Desah Nafas - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Entah karena sakit hati ditinggal kekasih, atau mungkin ada faktor-faktor penyebab lainnya. Yang pasti aku pun baru menyadarinya ketika akan berhubungan intim dengan seorang gadis remaja. Mulanya aku tak percaya. Tapi bagaimanapun juga, memang harus kuakui bahwa aku mengalami ejakulasi dini. Sebuah keadaan yang sangat memalukan di hadapan seorang wanita. Disaat wanita membutuhkan keperkasaan dari pasangannya, ternyata aku begitu loyo. Belum apa-apa, pertahananku sudah bobol, tanpa bisa dipertahankan lagi. Sungguh suatu penderitaan yang sangat berat. Namun aku tak berani untuk berkonsultasi kepada dokter. Kupendam saja kekuranganku, dan aku berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan diriku lagi.

Benar sekali. Mengembalikan diriku. Satu tahun sebelumnya, aku seorang laki-laki yang benar-benar normal. Bukan sekali dua kali, aku melakukan persetubuhan dengan kekasihku. Bahkan kekasihku selalu mendapatkan kepuasan dariku. Mungkin juga hal itulah salah satu yang menjadikan hubungan asmaraku berlangsung cukup lama, kurang lebih tujuh tahun. Sebut saja namanya Wiwi. Walau kini pada akhirnya menikah dengan laki-laki lain, namun kenangan yang tercipta dengannya, tak mungkin terhapus dari ingatan.

"Aa laki-laki yang perkasa"
Entah berapa puluh kali, Wiwi mengucapkan kalimat itu, seiap selesai melakukan sex. Apalagi kalau Wiwi bisa bisa mencapai dobel klimaks.

Bukan bermaksud menyombongkan diri, jika aku mengatakan: perkasa. Memang begitulah adanya. Gairah sex-ku selalu menggebu-gebu. Bukan hanya dengan Wiwi. Aku sering melakukan perjalanan ke luar kota. Dan hampir di setiap daerah yang kudatangi, dapat dipastikan aku bisa mendapatkan seorang gadis yang kusukai. Lalu kupacari. Selanjutnya lama kelamaan, menuju kepada jenjang atas ranjang. Sebut saja, aku tidak setia kepada Wiwi. Wajar sekali jika akhirnya Wiwi jatuh kepada pelukan lelaki lain, walau masalahnya bukan karena perselingkuhanku.

Aku tak merasa wajahku tampan, walau banyak yang mengatakan bahwa aku tampan. Kuanggap sebagai banyolan atau rayuan sandal jepit saja. Hanya perkataan seorang gadis China yang agak kupercayai.
"Darma, kamu gagah" Begitu katanya, ketika pertama kali berkenalan di sebuah kafe music.
Nn namanya. Seorang janda, yang usianya satu tahun dibawahku. Entah apa yang membuatnya begitu tertarik kepadaku. Sampai pada akhirnya, setelah bersahabat selama dua bulan, Nn pun bersimbah keringat tanpa busana, di sebuah hotel yang ada di wilayah Bandung. Dia begitu puas dengan permainanku. Kami mencapai klimaks berbarengan. Dan pengalaman itu pun merupakan yang pertama kalinya, aku melakukan hubungan sex dengan wanita bermata sipit.

*****

Suatu kali, aku pun pernah masuk ke sebuah lokasi prostitusi di wilayah Tanjung Sari - Sumedang (yang saat ini telah diratakan). Aku tertarik kepada seorang WTS yang tengah duduk di sebuah meja. Dia begitu cantik dan menawan. Mengajak kakiku untuk melangkah ke arahnya.

Senyum manis dari bibir merahnya, membuat gairah sexualku terangsang. Apalagi lekuk tubuhnya yang indah, begitu terlihat mencolok dengan pakaian ketatnya. Tanpa banyak basa-basi lagi, aku mengajaknya ke kamar. Tentu saja dia menganggukan kepala, sambil beranjak dari tempat duduknya. Tak lupa, dia pun membawa sebotol bir untuk dibawa ke dalam kamar.

Walau dia seorang WTS, namun aku sempat menanyakan dulu namanya. Entah palsu atau tidak, yang pasti dia mengaku bernama: Ayu. Bahkan dari perbincangan singkat sebelum memulai permainan, aku bisa mengetahui kalau Ayu itu seorang janda yang disakiti oleh mantan suaminya. Klasik. Tapi aku tak tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh, sebab aku sudah tak tahan lagi untuk memulainya. Kupeluk tubuhnya yang telah bugil itu. Beberapa menit, aku bergumul sambil bercumbu. Satu persatu, pakaianku mulai dibukanya. Ayu mengambil posisi di atasku. Sehingga dengan mudah, dia memapah penisku untuk langsung dimasukan ke dalam vaginanya yang telah basah. Kemudian menggoyangkan pantatnya turun naik, diiringi oleh suara erangannya yang menambah gairahku. Pompaannya semakin dipercepat. Sementara tanganku tak hentinya meremas sekujur tubuhnya. Walau susunya sudah tidak terlalu kenyal, namun mulutku tak mau melepaskan sedotan pada putingnya. Nafasnya makin tersengal-sengal. Sampai akhirnya dia menggulingkan tubuhnya. Walau hanya dengan isarat, aku pun bisa mengerti. Ayu meminta ganti posisi.

Aku memang lebih menyukai gaya konvensional. Aku berganti posisi di atasnya, seperti yang biasa kulakukan dengan wanita-wanita lain. Kumasukan penisku dengan mudah. Lalu kupompa dengan perlahan. Tangan Ayu menekan pantatku, sehingga aku tertantang untuk mempercepat gerakannya. Seandainya mulut Ayu tak kusumbat dengan bibirku, pasti suara erangannya akan terdengar dengan jelas. Betapa nikmatnya. Ayu ternyata begitu mahir menggoyangkan pinggulnya. Sampai akhirnya tangan Ayu memeluk tubuhku dengan eratnya. Bibirnya semakin ganas melumat serta menyedot bibirku. Bahkan tangannya berpindah ke rambutku. Menjambaknya dengan agak keras.

Kubiarkan Ayu mengalami orgasme lebih dulu. Aku begitu puas menyaksikannya. Ayu terkapar dengan nafas naik turun. Tangannya sudah tergolek. Keduanya matanya pun terpejam. Sementara aku masih berada di atas tubuhnya. Aku belum mau orgasme. Sehingga aku terus membenamkan penisku turun naik. Tak peduli dengan keadaan Ayu yang sudah tidak respon lagi. Sebab pemandangan seeperti ini, sudah sering kusaksikan, baik dengan Wiwi atau wanita lainnya. Dan memang tak jauh beda dengan Wiwi. Ayu pun diam saja, tanpa melayani, tetapi tidak menolak. Sampai beberapa saat kemudian, aku mulai akan mencapai puncaknya. Kupercepat gerakan pantatku. Kuremas tubuh Ayu dengan lebih keras. Ayu mengerang lebih keras. Kali ini kubiarkan saja. Kurapatkan tubuhku. Ayu mengerti. Dia pun memeluk tubuhku. Dan kugigit lehernya, sambil kupuncratkan maniku yang sudah tak tertahan lagi di dalam pagina-nya.

Aku bangga, bisa mengalahkan seorang WTS. Semakin PD saja. Aku yakin, memang aku perkasa. Ayu pun merasa puas. Dia berterimakasih banyak kepadaku. Entah rayuan atau apa, yang jelas dia mengatakan bahwa akulah tamu pertama yang bisa membuatnya orgasme. Walau begitu, Ayu tetap kubayar. Namun satu minggu kemudian dia menelponku. Dia mengajakku melakukannya di kamar kost-an. Kurang lebih tiga kali, aku melakukan sex di luar jam kerja Ayu. Tentu saja kali ini sangat gratis. Bahkan setiap kali aku ke kamarnya, pasti aku dijamunya.

*****

Itulah sekilas gambaran sosokku, sebelum mengalami masalah ejakulasi dini. Benarkah aku tampan dan gagah? Rasanya biasa saja. Kulitku sawo matang, hanya (mungkin) kelebihanku karena banyak ditumbuhi bulu-bulu pada tubuh. Kalau Tinggi hanya 175 M, dan berat 68 Kg. Masih banyak laki-laki yang lebih segala-galanya dariku. Tapi Aku merasa heran (sekaligus gembira), sebab banyak wanita yang tertarik pada sosokku. Tanpa sadar pula, hal itu membawaku pada sebuah predikat "fly boy". Walau aku tak suka dengan sebutan itu. Cinta kasihku yang tulus, hanya untuk Wiwi. Tapi gairah sexualku terlalu berlebihan. Yang menyebabkan aku ingin melakukan sexual dengan beberapa orang wanita. Tetapi di sisi lain, aku pun tak mau kehilangan Wiwi. Sehingga lumrah sekali, ketika Wiwi dijodohkan orang tuanya, aku begitu terpukul. Sakit hati. Menderita. Sedih. Semuanya berbaur dalam jiwaku.

Kepergian Wiwi dari hidupku, benar-benar membawa pengaruh yang besar. Aku menjadi enggan lagi berhubungan sexual. Sampai bertahan selama satu tahun, aku tidak pernah tidur lagi dengan seorang wanita pun. Disamping tak bergairah, ditambah dengan sikap keseharianku, yang selalu menghindar dari setiap perbuatan yang mengarah ke sana.

Tapi bagaimanapun juga, aku seorang penggemar sex. Lama kelamaan, aku merindukan lagi kehangatan tubuh wanita. Biasanya kalau aku terdesak, Wiwi selalu siap melayaniku. Tapi kini? Wiwi tak ada, dan aku ingin sekali melakukannya. Sampai pada suatu malam, ketika sedang berkhayal di kamar kontrakanku, tiba-tiba datang seorang kawan kuliah. Erik namanya. Dia datang bersama seorang gadis remaja. Kontan saja, aku langsung menanyakan latar belakang gadis yang dibawanya, setengah berbisik-bisik di luar kamar.

Menurut Erik, gadis itu bernama Nia. Baru dikenalnya selama satu bulan. Nia baru duduk di kelas 1 SMU. Usinya pun paling 16 tahun. Tapi kelihatannya sudah dewasa. Dia tidak terlalu cantik, tapi wajahnya manis. Tingginya hampir 170-an. Walau berpakaian longgar, namun aku bisa mengira-ngira bentuk tubuhnya yang montok. Gairahku bangkit, tatkala rok-nya tersingkap waktu duduk. Kulitnya begitu putih dan mulus. Kalau diibaratkan buah, Nia itu masih terlihat segar, dan akan begitu enaknya bila dimakan. Sayang sekali, dia begitu mesranya duduk dengan Erik. Membuatku tidak berani untuk mengganggunya.

Erik menyuruhku membeli rokok, sambil mengerdipkan matanya. Aku langsung mengerti. Walau berat rasanya, aku pun beranjak dari dalam kamar. Kutinggalkan Erik dan Nia berduaan. Dan aku tidak pergi ke warung. Buat apa, rokok masih ada. Aku memilih untuk duduk-duduk di depan kamar kontrakan. Untungnya para penghuni lainnya banyak yang keluar. Kalau pun ada satu dua orang, mereka lebih memilih diam di dalam kamar sambil nonton tivi. Terdengar dari volume suaranya yang cukup keras.

Lama kelamaan, aku merasa penasaran dan tertarik untuk ngintip kawanku melalui lubang kunci. Aku bangkit, dan melangkah perlahan-lahan menuju pintu. Setelah keadaan kuanggap aman, maka aku pun mulai berjongkok dan mendekatkan mukaku pada lubang kunci. Benar sekali, tak jauh dari perkiraan. Erik sedang bergumul dengan Nia dalam keadaan telanjang bulat. Rupanya Erik pun lebih menyukai gaya konvensional. Dia berada di atas Nia, dengan pantat yang turun naik. Tak kulihat wajah Nia, sebab terhalangi tubuh Erik. Hanya tangannya yang melingkar pada punggung Erik. Sama dengan kedua ujung kakinya yang menyilang di atas paha Erik.

Sungguh tak kuasa menahan gejolak keinginanku. Aku semakin terbawa oleh suasana di dalam kamar. Sampai aku pun tak sadar, kalau tetangga kontrakanku sedang memperhatikan di depan pintunya.
"Lagi apa, Kang Darma?" begitu katanya, membuatku benar-benar terperanjat.
Untung saja aku cepat-cepat melakukan tindakan improvisasi.
"Ini kuncinya hilang, Teh" jawabku, setengah berdebar-debar.
Dia adalah Teh Ana. Walau hubunganku baik-baik, namun aku khawatir kalau-kalau Teh Ana melaporkan pada Si Ibu Kontrakan.
"Mungkin jatuh di jalan" Kata Teh Ana lagi, sambil mengulaskan senyumannya.
"Kalau mau minum kopi, di sini aja dulu" Teh Ana menawarkan jasa.
"Kang Didi-nya sudah pulang, Teh?"
"Belum"
"Enggak, ah. Malu" Ucapku sambil tetap berlagak mencari-cari sesuatu.

Aku memang agak risih juga kalau berhadapan dengan Teh Ana. Usianya satu tahun di atasku. Sudah hampir dua tahun menikah, namun belum dikarunia seorang anak. Terkadang aku pun suka tergiur oleh kemolekan tubuhnya. Namun aku berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja. Disamping suaminya selalu bersikap baik, aku pun menjaga imej. Walau kuakui, gairah sexualku suka langsung menggebu-gebu, kalau memandang bentuk tubuh Teh Ana yang sexi. Aku tak berani menggodanya. Takut berakibat buruk bagiku. Sukur-sukur kalau Teh Ana mau diajak selingkuh. Kalau tidak? Bisa fatal akibatnya.
"Saya mau nyari dulu ke warung. Kali aja ketinggalan di sana" Kataku sambil melangkah, meninggalkan Teh Ana yang masih berdiri di depan pintu.
Aku memang pergi ke warung. Tapi bukan mencari kunci atau membeli rokok. Aku malah membeli sebotol bir.

Pulang dari warung, pintu kamar Teh Ana sudah tertutup lagi. Tak lama kemudian, kulihat pintu kamarku juga terbuka. Erik keluar sambil tersenyum-senyum sendiri, dengan wajah yang cerah. Lalu dia menghampiriku.
"Kamu mau?" begitu katanya, setengah berbisik.
"Sialan" jawabku, sebab perkiraanku Erik mengajak bercanda atau sengaja memanas-manasiku.
"Ini serius" Katanya lagi dengan penuh keyakinan. Tentu saja hatiku mulai berdebar-debar.
"Bener?" Aku mau meyakinkannya. Erik menganggukan kepala sambil tersenyum.
"Emangnya dia cewek bispak?" Aku masih bertanya lagi.
"Bukan sih. Tapi kalau mau, coba aja"
"Dianya mau?"
"Coba saja kataku juga. Aku mau nyari nasi goreng dulu ah" Erik berlalu dari hadapanku.
Tentu saja aku semakin mendapat angin. Walau agak ragu, namun aku melangkah ke depan pintu. Kudorong perlahan-lahan.

Nia masih terbaring di atas kasurku. Pakaiannya berserakan di lantai, tetapi sekujur tubuhnya ditutupi oleh selimut. Dia menatapku dengan pandangan yang penuh tanda tanya. Sikapnya terlihat kikuk, ketika mengetahui aku yang masuk ke dalam kamar.

"Mana A Erik?" Tanya Nia.
"Lagi ke warung dulu, tuh" Aku mencoba bersikap tenang.
Kuletakan botol bir di atas meja. Lalu kubuka dan kutuangkan sebagian isinya pada sebuah gelas.
"Mau minum?" Aku memancingnya.
Tapi Nia hanya menggelengkan kepala. Kutatap wajahnya dengan penuh perasaan. Namun Nia tampak seperti yang ketakutan. Membuat aku bingung dibuatnya. Kucoba mencari jalan, dengan meneguk bir sampai habis satu gelas penuh.

Nia bangkit tanpa melepaskan selimut penutup tubuhnya. Tangannya menuju ke arah lantai, untuk memungut pakaiannya. Tentu saja aku kecewa. Padahal nafsu birahiku sudah begitu menggebu-gebu. Dan ketika kulit punggungnya terlihat oleh kedua mataku, sungguh tak dapat ditahan lagi. Nafsuku memuncak. Kuhampiri Nia, sekaligus pula kupeluk tubuhnya. Nia nampak begitu kaget. Dia reflek meronta-ronta, ingin melepaskan diri.

"Jangan, A" suaranya tertahan.
Untung sekali dia tak berani berteriak. Membuat aku semakin ganas menggerayangi tubuhnya. Kututup bibirnya dengan ciuman. Dia masih meronta-ronta sekuat tenaga. Kedua tangannya berusaha mendorong dadaku. Namun walau bagaimanapun, aku tak mungkin bisa menghentikannya. Tenagaku lebih kuat. Hingga selimutnya telah kulepaskan dari tubuhnya. Tangan kiriku juga cukup cermat membuka celanaku dengan cepat. Dalam sekejap, tubuh bagian bawahku sudah telanjang bulat.
"A, jangan. Nanti ada A Erik" Nia berusaha menyadarkanku.
Namun tak ada pengaruhnya sama sekali. Tanganku berganti posisi. Tangan kiri kulingkarkan pada lehernya. Sementara tangan kanan menuntun kemaluanku untuk masuk ke lubang vaginanya. Kubiarkan kedua tangannya mencakar dan memukul-mukul tubuhku.

Aku begitu kaget, ketika penisku baru menyentuh bagian luar vaginanya, tiba-tiba ada sebuah desakan pada penis-ku. Tak bisa kutahan. Aku mau mengalami orgasme. Sehingga aku cepat-cepat menggulingkan tubuhku, dan menumpahkan maniku ke atas kasur sambil telungkup. Tak kuberi tahu kepada Nia, kalau aku telah orgasme. Nia tak beranjak. Dia menitikan air matanya. Aku pun memungut lagi celanaku, dan memakainya.

"Trimakasih, A. Ternyata Aa bisa mengendalikannya" begitu kata Nia.
Membuat hatiku merasa lega. Nia mengira, aku telah berusaha mengendalikannya. Padahal sebenarnya aku mengalami kejadian yang sangat pahit, dan baru pertama kalinya kualami semasa hidupku. Mulanya aku tak percaya. Tapi ini nyata. Aku sangat lemah. Bahkan teramat lemah. Loyo. Teramat loyo. Kenapa aku tidak perkasa lagi? Betapa tak berartinya aku sebagai laki-laki. Memang di satu sisi, aku tidak jadi "Memperkosa" seorang wanita lugu. Namun di sisi lain, aku merasa khawatir dengan keadaanku.

Bersambung . . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Desah Nafas - 1"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald