Bumbu rahasia - 4

0 comments

Temukan kami di Facebook
Jupri melangkah memutar, lalu tanpa kusadari, ia sudah menarik kerah bajuku.
"Bangsat kamu..!" sentaknya, "Apa sih yang ada dalam otakmu..!"
Dengan gusar kutepis lengannya. Kubuka pintu dan melompat keluar. Jupri menggeram saat kutekan dadanya hingga punggungnya menempel di kap mobil.
"Bangsat juga..! Kamu pikir aku apamu, heh..!" teriakku di wajahnya.

"Aku tahu kamu temanku," lanjutku dengan nada marah, "Tapi jangan seenaknya main tarik baju. Aku bisa membuatmu terkapar di sini karena itu, tahu..! Tahu tidak..? Aku tidak mau tahu tentang kamu dan Moogie. Itu sudah untung bagimu, mengerti..?"
Wajahnya masih berkerut saat menatapku. Tapi ia tidak mengatakan apapun. Sambil mendengus kulepaskan tindihanku dan membetulkan bajuku. Jupri hanya memandangku saat aku masuk ke dalam mobil.

Aku terjebak kemacetan beberapa saat kemudian. Pikiranku tambah kacau. Emosiku meledak sampai ke ubun-ubun. Betapa ingin aku menghajar si sapi itu. Memukul hidungnya dan mematahkan lengannya, seperti orang-orang bodoh yang mencari perkara denganku waktu aku masih sekolah. Dan mobil itu.
"Hey, Bangsat..! Jangan mepet-mepet..!" aku membuka jendela dan berteriak.

Ibu setengah baya yang mengenakan jilbab itu mengelus dadanya, lalu memutar setir menjauhi mobilku. Aku mendengus sebal. Ada-ada saja, pikirku. Seketika leherku terasa berdenyut kembali. Aku merogoh laci dashboard dan mengeluarkan sekotak rokok. Saat itu aku melihat syal merah yang diberikan Moogie padaku dua hari yang lalu. Kututup laci itu cepat-cepat. Kukeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Hawa dingin membuatku sedikit lega. Kuletakkan kepalaku pada setir mobil.

Apa yang sudah kulakukan tadi? Aku benar-benar kacau, pikirku dalam hati. Hanya gara-gara satu orang wanita. Apa..? Aku cemburu..? Aneh..!
"..kamu sebaiknya melupakan gadis itu," kata-kata Krista mengiang kembali di benakku.
Iya, pikirku, aku akan melupakannya setelah ini.

Kupejamkan mataku, lalu membayangkan telunjukku menekan tombol 'delete'. File-file beterbangan masuk ke dalam recycle bin. Membayangkannya membuatku geli. Kok recycle bin..? Tidak, permanently deleted saja. Tengah aku asyik berimajinasi, handphone-ku berbunyi.

"Ray..?" aku mendengar suara seseorang menyapaku.
"Siapa..?" tanyaku kemudian.
"Aku, Jupri."
Huh, aku mendengus, "Ada apa lagi..?"
"Aku hanya mau bilang sesuatu, sebelum aku.. bukan.. kami semua membencimu."
"Kami..?" tanyaku seraya menegakkan tubuh.
Bagus, pikirku dalam hati, kali ini Moogie sudah membawa masalah tentang aku dan dia ke kantor. Besok semua akan mencibirku dan mengatakan aku penjahat kelas kakap, selain Tommy.

"Itu nanti. Kamu harus tahu, Ray. Kami memang tahu masalah tentang kamu dan Moogie. Bukan dari dia, kalau kamu mengira demikian. Kami tahu dari kesimpulan kami sendiri. Dan kamu tahu? Bangsat..! Bajingan kamu..! Aku dan Moogie tidak ada apa-apa, tahu tidak..? Heh..! Kamu dengar..? Tadi kami hanya keluar bersama. Dan kamu tahu untuk apa..? Sebaiknya kamu dengar ini baik-baik, Sobat. Kamu akan ulang tahun bukan..? Bulan depan, kan..? Tadi Moogie mengajakku ke mall, untuk menanyakan, apakah kamu akan suka dengan jaket kulit yang akan dihadiahkannya padamu. Ia ingin menabung untuk membelikan jaket sejuta rupiah itu padamu. Itu saja. Kamu memang bajingan. Aku menyesal kenal denganmu..!"

Aku terpana. Aku benar-benar tidak mengira.
"Jup..? Jup..?" kupanggil-panggil namanya, tapi tidak ada sahutan.
Aku menarik handphone dan melihat tulisan 'call end' pada layar LCD. Brengsek, pikirku dalam hati. Apa yang sudah kulakukan? Aku menekan klakson mobil berulang-ulang. Pengemudi di depanku melongok ke luar jendela dengan pandangan gusar.

Bangsat, makiku dalam hati. Aku melirik ke samping kiri dan kananku untuk mencari celah. Aku harus kembali ke kantor. Sesegera mungkin..! Beberapa orang membunyikan klakson saat aku membanting setir. Tanganku keluar dari jendela, melambai setiap aku membelok. Gayaku saat itu persis seperti pengemudi bajaj di Jakarta. Sasak sana, sasak sini.

*****

Saat aku membuka pintu kantor, dua puluh menit kemudian. Hanya keremangan yang menyambutku. Tidak ada seorang pun. Aku mengerang seketika.
"Ruang lembur..!" desisku, melihat satu-satunya jendela yang bercahaya.
Aku membuka pintunya dan kulihat di dalam ruangan ada Jupri dan Jodi. Jupri hendak menghampiriku dengan wajah gusar, saat Jodi menahannya.

"Ayo, Jup. Kita keluar saja," Jodi berkata seraya menggandeng lengan Jupri.
Tatapan mata Jupri saat melewatiku membuatku terpaksa menundukkan kepala. Jodi yang melangkah di belakang Jupri menepuk pundakku.
"Ray, jangan bertingkah seperti anak kecil. Oke..?"
Aku mengangguk, tidak berani menatapnya. Aku merasa begitu malu.

Kudengar suara pintu ditutup di sebelahku. Kuangkat kepalaku dan memandang ke seputar ruangan. Tidak ada siapa-siapa. Hanya beberapa meja kursi, komputer, dan file cabinet.
"Moogie..?" panggilku, "Kamu di sini..?" Tidak ada sahutan.
"Moogie.. maafkan aku," ucapku pelan.
"Moogie sudah tak ada. Dia sudah pulang," seseorang menyahut.

Aku memandang lagi ke sekelilingku. Tapi tidak ada siapa-siapa. Aku melangkah melewati beberapa meja. Dan aku menemukan gadis itu. Ia meringkuk di bawah meja. Mirip bayi. Kedua lengannya memeluk lutut. Bibir bawahnya tergigit. Ia menatapku dan dapat kulihat basah di pipinya. Aku berjongkok di dekatnya, lalu duduk dengan menyelonjorkan kakiku.

"Maaf..," bisikku padanya.
Saat aku menoleh, kulihat Moogie menempelkan wajahnya ke lipatan tangan.
"Aku heran dengan kamu, Ray. Kamu suka sekali ya, membuat gadis-gadis menangis? Apakah kamu puas melihatnya?"
Aku terdiam mendengar kata-katanya.

"Ray..," lanjutnya, "Aku tetap berusaha mengerti kamu. Aku tahu kamu berduka tentang hubunganmu yang kandas dengan Enni. Aku tahu kamu menderita saat mengetahui Qra sudah meninggal. Aku tetap berusaha untuk ada di sisimu. Setiap saat. Ada kala kamu membutuhkanku. Tapi kamu.. kamu suka benar membuatku menangis. Tertawa. Lalu menangis lagi. Aku bingung, Ray. Bingung sekali. Apa yang kurang dariku..? Aku sudah begitu menyayangimu. Atau mungkin aku tidak seperti yang kamu harapkan? Sehingga muncul rasa takutmu untuk terus bersama denganku?"
Aku mendengar semua kata-katanya dengan perasaan tidak karuan.
"Aku..," ucapku terbata-bata, "Aku.. bingung."

"Kamu tahu, Ray," Moogie melanjutkan kata-katanya, "Waktu kamu mengirimiku cerita tidak karuan, tentang kamu menjadi gila dan sebagainya itu. Aku merasa sakit hati, Ray. Begitu sakit. Kamu bahkan menuliskan di situ, betapa aku menyayangi kamu. Bahkan sampai detik terakhirmu. Tapi kenapa justeru kamu meninggalkanku? Aku heran akan semua ini, Ray. Aku juga heran kenapa aku masih tetap bertahan untuk terus menyayangimu. Begitu pula sejak kejadian kemarin lusa. Gadis normal mungkin akan menjerit dan bersumpah tak mau mengenalmu lagi. Tapi lihatlah aku. Aku bahkan menyempatkan diriku untuk pulang dan memasak untukmu."

"Hentikan..," desisku.
Aku tidak mau mengingat potongan paha bebek yang sudah mendekam di tong sampah itu.
"Tidak..," aku mendengar Moogie berkata setengah menjerit, "Aku ingin kamu menyadari kegilaanmu. Dan aku juga ingin mengatakan sesuatu yang sudah lama kutekan-tekan dalam hatiku. Iya, Ray..! Kamu orang terbodoh sedunia yang pernah kutemui. Selain itu, kamu juga orang paling pengecut yang pernah kukenal. Orang pengecut yang takut akan cinta. Di benakmu hanya ada cinta, kebencian, dan pengkhianatan. Kamu memukul rata semua orang. Termasuk aku, Ray. Aku..! Bayangkan..!"

Sampai di situ tangisnya meledak. Aku dapat mendengar ia terisak dan tersedu.
"Moogie..," desahku memanggilnya, "Apa yang harus kulakukan..?"
Gadis itu mengangkat kepalanya. Air mata membasahi wajahnya.
"Tidak ada," isaknya, "Tinggalkan saja aku. Itu kan keinginanmu? Tenang saja, Ray. Aku bukan Qra yang histeris saat keperawanannya hilang. Aku akan tetap mendekam di sini. Dengan atau tanpa kamu. Aku akan bertahan untuk hidup. Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja, sesegera setelah kamu pergi dari sini. Aku masih punya teman. Ada Jupri dan Jodi. Ada Lidia, Hasan, Freddy, dan yang lain-lain, yang akan menemaniku."

Aku menarik napas panjang.
"Ya, sudah," ucapku lirih.
Lalu aku bangkit berdiri, dan melangkah menuju pintu keluar. Saat kubuka pintu, kulihat Jupri dan Jodi sudah menunggu di luar. Kudengar Moogie mengerang dari dalam ruangan. Jupri langsung turun dari atas meja, kukira ia hendak menjotosku.
"Tahan..!" seruku seraya mengacungkan telunjuk. "Jangan ikut-ikut..!"
Kulihat Jodi juga menahan pundak Jupri.

Aku membalikkan tubuhku dan melangkah menuju pintu keluar. Saat itu leherku terasa benar-benar nyeri. Sampai di depan pintu keluar, kupejamkan mataku.
Kruk.. krukk..
Aku membuka mata saat mendengar perutku berbunyi.
Aku tersenyum dan mengelus perutku, "Kenapa..?" bisikku, "Kamu lapar..?"
Kruk..
Kututup mataku yang sudah mulai berair. Lalu aku tertawa terbahak-bahak.

Jupri dan Jodi menatapku dengan heran saat aku kembali. Aku melangkahkan kakiku menuju ke kompartemen Moogie. Lalu kuraih kotak makanan di laci bawah. Saat kubuka, aroma bebek panggang membuat perutku kembali berbunyi. Kututup lagi kotak itu dan berbalik. Kulangkahkan kakiku mendekati Jupri dan Jodi.
Kutepuk pundak Jupri dan berkata, "Kalian pulanglah. Dan.., thanks."
Jodi mengangguk sambil tersenyum. Jupri membalas menepuk pundakku. Kutinggalkan mereka dan masuk ke dalam ruang lembur.

"Dia sudah pergi..?" aku mendengar suara lirih gadis itu bertanya.
Aku melangkah mendekat dan berjongkok di dekatnya. Gadis itu memandangku dengan terheran-heran.
"Kamu.. belum pergi juga..?" ia bertanya. Suaranya serak.
Kugelengkan kepalaku.
"Hey, kamu..!" ucapku, "Iya. Kamu..! Selonjorkan kakimu..!"
Gadis itu menatapku dengan tatapan bertanya. Tidak sabar, kutarik pergelangan kakinya dan menariknya keluar. Moogie memekik kecil.
"Ngapain kamu..?"

Kutarik kakinya sampai lurus, lalu aku menidurkan tubuhku dan membaringkan kepalaku di pahanya. Kusodorkan kotak makanan itu padanya.
"Aku lapar," kataku sambil tersenyum. "Kamu mau suapin aku..?"
Kulihat gadis itu menutup mulutnya. Lalu air matanya kembali mengalir.
"Nanti kamu akan membuatku menangis lagi," kudengar ia berbisik lirih.
"Cerewet..!" tukasku, "Suapin saja. Aku akan pergi kalau kamu tidak mau."
Moogie tertawa sambil terisak.

Ia lalu meraih kotak makanan itu. Kupejamkan mataku saat ia menyuapkannya ke mulutku.
Kruk.. krukk..
"Aku jatuh cinta," bisikku, "Dan aku akan membiarkannya demikian. Berterima kasihlah pada perutku. Karena ia tak kuat menahan bumbu cintamu."
Kurasakan kecupan Moogie di dahiku.
"Kalau begitu aku akan membuatmu jatuh cinta setiap hari."
Aku percaya itu. Kulemaskan otot-otot kaki hatiku. Baru kusadar betapa lelahnya berlari.

TAMAT




Bumbu rahasia - 3

0 comments

Temukan kami di Facebook
Setelah aku selesai menceritakan semuanya, hatiku terasa lebih lega. Krista menatap gelasnya sebelum ia mulai berkata-kata.
"Kalau melihat dari sisi gadisnya sih, mungkin benar seperti yang aku katakan tadi. Ia sudah paham kalau kamu akan meninggalkannya. Lalu apa salahnya denganmu? Kukira kamu hanya terlalu angkuh untuk melakukan sesuatu yang kamu anggap merendahkan martabatmu. Kamu itu dari dulu tetap saja bodoh. Heran aku."
Aku menundukkan kepalaku saat mendengar kata-katanya.

"Aku hanya takut, mungkin."
"Iya..!" mendadak nada Krista terdengar lebih tegas, "Kamu memang pengecut. Aku tahulah semua masalahmu, Ray. Dari Enni sampai ke yang lain-lain. Kamu hanya takut kalau dirimu jatuh cinta. Sayang sekali aku tidak ada di situ. Coba kalau aku ada, sudah kutonjok hidungmu, memukul pantatmu dan menyuruhmu mengejarnya."
Aku tertawa terbahak-bahak.

"Aku memang ingin melakukannya. Ingin sekali," ucapku, "Tapi.."
"Tapi kamu terlalu sombong, dan kamu takut untuk terikat, begitu kamu bisa membawanya kembali dalam kehidupanmu. Begitu kan?"
Aku terdiam. Perlahan aku menganggukkan kepala. "Kurasa begitu."
"Ya sudah," Krista berkata, "Lupakan saja gadis itu. Cari gadis lain. Gampang, toh?"
"Tapi masaknya enak, Kris. Yang lain tidak enak semua."
Krista tertawa terbahak-bahak. "Kamu memang tak pernah serius. Penyakit."
Aku ikut tertawa. Tapi tawaku berubah menjadi kediaman seketika.

"Speak of the devil..," desahku.
Napasku tercekat sampai ke tenggorokan saat aku melihat gadis itu di depan etalase toko. Krista di sampingku menoleh.
"Siapa, Ray?" ia bertanya.
Tapi aku tidak memperhatikan Krista. Pandanganku tertuju pada seorang pria yang tampak berlari-lari ke sisi gadis itu.
"Jupri..?" ucapku, seolah bertanya pada diriku sendiri.
Krista menyentuh bahuku, "Ray..? Siapa, Ray? Gadis itu..? Jupri..?"
"Sshh..!" bisikku seraya menepis lengannya.

Pandanganku terpaku pada kedua sosok itu. Moogie, masih dengan setelan merahnya, tampak tertawa-tawa. Wajahnya kelihatan begitu gembira. Sementara di sebelahnya, kulihat Jupri menggaruk-garuk kepalanya. Mereka saling berbicara di depan etalase, lalu tidak berapa lama kemudian mereka berdua berbalik lalu melangkah.

"Sial..!" ucapku lirih, "Kenapa si Jupri..?"
Sosok kedua orang itu menghilang di balik sudut toko. Aku memalingkan wajah. Kulihat Krista melipat lengan di dadanya dengan tersenyum simpul.
"Kenapa, Ray..? Itu ya, gadisnya? Si Moogie itu? Lalu, cowok yang di sebelahnya..?"
"Itu Jupri," desahku seraya menatap gelas yang nyaris kosong.
"Jupri siapa..?" tanya Krista.

Entah kenapa saat itu aku ingin mengatakan 'Jupri, sapi gendut dari blok tiga, pegawai rendahan yang hanya bergaji tiga ratus ribu itu, yang kukira teman, ternyata menyambar ga..' lidahku terasa kelu seketika. Moogie bukan gadisku lagi. Saat ini ia bebas untuk segala sesuatu. Tapi Jupri..?

"Ray..? Kamu tidak apa-apa..?"
Aku mengangkat wajah dan menatap Krista, kucoba untuk tersenyum.
"Tidak, tidak apa-apa."
Krista mendiamkanku beberapa saat.

"Kris..," aku memanggilnya. Gadis itu mengangkat alisnya.
"Apa..?"
"Aku mau bercinta. Make love yuk..!"
Krista tertawa terbahak-bahak, "Kamu tuh ya..! Nggak ah, aku masih mau kembali ke kantor. Tugasku masih banyak. Ray..! Hey..! Dengarkan aku..!"
"Sebodo apa," sahutku. Lalu aku memanggil pelayan.

Entah bagaimana, akhirnya aku dapat menyeret Krista ke tempat tidur sore itu. Aku tidak dapat membayangkan wajah Pak Herman ketika aku tidak kembali ke kantor. Biarlah, lagipula aku lagi ruwet. Krista juga tidak menunjukkan perlawanan yang berarti ketika aku membawanya pulang ke rumah. Ia hanya meminjam handphone-ku untuk mengatakan beberapa instruksi pada anak buahnya di kantor. Kami bergulat liar sore itu sampai bermandi keringat.

"Sinting kamu..! Iblis..! Setan..!" kudengar Krista memaki sambil terengah.
Aku membuang tubuhku ke samping, lalu menatap langit-langit kamarku. Napasku masih memburu. Apa yang barusan kulakukan. Demi Tuhan, aku bercinta dengan membayangkan Moogie di bawahku! Gila..!

"Ray..? Kamu tidak apa-apa..?" lagi-lagi Krista bertanya demikian.
Gadis itu memiringkan tubuh dan mengusap dadaku dengan jemarinya.
"Terus terang," lanjutnya, lalu sambil tertawa, "Aku kangen sama gayamu yang liar tadi."
Aku tersenyum. Kurasakan napasnya menggelitik leherku.
"Kris..," desahku menyebut namanya, "Aku kebingungan."
"Kenapa..? Kamu masih mencintainya..?" tanya Krista, "Ups.., sori. Kamu tak pernah jatuh cinta, kan..?"
Aku menggelengkan kepalaku dan memejamkan mata.

"Kurasa aku mencintainya. Itu yang membuatku sedih."
Kudengar Krista tertawa. Gadis itu lalu meletakkan kepalanya di dadaku.
"Sekarang aku mendengar degup jantung Ray. Hmm.., dia jujur."
Aku tersenyum dan mengusap pipi gadis itu, "Iya, aku jujur. Sampai bingung mau ngapain lagi."
"Kasihan. Dan mungkin sudah terlambat ya, Ray, untuk menariknya kembali."
Aku menghela napas dalam-dalam. Aku memang bodoh.

"Ayo, aku antar kamu pulang," kataku setelah beberapa detik.
"Ayo..!" sahut Krista, lalu mengangkat tubuhnya, "Lagipula aku khawatir kalau nanti suamiku menelepon ke kantor."
"Suami..?" tanyaku bengong.
"Iya..," jawabnya sambil tersenyum geli menatapku.

"Aku sudah menikah dua bulan yang lalu. Dan aku memang sengaja tidak mengundangmu. Takut kalau kamu nanti mengajakku bercinta untuk yang terakhir kalinya waktu biston. Kamu kan gila."
Aku masih bengong, "Lah, kenapa tadi tidak bilang?"
Krista terkekeh, menyambar bra merah muda yang tergeletak di lantai.
"Lha aku juga masih mau, kok. Yah, ternyata kamu sangat menggoda."
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya, "Asyik," ucapku, "Aku jadi gigolo."

"Kamu hamil..?"
"Iya."
"Wah..!"

*****

Jam digital di dashboard menunjukkan pukul sembilan belas saat aku meninggalkan Krista di depan gedung kantornya.
Hanya satu yang ia katakan padaku sebelum kami berpisah, "Ray," katanya, "Kamu sebaiknya melupakan gadis itu."
Yah, mungkin itulah jalan terbaik yang dapat kulakukan saat ini.

Selama perjalanan aku terus merenungkan ucapan Krista. Lalu seketika aku mendadak merasa malas untuk pulang. Kuputar mobilku dan kulajukan menuju kantor.

Beberapa orang masih terlihat sibuk di lantai dasar. Aku bergegas masuk ke dalam lift. Hanya mengambil sisa kerjaan dan notes 'caci maki dari Pak Herman, pastinya' lalu pulang dan tidur. Aku capai sekali. Dan leherku sudah mulai terasa sakit.

Lima detik kemudian pintu lift membuka. Suasana kantor tampak temaram. Beberapa lampu utama sudah dimatikan, hanya di ruang lembur yang masih menyala. Aku bergegas menuju ruang kerjaku. Langkahku terhenti saat aku melihat lampu meja di kompartemen paling ujung masih menyala. Hati-hati aku melangkah mendekat.

Dari belakang kulihat ia masih sibuk merapikan berkas-berkasnya. Monitor di mejanya masih menyala, memperlihatkan kolom-kolom yang teratur rapi. Gadis itu menoleh saat merasakan kehadiranku.
"Halo, Bos..!" kudengar ia menyapa sambil tersenyum.
Kulambaikan tanganku, sekejap merasa kikuk, "Kamu masih sibuk?" tanyaku basa-basi.
Moogie mengangkat bahunya, "Yah, beginilah. Aku juga malas pulang. Kamu sendiri..? Jangan bilang kalau kamu sedang shock, lalu ingin menulis."
Aku tertawa mendengarnya.

Tapi Moogie langsung menghilangkan senyuman di bibirnya dan berkata, "Sori, aku tak bermaksud mengingatkanmu."
"Tidak apa-apa," balasku tersenyum. Sakit di leherku membuatku terbatuk.
"Pasti belum minum obat," kudengar Moogie berkata dengan nada gusar.
"Iya..," sahutku, "Aku sebaiknya minum dulu."
Moogie mengangguk.

"Eh, tunggu..!" mendadak ia menghentikan langkahku.
"Ada apa..?" tanyaku.
Moogie merogoh lacinya, lalu sambil nyengir ia menyodorkan sebuah kotak.
"Ini jatah berbuka puasa-ku. Tadi orang-orang ditraktir sama Pak Herman. Mungkin kamu belum makan. Kalau mau minum obat kan perlu makan."
Aku tersenyum dan menerima kotak itu, "Thanks."
Aku melangkah dengan kotak di tangan. Saat aku menoleh, Moogie sudah terlihat sibuk kembali dengan pekerjaannya.

Aku merenungi kotak itu dari bangku kerjaku. Aku takut untuk memakannya. Takut kalau-kalau nanti aku terbuai dan 'penyakit' impulsif-ku kambuh. Tapi akhirnya aku penasaran juga. Dalam hatiku aku berpikir, masa makanan saja dapat membuatku berubah. Isi kotak itu toh bukan bulan purnama, dan aku bukan seorang manusia serigala. Dengan mendengus, kuraih kotak itu dan membukanya.

Aroma bebek panggang menusuk hidungku. Perutku lantas berbunyi. Kuraih sendok plastik dalam kotak, lalu menyendok segumpal nasi ke dalam mulutku. Paha bebek itu kuangkat, dan kugigit sedikit dagingnya. Rasa hangat merasuki tubuhku. Nikmat sekali. Tanpa sadar aku memejamkan mata.

Seperti disengat listrik, aku terkejut dan melempar paha bebek itu jauh-jauh hingga menghantam pintu. Sekejap kemudian aku merasa gusar pada kekonyolanku. Itu kan hanya makanan, pikirku. Bangkit berdiri, kulangkahkan kakiku dan meraih paha bebek di atas lantai. Terbang sudah si bebek, pikirku sedikit menyesal, lalu kubuang paha bebek itu ke dalam tong sampah.

Ingin tahu, kusingkap krei yang menutupi jendela. Gadis itu masih di sana. Aku dapat melihat punggungnya yang tertekuk. Sedang apa dia? tanyaku dalam hati.
"Aduh," desahku saat merasakan leherku mulai berkontraksi.
Bergegas aku menuju meja dan merogoh laci.
"Aku butuh antibiotik, pain killer, dan.."

Aku keluar beberapa saat kemudian, dengan membawa tas kerja dan kotak di tanganku.
"Ini, thanks," ucapku seraya menyodorkan kotak itu kepada Moogie.
Gadis itu menoleh dan menerima kotak makannya dengan tersenyum.
"Sudah minum obat?" ia bertanya. Kuanggukkan kepalaku. Saat itulah aku melihat ke bawah mejanya. Dan ada satu kotak lagi, persis dengan kotak yang baru saja aku kembalikan. Gadis itu membawa dua kotak? tanyaku dalam hati. Moogie mengikuti arah lirikanku, lalu ia menyeret betisnya menutupi.

"Sudah? Kamu mau pulang?" ia bertanya padaku.
Aku sebetulnya ingin menanyakan isi kotak itu. Tapi kuurungkan niatku, daripada nanti aku memperoleh jawaban yang membuat hatiku miris.
"Ya," jawabku, "Aku akan segera pulang."
"Okay, hati-hati di jalan. Banyak istirahat," kudengar ia berkata.
Aku menganggukkan kepalaku. Tapi kakiku serasa beku, tidak ingin melangkah.

"Ray..?" Moogie memanggilku, "Ray..? Earth to Ray.. earth to Ray.."
Aku terkejut dan tertawa. "Iya, aku pulang.." ucapku.
Moogie tersenyum.

Aku melangkah dengan ragu-ragu. Tepat langkah kelima, aku membalikkan tubuh. Kulihat Moogie masih menatapku.
Aku mengerutkan alis dan bertanya, "Itu..? Kotak nasi, untuk Jupri kan..? Aku tadi melihat kalian berduaan di mall."
Kulihat gadis itu mengangkat alisnya, "Eh..?" ia berseru kecil dengan nada heran.
Aku melangkah mendekat, lalu membungkuk dan menatapnya.

"Moogie, aku tidak apa-apa kok, kalau kamu mau cari cowok baru. Tidak usah disembunyikan. Tapi Jupri.. ah, sudahlah. Aku tak punya hak untuk protes, bukan..? Jadi, kudoakan saja semoga kamu bisa menemukan penggantiku."
Setelah mengatakan demikian hatiku merasa puas, seolah-olah aku berhasil mengeluarkan uneg-uneg dari otakku.

Gadis itu terdiam. Aku tersenyum dan membalikkan tubuh. Saat itulah aku mendengar ia menggumam.
"Kamu jahat, Ray. Kamu.. jahat..!"
Aku menoleh dan melihat Moogie menutupi wajahnya. Aku sekejap bingung, harus kembali atau tidak. Tapi kuputuskan untuk terus saja melangkah menuju pintu keluar. Biarlah, pikirku, mungkin Moogie belum begitu bisa untuk melupakanku. Ia akan terbiasa nantinya. Perduli setan pada si Jupri.

Aku tengah mengeluarkan mobilku dari basement saat kulihat seseorang mencegatku dari tangga masuk gedung. Aku menghentikan mobilku dan membuka jendela. Kebencianku muncul saat aku melihat Jupri, si sapi, memandangku dengan alis berkerut.
"Ada apa..?" tanyaku kasar.
Pasti si sapi ini sengaja lembur untuk menemani Moogie. Tidak tahu malu. Tadi mestinya aku menengok ke ruang lembur, sekedar untuk mengeluarkan kata-kata menyindir.

Bersambung . . . .




Bumbu rahasia - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
"Je's ngga peduli. Itu pacar kamu, shit..!" aku mendengar Jessica mengumpat kalang kabut dengan logatnya daerahnya.
Upay sudah pamit pulang sejak tadi. Aku merasa benar-benar sendirian. Aku hanya diam saat Jessica masih terus memaki. Akhirnya gadis pirang itu mengambil semua bajunya, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa saat kemudian, ia sudah keluar, dan langsung menuju ke pintu apartemen.

"Ray..," kudengar ia hendak mengatakan sesuatu.
Tapi ia tidak meneruskan, hanya mendengus, lalu keluar dan membanting pintu. Aku tidak perduli sama sekali. Aku hanya merasa benar-benar sendiri.

Dalam kesepian yang kurasakan, mendadak mataku menatap ke arah kantung plastik di atas meja. Tadi aku menaruhnya di situ, sesaat sebelum mengambil jaket. Kuulurkan tanganku meraihnya, dan dengan hati-hati membuka kotak makanan di dalamnya. Bau rendang dan hawa nasi yang masih hangat menyapu penciumanku. Entah mengapa aku menjadi sangat lapar. Kubawa kotak nasi itu ke dapur, mengambil sendok, lalu menyuapkannya ke mulutku. Dua sendok kemudian aku mulai makan sambil menangis. Makanan ini enak sekali. Kenapa? Karena dibuat dengan bumbu rahasia.

*****

Leherku benar-benar sakit malam itu. Kepalaku juga. Dan dua butir 'pain killer' belum dapat menyeretku ke tempat tidur. Aku mengerang di depan monitor. Perutku melilit kelaparan. Tapi percuma mengais-ngais kotak makanan yang sudah kosong itu. Aku harus menemuinya, pikirku. Tapi benakku yang terdalam meragukannya. Aku tidak bisa, tidak setelah aku meninggalkannya. Ayo, Ray. Gadismu bukan hanya satu bukan? Kamu bisa dapatkan Jessica dalam tiga hari. Dan kamu bisa cari yang lainnya. Dan sebaiknya cepat-cepat, sebelum kamu mati kering di sini.

Saat kalut, mendadak telepon berbunyi.
"Halo? Kok ada orang? Siapa itu? Ray?"
"Ya, ini aku," sahutku.
"Kok lesu? Kamu tidak apa-apa?" kudengar Chin, kakakku, bertanya.
"It's okay. Bagaimana di sana?"
"Baik-baik saja. Dingin. Pingin pulang," katanya dengan suara merengek.
Lalu aku mendengar ia tertawa. Aku juga ikut tertawa.

"Kamu yakin tidak apa-apa?" Chin bertanya sekali lagi.
Chin memang tahu bagaimana nada suaraku kalau sedang susah. Dan itu membuatku menyayanginya, tidak perduli bahwa keluargaku membencinya karena ia seorang lesbian.
"Entahlah," bisikku, "Hanya sedikit kesepian."
"Loh? Mana anak pendek yang tempo hari?"
Aku tertawa kecut, "Dia sudah jauh di sana."

Kudengar Chin mendesah, "Kamu itu ya," katanya, lalu ia berhenti sejenak.
"Kenapa denganku?" tanyaku kemudian.
"Nggak apa-apa. Eh, hemat kartu. Sudah dulu ya? Jangan lupa kunci pintu dan nyalakan alarm kalau mau pulang. Oh, ya..! Waktu si pendek itu datang tempo hari, dia mengatakan satu kata yang membuatku memberinya nilai sepuluh. Dia bilang, 'Kak, bagaimanapun jahatnya Ray. Saya percaya kalau dia seorang yang baik. Karena matanya mengatakan demikian.' Jadi menurutku, ya.. wah.. sudah dulu. Dadah, Dedek sayang. Love you."

Aku masih terdiam. Gagang telepon masih kugenggam, walau sudah terdengar bunyi 'tit' yang panjang. Moogie menyukaiku, walaupun aku jahat padanya. Padahal saat itu aku belum meninggalkannya. Ia berarti sudah menduganya. Sudah menduga bahwa aku akan meninggalkannya. Seolah tersadar dari sebuah mimpi buruk, aku menekan tombol 'flash' dan memencet beberapa nomor. Belum terlalu malam. Masih jam setengah sepuluh. Semoga saja..

"Moogie?" tanyaku.
"Ray? Ada apa?" kudengar suaranya bergetar saat menyebut namaku.
"Moogie..! Aku mencintaimu..! Demi Tuhan. Aku mencintaimu..!"
Lama tidak terdengar suara apapun. Lalu kudengar isaknya.
"Moogie? Moogie..?" aku memanggil-manggil namanya.
"Aku ke sana, ya?" seruku.

"Jangan..!" mendadak kudengar ia berkata.
"Jangan?" tanyaku dengan ketakutan. Apakah aku akan kehilangan dia?
"Jangan kemana-mana. Kamu di apartemen Chin? Aku ke sana sekarang. Kamu sudah minum obat? Aku nggak mau kamu sakit. Kamu sudah makan?"
Aku menangis saat mendengarnya berkata demikian.
"Aku menunggumu. Aku sayang kamu. Dan aku belum makan."
"Hahaha. Aku tahu. Aku juga. Bye Ray."

Aku meletakkan gagang telepon dengan hati berbunga. Aku memejamkan mata dan membuka kedua telapak tanganku ke atas. Bersyukur pada-Nya, untuk sesuatu yang akhirnya kusadari dalam kehidupanku. Aku terisak. Tapi bukan karena sedih. Aku merasa benar-benar utuh saat itu.

Ya. Aku mencintainya. Benar-benar mencintainya. Dan aku begitu bodoh untuk merekayasa segala sesuatu, hanya untuk sesuatu yang aku sendiri tidak menginginkannya. Betapa bodohnya. Aku berusaha meninggalkannya. Persetan dengan segala evils. Aku ingin jadi manusia utuh. Ingin jadi orang yang dibelai dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Aku bergegas menuju ruang tamu, dan merapikan segalanya. Mulai dari koran dan majalah yang berserakan, sampai karpet yang tertekuk sedikit. Senyum menghiasi bibirku. Ia akan datang! Ia akan kembali padaku..!

Dua puluh menit kemudian suara bel pintu terdengar. Aku mengerutkan alis.
"Cepat sekali..?" pikirku. Tapi hatiku girang juga.
Cepat-cepat aku berlari ke pintu dan membuka.

"Shit..!" aku menjerit saat Jessica mendorong tubuhku hingga terjatuh ke sofa.
Gadis itu menciumiku dengan liar. Memaguti bibir dan daguku.
"Je's rindu kamu," desisnya.
Ia lalu mengangkat kaos luarnya ke atas. Gadis itu menempelkan buah dada telanjangnya ke mulutku. Napasnya memburu. Aku mencoba meronta tapi ia malah mencakari dadaku dan menindih tubuhku dengan seluruh bobot tubuhnya.
"Jess..! Damn it..!" aku memaki. Tapi ia membekap mulutku dengan bibirnya.

Aku mendorong pundaknya hingga ia terguling dari atasku. Dengan terengah-engah aku menatapnya. Gadis itu tersenyum geli, seolah aku sedang bermain-main dengannya.
"Tidak, Jess.." ucapku tegas, "Please, pergi sekarang..!"
Jessica memandangku dengan alis terangkat. Senyumannya hilang.
"Ray..?" desisnya.
Tapi ia lalu tersenyum simpul dan meraih pengait celananya. Aku memejamkan mata dan menggeleng.
"Pergi, Jess. Tolong dengar saya. Plea..!"
Saat itulah naluriku merasakan seseorang tengah memandangi punggungku.

Aku berpaling dan melihat Moogie di ambang pintu. Matanya menatapku. Bertanya. Keringat membuat lehernya berkilat. Napasnya masih memburu. Ia menatapku beberapa saat lamanya. Lalu melirik ke arah Jessica yang setengah telanjang. Bibirnya mulai bergetar. Kotak di tangannya terjatuh. Aku hanya terpaku menyaksikan ia membalikkan tubuh dan berlari.

*****

Hari itu adalah hari kedua sejak kejadian tempo hari, saat Moogie melarikan diri. Mungkin banyak orang menanyakan, mengapa aku tidak mengejarnya saat itu. Tapi bagaimana lagi? Aku sudah pernah melakukannya sebelumnya, mengejar Moogie sampai ke lobi. Dan kurasa aku, yah, terlalu pathetic untuk mengejarnya yang kedua kali. Kurasa saat itu gadis itu membenciku. Dan aku tidak mau lagi dipandangi oleh seluruh orang di lobi. Cukup sudah, pikirku.

Hari itu diawali dengan sesuatu yang jauh dari perkiraanku. Semula aku mengira akan melihat wajah murung di gadis itu saat aku berjumpa dengannya di kantor, hari itu. Tapi yang kutemui pertama kali adalah senyuman di wajahnya. Ia kelihatan begitu cerah, dengan setelan jas dan rok merah tua, serta baju dalam putih. Ia hanya mengangguk saat aku lewat. Sepatah kata yang kuucapkan, "Hai" tidak mendapat sahutan.

Ya sudah, pikirku. Mungkin aku tidak sepenting itu untuk direnungkan dan ditangisi. Lagipula sejak kejadian malam itu, aku menyadari lagi bahwa aku memang terlalu impulsif untuk mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku mencintainya. Kesimpulan setelah makan nasi rendang. Konyol benar. Jadi kucoba untuk bersikap biasa hari itu, tertawa dan bercanda bersama rekan-rekanku.

Suatu ketika, ia datang ke ruangku untuk menyerahkan setumpuk arsip.
"Thanks," kataku menganggukkan kepala.
Moogie membalas dengan senyuman. Tapi hanya itu. Lalu ia bergegas membalikkan tubuh.
"Moogie..," aku memanggilnya. Sedikit heran pada diriku sendiri, untuk apa?
Gadis itu menoleh dengan wajah bertanya, "Ya..?"
"Eh," kataku, lalu terdiam beberapa saat. Bingung harus mulai dari mana.
Lama menunggu, akhirnya kulihat Moogie tersenyum, "Aku keluar, ya?" ia berkata.
Aku menganggukkan kepala, "Sori," bisikku sebelum ia menutup pintu, tapi kurasa ia tidak mendengarnya.

Aku benar-benar dibuat heran oleh perasaanku sendiri. Aku tidak tahu, kenapa kali ini benar-benar ruwet dalam menghadapi seorang Moogie. Mungkin hanya karena ia satu kantor denganku, jadi segalanya lebih susah. Atau karena memang aku masih mencintainya? Pertanyaan yang terakhir kubuang jauh-jauh. Akhirnya aku kembali disibukkan oleh keyboard.
"Sebut saja namaku Ima, usiaku 27 tahun.."

*****

Secangkir kalosi Toraja dan sepiring tuna sandwich. Aku terkadang merasa berdosa, ketika teman-temanku menahan lapar di kantor, aku malah asyik-asyikan di cofee shop. Tapi aku menyukai gaya atheis ini. Menyenangkan menjadi orang bebas. Aku memandangi orang-orang yang hilir mudik di depanku. Beberapa orang wanita berpakaian eksekutif, melirikku saat melintas, dan membalas senyumanku. Mungkin mereka sedang mencari SAL, pikirku geli. Aku tidak tertarik, pikirku kemudian, mungkin lain kali. Tapi saat ini aku sedang menunggu seseorang.

Aku tengah mengunyah sebongkah besar potongan sandwich saat Krista menepuk pundakku dari belakang.
"Hayoh..! Makan terus..!" aku mendengarnya berseru sambil tertawa.
Gadis itu lalu menarik kursi di sebelahku dan mendudukkan tubuhnya. Blazer abu-abunya tampak sedikit berdebu.
"Dari mana saja?" tanyaku.
Krista itu merapikan rambutnya. Gerakannya membuatku sedikit terpesona.

"Bayangkan," ia lalu berkata, "Macet di jalan. Akhirnya aku turun dari taksi dan berjalan lima puluh meter dari pertigaan ke sini."
Aku tertawa terbahak-bahak, "Lha, kenapa buru-buru. Kan aku bisa menunggu."
"Kukira tidak," sahutnya tersenyum, "Buktinya kamu memakan sandwicmu."
Aku melirik ke arah sandwich yang tinggal seperempat. Lalu kami tertawa.

"Sini..! Aku mau itu," mendadak kudengar Krista berkata seraya menunjuk sisa sandwich.
Sambil tersenyum kusodorkan potongan sandwich itu ke mulutnya. Ia lalu mengunyah sambil tersenyum.
"Tetap hangat seperti biasanya," ia berkata.
Beberapa orang menatap ke arah kami dengan pandangan iri.

"Jadi ada apa, Ray..? Kok repot-repot ingin ketemu aku. Kukira kamu sudah lupa."
Aku merasa wajahku memanas. "Tidak," sahutku, "Hanya sekedar butuh teman buat berbincang."
Krista tertawa renyah. Seorang pelayan cafe datang dan meletakkan cofee float ke atas meja.
"Aku tak mengira sih, kalau kamu yang telepon tadi. Kupikir siapa. Eh, ternyata ada hidung belang minta janjian. Kamu sakit ya?"
Aku tertawa mendengarnya.

"Aku memang sakit, faringitis. Susah."
Krista melongo menatapku, "Lha kamu sakit tenggorokan kok masih..," ia berhenti lalu memandang rokok di jemariku. Aku terkekeh.
"Kapan sih ada orang yang bisa menyuruhku melakukan sesuatu..?" Ganti Krista yang terkekeh.
"Aku tahu itu sejak dulu. Waktu pertama kali kenal denganmu. Orang yang tak tahu aturan. Oh, tahu sih. Tapi aturan kasur."
Rombongan cukong di belakang Krista menoleh dan memandang ingin tahu. Aku tertawa melihatnya.

Terus terang saja. Aku pernah tidur dengan Krista. Kami menghabiskan lima malam bersama-sama, waktu kami duduk di semester tiga bangku kuliah. Namun hanya itu. Tidak ada rasa apapun di antara kami. Just sex. Setelahnya, kami kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Dia dengan cowoknya, dan aku dengan gadis-gadisku.

"Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Kris," aku membuka topik yang memang ingin kubicarakan padanya.
Krista mengangguk, menyedot minuman dari gelas, lalu memandangku dengan tatapan menunggu.
"Aku mau bertanya," ucapku, lalu berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Apakah aku memang tidak bisa mencintai?"
Krista menatapku dalam-dalam, sementara mulutnya menganga.

"Kenapa..?" tanyaku geli.
"Hanya itu..? Aduh. Aku pulang, ah. Masih banyak kerjaan."
"Lho..?" seruku, lalu tertawa terbahak-bahak.
Krista menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kamu itu ya..? Jangan mengajukan pertanyaan yang bodoh seperti itu. Kenapa? Kamu baru jatuh cinta ya? Atau gadis mana lagi yang sekarang menangis tersedu-sedu setelah kau permainkan?"
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya yang bertubi-tubi.
"Nggak sih," ucapku.

"Aku kenal dengan seorang gadis. Gadis ini lain dari gadis-gadis yang biasanya. Tahu kenapa? Ia tidak menjerit saat aku meninggalkannya. Ia tidak menunjukkan sifat memohon. Dan satu lagi, ia begitu mudah melepaskanku pergi. Itu membuatku sedikit risau."
"Kenapa? Kamu merasa tidak berarti buat dia ya?"
Aku mengangguk. "Mungkin," sahutku.
Krista mengangguk-angguk sambil memutar sendok di gelas minumannya. "Kamu itu over confidence, Ray."
Kami terdiam beberapa saat lamanya.

"Tapi tidak juga sih," Krista berkata, "Mungkin gadis itu sudah terlalu paham dengan dirimu. Dan, yah, mungkin dia sudah siap-siap ketika kamu mulai merasa terikat dan ingin bebas."
Aku menatap gadis itu dalam-dalam. Ucapannya persis seperti ucapan yang dikatakan Chin tiga hari yang lalu.
"Begitu, ya?" desahku. "Kamu tahu..," kataku, lalu menceritakan tentang Moogie dan kejadian dua hari yang lalu.
Krista mendengarkan dengan seksama, sesekali kudengar desahan keluar dari bibirnya.

Bersambung . . . .




Bumbu rahasia - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
"Huakk..!"
Muntah, mungkin cara yang terburuk memulai sebuah hari baru. Namun itulah yang kulakukan ketika itu, saat matahari belum juga muncul. Gadis pirang di belakangku menekan-nekan leherku.
"Pelan Ray, pelan..!" bisiknya berulang-ulang.
Aku terengah, mataku berair. Saat itu aku merindukan belaian gadis 'itu'. Namun kutekan perasaanku kuat-kuat. Kuraih kepala shower dan menyalakannya. Air dingin segera membasuh kepalaku.

"Kamu takut..?" gadis di belakangku berkata lirih, sementara jemarinya masih juga memijat tengkukku.
"I'm fine," bisikku menundukkan kepala.
Suaraku terdengar serak, mirip suara dari dasar sumur. Titik-titik air jatuh ke dalam bath tub, bersama dengan air liurku. Bagian belakang kepala dan leherku benar-benar sakit sekarang. Aku perlu 'pain killer' (obat penghilang rasa salit).

"To.. long.. pil..," ucapku seraya melirik lemari kaca di atas basin.
Gadis pirang itu melepaskan jemarinya, lalu buru-buru membuka lemari kaca.
"Yang mana..?" ia bertanya bingung.
"Me.. rah.. di.. bo.. botol..," ucapku terbata.
Pandanganku mulai berputar. Tidak lama kemudian kurasakan kepalaku membentur pinggiran bath tub.

*****

Siangnya aku terbangun tiba-tiba saat alarm berbunyi. Rasa pening dan sakit di leherku sudah lenyap, entah bagaimana. Kurasa Jessica sempat memasukkan obat itu ke leherku sebelum otot-ototnya berhenti berkontraksi. Aku tersenyum saat menyadari gadis itu terlelap di atas dadaku. Rambut pirangnya tergerai menutupi wajahnya. Napasnya menghembus lembut. Aku meraih rambutnya dan mengelus. Rambutnya indah sekali, pikirku dalam hati. Gadis itu terbangun saat aku menyentuh pipinya. Ia mengangkat kepala dan menatapku dengan senyum di bibirnya.

"Ja..? Udah bangun..? Je's takut..," ia berkata, lalu air mata menitik keluar membasahi pipinya yang putih kemerahan.
Aku tersenyum, lalu menggelengkan kepalaku. "I'm fine. Kamu ngga perlu mengkawatirkanku sampai seperti itu."
"Tapi, Je's kira Ja.. udah ngga ada," katanya kemudian. Aku tertawa mendengarnya.
"Kematian ngga akan menyentuhku sekarang..," bisikku sambil tersenyum.
Jessica membalas senyumanku. Gadis itu lalu mengangkat tubuhnya dan melumat bibirku.

"Emang kamu malaikat begitu..?" ia berbisik di bibirku. Aku tertawa, "Salah, Setan."
Jessica melumat bibirku beberapa saat sebelum ia terkekeh dan menarik lepas kaos putih tipisnya. Aku hanya tersenyum menyaksikan ia begitu bernafsu. Jadi kubiarkan saja ia menelanjangi dan menciumi sekujur tubuhku. Lalu kami bercinta lagi.

*****

Upay tiba di apartemen sekitar pukul dua siang. Aku tidak heran kalau ia dapat masuk, seingatku memang aku tidak mengunci pintu semalam. Ia menggelengkan kepalanya saat menatap tubuh Jessica yang tergeletak tanpa busana di atasku. Jessica betul-betul kelelahan dengan pekerjaannya sendiri. Sementara aku masih terbangun, melamun dan menikmati hembusan angin AC. Kugerakkan jempolku dan Upay beranjak ke ruang tamu. Mata Jessica sedikit terbuka saat kugeser tubuhnya.
"Ssh..," bisikku seraya mengecup keningnya.
Gadis itu menggeliat sambil tersenyum. Aku mengangkat tubuhku dari tempat tidur dan meraih celanaku di lantai.

"Aku mencarimu di rumah tadi, tapi tidak ada. Jadi kucari ke sini. Ini, jaketmu tertinggal di rumah. Aku tadi shopping, kupikir sekalian saja aku kembalikan," Upay berkata saat aku memasuki ruang tamu.
"Oh, sori..," sahutku sambil memandangi jaket kulit kesayanganku di atas meja, "Tadi aku berpikir membawa Jessica ke rumah, tapi kupikir-pikir lagi, aku lalu membawanya ke sini."
Upay mengangguk-anggukkan kepalanya, "Eh, Chin mana..?"
"Chin ngga ada," jawabku sambil melangkah menuju ke bar, "Dia pergi liburan."

Aku menatap jenis-jenis minuman di rak, bingung harus minum apa. Upay mendadak sudah di belakangku. Gadis itu menarik bajuku ke belakang.
"Sini, biar aku yang mengerjakan," katanya sambil tersenyum.
Aku hanya tertawa. Tidak berapa lama kemudian Upay sudah terlihat sibuk meracik ini dan itu.

"Siapa itu..? Upay..? Hai..!" kudengar Jessica menyapa dari depan pintu.
Upay menoleh dan tersenyum, "Hai, Jess..!" sapanya.
Jessica lalu melangkah keluar. Gadis itu hanya mengenakan celana dalam dan kaos tipisnya, tanpa bra. Aku tersenyum dan melambai. Jessica mendekat dan segera bersandar manja di dadaku. Upay yang melirik hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Belasan menit kemudian, kami sudah duduk-duduk di ruang tamu dengan gelas berisi Upay's Fist nama yang diberikan Upay pada 'mahakarya'-nya itu. Aku dan Jessica bertanya, kemana David. David adalah seorang pria Winchester yang sejak semalam sudah menjadi tunangan Upay. Lalu sambil tertawa Upay bercerita bahwa David tertidur kelelahan di rumahnya, selain kebanyakan minum, juga kebanyakan bercinta. Jessica melirikku dengan senyum simpul. Aku sadar, aku juga terlalu mabuk semalam. Lalu kami berbincang dan tertawa-tawa. Aku sama sekali tidak menduga bahwa tawa dari mulutku hanya sekejap.

Jessica bangkit dari sisiku lalu melangkah menuju balkon.
"Aku mau melihat Surabaya," katanya. Aku dan Upay hanya tersenyum.
"Dia anak yang baik," bisik Upay setelah Jessica melangkah ke balik pintu kaca.
"Ya," sahutku menganggukkan kepala.
Mataku menatap bayangan tubuh langsing Jessica dari balik kaosnya. Gadis itu putih dan menggairahkan, pikirku. Rambut keemasannya melambai. Gerakannya saat mengangkat kedua lengan membetulkan rambutnya membuatku seakan melihat seorang bidadari.

"Kamu baik-baik saja, Ray..? Sori aku mengajakmu pesta semalam."
"Aku tahu. Supaya aku tidak murung, kan..?" sahutku sambil tersenyum.
Upay tertawa renyah, "Begitulah," katanya, "Aku tak tahan melihat cemberutmu."
Kami lalu asyik memandangi Jessica. Gadis pirang yang baru kukenal tiga hari.

Mendadak terdengar suara dari aiphone, "Ray..? Ray..? Kamu di situ..?"
Aku tersentak mendengar suara itu. Upay mengerutkan alisnya. Kuhela napas lalu melangkah menuju aiphone.
"Naik saja," kataku, "Aku bukakan pintu."
Lalu aku berjalan menuju pintu keluar. Aku tidak perlu menunggu lama sampai gadis itu muncul dari koridor.

Ia masih tetap seperti ia biasanya. Tampak polos, keringat kerjanya yang menempel di leher. Aku memalingkan wajah, tidak sanggup memandangnya lama-lama. Aku melirik ke arah Upay di dalam apartemen. Upay mengangguk dan beranjak ke arah balkon. Saat aku berpaling, Moogie sudah berdiri di depanku.

"Hai..!" sapanya dengan tersenyum. Aku membalas senyumannya.
"Ini kerjaan sampai besok lusa. Kamu sudah baikan..?" gadis itu bertanya padaku.
Kuraih folder yang disodorkannya, lalu mengangguk. "Lumayan," jawabku.
"Aku tadi mencarimu ke rumah. Tapi tidak ada siapa-siapa. Jadi kupikir kamu ada di sini. Aku putuskan untuk datang saja, sekalian melihat keadaanmu. Kamu betul sudah baikan..?"

Aku menatap wajahnya yang serius, lalu aku tertawa, "Tentu saja. Aku baik-baik. Sakitnya sudah agak hilang."
Moogie tersenyum dan mengangguk. Lalu kami sama-sama terdiam. Semua jadi begitu kikuk. Beberapa hari yang lalu, aku pasti sudah merengkuhnya ke dalam pelukanku, mengajaknya masuk, lalu bercinta. Tapi sekarang, bahkan menawarkan untuk masuk saja aku tidak dapat.

"Oh ya," mendadak Moogie memecah keheningan, "Kubawakan kamu ini."
Gadis itu mengeluarkan sebuah bungkusan plastik. Saat aku melihat, di dalamnya ada sebuah kotak makanan.
"Ini masakanmu..?" tanyaku. Moogie mengangguk.
Ingin rasanya aku memeluknya saat itu juga. Aku benar-benar merindukan kasih sayangnya. Tapi aku tidak dapat. Tidak setelah aku meninggalkannya.

"Apa isinya..?" tanyaku kemudian sambil tersenyum.
"Anu..," Moogie mengelus dagunya, "Nasi rendang, telur dadar, dan krupuk upil."
Aku tertawa terbahak-bahak. Gadis inilah yang kusuka. Sederhana. Kurasa tidak pernah terlintas di pikirannya, bahwa orang yang tinggal di apartemen sepertiku mungkin lebih suka makan steak atau calamari. Itu juga yang membuatku jatuh cinta sejak pertama kali aku mengenalnya.

Kami terdiam beberapa saat lamanya. Aku tidak mencoba untuk menatapnya. Takut kerinduanku akan membanjir keluar. Akhirnya aku mendengar desahan napasnya.
"Baiklah, aku pulang saja," Moogie berkata lirih. Aku mengangguk.
Saat ia membalikkan tubuh, aku mendadak teringat sesuatu.
"Kamu naik apa..?" tanyaku.
Moogie tersenyum dan membalikkan tubuh.

Tepat saat itu, Jessica menyeruak dari pintu.
"Je's denger ada suara orang," katanya.
Aku menoleh dengan terkejut. Di belakang Jessica, Upay meringis dan mengangkat bahu. Aku berpaling ke arah Moogie. Gadis itu berdiri dengan wajah pucat.
"Moogie..," panggilku.
Sementara Jessica sudah bergelayut di bahuku. Moogie mengangkat lengannya dan menyeka sudut matanya.
"Aku jalan kaki, Ray.. jalan kaki..," desisnya sebelum membalikkan tubuh dan melangkah cepat menuju lift.

Aku mendorong tubuh Jessica ke samping.
"Tunggu di sini..!" ucapku lalu masuk ke dalam apartemen dan meraih jaket kulitku.
Upay hanya memandang ke arahku dengan tatapan menyesal. Aku menggeram, lalu berlari keluar menuju lift. Masih kudengar erangan Jessica di belakangku.
"Hey..! Ada apa sih..?"
Deep shit, Girl.. deep shit..!

Aku mendapati Moogie berdiri di lobi. Di depan pintu lift. Gadis itu menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Bahunya bergerak-gerak naik turun. Aku melangkah mendekat.
"Moogie..," bisikku seraya meletakkan tanganku di pundaknya.
Gadis itu berbalik dan menepis lenganku, "Jangan..!" desisnya.
Lalu ia melangkah menjauh. Beberapa orang memandang ke arah kami dengan rasa ingin tahu. Aku tersenyum kikuk dan mengejar.

"Moogie..! Dengar dulu," seruku seraya menarik lengannya.Gadis itu berusaha meronta. Tapi aku mengencangkan genggamanku dan setengah menyeretnya ke daerah yang sedikit sepi.
"Lepasakan..!" serunya meronta, "Sakit..!"
"Asal kamu tidak langsung pergi," ucapku.
Moogie menutupi lagi wajahnya dengan sebelah tangannya yang bebas. Ia menangis. Aku melepaskan tanganku.

"Aku mau antar kamu pulang. Jangan menolak, please..!" ucapku berbisik.
Moogie menganggukkan kepalanya dengan gerakan lemah. Aku bergegas menuju resepsionis dan menyerahkan kartu vallet yang kusimpan dalam dompetku.

Sepuluh menit setelah memasuki jalan raya, kami saling diam. Moogie masih menyeka sisa-sisa air mata di pipinya. Aku mendiamkannya.
"Kamu cepat ya, dapat cewek baru," mendadak aku mendengar ia berkata.
"Hmm..?" gumamku. Aku tidak ingin bercanda saat ini.
"Iya, padahal baru beberapa hari sejak kamu meninggalkanku."

"Hey lihat..! Ada tukang becak pipis di bawah jembatan tol..!"
Moogie menggelengkan kepalanya. "Tidak, Ray," katanya, "Jangan bercanda."
Aku terdiam. Sudah kuduga, tapi kenapa masih kulakukan.
"Maaf," ucapku, "Aku tidak bermaksud menyakitimu."
"Aku biasa saja. Hanya sedikit shock."
Aku hanya diam seraya mengutuk kejadian tadi dalam hati. Moogie juga hanya diam saja. Saat kulirik, gadis itu menopang pipinya dan menatap jauh ke luar jendela.

"Stop dulu..!" aku mendengarnya berkata beberapa puluh meter sebelum kami sampai di depan kantor.
Aku menghentikan mobil di bahu jalan dan menunggu.
"Ray..," kudengar ia memanggilku, "Lihat sini..!"
Aku menoleh. Dan aku melihatnya tersenyum.
"Aku hanya minta satu," ucapnya kemudian.
"Apa..?" tanyaku.
"Nanti jangan lupa dimakan nasinya. Dan jangan lupa minum obat. Aku tahu lehermu masih sakit. Banyak-banyak istirahat. Oke..?"
Aku tersenyum dan mengangguk, "Tentu saja."

Gadis itu lalu menundukkan kepalanya. Lalu ia menarik tas kerjanya, merogoh sejenak, lalu mengeluarkan sebuah benda.
"Ini..," katanya seraya menyodorkan benda itu kepadaku, "Kamu pakailah supaya lehermu hangat."
Aku menatap syal merah di tangannya. Entah mengapa aku ingin memeluknya saat itu juga, menjeritkan betapa bodohnya aku sudah meninggalkannya. Tapi aku tidak melakukannya. Aku hanya mengambil syal merah itu seraya menganggukkan kepala, "Thanks."

Moogie lalu membuka pintu mobil.
"Mau ke mana..?" tanyaku heran.
"Aku jalan kaki saja. Ngga enak kan kalau dilihat orang kantor."
Hatiku sedih saat melihat senyuman di wajahnya. Tapi lagi-lagi aku hanya dapat mengangguk.
"Hati-hati," bisikku seraya memalingkan wajah.
"Aku tahu. Kamu juga," gadis itu berbisik.
Lalu kudengar suara pintu ditutup.

*****

Bersambung . . . .




Birahi jalang - 3

0 comments

Temukan kami di Facebook
Beberapa saat kemudian terlihat Adli keluar dari kamar mandi. Dia hanya mengenakan sehelai handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Kuperhatikan setiap lekuk pada tubuh yang bagus dan tegap itu. Lalu kutersenyum padanya.
"Kenapa Neng?" Tanya Adli.
"Ah nggak, seneng aja ngeliat orang keren," kataku merayu.
Wajah Adli terlihat senang. Kugamit lengannya agar ia lalu mendekat, setelah itu kutarik handuknya lepas. Batang kejantanan Adli terpampang di depanku, sudah tegang keras kembali.
"Lho," tanyaku heran, "kok masih keras sih.
Tersenyum Adli menjelaskan, "Tadi sih udah nggak lagi, tapi begitu ngeliat Neng Mimien jadi bangun lagi."

Sekarang giliran dia yang membuat hatiku senang dengan kata-katanya. Segera kutarik tangannya, kuminta ia membaringkan tubuhnya di ranjang. Kuciumi wajah pemuda yang telah memikat hatiku ini, sehingga sampai membuatku terlupa pada rumah-tanggaku sendiri. Kugigiti dia dengan lembut bercambur gemas mulai dari leher, lalu bahu dan dadanya, dan setelah itu sepanjang pinggangnya. Setelah itu kuteruskan ke arah bawah hingga ke sekitar selangkangannya. Tapi kali iini aku hanya menciumi batang kemaluan Adli sekedarnya saja. Sempat kulirik Adli menatapku dengan pandangan heran. Tapi kuteruskan saja menciumi paha dan betisnya hingga aku sampai di kakinya. Waktu jempol kakinya kuemut Adli menjerit,
"Aduh Neng jangan, kasihan Neng Mimien."

Setelah itu kecupan-kecupan bibirku bergerak menuju ke atas lagi, hingga aku berhenti di sekitar selangkangannya. Tubuh Adli terlihat berkeringat, padahal udara malam itu cukup dingin. Rupanya apa yang baru kulakukan tadi telah memacu birahinya.
"Enak nggak Adli?" tanyaku ingin memastikan.
"Aduh Neng, Adli nggak pernah ngebayangin seperti ini rasanya."
Jawabannya membuat hatiku berbunga-bunga. Dengan penuh semangat aku mulai menjilati kepala dan batang kemaluannya. Lidahku menyapu semua sudut kemaluan yang besar dan keras itu. Tidak lupa kujilati juga buah zakarnya, hingga Adli menjerit keenakan. Apalagi waktu pantatnya kugigit-gigit lembut. Karena masih ingin merangsang Adli lebih jauh lagi kudorong bagian bawah pahanya ke atas. Lalu kujilati sekitar duburnya.
"Aduh Neng, aduh, ampun Neng," Adli mengerang keras sekali.
Karena kuatir didengar orang kuhentikan jilatanku itu. Langsung batang kemaluan Adli aku kulum dalam dan setelah itu kuemut-emut dengan bernafsu.

Beberapa saat kemudian Adli menarik tanganku lembut,
"Sini Neng.. Adli belum pernah ngalamin yang seperti begini.. Terima kasih ya Neng!"
Kemudian dimintanya aku berbaring menelentang. Sebelum timbul pikiran macam-macam di benak pemuda, cepat kutarik batang kejantanannya ke mulutku dan kuemut-emut dengan penuh gairah. Setelah itu terjadilah sesuatu yang tidak kubayangkan akan sebelumnya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke arah bawah, dalam posisi 69 berlawanan arah dengan tubuhku. Didekatkannya wajahnya yang tampan itu ke arah selangkanganku. Dijilatinya seluruh bagian kemaluanku. Dipeluk dan ditariknya pantatku, lalu dijilatinya duburku seperti tadi telah kulakukan padanya. Kalau tidak kugigit bibirku pastilah aku sudah menjerit-jerit kegelian.

Sewaktu dia kembali menjilati kemaluanku hampir saja aku mencapai puncak orgasmeku.
"Adli, sayang, udah ah saya nggak tahan," kataku memintanya berhenti.
Pemuda itu menatapku dengan pandangan bertanya. Terpaksa kujelaskan bahwa belum tentu aku setahan dia. Kalau nanti aku orgasme duluan bisa mengganggu pelayananku kepadanya. Setelah mau mengerti Adli kembali ke posisi semula, yaitu mengangkangi tubuh bagian atasku. Kumulai lagi menjilati dan mengemut tonggak kejantanan Adli yang keras itu. Sambil tentunya tanganku sendiri mengusap-usap kemaluanku yang tadi sudah dirangsang Adli. Lama-kelamaan mulai terasa cairan kental agak asin di mulutku. Kelihatannya Adli sudah mendekati saat-saat puncaknya. Sayangnya tiba-tiba aku merasa agak mual. Terpaksa kuakali Adli dengan meminta sesuatu yang berbeda dari tadi malam.
"Adli, nanti waktu keluar siramin ya ke atasnya saya."
Ia bertanya heran, "Mau Neng seperti begitu, ditumpahin pejuhnya saya?"
Kuyakinkan Adli, "Mau dong kan enak.. Oh iya nanti kalau kamu udah keluar punya saya kamu usapin ya, biar saya juga puas."

Setelah itu kembali kuemut-emut batang kemaluan Adli, sambil kukocok-kocok keras. Tidak terlalu lama kemudian terdengar Adli mengerang dan mengaduh. Sesuai permintaanku tadi ditariknya tonggak kejantanannya dari dalam mulutku. Lalu dia mengambil alih dengan mengocoknya sendiri. Kuatur posisi diriku sambil tanganku terus meremas-remas pahanya yang keras berotot. Waktu Adli mulai berejakulasi, aku mengaduh kaget. Cairan yang tadinya kuharap akan jatuh di dadaku, atau paling jauh leherku, ternyata begitu kuat semburannya sehingga tertumpah di wajahku. Mendengar eranganku rupanya Adli mengira aku menyukainya. Didekatkannya barang kejantanannya ke wajahku. "Ah.. ini Neng.. ah.. ah."

Semburan demi semburan air mani tersiram ke wajahku. Terpaksa kucoba menikmati itu semua sebisaku. Sementara itu kurasa telapak tangan Adli yang kasar meraba selangkangan dan celah pahaku, berusaha membawaku juga diriku ke puncak orgasme. Dalam keadaan terangsang mulutku mencari batang kejantanan Adli. Seperti semalam sebelumnya ternyata masih dalam keadaan sangat keras, dan tetap besar, walaupun sudah mengalami ejakulasinya. Dengan cepat kumasukkan barang kepunyaan Adli itu ke dalam mulutku dan kuemut-emut lagi. Adli mengerang keenakan dan mengaduh kegelian. Dalam keadaan itulah aku juga mencapai puncak pengalamanku di malam ini.

Melihat keadaanku yang sudah lemah lunglai Adli menyuruhku berbaring santai. Setelah membersihkan dirinya di kamar mandi ia kembali membawa handuk yang telah dibasahinya dengan air hangat. Dibersihkannya seluruh tubuhku dengan telaten dan penuh perhatian. Sambil merebahkan tubuhnya masih sempat ia berkata,
"Aduh Neng, enak sekali rasanya."
"Iya Adli, saya juga puas sekali," jawabku sambil beringsut mendekatinya.
Kali ini aku yang ingin dipeluknya. Demikianlah selanjutnya akupun terlelap dalam aku dibuaiannya, tapi karena sedang asyik-asyiknya kuputuskan untuk berlaga seolah-olah tidak sadar. Begitulah ternyata malam ini aku dan Adli kembali dipertemukan. Barangkali memang sudah jodohnya.

"Neng, neng Mimien, sekarang Adli masukin ya?"
Suara pemuda itu terdengar mengusikku. Sempat terbersit keinginan di hatiku untuk menolaknya, tapi akhirnya birahiku yang sudah sangat memuncak mendorongku mengambil keputusan yang berbeda. Kutatap dia dengan lembut, lalu kuiyakan permintaannya.
"Tapi pelan-pelan ya Dli, soalnya, soalnya..," aku kebingungan memilih kata-kata yang tepat. Adli tersenyum bangga. Diteruskannya apa yang kumaksud dengan berkata,
"Soalnya belum pernah dimasukin yang sebesar ini ya?"
Aku hanya dapat mengangguk pelan, rupanya Adli telah dapat membaca pikiranku. Kemudian Adli membuka selangkanganku, sementara mengemut-emut puting dadaku, seperti seorang bayi besar yang sedang dahaga. Diusap-usapnya bibir kemaluanku dengan ujung kejantanannya. Aku menggelinjang kegelian, sudah merasa ingin, tapi juga agak takut.

Ketika Adli mendorong kepunyaannya itu masuk, rasa pedih yang amat sangat melanda seluruh tubuhku. Ternyata kepunyaanku agak sempit dibanding kepunyaannya.
"Aduh Adli sakit..," sambil kugigit bibirku.
Dia berhenti sejenak, lalu mulai mendorong alatnya kejantanannya kembali. Setelah kurang-lebih masuk setengahnya tiba-tiba Adli mendorong agak keras, hingga membuatku menjerit.
"Aduh, aduh, aduh, sakit sekali sayang.."
Sambil kucoba merenggangkan pahaku selebar-lebarnya. Rasa pedih yang kuderita berlangsung selama kurang-lebih dua menit, sebelum berangsur-angsur mereda. Lubrikasi dari liang kemaluanku akhirnya semakin mempermudah gerakan alat kejantanan Adli, sehingga dapat bergerak maju mundur lancar. Aku merinding dan menggigil dilanda kenikmatan yang baru sekali ini aku rasakan.

Belum pernah liang kewanitaanku menerima kunjungan benda asing milik lelaki yang sebesar ini. Karena memang selama ini pengalaman yang kumiliki hanyalah dengan Mas Heru. Dibanding suamiku, kelebihan Adli bukan hanya karena ukuran alat vitalnya yang besar, tetapi dia sendiri juga pandai memainkannya. Akibatnya baru sepuluh menit saja aku sudah mencapai orgasmeku yang pertama. Rasanya tubuhku melambung tinggi, dan terbawa melayang entah kemana. Tanpa kendali lagi aku menjerit-jerit memanggil nama pemuda itu, sambil sesekali menggigit-gigit lengannya. Setelah perasaanku mereda baru kusadari bahwa Adli masih dengan gagah menunggangiku. Terpaksa kuatur nafas dan posisi diriku, supaya bisa mengimbangi keperkasaannya.

Menjelang Adli mencapai klimaksnya, masih sekali lagi aku dilanda gelombang nikmat orgasme kewanitaanku. Maka ketika kudengar Adli berkata,
"Sekarang Adli lepas ya," aku hanya dapat mengiyakannya saja.
Begitu kukatakan, "Iya Dli, iya sayang, tolong sekarang.. akh."
Langsung Adli memperhebat gerakan menghunjamnya.
"Neng, neng Mimien, neng.. aduh neng.. aahh," demikian Adli meracau sambil mendorong kepunyaannya sedalam-dalamnya memasuki liang kewanitaanku. Sangat erat ia memeluk tubuhku, sementara jari-jariku meremas punggungnya, karena orgasme yang juga sedang kualami. Setelah beberapa saat berlalu, barulah gerak dan erangan kami berdua mereda. Adli masih membiarkan kepunyaannya di dalam kepunyaanku selama beberapa saat, setelah itu baru ditariknya keluar. Sebagian dari siramannya tadi ikut mengalir tertumpah di selangkanganku.

Nampaknya melakukan hubungan yang memuaskan itu cenderung membuat diriku lapar. Atas permintaanku Adli memesan hidangan dan minuman dari restaurant. Begitu tiba langsung kusantap dengan sepuas-puasnya. Setelah itu kuminta Adli untuk mengantarku pulang. Tetapi ternyata dia belum mau, karena katanya belum puas menyetubuhiku. Terpaksa kulayani dia sekali lagi. Ternyata permainan yang kedua ini juga tidak kalah dibanding yang pertama tadi. Kembali ia membawaku ke puncak orgasmeku, sebelum ia sendiri menyiramkan air maninya ke liang rahimku untuk kedua kalinya. Aku sungguh-sungguh merasa puas, kuyakin begitu pula dengan Adli. Akhirnya baru jam 1 malam aku memasuki rumahku. Untunglah Mas Heru sudah tertidur lelap, sehingga aku terlepas dari kewajiban untuk menjelaskan apapun padanya.

Suami Gelap
Hubunganku dengan Adli menjadi sangat akrab setelah peristiwa di malam itu. Ternyata dia sikapnya romantis, walaupun kemasan gayanya agak lugu. Bercinta dengannya akhirnya menjadi suatu kebutuhan rutin untukku. Kalau lebih dari seminggu tidak ditungganginya perasaan dan emosiku benar-benar menjadi kacau. Begitu pula halnya dengan Adli. Malah karena nafsu birahinya yang ternyata cukup besar, sering ia meminta jatahnya sampai dua kali seminggu. Untunglah hubungan kami tidak pernah sampai diketahui orang lain.

Demi nama baik dan martabat aku selalu berusaha untuk bersikap hati-hati. Demikian pula Mas Heru tidak pernah merasa curiga sama sekali. Beberapa bulan kemudian ternyata aku hamil. Baik Mas Heru maupun Adli menyambut kehamilanku itu dengan gembira. Demikian pula tentunya orang-tuaku dan orang-tua Mas Heru. Aku memang juga gembira, tapi juga kuatir apa yang akan terjadi di masa depan nanti. Rasa kekuatiranku semakin bertambah karena anak yang kulahirkan ternyata tidak bisa dikatakan mirip dengan Mas Heru. Sekali lagi aku beruntung karena Mas Heru tidak merasa curiga sedikitpun. Sebelum tiga tahun berlalu aku dianugerahi seorang anak lagi. Sehingga lengkap sudah rasanya kebahagiaanku. Satu hal yang membuat kebahagiaanku semakin sempurna adalah sikap Mas Heru dan Adli yang baik. Mereka berdua sama-sama menyayangi anak-anakku, selainnya tentunya menyayangi diriku. Adli sendiri akhirnya juga mempunyai dua orang anak dari istrinya. Demi ayahnya, mereka aku dukung juga, terutama untuk pendidikannya. Dengan kegiatan usahaku yang semakin saja berkembang, dan asset kekayaan yang terus bertambah, aku cukup mampu untuk melakukan itu semua.

Tamat




Birahi jalang - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
Malu-malu dia berusaha menghindar, tapi terpegang juga olehku barang kepunyaannya. Lucunya setelah terpegang dia tidak terus berontak, malah dibiarkannya aku mengusap-usap alat kejantanannya itu. Setelah aku usap-usap Adli terlihat sudah mulai mampu menguasai diri lagi. Malah rupanya keberaniannya timbul kembali. Dengan gaya lugunya dia bertanya,
"Emangnya besar ya Neng punya Adli?"
Aku mengangguk mengiyakan. Hampir tertawa aku ketika Adli menanyakan,
"Tapi istri saya kok nggak pernah bilang apa-apa yah?"
Kujawab saja sekenanya,
"Wah dia nggak ngerti suaminya punya barang hebat.. Eh ngomong-ngomong mau diterusin nggak?" Dengan manis dan lugu Adli mengangguk,
"Kalau nggak diterusin entar pusing Neng."
Tidak mampu menahan diri lagi langsung kutawarkan padanya,
"Mau saya bantuin nggak?"
Terlongo Adli memandangku dan bertanya,
"Emangnya Eneng mau?"
Sambil tersenyum genit aku berkata kepadanya,
"Kalau untuk kamu mau dong.. tapi jangan di sini ya, di kamar aja yuk!"

Kutarik tangan Adli dan menuntunnya kembali ke kamar tidur. Kuarahkan supaya ia duduk membujur di atas ranjang, lalu aku menelungkup di hadapannya. Kedua tanganku mulai mengusap-usap batang kejantanan Adli. Ukurannya memang luar biasa. Tadi dalam keadaan Adli berdiri, kalau batangnya ditegakkan sepertinya panjangnya sampai ke pusarnya. Sekarang dalam keadaan dia duduk panjangnya jelas meliwati pusarnya itu.
"Aduh Neng, geli banget!" Erang Adli.
Kedua lengannya mengencang menyangga tubuhnya, sampai terlihat otot-ototnya menonjol gagah. "Adli! Adli! Besar amat ya kepunyaan kamu ini, katanya orang Arab yang itunya gede-gede begini," demikian aku membuatnya bertambah semangat.
Ternyata Adli mengiyakan sinyalemen ini dengan menerangkan,
"Iya Neng, kakek saya dari pihak ibu memang keturunan Arab."
Pantaslah kalau begitu. Beberapa saat hening tanpa ada suara, sementara aku terus mengocok-ngocok lembut barang kepunyaan Adli.

Sampai akhirnya terdengar lagi Adli bertanya,
"Neng, katanya kalau orang bule seneng ngemutin pake mulut yah Neng?"
Pertanyaan ini kurasa semakin menjurus dan membuatku terusik oleh keinginan terpendam yang ada di hatiku. Dengan singkat kujelaskan padanya,
"Ah bukan orang bule aja, orang Indonesia juga ada."
Setelah terdiam sejenak pertanyaan berikutnya membuat gairahku semakin tergugah.
"Kalau Neng Mimien gimana?"
Walau dengan nada ragu-ragu berani juga dia menanyakannya. Akupun mengaku terus terang,
"Yah saya sih dari dulu juga suka."
Sejenak lagi Adli terdiam lalu terang-terangan bertanya,
"Sama punya Adli mau nggak Neng?"
Aku melepas nafas lega, rupanya akan terjadi juga hal tidak-tidak yang dari tadi terbayang olehku.

Tapi aku tidak mau terburu-buru, aku masih ingin mempermainkannya dulu. Dengan mimik serius kujelaskan padanya,
"Wah kalau itu sih harus dilamar dulu!"
Rupanya tertarik Adli bertanya mengejar,
"Maksudnya dilamar gimana Neng?"
Masih tetap serius kupertegas lebih jauh lagi,
"Ya ngelamar anak orang kan biasanya ada syaratnya."
Wajah Adli terlihat agak kecewa,
"Yah kalau pake Mas kawin mah Adli nggak punya."
Tidak ingin terlalu lama berjual mahal langsung kujelaskan padanya,
"Maksudnya bukan begitu, syarat sebagai laki-laki ya ITU-nya bisa bangun, besar, panjang, keras sama kuat."
Kembali Adli nampak bersemangat,
"Oh kalau itu sih Adli mampu.. Bersedia nggak Neng dilamar Adli?"
Aku membisikkan kesediaanku. Lalu Adli berkata dengan penuh keseriusan,
"Neng, bersama ini Adli nyatakan bahwa Adli ngelamar Neng Mimien alias Neng Yasmin dan mampu memenuhi syarat yang diminta tadi.."
Kujawab kata-katanya itu, "Dengan ikhlas saya bersedia menerima lamarannya Adli dan berjanji untuk memuaskan kemauannya."
Walaupun aku sebetulnya bercanda, tetapi semua kulakukan dengan penuh keseriusan. Begitu pula Adli menanggapinya dengan cara yang serius juga.

Sambil tersenyum lega Adli bertanya,
"Terus gimana Neng?"
Aku juga tersenyum dan menjawab, "Terus saya cium."
Dengan bersemangat Adli memyambutnya,
"Aduh mau Neng, ayo dong!"
Pada saat bibirku mendarat di atas kepala kemaluannya dan mengecupnya Adli mendesah,
"Aduh geli Neng, enak."
Apalagi waktu mulai kujilat-jilat dengan lidahku, ia betul-betul merasakan nikmatnya. Tubuhnya mengejang keras.
"Aduh Neng geli sekali."
Begitu kumasukkan ujung kemaluannya yang seperti topi baja itu ke mulutku, lalu mulai aku kulum, Adli mengerang panjang. Karena keenakan dia sampai menekan kepalaku ke bawah. Dipenuhi oleh kejantanan lelaki yang sebesar itu aku sampai sulit bernafas. Untung aku sudah cukup berpengalaman dalam hal seks oral, sehingga dengan mudah aku bisa menyesuaikan gerakan bibir, lidah dan mulutku.

Ketika ujung tongkat kejantanannya menyentuh langit-langit mulutku, aku merasakan lonjakan gairah yang membawa nikmat. Sayang sementara sedang menikmati itu semua, masih kudengar juga Adli bertanya lagi.
"Neng hanya ini aja apa boleh lebih Neng?"
Terpaksa aku menjawab dulu, supaya jangan terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan. Kuusahakan supaya Adli bisa menerima keteranganku dengan baik.
"Sebatas ini aja ya, soalnya baik Adli maupun saya kan udah berkeluarga.. Lagi pula kalau meliwati batas ini kita kan jadinya melanggar perintah agama.. Iya kan Adli?"
Tersenyum puas Adli memandangku,
"Iya juga ya Neng, sampai sekarang Adli belom pernah melanggar perintah agama.. Terima kasih ya Neng, begini aja Adli udah puas sekali kok."
Manis sekali anak ini, akupun jadi semakin menyukainya. Langsung kuperhebat emutanku, sampai aku sendiri semakin terangsang. Sewaktu aku sudah mulai hanyut, ternyata masih juga kudengar permintaan Adli.
"Neng..," panggilnya, "Neng Mimien."
Agak kesal aku menjawabnya, "Iya kenapa? Ada apa?"
Rupanya Adli tidak tahu bahwa aku merasa kesal. Terbukti dia masih memintaku,
"Neng, sambil diemutin, dijilatin juga Neng, enak kan kalau sembari dijilatin.."

Kupenuhi permintaannya, walaupun aku merasa agak jengkel. Berani betul anak muda ini menyuruh-nyuruh aku. Untung suasana batinku tidak sampai terganggu, sehingga aku dapat mencapai orgasmeku. Karena sudah terangsang dari tadi, terutama setelah mulai mengemut alat kejantanan Adli, beberapa usapan saja sudah cukup untuk membawaku ke puncak rasa jasmaniku. Aku mengaduh, merintih dan mengerang sambil terus menjilati barang kepunyaan Adli. Laki-laki itu sampai melihati aku dengan pandangan agak heran. Tapi tidak kuperdulikan lagi dirinya. Terus aku emuti daging keras Adli di mulutku, sampai gelora rasaku mereda.

Setelah itu yang aku sadar adalah betapa pegalnya rahang mulutku, karena dari tadi mengemuti kepunyaan Adli dengan tanpa henti. Sedikit-sedikit mulai ada rasa jengkel juga karena daya tahan kejantanan lelaki itu kuat sekali. Hampir aku sentak dia ketika sekali lagi kudengar suaranya berbicara kepadaku.
"Neng..," katanya, "Neng."
"Aduh Adli, ada apa lagi sih?"
Tapi untung dia tidak menangkap kekesalanku, karena kudengar dia berkata,
"Saya hampir keluar Neng."
Rasa gairah semakin merangsang diriku, semakin keras juga aku mengemut dan mengisap alat kemaluan Adli. Hingga akhirnya seluruh tubuh Adli mengejang keras, begitu juga batang kejantanannya di mulutku.
"Ah.. ah.. Neng.. Neng Mimien.. ah.. Aduh Neng.." Adli mengerang keras dan panjang. Rupanya dia sedang mengalami puncak kenikmatannya di mulutku. Semburan demi semburan air mani Adli memasuki rongga mulutku. Banyak sekali, kental, dan asin rasanya. Supaya tidak terselak kutelan sebisa-bisanya. Tapi setelah aku tidak tahan lagi, kubiarkan sebagian tertumpah dari mulutku dan terjatuh ke perut Adli.

Beberapa saat kemudian keadaan mulai mereda. Kudengar suara nafas Adli lembut. Alat kejantanannya yang masih berada dalam genggamanku ternyata masih keras juga.
"Adli," kupanggil dia.
Sambil mengusap-usap bahuku ia menjawab,
"Neng?"
Kujelaskan padanya, "Punya lelaki yang seperti begini yang jadi idaman wanita."
Seperti biasa dalam kepolosannya dia tidak langsung mengerti,
"Kenapa Neng?"
Karena sudah puas aku tidak kesal lagi dengan keluguannya,
"Soalnya biarpun sudah lepas muatannya masih tetap keras."
Sebelum dia sempat bertanya lebih jauh lagi kuminta ia membujurkan dirinya di ranjang. Lalu kuambil handuk yang sudah kubasahi dengan air panas dan kubersihkan seluruh tubuhnya. Sebelum tertidur Adli sempat memandangku mesra. Katanya lirih,
"Neng Mimien, Terima kasih ya Neng!"
Akupun tidur di ranjang satunya. Pemandangan tubuh telanjang Adli, yang sebagiannya telah terbungkus selimut, mengantarku ke dunia mimpi.

Ranjang Asmara
Perjalanan di hari berikutnya berlangsung cukup lama. Bukan karena jarak yang ditempuh jauh sekali, tapi lebih disebabkan oleh kemacetan yang luar biasa. Sebuah truk trailer rupanya mengalami selip dan terbuang melintang menutupi sebagian jalan antar kota yang kami liwati. Setibanya di kota tujuan berikutnya, yaitu Kuningan, langsung kuperintahkan mencari restoran untuk makan malam. Sayangnya setelah itu tidak langsung dapat menemukan hotel ataupun losmen dengan kamar yang masih kosong. Akhirnya terpaksa mencari kamar agak keluar kota, yaitu di kawasan pariwisata yang berada di daerah pegunungan.

Baru menjelang tengah malam kami menemukan sebuah losmen kecil di mana masih tersedia kamar yang kosong. Untungnya pada setiap kamar di losmen ini dilengkapi pula dengan kamar mandi. Ketika aku memesan kamar, kulihat wajah Adli menatap dengan pandangan penuh harap. Begitu ganteng, tetapi polos dan lugu sekali. Kupesan satu kamar untuk dia dan Pak Soleh, supir kantorku. Aku sendiri minta kamar dengan tempat ranjang double-bed. Berbeda dengan semalam sebelumnya, kali ini aku tidak begitu tergerak untuk mengajak Adli ke kamarku. Barangkali karena hasratku sudah terpuaskan tadi malam, lagi pula perjalanan hari ini benar-benar membuatku sangat letih.

Segera aku mandi dan membaringkan diriku di ranjang empuk yang tersedia. Lama kelamaan baru terasa malam ini sepi sekali. Agak menyesal juga tadi tidak mengajak Adli bersamaku. Tapi kalau mencarinya sekarang rasanya gengsi juga. Sewaktu aku hampir tertidur kudengar bunyi ketukan di pintu, lalu suara seorang laki-laki.
"Neng, Neng Mimien, sudah tidur belum..? Neng bukain pintunya dulu Neng."
Karena ketukan pintunya begitu gencar akhirnya kubukakan pintu untuk Adli. Ia segera masuk ke dalam ruangan, sedangkan aku yang tadi tidur dengan busana yang sangat minim segera kembali ke bawah selimut. Kutanya kepadanya,
"Kenapa Adli, ada apa?"
"Adli nggak bisa tidur Neng, boleh nggak Adli di sini? Nggak usah sampe pagi sih."
Dengan hati-hati kujawab, "Boleh sih boleh, tapi apa kata Pak Soleh nanti?"
Adli tersenyum lebar, "Tadi saya udah bilang mau jalan-jalan. Besok saya bilangin aja Adli nyari kamar lain, soalnya Pak Soleh kalo tidur ngorok Neng."
Rupanya biarpun polos jalan juga pikiran anak ini. Waktu Adli mau naik ke atas ranjang kucegah dia.
"Itu kan celana yang tadi siang dipakai, lepas dulu dong, kan kotor."
Tersenyum Adli memandangku,
"O iya Neng, lagi pula supaya nanti gampang ya kalo Neng Mimien mau, kalau begitu sekalian aja saya lepas bajunya ya Neng."
Kurang asem si Adli, berani betul dia membuat asumsi seperti itu. Sebelum kubalikkan tubuhku membelakanginya sempat kulihat tubuhnya yang telanjang kekar naik ke atas ranjang.

Beberapa saat berlalu tiba-tiba kurasa sentuhan tangan Adli di bahuku.
"Neng jangan tidur dulu dong Neng," pintanya memelas mesra. "Deketan dikit dong, biar nggak kedinginan," sambungnya lagi.
Kuputuskan untuk beringsut sedikit ke arah tubuhnya. Aku masih diam saja, tapi kubiarkan Adli merangkul dan mengecup bahuku. Setelah itu disusupkannya lengan kirinya ke bawah leherku, sehingga aku sekarang berbantalkan lengan yang kokoh itu.
"Balik sini dong Neng," pinta Adli sekali lagi.
Kuturuti permintaannya. Terasa bulu ketiaknya menusuk pipiku. Tercium juga bau keringatnya yang agak tajam menyengat. Kurasa Adli belum mandi, dan yang pasti tidak memakai deodorant. Boro-boro mau beli perlengkapan semacam itu, gaji untuk hidup sehari-hari sajapun mungkin pas-pasan. Tapi tidak kuucapkan komentar apapun, karena akupun tidak ingin untuk menyinggung perasaannya.
"Neng," kata Adli memulai percakapan, "tadi malam enak ya Neng?"
Kutanggapi ia malas-malasan, "Iya, lumayan juga."
Dengan terbuka ia mengakui, "Neng, Inget yang tadi malam Adli jadi ngaceng, eh maksudnya bangun lagi ITU-nya Neng."

Dengan maksud iseng kugoda Adli,
"Maksud Adli ITU-nya apa sih?"
Dalam kepolosannya sulit ia untuk menjawab dengan tepat,
"Itu Neng, penisnya.. eh apa tuh namanya Neng?"
Aku jadi tertawa geli mendengar jawabannya itu. Adlipun tertawa bersamaku.
"Pegangin dong Neng, sekarang dia memintaku."
Terus terang aku sendiri juga mulai terangsang. Kumasukkan tanganku ke dalam selimut, dan segera menuju ke arah selangkangannya. Begitu terpegang tonjolan keras di balik celana dalamnya segera tanganku mencari celah masuk. Seperti pengakuannya tadi ternyata alat kejantanan Adli sudah menegang keras dan besar sekali. Terasa sekali hangat berdenyut dalam genggamanku. Agak lengket oleh keringat yang barangkali sudah mengendap seharian.

Terbawa oleh suasana mesra saat itu kucium dan emut puting dadanya. Adli menggelinjang kegelian. Katanya meminta, "Terus ke bawah Neng."
Tapi tercium lagi olehku bau keringat Adli. Karena tidak tahan kuusulkan padanya,
"Adli, mandi aja dulu, nanti rasanya lebih segar deh."
Di luar dugaanku Adli menanggapi dengan penuh percaya diri,
"Nggak usah deh Neng, dingin sekali."
Tapi aku tidak mau menyerah begitu saja. Kataku membujuknya,
"Lho kan ada air panasnya, sana deh.. Apa harus saya yang mandiin?"
Sambil berdiri Adli berkata, "Nggak usah ah kalo dimandiin, emangnya jenazah nggak bisa mandi sendiri."
Adli merosot celana dalamnya, "Tapi ininya dicium dulu dong."
Agak jengkel aku mendengar permintaannya. Dari nadanya kesan yang kutangkap seakan-akan dia ingin menguji atau mempermainkan aku. Dengan maksud supaya dia cepat pergi ke kamar mandi, segera kukecup kepala dan batang kemaluannya, masing-masing sekali. Tapi Adli memintaku untuk mengulanginya sekali lagi, dan setelah itu sekali lagi. Akhirnya malah aku sendiri yang keenakan menciumi batang kemaluan Adli.


Bersambung . . . .




Birahi jalang - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Beberapa tahun yang lalu aku bertemu dengan calon suamiku, seorang dokter muda yang sedang naik daun. Ketika ia mulai mengunjungi rumahku dan rupanya mulai menunjukkan minatnya terhadapku, kedua orang tuaku menunjukkan rasa senangnya. Maklumlah siapa yang tidak mau punya menantu seorang dokter. Apalagi Mas Heru adalah dokter yang sedang mulai naik daun di kota kediamanku.

Dibandingkan pacar-pacarku dulu, di antaranya ada yang pegawai bank, dosen dan pengusaha, kedua orang tuaku paling bersikap mendukung terhadap dokter muda ini. Apalagi kelihatannya Mas Heru cukup serius, dalam arti bukan hanya sekedar ingin berkawan. Sebagai anak yang ingin berbakti terhadap orang-tua tentunya aku harus mau mengikuti apa yang mereka anggap baik untuk kehidupan dan masa depanku.

Walaupun sebetulnya aku tidak terlalu tertarik kepada Mas Heru. Untukku dia orangnya terlalu serius, dan selalu berbicara tentang pekerjaannya. Seolah-olah tidak ada hal lain dalam kehidupan ini yang menarik hatinya. Sudah kubayangkan bagaimana akan membosankannya kehidupanku sebagai istrinya. Apalagi sebetulnya aku termasuk orang yang popular sebagai kembang sekolahku. Rasanya kalaupun mau mencari suami seorang dokter kalau bisa jangan yang seperti Mas Heru. Tapi apa boleh buat, ternyata tidak selamanya manusia dapat bebas memegang kendali hidupnya.

Ketika Mas Heru datang di dampingi kedua orang tuanya, lalu ayahku menanyakan kesediaanku untuk dilamar Mas Heru, pada waktu itu rasanya tidak ada jalan lain kecuali menerimanya. Pesta pernikahanku memang cukup meriah, terutama untuk ukuran kota kecilku. Tidak lama setelah itu Mas Heru, yang telah dipindah-tugaskan ke kota Bandung, memboyongku ke tempat kediamanku yang baru.

Benar saja ternyata tepat apa seperti apa yang telah kuperkirakan. Di kota Bandung aku kesepian dan segera merasa jenuh. Teman-temanku belum banyak, sedangkan Mas Heru terlalu larut dalam tugas-tugasnya. Nikmatnya kehidupan perkawinan, seperti yang pernah digambarkan kakak-kakakku, ternyata tidak kualami. Bukan hanya secara sosial lingkungan Mas Heru terasa begitu membosankan, kehidupan seksualku dengannya juga terasa hambar. Hampir saja aku menelepon mantan pacarku, seorang pegawai bank yang kebetulan juga dipindah ke kota Bandung. Walaupun dengannya dulu aku tidak pernah sampai berani berhubunagan seks, tapi sebatas hubungan oral yang pernah kami lakukan rasanya jauh lebih hebat daripada yang kualami sekarang. Tapi untunglah aku sanggup menahan diri. Rasanya kemana gengsi dan martabatku kalau harus mencari-carinya, padahal dulu lamarannya ditolak orang-tuaku

Penjaga Kantor
Dalam keadaan hampir tidak tahan lagi, seorang wakil perusahaan farmasi, yang kebetulan menjadi relasi suamiku, datang mengunjungiku. Dimintanya kesediaanku untuk menjadi agen penyalur obat-obatan produksi perusahaannya. Katanya menurut pengamatannya, aku orangnya supel, lincah dan cantik, bahkan kelihatannya mempunyai bakat untuk meyakinkan orang lain dengan mudah. Sangat berbeda, katanya lagi, dibandingkan dengan suamiku. Dengan training dan dukungan teknis perusahaannya, aku akan mampu mengembangkan usaha sebagai penyalur obat-obatan.

Karena tertarik kuminta ijin suamiku. Pada mulanya ia nampak keberatan, karena takut ada konflik kepentingan dengan profesinya sebagai dokter. Tetapi setelah kurayu terus-menerus akhirnya Mas Heru setuju juga. Katanya aku boleh mencoba usaha baru ini, dengan syarat tidak memasarkan obat-obatan yang kuageni di kota Bandung. Berarti dengan demikian aku harus mau melakukan kegiatan-kegiatan marketing ku di kota-kota lainnya, walaupun masih di sekitar Bandung juga.

Setelah membuat kalkulasi yang cukup mendalam, aku putuskan untuk mulai melangkah. Kusewa sebuah ruko agak besar di Jalan Soekarno-Hatta, supaya dapat dijadikan kantor sekaligus gudang. Dengan bantuan relasi pabrik obat yang kuageni aku mulai menata usahaku. Terpaksa aku sendiri yang harus melakukan perjalanan-perjalan untuk pemasaran, malah kadang-kadang sampai berhari-hari.

Tanpa diduga hanya dalam tempo enam bulan kegiatanku sudah menampakkan tanda-tanda keberhasilannya. Dengan keadaan yang semakin berkembang bertambah pula karyawanku, termasuk untuk bidang pemasarannya. Tapi beberapa pelanggan yang telah kubina sejak awal, termasuk di antaranya beberapa rumah sakit dan apotik ternama, tetap kutangani sendiri. Karena itulah walaupun usahaku kelak semakin maju, aku sendiri tetap melakukan perjalanan-perjalanan yang cukup melelahkan, dalam rangka memelihara hubungan dengan pelanggan-pelanggan lamaku.

Di kantorku pegawai yang paling tua bernama Pak Solichin, dan sebagai penghargaan sering kupanggil mang Ihin. Barangkali karena dia sendiri merasa akrab denganku dipanggilnya aku Neng Yasmin, atau kadang-kadang Neng Mimien. Tanpa kuduga ternyata sebutan untukku ini akhirnya menjadi populer di antara karyawan-karyawanku. Mereka resminya tetap menyebutku Bu Yasmin atau Bu Heru, tapi tidak jarang juga Neng Mien atau Neng Mimien. Karena aku masih muda, dengan usia yang tidak terlalu jauh berbeda dari pegawai-pegawaiku, kubiarkan saja mereka menggunakan sebutan akrab ini.

Di antara karyawanku ada seorang pemuda bernama Adli. Ia masih muda, tetapi sudah berkeluarga dengan satu orang anak. Orangnya hitam manis, gagah dan tampan, tetapi lugu sekali. Kelihatannya pendidikannya tidak terlalu tinggi. Barangkali malah tidak sampai tamat SD atau SMP. Walaupun demikian kesetiaannya sangat bisa diandalkan, bahkan caranya membela apa yang dianggapnya sebagai kepentinganku sangat fanatik. Dia mulai bekerja di tempatku sebagai penjaga malam, alias satpam, dan ternyata sangat baik menjalankan tugasnya. Karena dia juga pandai ilmu-ilmu bela diri, seperti silat dan sebagainya, beberapa stafku mengusulkan supaya dia menjadi pengawalku. Khususnya dalam perjalanan-perjalananku keluar kota. Apalagi akhir-akhir ini keadaan di wilayah sekitar Bandung dirasa kurang aman.

Jadi mulailah Adli ikut mendampingiku keluar kota. Ternyata pengaturan ini sangat memuaskanku, karena orangnya lucu dan jenaka. Sering-kali aku merasa terhibur dengan lelucon-lelucon ataupun gayanya yang kocak. Di samping itu ada lagi kelebihannya, sebagai seorang jago silat Adli juga pandai mengurut dan memijat. Maka bukan sekali dua-kali aku sempat memanfaatkan kebolehannya ini.

Pada suatu hari aku harus melakukan kunjungan ke kota-kota Sumedang, Kuningan dan Cirebon. Endah, seorang tenaga pemasaran yang biasa mendampingiku, kali ini tidak bisa ikut bersamaku. Kebetulan orang-tuanya jatuh sakit. Karena Mas Heru tidak keberatan pergilah aku dengan supirku, tentunya di kawal juga oleh Adli. Aku meninggalkan kota Bandung dengan perasaan enteng saja. Tidak terbayang bahwa nantinya akan terjadi sesuatu yang akan membawa pengaruh yang besar dalam kehidupanku.

Tidur Bersama
Semua urusanku di Sumedang berjalan lancar, bahkan mungkin lebih banyak waktu yang kugunakan ngobrol dengan langganan-langgananku daripada betul-betul menangani masalah bisnisnya. Seusai untuk malam pertama ini kami menginap di Sumedang. Kupilih kamar yang baik dan bersih untukku, lalu aku mandi menyegarkan diriku. Ketika mencoba untuk tidur ternyata aku tidak merasa mengantuk sama-sekali. Sulit sekali bagiku untuk memicingkan mataku. Akhirnya daripada kesal sendirian kusuruh Adli datang ke kamarku. Akan kuminta dia memijatku, sambil aku nanti mendengarkan cerita-ceritanya yang jenaka.
"Ada apa neng?" tanya Adli sambil memasuki kamarku.

Kuminta Adli memijat punggungku. Sebagai karyawan yang setia ia mau saja. Setelah beberapa saat kuminta ia menduduki pantatku, maksudnya supaya tekanan pijatannya lebih terasa. Santai saja kubiarkan ia mengurut dan memijati punggungku yang agak terbuka, karena jenis daster yang kukenakan memang seperti itu.
"Neng, panas yah! Saya sampai keringetan!"
Dengan lugunya Adli mengeluh kepadaku. Santai saja kutanggapi kata-katanya,
"Ya buka aja kaosnya!"
Setengah geli dan juga kesal aku melihat dia langsung membuka kaosnya dengan tanpa ragu sedikitpun. Lalu kembali dia memijati punggungku. Tidak berapa lama kemudian terdengar Adli berbicara lagi,
"Neng.. Neng Mimien, maaf ya Neng, kalau ada yang mengganggu."
Polos betul anak muda ini. Begitu sopan dan lugu, tapi juga gagah pembawaannya.

Memang aku sendiri merasakan ada yang sesuatu mengganjal di atas pantatku.
"Kenapa sih memangnya?"
Tanyaku dengan maksud mau mengganggunya. Jawabannya yang polos membuatku geli, tapi juga terangsang. Dengan sangat lugu dia menerangkan,
"Iya Neng, sudah seminggu belum kesampean.. eh.. gituan."
Kutanya lagi, "Kok bisa?"
"Iya habis kan sudah tiga hari ini sibuk di kantor, habis itu diminta nganterin Neng keliling." Lalu sambungnya lagi,
"Padahal sebelum berangkat istri saya lagi.. itu tuh Neng.. datang bulan."
Karena kepingin tahu kutanya terus,
"Jadi gimana dong?"
Keluguan dan kepolosannya semakin terlihat sewaktu dia menjawab.
"Yah pusing saja.. Apalagi ngeliat punggung Neng Mimien kenceng begini, kayak istri saya saja.., bedanya neng lebih putih aja."
Agak menahan tawa kuanjurkan padanya,
"Yah kalau pusing dilepas aja pakai tangan di kamar mandi sana."
Usulanku ini ternyata ditanggapi dengan serius oleh Adli.
"Iya yah Neng, bener juga, kalau gitu ditinggal sebentar ya Neng."
Adli berdiri lalu melangkah kearah kamar mandi. Seakan-akan tanpa beban apapun ditinggalnya aku sendiri begitu saja. Masih terlihat olehku tubuhnya yang ramping, kekar dan berotot itu. Tanpa sadar kutelan ludah. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di kerongkonganku.

Karena bosan dan juga ingin tahu, kalaupun belum karena dorongan gairah, kususul Adli ke kamar mandi. Karena tidak terkunci pelan-pelan kubuka pintunya dan akupun masuk dengan rasa penasaran. Adli tidak menyadari kehadiranku di dekatnya. Terlihat dia sedang berdiri menyandar pada bak mandi. Tubuhnya dalam keadaan telanjang, karena tadi baju kaosnya sudah kusuruh lepas waktu sedang memijatiku. Walaupun kulitnya agak gelap, secara keseluruhan dia terlihat gagah. Celana pendeknya masih menggantung di pahanya, karena rupanya hanya dilorot sebagian.

Terlihat matanya terpejam menikmati apa yang sedang dilakukannya. Dari gerakan pada lengannya kutahu dia sedang mengocok barang kepunyaannya. Segera kutujukan mataku ke arah selangkangannya. Apa yang kulihat saat itu membuatku kagum, dan juga nafasku sesak tersengal. Tangan Adli sedang menggenggam alat kejantanannya, yang kelihatan besar dan panjang sekali. Sangat berbeda dengan kepunyaan Mas Heru yang ukurannya sedang-sedang saja. Ujung kepala kemaluannya bulat, keras dan mengkilat. Seperti orangnya warnanya juga cokelat tua agak kehitam-hitaman.

Adli masih terus mengocok-ngocok barang kepunyaannya yang mengagumkan itu. Karena matanya terpejam dia tidak menyadari bahwa aku telah semakin dekat dengannya. Aku juga terbawa untuk memejamkan mataku. Terbayangkan olehku hal yang tidak-tidak yang juga membuatku terangsang. Kurasa sesuatu yang menggelegak dalam diriku. Sekali lagi aku sampai menelan ludah. Lalu kuberanikan diriku dan menyapanya,
"Adli! Besar amat sih itu-nya?"
Adli terlihat sangat terkejut. Tersipu-sipu ia berkata,
"Aduh Neng, kok ada di sini.. Aduh maaf Neng!"
Segera kutenangkan dia, "Nggak apa-apa, nggak apa-apa kok."
Lalu sambil mengulurkan tanganku ke arah tonggak kejantanan Adli aku berkata,
"Coba lihat dong! Ukurannya kok sampai sebesar ini sih?"

Karena sudah terangsang tanpa dimintanya kujilati juga tonggak kejantanan yang perkasa itu. Kesan lengket yang tadinya ada sekarang sudah hilang, tersapu oleh jilatan lidahku. Sementara aku sedang menikmati kejantanan Adli kudengar dia bertanya,
"Neng seneng ya sama ITU-nya Adli."
Kujawab singkat, "Iya dong, seneng sekali."
Rasa penasaran rupanya mendorongnya bertanya lagi,
"Kalau sama yang dulu-dulu."
Pertanyaannya membuat gairahku semakin bergejolak. Tapi kucoba juga untuk menjawabnya,
"Senengan yang ini."
Merasa belum puas dikejarnya terus jawabanku,
"Kenapa?"
Dengan nafas tersengal-sengal kujawab dia,
"Ini yang paling hebat, paling besar, paling kuat.. pokoknya.. paling jagonlah."
Adli tersenyum bangga. Lalu pelan-pelan didorongnya daguku hingga menjauh dari batang kemaluannya.
"Iya deh, sekarang Adli mau mandi dulu ya,' katanya meminta diri.
Sejenak aku merasa seperti ditinggal pergi dengan sengaja, bahkan ditolak, atau malah dipermainkan. Rasanya hatiku tidak rela melepas Adli pergi, biarpun hanya untuk ke kamar mandi.


Bersambung . . . .




Birahi antara dua benua - 3

0 comments

Temukan kami di Facebook
Di Negeri Sakura

December akhir 1998, Yonash harus pulang ke Indonesia, sebulan kemudian Yonash tulis surat bahwa dia sudah di Negeri 'Sakura', Negeri 'Terbitnya Matahari', Yonash akan mengundangku kesana dalam waktu dekat.

Komunikasi antara aku dan Yonash 'intense' sekali, badanku selalu gemetar seolah gelombang listrik ribuan watt dikirimnya dari jauh menyeberangi lautan dan benua menerpa diriku, pikiranku tidak bisa focus menghadapi masalah kerjaan dan hidup keseharianku sendiri. Walau semuanya itu kutekan sebaik mungkin, namun arus Listrik ini sangat kuat menghempasku tak berdaya, aku tak dapat menipu diriku, aku terhanyut oleh birahi cinta. Otakku sadar betul akan keberadaanku, namun perasaanku, badan mencuat meronta, badanku menggigil panas-dingin tak karuan, meminta semua hasrat birahiku terpenuhi aku inginkan selalu bersua dan ML dengan Yonashku.

Enam bulan kemudian aku diutus perusahaan dimana aku bekerja untuk pergi ke 'Negeri Sakura', sebagai wakil perusahaan dalam menghadiri pameran dagang yang senyawa dengan warna dari perusahaan kami bergerak, adapun kota tepatnya adalah Kyoto. Bagai anjing yang kena pukul, serta merta aku menyanggupi kepergian ke kota itu, aku tulis email kepadanya bahwa aku akan datang selama 2 minggu, Kyoto 4 hari dan sisanya kekota tempat Yonash belajar.

Benar, pada saat aku mendarat dibandara, Yonash sudah menjemput dengan senyum khasnya, dan menyapa.
"Mengapa kok tegang sekali sayang lelah ya?"
"Rilekslah nanti aku pijitin dan akan segar sempurnalah tubuhmu lagi"

Sambil mengapit tanganku menyingkir dari keramaian orang-orang, kecupannya mendarat dibibirku, berpangutanlah kami terasa getaran sukma dan deburan darahku tak henti melanda diriku, cukup lama kami berpangutan, melepaskan rindu selama 6 bulan yang tak tersalurkan.

Sesampai di hotel setelah 'check in' dan masuk kamar, langsung Yonash menelanjangiku, mengendongku ketempat tidur, dibelainya seluruh tubuhku, dikeluarkannya 'body cream' dari tasnya yang sengaja dibawa dari kotanya.

Dilumurinya tubuhku sedikit dengan 'body cream' dan mulailah dia memijat sekujur badanku, setelah itu dia menyelimuti tubuhku dan dia pun merebahkan tubuhnya disampingku sambil meremas-remas payudaraku dan membelai tubuhku, hingga tertidur lelaplah diriku selama 2.5 jam, rupanya perjalanan 12.5 jam lebih membuat aku betul-betul penat.

Yonash membiarkan aku tidur, kesempatan itu dia pergunakan untuk membaca Journal dan material bacaan kuliahnya. Sebangunku Yonash gendong tubuhku kekamar mandi dengan air hangat yang telah tersedia, dan dimandikannya diriku.

Spontan ketika dia menyabuni badanku akupun menyabuni badan Yonash, dari sentuhan mesra ini timbullah gairah syahwatku, segera kutarik Yonash mendekat kebadanku dalam bathtub penuh air, kaki kita saling menyilang dan badan kita berhadapan, kumasukkan kemaluan Yonash dalam memekku, sambil berkata:

"Yonash sayang, kita ngentot lagi yang indah ya, aku rindu ML dengan mu, kontolmu enak"

Dia terseyum mengiyakan, mulailah aku memeras kontol Yonash dengan otot vaginaku, dan aku ciumi Yonash dari bibir, pipi, kuping dan lehernya, sedang Yonash mengayun pantatnya maju dan mundur. Puas dengan gaya ini, aku bangun dan aku tunggingkan badanku sambil berpegangan kran air, aku buka dua pahaku kakiku dan aku minta Yonash untuk mengentot aku dengan 'doggy style', juga 'bull style' dimana Yonash merebahkan badannya di punggungku dan tangannya meremas-remas payudaraku, Huuh nikmat sekali kontol Yonash menyentuh dinding terdalam dari liang kenikmatanku, menggeliat tubuh bagian dalamku, seolah kontolnya menari didalam disana, tak tahan aku mendapatkan dera nikmat yang tibul dari gesekan kontol Yonash, ngilu dan nikmat semakin menjadi sensasi hebat timbul dari dalam sana, hingga Yonash dan aku harus mengerang, desahan dari mulut kita tak terelakkan, getaran tubuhkupun tak kunjung berhenti, akhirnya akupun mencapai orgasme. YonasHPun teriak untuk kedua kalinya, dia mencapai ejakulasinya bersamaan denganku.

Setelah kita selesai dengan styles ini, seperti biasa kontol Yonash belum lemas dan sambil menyiram dan menyabuni badanku kontolnya masih menancap dimemekku, diangkatnya badanku dan diputarnya badanku berhadapan dengannya, tanganku merangkul kuat lehernya, kemudian dia berdiri sambil membopongku diayun-ayunkannya badanku naik turun, dan Yonash menahan badanku dengan kedua kakinya agak mengkangkang tegak sekuat tenaga, hingga terasa nikmat melanda tubuhku kembali.

Dibawanya aku di meja dekat kaca kamar mandi, didudukkannya aku di 'vanity' itu, lalu Yonash mengentotku sambil berdiri, Yonash mendengus, melenguh dan mengaduh dia keluarkan lagi spermanya divaginaku dan akupun mulai terasa akan mencapai orgasme, maka aku cenkeram, aku cakar pundak dan punggung atasnya memakai kukuku, aku jeritkan ngiluku karena aku betul-betul mencapai orgasme yang sangat tinggi dan lama.
"Yonashh aku keluaarr lagi, enak sekali Yonash kontolmu aku puas sekali Yonash!"
"Yonash memekku berdenyut-denyut aachh enak Yonash"
"Yonash cium aku Yonash please, Yonash kiss me please!", begitulah racauanku bila aku merasakan kenikmatanku dikala aku mencapai orgasmeku.

Esoknya kami pergi nonton pameran dagang undangan dari kantorku setengah harian, setelah makan siang direstoran didekat gedung pameran itu, sorenya kita nonton Orchestra, distasiun underground Kyoto, tepatnya sebelah kanan atas dari pintu masuk stasiun itu, tepat dibelakang Department Store Takashimaya.

Sepulang dari nonton Orchestra kami kekolam renang campur laki-laki dan perempuan, dan telanjang bulat. Kami berendam diair panas, kemudian ganti keair dingin, selang-seling tiga kali, dengan perubahan kondisi air tersebut, membuat kemaluan Yonash menegang keras lagi.Keadaan tubuhkupun terasa ada dorongan sensasi yang hebat, ingin dipenuhinya hasrat besar untuk melakukan ML, ditambah lagi karena dari sentuhan-sentuhan yang kami lakukan, memekku berdenyut-denyut hebat lagi, ingin merasakan desakan kontol Yonash didalam sana dan ingin kujepitnya kontol Yonash keras2 dengan otot vaginaku.

Dalam keadaan demikian kami betul-betul terbuai, hasrat untuk ML kami menjadi sangat menggebu, seolah sukmaku dan sukmanya meronta ronta ingin keluar, memadu cinta kita berdua diudara bebas. Kemaluan Yonash kudapati semakin lebih keras menegang, Yonash menarikku dengan kuat berusaha memasukkan kemaluannya kedalam memekku dengan buasnya, akan tetapi aku berhasil menahannya.
"Yonash sayang, kau 'wild' sekali kali ini kontolmu konak, kita dikamar saja ya sayang, kita puasin disana ya"
"Liana 'bidadariku', aku 'wild' sekali saat ini, ingin aku merenggut kepuasan dari dirimu kali ini lebih lebih".
"Bagaikan aku ketagihan candu Liana, aku ingin ngentot lagi sama kamu sampai puas sekali sayang", deru nafasnya sangat kencang, matanya redup sayu namun buas, bagaikan kemasukan dewa birahi dari salah satu kuil Jepang.
Kubelai rambutnya yang basah, kusambut ciumannya yang hangat menyalurkan setrum listrik beribu watt kembali padaku. Aku bimbing Yonash keatas dan aku tarik handuk dari pinggir kolam untuk menutupi kemaluan Yonash yang menegang.

Namun diluar dugaanku, Yonash malah menggendongku menuju ke salah satu kamar disitu yang kebetulan memang tersedia kamar untuk pasangan laki-perempuan menyalurkan hasrat syahwatnya, maka Yonash langsung meletakkan aku di tempat tidur dan Yonas mengentotiku sambil berdiri dan kedua kakiku lurus di dua sisi pinggangnya, dua tangan dia memegang kedua paha atasku, kita ngentot, dengan 'Rickshaw style' atau gaya 'gerobag dorong', Yonash melenguh, mendesah dan mendengus, akupun melengking keenakan karena kebuasan Yonashku, aku meleguh dan teriak keras bila kontol konak Yonash menyentuh G-spotku, dinding vaginaku yang terdalam tersasa tergesek-gesek, dihempas-hempaskannya dengan kontolnya yang tegang keras sekali.

Tiba-tiba YonasHPun teriak menyambut ejakulasinya, yang aku susul juga teriakanku yang panjang karena aku mendapatkan orgasmeku. Yonash terpuruk ambruk di dadaku sambil kontolnya masih menanjap di memekku, kami berpelukan. Maka aku belai rambut Yonash yang masih basah itu, dengan penuh kasih sayang.
"Yonash kontolmu kuat, dan gagak sekali, enak menerpa dan menari didalam sana"

Yonash tak menjawab hanya senyumannya dan redup matanya, yang menerangkan bahwa dia masih mau lagi bertarung denganku. Sepuluh menit kemudian Yonash mengangkatku, dengan kontolnya masih menancap di memekku, dan duduklah dia di pinggir tempat tidur, dan meminta aku memompanya naik turun. Aku berusaha memuaskan Yonash dengan senang hati, aku lakukan pemompaan kontol Yonash sambil badanku agak condong kebelakang dijaga dengan kedua tangan Yonash yang kuat memegangi pinggangku supaya aku tidak terbalik jatuh kebelakang.

Setelah kami daki nafsu asmara kita selama 3 menit, kamipun mencapai ke puncaknya, kami berdua melantunkan kepuasan aku mencapai orgasme dan ejakulasinya Yonash hampir bersamaan, maka melengking, berteriak bebaslah kita berdua. Rupanya pelayan-pelayan situ sudah memahami keadaan kami dan merekapun berlagak tuli dan tak perduli.

Setelah kami membersihkan diri lagi kamipun cari makan malam kemudian kembali pulang ke Hotel, terasa lelah sekali badanku dan tertidurlah aku. Dibiarkannya aku tertidur, Yonash mengambil buku untuk belajar lagi, setelah 3jam dia belajar, dibangunkannya diriku dan kami ML lagi dibalkon dengan 'doggy style' juga dikursi, yang terbuat dari besi, aku duduki Yonash yang sedang duduk dikursi balkon itu, aku masukkan kemaluan Yonash ke memekku posisiku membelakanginya, dengan agak condong ke depan kakiku mengkakang diantara dua kakinya, aku pompa kontol Yonash naik turun terus menerus, sambil Yonash memegang pinggangku.

Enak sekali rasanya dengan style ini memekku seolah digesek dan diaduk2 di tempat G-spotku, rasa ngilu tak terperikan seluruh relung kenikmatanku bergetar hebat, hingga akupun teriak histeris seperti macan betina melolong karena kena luka dari lawannya, hal ini tak bisa kutahan bila mendapatkan orgasmeku yang sangat mikmat, akupun memanggil namanya, "Yonash, Yonash! Gila kau, enak sekali kontolmu sayang!"
Sambil aku jepit, pijit kontol Yonash memakai otot vaginaku kuat-kuat, maka YonasHPun melengkikkan suaranya rupanya dia sampai kepuncak pendakiannya dan menyeprotkan spermanya yang terkumpul diujung kontolnya kedalam memekku.

Pagi harinya, biasa Yonash bangun pagi, mandi terus belajar, dengan lampu mejanya. Sesegera Yonash melihat aku mengeliat, langsung dia naik lagi ke tempat didur dan mencari gundukan nikmatku dan di jilatinnya gundukan segitiga nikmatku dengan buas dan rakusnya, cepat sekali dia membuka bajuku dan baju dia sendiri, dalam hitungan menit Yonash udah membalikkan badanku di atas badannya dengan kontol yang sudah menantang siap untuk di sepong, jadilah kita memainkan 69 kesukaan kami untuk ber"foreplay".

Setelah kami puas dengan raungan, teriakan ngilu dan geli berganti kita rasakan, dengan sigap namun penuh hati-hati Yonash membalik tubuhku, memposisikan tubuhku nungging dengan kepala miring di tempat tidur, Yonash menusukkan kontolnya dari belakang sambil menekuk kakinya ke belakang di tempat tidur, style ini selalu menjadikan badanku gemetar karena Yonash pandai sekali menyentuhkan kontolnya dalam relung nikmatku yang terdalam hingga menerpa G-spotku berulang kali, sangat ngilu rasanya bila terkena hentakan kontol Yonash, hingga kami sampai pada puncak nikmat kami masing-masing.

Setelah puas bermain cinta pagi itu, kami membersihkan diri, aku segera menyiapkan sarapan Yonash. Kemudian dia kembali belajar, akupun membaca bukuku novelku, sambil duduk bersandar bantal di 'Head bed' dengan kedua pahaku aku tekuk keatas terbuka tanpa CD, tak jarang YonasHPun menghampiriku dan mencium memekku dengan buasnya. Aku suka sekali diperlakukan begini, dan YonasHPun suka melihat aku seperti ini duduk tanpa CD didepannya sambil belajar.

Demikianlah tiap hari selama kami di Kyoto, pagi bangun tidur kami sudah tergairah untuk making love sepuasnya, kemudian Yonash meneruskan belajarnya. Jam 8:15 kami pergi ke pameran sampai siang hari, selanjutnya kami melihat kuil-kuil dan paviliun-paviliun kuno. Setelah puas pesiar, kami pulang istirahat, akan tetapi banyak sebab yang selau membuat kita tergairah untuk kita terhanyut 'makinglove' lagi, entah karena tiba-tiba aku minta ciuman Yonash yang kuat dan dalam, atau kadang hanya karena pandangan kita beradu, ataupun dengan sengaja Yonash meraba, mengeluarkan tetekku untuk di hisapnya sambil dia mengerjakan sesuatu di hotel itu. Tak lelahnya kita ML, kadang 3-4 kali dari sore sampai malam hari, mulai oral sex sampai beberapa styles ML bisa kita lakukan. Tak jarang kita tertidur lupa tidak memakai baju, karena udara sangat mendukung di 'spring' mau menuju ke 'summer'itu.

Hari kelima kita naik kereta cepat ke kota Yonash belajar, Yonash menyewa apartemen di daerah tidak jauh dari kampusnya, kami leluasa sekali ML di apartemennya dari mulai di teras belakang, di kamar, dikamar mandi dan meja makan, di atas meja dapur, sambil tiduran ataupun berdiri, aku akui stamina Yonash sangat tinggi, dia mampu ML berdiri sambil memondongku berlama-lama, sambil dia menciumi bibirku tak henti hentinya.

Bila aku merasa capek dibiarkannya diriku tidur adapun Yonash kemudian memasak nasi dan lauk atau dia mengerjakan tugasnya, dan bila aku bangun dia sudah siap menyuapkan makanan dimulutku, apa saja yang dekat dengannya entah itu makanan kecil atau hanya sekedar 'jelly fruits in the cup' kesukaannya.

Hari ke 3 dikotanya, Yonash dimintai tolong supervisornya untuk tidur dirumahnya, karena dia mau pergi ke Taiwan untuk tugas disana seminggu, dan dia boleh bawa temannya, dan kamipun pindah kesana. Rumah itu lebih besar dari apartemen Yonash, juga kebun di belakang sangat yaman, kami lakukan Ml didalam rumah dan diudara terbuka dibawah pohon-pohon cemara normal besar yang di pangkas seperti bonsai.

Disiang yang yaman 19 derajat Celcius itu kami ada di halaman belakang dibawah pohon cemara tersebut membaca Novelku, ditariknya diriku, dilepaskannya celanaku dan bajuku, di dekapnya aku sambil Yonash bersandar di batang pohon cemara itu.
"Liana kita ngentot di udara terbuka ya, aku pengin kepuasan darimu saat ini dibawah pohon ini, Liana tinggal disini dampingi aku disini sayang, kita ngentot disini terus menerus ya!"
Aku tak menjawab, hanya senyum saja, karena aku tahu itu racauan Yonash bila ingin melampiaskan nafsu birahi asmaranya bersamaku, dia sadar bahwa aku harus kembali di asalku, aku hanya mengelus rambutnya dan menciumi mulut, pipi dan lehernya.

Segera kami making love sambil berdiri berlama-lama sambil menikmati burung-burung bernyanyi di atas kita, mungkin malah burung-burung itu melihat dan menikmati suasana indah kita yang sedang 'hot' ngentot di halaman belakang itu, acchh rasanya dunia ini hanya milik kita berdua.

Esokannya kami bangun jam 8:30, karena spring time, humiditi udara disitu agak tinggi, artinya kita agak banyak berkeringat. Maka kamipun memutuskan untuk mandi dikamar mandi belakang, dimana bak mandi tersebut bentuknya seperti bak mandi di indonesia akan tetapi letaknya dibawah permukaan tanah, kedalam, sedangkan kamar mandi yang depan bermodel "bathtub" dan "shower", seperti di barat.

Kami berdua turun dalam air hangat yang sudah kita sediakan. Karena sempitnya bak tersebut yang hanya memang bisa untuk dua orang, maka kita tidak sabunan badan dulu, hanya saling meraba dan mencium, dari sentuhan itu nafsu birahi kami bangkit lagi kemudian kami saling mendekap.

Aku mulai meraba kemaluan Yonash yang ternyata memang kemaluan Yonash sudah berdiri menentang dan keras. Aku elus-elus batangnya, juga dua buah zakarnya yang menjadi agak mengecil karena membesarnya batang kemaluan Yonash tersebut. Aku suruh Yonash duduk di pinggiran bak mandi tersebut dan aku mulai menyepong kepala kemaluannya sambil berdiri didalam bak mandi, jilatanku menjalar terus ke batang kemaluan dan sampai ke kedua buah zakarnya, kuhisap buah zakar itu, kumainkan dalam mulutku.

YonasHPun kegelian dan mulai mendesah, mengerang, dengan sedikit mengangkat kaki kanan Yonash aku jilati semua paha dalam Yonash hingga Yonash menggigil kegelian.
"Liana enak Liana, teruskan liana, enak sekali ingin aku mendapat sepongan tiap hari begini"
"Tinggallah bersama aku disini terus, Liana sayang, aku membutuhkanmu"
Sekali lagi aku tak menjawabnya, hanya terus melirik keatas dan terus melakukan jilatanku ke arah batang dan kembali kekepala kemaluannya. Yonas memegang kepalaku dan menjambaknya kuat-kuat dia berusaha merunduk untuk menciup keningku tapi terlalu jauh untuk dijangkaunya, kemudian aku tepuk pantatnya untuk Yonash turun kedalam bak mandi lagi.

Sesampai didalam bak mandi lagi, langsung saja Yonash diselipkan kontol tegangnya itu kememekku dan dengan agak menggendongku dia goyangkan pantatnya maju dan mundur sampai kami mencapai kenikmatan masing-masing. Gerakan Yonash yang semakin kencang itu terasa tak membutuhkan tenaga banyak karena kami berada didalam dalam air, badan kami terasa ringan tidak menjadikan kami lelah, karena gerakan kami yang kuat, bak mandi dibawah permukaan lantai itu memuntahkan air nya ke permukaan lantai dan airpun mengalir keselokan yang telah disediakan.

Kemudian Yonash mengangkatku agak tinggi lagi, dan menyuruhku memompa naik turun, Aku sangat menikmati permainan ini, denyutan memekku menjepit kontol Yonash yang agak pasive saat ini, namun Yonash membantu badanku untuk bergerak naik turun, dua tangannya menopang pantatku untuk membantu gerakanku.

Tiba-tiba Yonash berkata lirih padaku, nafasnya memburu buas, sambil menegadahkan kepalanya serta matanya agak redup.
"Lianaa, aku sudah siap mau keluar, ujung kontolku udah berdenyut denyut, apa kamu juga udah siap kita keluaar sama-sama ya?"
"Tahan sebentar Yonash, aku pun ingin menikmati orgasmeku disini bersama kau sayang tunggu sebentar lagi"
Kemudian dalam detik-detik berikutnya aku lebih focus pada rasa gesekan kontol Yonash yang menerpa dinding rahimku terasa ngilunya tak terperikan.
Kemudian akupun berkata agak lantang, "Yoonash, keluarkanlah aku sudah siap aachh aachh sshhtth"

Segera setelah itu Yonash memuntahkan spermanya ke memekku tanda ejakulasinya tercapai sempurna, diiringi lengkingan ngilu dan kepuasannya. Sekian menit Kamipun tidak bergerak, hanya berpelukan erat sambil berpangutan, sampai betul-betul reda birahi kami.

Selanjutnya kami mandi cepat-cepat karena kami ingin melihat gugusan rumah-rumah kuno di zaman Meiji, yang jumlahnya tidak sedikit, dibutuh waktu hampir seharian, untuk melihat kesemuanya. Esoknya lagi, kami pun mengulangi hal yang sama, sebelum kami pergi ke sebuah 'castle' kuno dipinggir kota, juga melihat kuil-kuil jepang disekitar kota itu.

Kenangan indah yang kami lakukan ini kami lanjutkan terus walau kami terpisahkan beribu-ribu mill jauhnya. Kami saling kunjung mengunjung setiap 4 bulan sekali Yonash kekotaku di Australia atau aku kekotanya di Negara Sakura, hal ini sangat memungkinkan bagiku karena diAustralia dalam 1 tahun setiap karyawan berhak mendapatkan liburan sejumlah 1 bulan kerja sebagai 'annual leave' nya YonasHPun tak segan-segannya selalu membuatkan aku surat sponsor untuk Departemen Imigrasi Negera Sakura itu, untuk memudahkan aku keluar masuk ke negeri tersebut.

Hubungan cinta yang erat, indah dan panas ini tersendat saat ini, karena keberhasilannya Yonash menyandang Phd, Yonash harus pulang ke Indonesia tentunya istri dan anaknya membutuhkannya, juga pekerjaannya, namun hati kami tetap tertaut, SMS dan ICQ berjalan terus melantun sebagai media cinta kami.

Yonash selalu bilang bahwa dia selalu akan menemuiku bila ada kesempatan baik. Betul juga sewaktu aku harus kembali keIndonesia, Yonash tetap menemuiku, kami bertemu untuk berbagi rasa rindu kita yang sudah mendidih dan meluap.

Sewaktu kami berpelukan, sukmaku bergetar, badanku bergoyang, serta melelehlah airmata kebahagianku tanpa kusadari, kamipun segera melampyaskan kerinduan kami yang telah menyesak didada kami, rasanya kami betul-betul bisa menuai cinta birahi kita masing masing dengan indah diwaktu yang singkat itu.

Aku merasakan hubunganku dengan Yonash adalah merupakan kisah kasih yang sejati, hal ini tentu saja susah sekali aku lupakan, karena memang Yonashlah pembuka pelangi keindahan cinta dalam hidupku dan samudra luas dimana aku bisa menimba segala ilmu yang kubutuhkan, dari mulai pengetahuan umum, tehnik komputer, kesehatan, bahkan bila aku mendapat kesukaran dalam pekerjaan kantor diapun selalu siap memberi saran dan bimbingan bagaimana aku harus bersikap untuk menyelesaikan masalah tersebut. Yonash juga menularkan ilmu yang dia perlajari sedikit-sedikit untuk aku ikut mengerti.

Indah rasanya hidupku setelah mengenal Yonash, aku akan selalu respect terhadapnya sebagaimana dia juga respect kepadaku dan semua yang ada padaku.

Terima kasih kepada teman mayaku yang mau menshare pengalamannya dan membantuku, hingga tulisan ini bisa anda nikmati.


Tamat




 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald