Bu Lestari - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Kejadiannya 13 tahun yang lalu, saat aku masih kuliah disebuah kota S di P. Aku mempunyai teman satu angkatan satu jurusan Yon namanya, berasal dari kota W. Kami begitu lengketnya, study, ngobrol, jalan ngalor-ngidul, ngapelin cewek satupun sering bersama. Sampai kecewapun sering bareng-bareng. Yon si anak "bocor" tapi baik hati itu tinggal dirumah tantenya (yang biasa aku panggil Ibu Tari) yang hanya punya anak gadis semata wayang. Itupun begitu lulus S1 Manajemen perusahaan langsung dilibas habis kegadisannya sama pacarnya, dalam suatu perkawinan, terus diboyong ke Jakarta.

Tinggallah Ibu Tari ini bersama suaminya yang pengusaha jasa konstruksi dan trading itu dengan pembantu dan sopir. Kebetulan Yon ini keponakan kesayangan. Wajar saja dia suka besar kepala karena jadi tumpahan sayang Ibu Tari. Sampai suatu saat dia minta tinggal di luar rumah utama yang sebenarnya berlebih kamar, ya si tante nurut saja. Alasan Yon biar kalau pulang larut malam, tidak mengganggu orang rumah karena minta dibukakan pintu.

Ruang yang dia minta dan bangun adalah gudang di sebelah garasi mobil. Dengan selera anak mudanya dia atur interior ruangan itu seenak perutnya. Setengah selesai penataan ruang yang akhirnya jadi kamar yang cukup besar itu, sekali lagi Yon menawarkan diri agar aku mau tinggal bersamanya. Saat itu Ibu Tari, hanya senyum-senyum saja. Seperti dulu-dulupun aku menolaknya. Gengsi sedikitlah, sebab ikut tinggal di rumah Bu Tari berarti semuanya serba gratis, itu artinya hutang budi, dan artinya lagi ketergantungan. Biar aku suka pusing mikirin uang kost bulanan, makan sehari-hari atau nyuci pakaian sendiri, sedikitnya di kamar kostku aku seperti manusia merdeka.

Tapi hari itu, entah karena bujukan mereka, atau karena sayangku juga pada mereka dan sebaliknya sayang mereka padaku selama ini. Akhirnya aku terima juga tawaran itu, dengan perjanjian bahwa aku tidak mau serba gratis. Aku maunya bayar, walaupun uang bayaran kostku itu ibarat ngencingin kolam renang buat Bu Tari yang memang kaya itu. Toh selama ini aku menganggap rumah Bu Tari ini rumah kostku yang kedua, sebelumnya sering juga aku menginap dan nongkrong hampir setiap hari di sini.

Ada satu hal sebenarnya yang ikut juga menghalangiku selama ini menolak tawaran Yon atau Bu Tari untuk tinggal di rumahnya. Entah kenapa aku yang anak muda begini, suka merasakan ada sesuatu yang aneh di dada kalau bertatapan, ngobrol, bercanda, diskusi dan berdekatan dengan Bu Tari. Perempuan yang selayaknya jadi tante atau bahkan ibuku itu. Buatku Ibu Tari bukan hanya sosok perempuan cantik atau sedikitnya orang yang melihatnya akan menilai bahwa semasa gadisnya Bu Tari adalah perempuan yang luar biasa. Bukan hanya sekedar bahwa sampai setua itu Ibu Tari masih punya bentuk tubuh yang meliuk-liuk. Senyumnya, dada, pinggang, sampai ke pinggulnya suka membuatku susah tidur dan baru lega jika aku beronani membayangkan bersetubuh dengannya. Jika aku beronani tidak cukup kalau cuma keluar sekali saja.

Gejala apa ini, apakah wajar aku terobsesi sosok perempuan yang tidak hanya sekedar cantik, tapi berintelegensi bagus, penuh kasih dan nature. Buatku secantik apapun perempuan jika tidak punya tiga unsur itu, hambar dalam selera dan pandanganku. Seperti sebuah buku kartun yang tolol dan tidak lucu saja layaknya. Malangnya Ibu Tari memiliki semua itu, dan lebih malangnya lagi aku. Di bawah sadar sering aku diremas-remas iri dan cemburu jika melihat Ibu Tari berbincang mesra atau melayani Pak Bagong, suaminya. Begitu telaten dan indah. Gila!

Selama aku tinggal di rumah Bu Tari itu, pada awalnya semua biasa saja. Perhatian dan sayang Bu Tari kurasakan tak ada bedanya terhadapku dan Yon. Kupikir semua ini naluri keibuannya saja. Tetapi semua itu berjalan hanya sampai kurang lebih 4 bulan.

Di suatu malam dari balik jendela kamarku kulihat beberapa kali Ibu Tari keluar masuk rumah dengan gelisah menunggu Pak Bagong yang sampai jam 22.00 belum pulang. Sebentar dia kedalam sebentar keluar lagi, duduk dikursi, memandang kejalan dengan muka gelisah, membalik-balik majalah lalu masuk lagi. Keluar lagi. Kuperhatikan belakangan ini Ibu Tari begitu murung. Ada masalah yang dia sembunyikan. Senyumnya sering kali getir dan terpaksa.

Aku beranjak ke kamar mandi untuk pipis. Buku Nick Carter yang sejak tadi membuat penisku tegang kugeletakkan dimeja. Tapi begitu aku kembali ternyata Bu Tari sudah duduk di kursi panjang di kamarku memegang buku itu. Aku hanya meringis ketika Bu Tari meledekku membaca buku Nick Charter yang pas dicerita ah., eh., oh kertasnya aku tekuk. Sesaat setelah kami kehabisan bahan bicara, muka Bu Tari kembali mendung lagi. Dia berdiri, berjalan ke sana sini dengan pelan tanpa suara merapikan apa saja yang dilihatnya berantakan. Sprei tempat tidur, buku-buku, koran, majalah, pakaian kotor dan asbak rokok. Ya maklum kamar bujanganlah. Aku pindah duduk dikursi panjang lantas mematung memperhatikannya. Seperti tanpa kedip. Semua yang dilakukannya adalah keindahan seorang perempuan, seorang ibu.

Setelah selesai, sejenak Bu Tari hanya berdiri, melihat jam didinding lalu menatapku dengan mata yang kosong. Aku coba untuk tersenyum sehangat mungkin. Bu Tari duduk di sampingku. Mukanya yang tetap murung akhirnya membuatku berani bicara mengomentari sikapnya belakangan ini dan bertanya kenapa? Bu Tari tersenyum hambar, menggeleng-gelengkan kepala, diam, menunduk, menarik napas dalam dan melepasnya dengan halus. Sunyi. Seperti ingin to the point saja, Bu Tari menceritakan masalah dengan suaminya.

Seperti kampung yang diserbu provokator dan perusuh saja, otakku tercabik-cabik, terbuka. Hubungan Bu Tari dengan suaminya selama ini ternyata semuanya penuh kepura-puraan. Kemesraan mereka semu tak bernurani, bagai sebuah ruangan setengah kosong, dan setengahnya lagi sekedar keterpaksaan pelaksanaan kewajiban saja. Bu Tari berada di dalamnya. Suaminya tahu tapi seperti sengaja membiarkannya memikir, menghadapi dan menyelesaikannya sendiri. Menerima keadaan.

Entah karena kesepian, butuh orang sebagai tumpahan hatinya yang kesal dan rasa disia-siakan. Bu Tari menceritakan bahwa Pak Bagong sudah lama mempunyai istri simpanan di sebuah perumahan menengah pinggir kota. Tak pernah hal ini dia ceritakan kepada siapapun juga kepada anaknya sendiri Mbak Clara di Jakarta. Sama dengan kebanyakan istri-istri pejabat yang walaupun tahu suaminya punya simpanan perempuan, Bu Tari hanya bisa menahan hati. Konon katanya, justru sebenarnya banyak istri pejabat yang malah mencarikan perempuan khusus untuk dijadiakn simpanan suaminya sendiri, demi keamanan, "nama baik" dan jabatan. Biar si suami tidak asal hantam dan makan sembarang wanita. Toh, Istri tahu atau tidak, terima atau tidak, si suaminya dengan jabatan, uang dan kelelakiannya dapat melakukan apa saja pada perempuan-perempuan yang mau. Semua itu seperti permaisuri yang mencarikan selir untuk suaminya sendiri.

"Dia ingin punya anak laki-laki Win (Win nama palsu saya)" Begitu ucap Bu Tari malam itu. Matanya mulai berkaca-kaca. Dulu Bu Tari memang suka bercerita betapa inginnya dia punya anak laki-laki yang banyak. Dia suka menyesali diri kenapa Tuhan hanya memberinya satu anak saja.
"Apakah itu alasan yang wajar Win" Ucapnya lagi.
Kedua tangannya memegang tangan kananku dan matanya yang memelas lurus menatapku. Seolah meminta dukungan bahwa kelakuan Pak Bagong salah. Aku bingung. Mau ngomong apa, seribu kata aduk-adukan diotak hingga aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Diluar dugaanku, tangis Bu Tari malah meledak tertahan. Dia jatuhkan mukanya ke pundak kiriku. Aku bingung, tapi naluri lelakiku berkata dia teraniaya dan butuh perlindungan, hingga akhirnya tanganku begitu saja merengkuhnya. Bu Tari malah membenamkan wajahnya ke dadaku. Aku elus-elus punggungnya dan dengan pipiku kugesek-gesek rambutnya agar dia tenang. Kucium wangi parfum dari tubuh dan rambutnya.

Sesaat rasanya, sampai akhirnya Bu Tari menarik mukanya dan memandangiku dengan senyumnya yang gusar. Aku ikut tersenyum. Ada malu, ada rasa bersalah, ada pertanyaan ada kehausan di mata Bu Tari, dan ada yang menyesakan dadanya. Entah rasa sayang atau sekedar untuk menetralisir hatinya, aku usap air matanya dengan jariku. Bu Tari hanya diam setengah bengong menatapku. Hening. Sepi.

"Ibu bahagia sekali win kamu mau tinggal disini. Entah bagaimana rasanya rumah ini kalau tak ada kamu dan Yon. Sepi. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Mungkin ibu bisa mati sedih dirumah sebesar ini" Ucap Bu Tari pelan tertunduk murung.
"Kenapa Ibu baru menceritakannya sekarang?" Ucapku.
"Untuk apa?" Ucap Bu Tari menggeleng-geleng.
"Setidaknya beban Ibu dapat berkurang".
"Buat Ibu cukup melihat Kamu dan Yon ceria dan bahagia di rumah ini. Kalianlah yang justru membuat Ibu betah di rumah. Untuk apa Ibu harus mengurangi semua itu dengan masalah Ibu. Ibu sayang pada kalian". Ucap Bu Tari sambil memegang jari tanganku. Aku membalasnya dengan meremas jari jemarinya pelan.
"Kamu sayang pada Ibu kan Win? Tanya Bu Tari menatapku.
Aku menggangguk tersenyum. Bu Tari tersenyum bahagia. Lalu entah kenapa aku nekat begitu saja mendekatkan mukaku, mencium kening dan pipinya dengan lembut. Kulihat wajah Bu Tari yang surprise tapi diam saja.
"Bu Tari marah?" tanyaku.
Dia menggeleng-geleng dan malah balas menciumku, menyenderkan kepalanya miring di pundakku dan melingkarkan tangan kanannya di pinggangku. Kupeluk dia. Lama sekali rasanya kami saling berdiam diri. Tapi aku merasakan kedamaian yang luar biasa. Sampai akhirnya suara motor Yon yang katanya habis diskusi di kelompok studinya tiba dan suara pintu gerbang terbuka.

Sejak kejadian malam itu hubunganku dengan Bu Tari jadi kian aneh. Mungkin awalnya hanya sekedar memperlihatkan rasa sayang dan cinta layaknya seorang anak pada ibunya dan sebaliknya. Walau dengan diam-diam disetiap kesempatan yang ada kami saling tidak menyembunyikan semua itu. Bertatapan dengan mesra, bercanda dan saling memperhatikan lebih dari dulu-dulu.

Tapi seperti air yang tak diatur, semua mengalir begitu saja. Kian lama Bu Tari dan aku berani saling mencium. Cium sayang dan lembut disetiap kesempatan yang ada tanpa seisi rumah tahu Tapi kegalauan dihatiku tetap saja tak dapat kuingkari. Sering aku bertanya sendiri sayangku, cintaku, ciumanku dan pelukanku pada Bu Tari apakah manifestasi seorang anak pada sosok ibunya, atau seorang lelaki pada seorang perempuan. Hati dan otakku setiap hari dililit pertanyaan sialan itu. Begitu menjengkelkan.

Semua itu berjalan sampai tak dapat kuingkari bahwa birahi selalu mengikutiku jika aku berdekatan dan mencium Bu Tari. Selama ini aku berusaha menekannya. Tapi itu meledak di suatu sore yang sepi.

Semula aku hanya ingin meminjam koran yang biasanya tergeletak di ruang keluarga rumah utama. Tapi saat kulihat Bu Tari tengah berdiri menikmati ikan-ikan hias aquariumnya. Tiba-tiba aku ingin menggodanya. Aku berjingkat perlahan dan menutup kedua matanya dengan tanganku dari belakang. Ibu Tari kaget berusaha melepaskan tanganku. Aku menahan tawa tetap menutup matanya. Tapi akhirnya Bu Tari mengenaliku juga. Kukendorkan tanganku.
"Wiinn kamu bikin kaget ibu saja akh.." Ucap Bu Tari tetap membelakangiku dan menarik kedua tanganku ke depan dadanya. Bu Tari bersandar di dadaku. Kedua tanganku tepat mengenai payudaranya yang kurasakan empuk itu. Gelora aneh mengalir di darahku. Sementara Bu Tari terus mengomentari ikan-ikan di dalam aquarium, aku justru memperhatikan bulu-bulu lembut di leher jenjangnya Rambutnya yang lurus sebahu saat itu tertarik ke atas dan terjepit jepitan rambut, hingga leher bagus itu dapat kunikmati utuh. Aku berdesir. Kurasakan napasku mulai berat. Dengan bibirku akhirnya kukecup leher itu. Bu Tari merintih kegelian dan mencubit lenganku dengan genit.
"Hii. Jangan Wiinn akhh.., Merinding Ibu ah"

Dekapan tanganku di payudara dan dadanya makin kuat. Ketika kuperhatikan dia tidak marah dan tenang maka kuulangi lagi kecupan itu berulang-ulang. Kumis dan bekas cukuran di janggutku membuatnya geli. Tapi kurasakan tangan Bu Tari perlahan mencengkram erat di kedua jariku dan dia diam saja. Aku makin bernafsu. Ciuman, kecupan dan hisapan bibirku makin menjadi-jadi ke leher dan telinganya. Bu Tari mendesah memejamkan mata. Kepalanya bergerak-gerak mengikuti cumbuanku. Matanya terpejam dan napasnya menggelora. Kucari bibirnya, karena susah maka kuputar tubuhnya menghadapku dan langsung kusambar dengan bibirku. Kupeluk erat Bu Tari. Dia menggeliat membalas permainan bibirku. Kedua tangannya memegangi bagian belakang kepalaku seolah takut aku melepaskan ciuman bibirku. Kuremas-remas payudaranya dengan tangan kananku. Bu Tari melepaskan ciumannya lalu merintih-rintih dengan kepala terdongak ke belakang seolah memberikan lehernya untukku. Dengan bibirku langsung kuciumi leher itu. Tapi tiba-tiba Bu Tari setengah menghentakan badanku seperti tengah bangun dari mimpi dan shock dia berkata, "Ya Tuhan, Wiinn.., apa yang kita lakukan?"

Bu Tari menjauhiku dan menempelkan kepalanya ke dinding menahan hati. Akupun bisu. Hening. lama sekali. Aku kian gelisah. Aku ingin keadaan itu berakhir. Aku dekati Bu Tari, memeluknya lagi. Kata-kata cinta meluncur begitu saja dari mulutku. Semua itu membuat Bu Tari bingung. Menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlari masuk ke kamar menahan tangis.

Beberapa hari sejak kejadian itu Bu Tari tidak menyapaku. Dia selalu berusaha menghindariku. Aku bingung, aku takut dia marah. Aku takut dia menolak cintaku. Aku takut gila, mencintai ibu kost sendiri, istri orang dan perempuan yang jauh lebih tua dariku. Ditolak pula. Aku mulai murung. Tapi itu hanya lebih kurang dua minggu. Hanya sampai pada suatu malam, bulan jatuh dipelukanku saat Bu Tari lembut menyapaku dan tanpa bicara sepatah katapun menciumiku. Sejak dulu juga, jika dibalik ke"nature"annya sesekali kulihat kerling genitnya, adalah bukti bahwa sebenarnya sudah lama aku tak bertepuk sebelah tangan. Tapi Bu Tari takut bicara tentang cinta, bahwa dia sayang, merindukan dan membutuhkanku.

Selanjutnya kami selalu berusaha bersikap wajar di depan seisi rumah maupun tetangga. Satu hal yang pasti bahwa kami bisa dengan bebas saling bercerita tentang apa saja. Termasuk kebiasaanku beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya yang membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Sebaliknya dari Bu Tari aku tahu, bahwa suaminya Pak Bagong itu aneh, di ranjang bertempur tidak pernah menang tapi malah punya simpanan. Untuk mencapai orgasme jika bersetubuh dengan suaminya dia sering membayangkan bersetubuh denganku. Gila.

Bersambung . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Bu Lestari - 1"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald