aku sama sekali tak menyesalinya.

Kuhabiskan waktuku dengan beristirahat, menunggu tiba saatnya. Beberapa telepon masuk mengajak ketemu terpaksa kutolak dengan alasan lagi Mens. Selepas makan siang aku bersiap menuju ke Hotel Mercure, memenuhi sessi terakhir dari kesepakanku di akhir pekan ini. Sengaja kukenakan pakaian yang paling sexy yang baru kubeli kemarin, aku ingin membuat mereka terkesan di hari terakhir kunjungannya ke Surabaya. Ketika kuhubungi GM-ku, ternyata dia juga tidak tahu tentang acara terakhir ini, belum ada informasi lebih lanjut kecuali aku disuruh tunggu di Mercure.

Setiba di Mercure aku langsung cek ke receptionist, ternyata mereka belum datang juga padahal sudah hampir pukul 1 siang, terpaksa aku harus nunggu di lobby untuk waktu yang aku sendiri tak tahu. Menunggu adalah pekerjaan yang paling menjemukan, apalagi menunggu di tempat terbuka seperti lobby hotel ini, suatu pekerjaan yang paling kubenci selama ini. Ingin kutunggu di mobil saja tapi aku takut tidak bisa melihat kedatangan mereka, akhirnya kuputuskan menunggu di Coffe Shop. Kucari tempat yang strategis, tidak terlalu mencolok tapi bisa memandang langsung ke arah Lobby, agak susah karena jam makan siang begini cukup banyak tamu di Coffe Shop itu, untung aku mendapatkannya.

Secangkir teh hangat dan snack menemani penantianku. Sepuluh menit sudah berlalu, si GM ternyata tidak bisa menghubungi mereka karena HP-nya pada OFF, jadi aku harus memperpanjang penantian, menyesal aku tadi buru buru berangkat, mestinya kutunggu saja di tempat Kost menanti panggilan, toh tidak terlalu jauh letaknya.
"Lagi nunggu seseorang ya" suara dari samping mengagetkanku, ternyata si Doni, salah seorang langgananku yang royal memberi tip dan hadiah hadiah kecil.
"Eh kamu Don, ngapain disini, pasti juga sedang nunggu seseorang" jawabku menutupi kekagetanku.
"Sok tahu, aku lagi jemput temanku, dia baru datang dari Medan minta di antar ke Pasar Turi atau Kapasan, biasa kulakan" jawabnya sambil menghembuskan asap rokoknya ke arahku.
"Teman apa teman" godaku.

Kamipun ngobrol biasa seperti layaknya seorang teman, bukan seorang tamu, itulah kalau udah sering ketemu.
"Emang kamu janjian jam berapa?" tanyanya setelah sepuluh menit belum juga ada yang menghampiriku.
"Jam makan siang sih tapi nggak tahu kok belum datang, katanya masih main golf di Ciputra" jawabku terus terang
"Kita tunggu di kamar aja yuk, lumayan sepukul dua pukul" ajaknya nakal.
"Gila kamu, kalo tiba tiba dia datang gimana, lagian saru menyerobot punya orang" jawabku sambil mencubit lengannya.
"Kalo dia datang kan pasti telpon kamu, bilang aja masih di jalan atau apa kek, kan tinggal pindah kamar saja" dia mendesakku meskipun tak ada nada paksaan.

Aku terdiam, ucapannya ada betulnya juga sih, lagian aku tahu betul permainan dia di ranjang, biasanya tak lebih lama dari hisapan sebatang rokok kretek, aku mulai tertarik dan memperimbangkan tawarannya.
"Kalo ketahuan kan aku kehilangan order dan langganan" kucoba keseriusan tawarannya.
"Ya jangan ketahuan dong, tapi nggak usah khawatir, aku akan ganti kerugianmu, kayak nggak tahu aku aja".
"Bukan gitu maksudku, tapi jangan lama lama ya".
"Semakin kamu banyak bertanya semakin lama jadinya" jawabnya seraya berdiri menuntunku setelah merasa mendapat lampu hijau.
Setelah menyelesaikan pembayaran makanan dan minuman kami menuju ke kamar yang letaknya satu lantai di atas kamar Pak Napit.
Ternyata temannya yang punya kamar itu sedang mandi, tak mungkin memintanya menunggu di lobby.
"Ya udah, jangan keluar sebelum kupanggil" katanya sambil mendorong temannya ke kamar mandi.
Aku tertawa geli melihat tingkah mereka.

Untuk mempersingkat waktu segera kukeluarkan penis Doni dari lubang resliting celananya, aku langsung berjongkok mengulumnya, sekedar melumasi dengan ludahku. Dalam hitungan detik penis itu sudah menegang dan siap pakai. Hanya melepas celana Jeans, aku langsung telentang di ranjang. Akhirnya kurasakan kocokan pertama di hari itu dari Doni, yang menyodokku tanpa melepas pakaian sedikitpun. Tak seperti biasanya dia melakukan dengan singkat, kali ini ternyata berlangsung lebih lama dari dugaanku, bahkan kami sempat berganti posisi dogie sebelum akhirnya menyemprotkan spermanya di vagina yang sudah kusiapkan sejak pagi untuk kupersembahkan pada sang juara. Semua itu berlangsung tak lebih dari 7 menit.

Aku tidak bisa mencuci vaginaku karena ada teman Doni, kubiarkan spermanya menetes keluar dan hanya kuusap dengan selimut. Kubiarkan bagian bawahku telanjang beberapa waktu lamanya supaya lebih banyak cairan itu mengalir keluar dari liangku.
Sepuluh menit berlalu, masih juga belum ada kepastian. Doni rupanya sengaja menghukup temannya di kamar mandi dan tidak boleh keluar.
"Sekali lagi yuk, mumpung masih ada waktu" usul Doni melihat aku mondar mandir gelisah dalam keadaan tanpa celana sambil mengepulkan asap rokok.

Aku melotot protes tapi justru dia malah menarikku dalam pelukannya, kupalingkan wajahku ketika dia berusaha mencium bibirku, aku tak mau make up ku rusak karenanya, terlalu lama kalau harus memperbaikinya. Doni malah tertawa dan membalikkan tubuhku, mendorongnya hingga posisiku nungging menghadap ke meja, tanganku bersandar pada tepi meja. Dia bersiap untuk menyetubuhiku dari belakang, aku protes tapi tidak melawan saat penisnya menyentuh vaginaku. Saat Doni mulai mendorong masuk, handphone-ku berbunyi, segera aku berlari mengambilnya, terlepaslah penis yang sudah setengah jalan di vaginaku, kudengar sumpah serapah darinya tapi hanya kutanggapi dengan ketawa geli.

Mereka sudah diperjalanan, berarti paling tidak masih ada 15 menit sebelum sampai di hotel, masih cukup waktu satu babak lagi sebelum menyambut mereka di Lobby. Kudekati Doni yang duduk di sofa sambil mengelus penisnya, dia memandangku dengan penuh harap. Kuraih penisnya yang mulai lemas dan kukulum kulum sebentar hingga menegang. Semenit kemudian kami sudah berlayar menyeberangi lautan nafsu, dia mendayung dari belakang melanjutkan yang sempat terputus tadi. Diperlukan hampir 10 menit untuk mencapai seberang kenikmatan, sedikit lebih lama dari yang pertama tadi. Untunglah penis Doni masih dibawah rata rata hingga tak sampai memperparah lukaku.

Ketika kami berbalik, ternyata teman Doni sudah berdiri di depan kamar mandi, hanya mengenakan celana dalam, secara reflek aku menutupkan tanganku di selangkangan.
"Sorry, teriakan cewekmu tadi terlalu hot mengundang rasa penasaranku" katanya.
Kuambil bantal menutupi vaginaku dan kulewati dia masuk ke kamar mandi. Bukannya aku sok suci, tapi sudah prinsipku untuk tidak memamerkan tubuhku di depan orang yang bukan tamuku.

Setelah membersihkan diri dan menghapus sisa sisa jejak yang masih ada, kutinggalkan Doni dan temannya menuju ke Lobby.
Mereka datang hanya berselang beberapa menit setelah kedatanganku. Kulihat mereka masih sibuk menurunkan stick golf dari mobil ketika Pak Ade menghampiriku.
"Udah lama nunggu?" sapanya.
"Ya kira kira 10 menit" jawabku bohong.
"Pak Napit bilang kamu hebat di ranjang dan pintar oral" katanya pelan, aku kaget tak menyangka dia cerita ke teman temannya.
"Ih kok Pak Napit ceritain ke semua orang sih" ada nada protes.
"Cuma sama aku, dia kan anak buahku jadi akhirnya cerita setelah kudesak, aku jadi ingin sekali membuktikannya, sayang aku kalah, habis terlalu bernafsu sih".
"Kita ke toilet sebentar yuk" ajaknya, aku kaget dengan ajakannya, kutatap tajam matanya, dia serius.

Aku tak sempat menjawab karena rekan rekannya sudah datang, Pak Napit menggandengku menuju Coffe Shop. Aku hanya memesan minuman, sekedar menemani mereka makan siang. Sesaat kulihat Doni dan temannya melintasi meja kami, dia memandangku sambil tersenyum.

Pak Ade yang berada di seberangku memandangku dan memberi isyarat, aku tahu maksudnya tapi pura pura tak melihat, belum kuputuskan apakah menerima tawarannya atau tidak. Dia berdiri dan berbisik pada Pak Napit yang duduk di sebelahku, tangan Pak Ade mencolek pundakku memberi isyarat tanpa ada yang mengetahui, lalu dia pergi ke toilet. Aku bingung tak tahu harus berbuat apa.
"Permisi Pak, perutku tiba tiba mulas" bisikku ke Pak Napit.
Pak Napit memberikan kunci kamarnya tapi aku menolak.
"Di Lobby aja Pak, lebih dekat" jawabku buru buru berdiri seperti orang yang sakit perut.
Pak Ade sudah menuggu di depan toilet pria, senyumnya mengembang saat melihat kedatanganku, beruntunglah suasana di depan toilet itu tak ada orang.
"Tunggu sebentar masih ada orang" katanya.

Begitu orang itu keluar, buru buru kami masuk toilet Pria, masuk ke WC dan menguncinya. Aku duduk di atas closet, kubuka resliting Pak Ade yang berdiri di depanku dan mengeluarkan penisnya. Aku tak menyangka melakukan hal yang sama 2 kali berturut turut, kali ini lebih gawat, kulakukan di WC pria. Penis Pak Ade yang tegang dengan cepat meluncur mengocok mulutku, merusak lipstik dan make up wajahku. Gagal sudah memberikan yang terbaik pada sang juara, dua kali di dahului orang yang sebetulnya tidak berhak, ada perasaan bersalah. Pandangan Pak Ade tak pernah terlepas dari wajahku yang sedang mengulumya, dia tak berani mendesah, tangannya menjaMbak rambutku menambah rusaknya riasanku, dia seperti tak peduli.

Kulepas celana jeans-ku, aku nungging membelakanginya, kupentangkan kakiku lebar, tanganku tertumpu pada kloset. Penis Pak Ade sudah melesak di vaginaku beberapa detik kemudian, dia mengocokku langsung dengan tempo tinggi diselingi sentakan keras. Hampir saja aku menjerit, kugigit bibirku menahan kocokannya, tentu saja kami tak berani mendesah. Semakin cepat dan keras sodokannya, semakin kuat aku menggigit bibirku, tangannya sudah meremas remas buah dadaku, untunglah kaos yang kupakai tahan kusut, kalau tidak pasti akan terlihat kusut hanya di bagian dada.

Kudengar orang masuk ke toilet, kami terdiam sesaat menunggu dia keluar, penis masih tetap menancap. Sodokan teras menghantamku setelah orang itu keluar.
"Aahh" jeritku tanpa sadar yang segera ditutup tangan Pak Ade.
"Sstt" bisiknya, enak aja orang suruh diam tapi dia menyentak keras, protesku dalam hati.
Kugigit jari Pak Ade yang ada di mulutku.

Kini aku duduk di pangkuan Pak Ade, kami saling berhadapan, giliranku mengocoknya. Pak Ade menyingkap kaosku hingga ke dada, dilepasnya kaitan tali bra yang ada di depan dan langsung mengulum putingku sambil meremas remas. Aku hampir mendesah karenanya, kuhentikan gerakanku saat kudengar seseorang masuk tapi Pak Ade justru memperkuat sedotannya, kuremas remas rambutnya sambil menggigit bibirku menahan desahan. Tanpa menunggu orang itu keluar, aku memulai goyanganku, biar tahu rasa, pikirku. Tanpa kusadari aku semakin bergairah melayani Pak Ade dari yang tadi ogah ogahan, ternyata bercinta penuh ketegangan seperti ini menimbulkan sensasi tersendiri yang tak pernah kubayangkan.

Kami sudah tak pedulikan lagi apakah ada orang diluar atau tidak, toh tetap saja tanpa desah. Kudekap erat kepala Pak Ade di dadaku, aku sudah hampir mencapai klimaks, tak tahu bagaimana menghadapi klimaks tanpa jeritan kenikmatan, dan saat vaginaku berdenyut hebat aku hanya bisa menggigit bibir bawahku sambil mendekap kepala Pak Ade makin rapat, tak ada jerit kenikmatan.
Sesaat kemudian Pak Ade mengikutiku ke puncak, penisnya bergerak hebat di vaginaku, dia meremas buah dadaku makin kuat, kali ini kugigit jari tanganku sambil menerima semprotan sperma yang membanjir.

Kami keluar sendiri sendiri setelah keadaan aman, Pak Ade kembali bergabung dengan rekannya dan aku langsung pindah ke toilet wanita merapikan make up dan rambut. Aku kembali bergabung dengan mereka seperti tidak terjadi sesuatu, ternyata mereka sudah selesai makan, Doni dan temannya sudah tidak ada di mejanya.
"Maaf Pak, lama, abis mules banget sih" kataku setelah meninggalkan mereka mungkin sekitar 15 menit.
Pak Napit menggandengku menuju Lift, aku sudah siap untuk diserah terimakan ke sang pemenang.
"Oke, dengan ini aku serahkan piala bergilir, and the Lily goes to Pak Bambang again" kata Pak Napit menirukan pembagian Piala Oscar, sambil menyerahkanku ke pelukan Pak Bambang yang menyambut dengan mencium bibirku, lainnya bertepuk tangan.
Hilang sudah perasaan bersalahku karena telah memberikan tubuhku pada dua orang terlebih dahulu sebelum sang juara menikmatinya, karena dia telah pernah merasakannya.

Aku menatap mata Pak Napit dengan perasaan bersalah, mungkin karena "kuperkosa" tadi malam dia tidak bisa mempertahankan pialanya.
"Jangan kaget kalo kamu kembali ke Pak Bambang, selama ini belum pernah ada yang bisa mempertahankan pialanya 2 hari berturut turut, paling berpindah sementara seperti ini" kata Pak Napit seolah menjawab rasa bersalahku.
Sepertinya aku memang harus mondar mandir dari kamar Pak Napit kembali lagi ke kamar depan.
Mereka langsung check out dari hotel langsung pulang, hanya sang juara yang tinggal hingga last flight nanti malam merayakan kemenangan bersama pialanya.
"Kamu memang memberiku semangat bertanding yang luar biasa, karena kamu aku bertekad kuat untuk memenangkan di hari terakhir" kata Pak Bambang ketika kami di dalam kamar sambil memelukku.
"Ah Bapak bisa aja" jawabku membalas ciumannya.
"Kita mandi yuk, meneruskan yang telah terputus" ajakku sambil melepas celana dan kaosnya, sebenarnya aku ingin membersihkan tubuhku dari sisa sisa Pak Ade tadi.
"Kamu ini memang benar benar penggoda, maunya to the point" jawabnya sambil mencubit pipiku dan melepasi seluruh pakaianku tanpa sisa.

Kugandeng dia ke kamar mandi sebelum berbuat lebih jauh lagi, sambil menunggu air panas memenuhi bathtub aku duduk di kloset menghadap penis Pak Bambang yang setengah tegang, kuciumi dan kuusapkan ke wajahku. Pak Bambang mulai mendesis ketika lidahku menari di kepala penisnya dan semakin keras saat kukulum, persis seperti yang kulakukan dengan Pak Ade 20 menit yang lalu, hanya berbeda suasana. Pak Bambang memegang kepalaku lalu mengocok mulutku, tanpa kesulitan kumasukkan semua hingga ke pangkalnya, tidak seperti Pak Napit kemarin yang hanya mampu kukulum setengah saja.

Pak Bambang berlutut di depanku, diciumi pahaku.
"Jangan Paak" teriakku ketika Pak Bambang mau menjilati vaginaku.
Sebersih apapun aku mencuci pasti masih ada sisa dan bau sperma Pak Ade yang tertinggal, aku nggak mau dia menjilati sisa sisa sperma rekannya. Namun sayang, teriakanku tadi diterjemahkan lain olehnya, dikira aku teriak kenikmatan, dia malah memaksa membuka kakiku lebih lebar. Akhirnya kubiarkan saja dia menikmati lembabnya vaginaku, sambil berharap dia tidak terlalu sensitif mencium aroma sisa sperma. Lidahnya dengan lincah menyusuri lekuk sudut organ intimku, akupun mendesah nikmat, kuremas rambutnya dengan gemas, dia makin ganas menjilati tanpa ampun diselingi kocokan jari tangan yang bergerak gerak liar di dalam. Desahan nikmatku makin lepas.

Aku tak tahan dipermainkan seperti ini, kudorong tubuhnya hingga terduduk di lantai, aku langsung menyusul turun ke pangkuannya. Segera kelesakkan penis Pak Bambang ke vaginaku dan langsung mengocok dengan gerakan pinggul memutar, dia menyambut putingku yang sudah berada di depannya dengan kuluman gemas penuh gairah.
"Aagghh sshh ennaakk" desahku tanpa malu sambil mempercepat gerakanku.
Mulutnya bergerak lincah dari satu puting ke lainnya.
"Jangan dikeluarin dulu Pak, aku ingin yang lama" bisikku disela desahan kenikmatan, dia menjawab dengan pagutan di bibirku.

Bersambung . . . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Lily Panther 12 Piala Bergilir - 4"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald