Bumbu rahasia - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
"Huakk..!"
Muntah, mungkin cara yang terburuk memulai sebuah hari baru. Namun itulah yang kulakukan ketika itu, saat matahari belum juga muncul. Gadis pirang di belakangku menekan-nekan leherku.
"Pelan Ray, pelan..!" bisiknya berulang-ulang.
Aku terengah, mataku berair. Saat itu aku merindukan belaian gadis 'itu'. Namun kutekan perasaanku kuat-kuat. Kuraih kepala shower dan menyalakannya. Air dingin segera membasuh kepalaku.

"Kamu takut..?" gadis di belakangku berkata lirih, sementara jemarinya masih juga memijat tengkukku.
"I'm fine," bisikku menundukkan kepala.
Suaraku terdengar serak, mirip suara dari dasar sumur. Titik-titik air jatuh ke dalam bath tub, bersama dengan air liurku. Bagian belakang kepala dan leherku benar-benar sakit sekarang. Aku perlu 'pain killer' (obat penghilang rasa salit).

"To.. long.. pil..," ucapku seraya melirik lemari kaca di atas basin.
Gadis pirang itu melepaskan jemarinya, lalu buru-buru membuka lemari kaca.
"Yang mana..?" ia bertanya bingung.
"Me.. rah.. di.. bo.. botol..," ucapku terbata.
Pandanganku mulai berputar. Tidak lama kemudian kurasakan kepalaku membentur pinggiran bath tub.

*****

Siangnya aku terbangun tiba-tiba saat alarm berbunyi. Rasa pening dan sakit di leherku sudah lenyap, entah bagaimana. Kurasa Jessica sempat memasukkan obat itu ke leherku sebelum otot-ototnya berhenti berkontraksi. Aku tersenyum saat menyadari gadis itu terlelap di atas dadaku. Rambut pirangnya tergerai menutupi wajahnya. Napasnya menghembus lembut. Aku meraih rambutnya dan mengelus. Rambutnya indah sekali, pikirku dalam hati. Gadis itu terbangun saat aku menyentuh pipinya. Ia mengangkat kepala dan menatapku dengan senyum di bibirnya.

"Ja..? Udah bangun..? Je's takut..," ia berkata, lalu air mata menitik keluar membasahi pipinya yang putih kemerahan.
Aku tersenyum, lalu menggelengkan kepalaku. "I'm fine. Kamu ngga perlu mengkawatirkanku sampai seperti itu."
"Tapi, Je's kira Ja.. udah ngga ada," katanya kemudian. Aku tertawa mendengarnya.
"Kematian ngga akan menyentuhku sekarang..," bisikku sambil tersenyum.
Jessica membalas senyumanku. Gadis itu lalu mengangkat tubuhnya dan melumat bibirku.

"Emang kamu malaikat begitu..?" ia berbisik di bibirku. Aku tertawa, "Salah, Setan."
Jessica melumat bibirku beberapa saat sebelum ia terkekeh dan menarik lepas kaos putih tipisnya. Aku hanya tersenyum menyaksikan ia begitu bernafsu. Jadi kubiarkan saja ia menelanjangi dan menciumi sekujur tubuhku. Lalu kami bercinta lagi.

*****

Upay tiba di apartemen sekitar pukul dua siang. Aku tidak heran kalau ia dapat masuk, seingatku memang aku tidak mengunci pintu semalam. Ia menggelengkan kepalanya saat menatap tubuh Jessica yang tergeletak tanpa busana di atasku. Jessica betul-betul kelelahan dengan pekerjaannya sendiri. Sementara aku masih terbangun, melamun dan menikmati hembusan angin AC. Kugerakkan jempolku dan Upay beranjak ke ruang tamu. Mata Jessica sedikit terbuka saat kugeser tubuhnya.
"Ssh..," bisikku seraya mengecup keningnya.
Gadis itu menggeliat sambil tersenyum. Aku mengangkat tubuhku dari tempat tidur dan meraih celanaku di lantai.

"Aku mencarimu di rumah tadi, tapi tidak ada. Jadi kucari ke sini. Ini, jaketmu tertinggal di rumah. Aku tadi shopping, kupikir sekalian saja aku kembalikan," Upay berkata saat aku memasuki ruang tamu.
"Oh, sori..," sahutku sambil memandangi jaket kulit kesayanganku di atas meja, "Tadi aku berpikir membawa Jessica ke rumah, tapi kupikir-pikir lagi, aku lalu membawanya ke sini."
Upay mengangguk-anggukkan kepalanya, "Eh, Chin mana..?"
"Chin ngga ada," jawabku sambil melangkah menuju ke bar, "Dia pergi liburan."

Aku menatap jenis-jenis minuman di rak, bingung harus minum apa. Upay mendadak sudah di belakangku. Gadis itu menarik bajuku ke belakang.
"Sini, biar aku yang mengerjakan," katanya sambil tersenyum.
Aku hanya tertawa. Tidak berapa lama kemudian Upay sudah terlihat sibuk meracik ini dan itu.

"Siapa itu..? Upay..? Hai..!" kudengar Jessica menyapa dari depan pintu.
Upay menoleh dan tersenyum, "Hai, Jess..!" sapanya.
Jessica lalu melangkah keluar. Gadis itu hanya mengenakan celana dalam dan kaos tipisnya, tanpa bra. Aku tersenyum dan melambai. Jessica mendekat dan segera bersandar manja di dadaku. Upay yang melirik hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Belasan menit kemudian, kami sudah duduk-duduk di ruang tamu dengan gelas berisi Upay's Fist nama yang diberikan Upay pada 'mahakarya'-nya itu. Aku dan Jessica bertanya, kemana David. David adalah seorang pria Winchester yang sejak semalam sudah menjadi tunangan Upay. Lalu sambil tertawa Upay bercerita bahwa David tertidur kelelahan di rumahnya, selain kebanyakan minum, juga kebanyakan bercinta. Jessica melirikku dengan senyum simpul. Aku sadar, aku juga terlalu mabuk semalam. Lalu kami berbincang dan tertawa-tawa. Aku sama sekali tidak menduga bahwa tawa dari mulutku hanya sekejap.

Jessica bangkit dari sisiku lalu melangkah menuju balkon.
"Aku mau melihat Surabaya," katanya. Aku dan Upay hanya tersenyum.
"Dia anak yang baik," bisik Upay setelah Jessica melangkah ke balik pintu kaca.
"Ya," sahutku menganggukkan kepala.
Mataku menatap bayangan tubuh langsing Jessica dari balik kaosnya. Gadis itu putih dan menggairahkan, pikirku. Rambut keemasannya melambai. Gerakannya saat mengangkat kedua lengan membetulkan rambutnya membuatku seakan melihat seorang bidadari.

"Kamu baik-baik saja, Ray..? Sori aku mengajakmu pesta semalam."
"Aku tahu. Supaya aku tidak murung, kan..?" sahutku sambil tersenyum.
Upay tertawa renyah, "Begitulah," katanya, "Aku tak tahan melihat cemberutmu."
Kami lalu asyik memandangi Jessica. Gadis pirang yang baru kukenal tiga hari.

Mendadak terdengar suara dari aiphone, "Ray..? Ray..? Kamu di situ..?"
Aku tersentak mendengar suara itu. Upay mengerutkan alisnya. Kuhela napas lalu melangkah menuju aiphone.
"Naik saja," kataku, "Aku bukakan pintu."
Lalu aku berjalan menuju pintu keluar. Aku tidak perlu menunggu lama sampai gadis itu muncul dari koridor.

Ia masih tetap seperti ia biasanya. Tampak polos, keringat kerjanya yang menempel di leher. Aku memalingkan wajah, tidak sanggup memandangnya lama-lama. Aku melirik ke arah Upay di dalam apartemen. Upay mengangguk dan beranjak ke arah balkon. Saat aku berpaling, Moogie sudah berdiri di depanku.

"Hai..!" sapanya dengan tersenyum. Aku membalas senyumannya.
"Ini kerjaan sampai besok lusa. Kamu sudah baikan..?" gadis itu bertanya padaku.
Kuraih folder yang disodorkannya, lalu mengangguk. "Lumayan," jawabku.
"Aku tadi mencarimu ke rumah. Tapi tidak ada siapa-siapa. Jadi kupikir kamu ada di sini. Aku putuskan untuk datang saja, sekalian melihat keadaanmu. Kamu betul sudah baikan..?"

Aku menatap wajahnya yang serius, lalu aku tertawa, "Tentu saja. Aku baik-baik. Sakitnya sudah agak hilang."
Moogie tersenyum dan mengangguk. Lalu kami sama-sama terdiam. Semua jadi begitu kikuk. Beberapa hari yang lalu, aku pasti sudah merengkuhnya ke dalam pelukanku, mengajaknya masuk, lalu bercinta. Tapi sekarang, bahkan menawarkan untuk masuk saja aku tidak dapat.

"Oh ya," mendadak Moogie memecah keheningan, "Kubawakan kamu ini."
Gadis itu mengeluarkan sebuah bungkusan plastik. Saat aku melihat, di dalamnya ada sebuah kotak makanan.
"Ini masakanmu..?" tanyaku. Moogie mengangguk.
Ingin rasanya aku memeluknya saat itu juga. Aku benar-benar merindukan kasih sayangnya. Tapi aku tidak dapat. Tidak setelah aku meninggalkannya.

"Apa isinya..?" tanyaku kemudian sambil tersenyum.
"Anu..," Moogie mengelus dagunya, "Nasi rendang, telur dadar, dan krupuk upil."
Aku tertawa terbahak-bahak. Gadis inilah yang kusuka. Sederhana. Kurasa tidak pernah terlintas di pikirannya, bahwa orang yang tinggal di apartemen sepertiku mungkin lebih suka makan steak atau calamari. Itu juga yang membuatku jatuh cinta sejak pertama kali aku mengenalnya.

Kami terdiam beberapa saat lamanya. Aku tidak mencoba untuk menatapnya. Takut kerinduanku akan membanjir keluar. Akhirnya aku mendengar desahan napasnya.
"Baiklah, aku pulang saja," Moogie berkata lirih. Aku mengangguk.
Saat ia membalikkan tubuh, aku mendadak teringat sesuatu.
"Kamu naik apa..?" tanyaku.
Moogie tersenyum dan membalikkan tubuh.

Tepat saat itu, Jessica menyeruak dari pintu.
"Je's denger ada suara orang," katanya.
Aku menoleh dengan terkejut. Di belakang Jessica, Upay meringis dan mengangkat bahu. Aku berpaling ke arah Moogie. Gadis itu berdiri dengan wajah pucat.
"Moogie..," panggilku.
Sementara Jessica sudah bergelayut di bahuku. Moogie mengangkat lengannya dan menyeka sudut matanya.
"Aku jalan kaki, Ray.. jalan kaki..," desisnya sebelum membalikkan tubuh dan melangkah cepat menuju lift.

Aku mendorong tubuh Jessica ke samping.
"Tunggu di sini..!" ucapku lalu masuk ke dalam apartemen dan meraih jaket kulitku.
Upay hanya memandang ke arahku dengan tatapan menyesal. Aku menggeram, lalu berlari keluar menuju lift. Masih kudengar erangan Jessica di belakangku.
"Hey..! Ada apa sih..?"
Deep shit, Girl.. deep shit..!

Aku mendapati Moogie berdiri di lobi. Di depan pintu lift. Gadis itu menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Bahunya bergerak-gerak naik turun. Aku melangkah mendekat.
"Moogie..," bisikku seraya meletakkan tanganku di pundaknya.
Gadis itu berbalik dan menepis lenganku, "Jangan..!" desisnya.
Lalu ia melangkah menjauh. Beberapa orang memandang ke arah kami dengan rasa ingin tahu. Aku tersenyum kikuk dan mengejar.

"Moogie..! Dengar dulu," seruku seraya menarik lengannya.Gadis itu berusaha meronta. Tapi aku mengencangkan genggamanku dan setengah menyeretnya ke daerah yang sedikit sepi.
"Lepasakan..!" serunya meronta, "Sakit..!"
"Asal kamu tidak langsung pergi," ucapku.
Moogie menutupi lagi wajahnya dengan sebelah tangannya yang bebas. Ia menangis. Aku melepaskan tanganku.

"Aku mau antar kamu pulang. Jangan menolak, please..!" ucapku berbisik.
Moogie menganggukkan kepalanya dengan gerakan lemah. Aku bergegas menuju resepsionis dan menyerahkan kartu vallet yang kusimpan dalam dompetku.

Sepuluh menit setelah memasuki jalan raya, kami saling diam. Moogie masih menyeka sisa-sisa air mata di pipinya. Aku mendiamkannya.
"Kamu cepat ya, dapat cewek baru," mendadak aku mendengar ia berkata.
"Hmm..?" gumamku. Aku tidak ingin bercanda saat ini.
"Iya, padahal baru beberapa hari sejak kamu meninggalkanku."

"Hey lihat..! Ada tukang becak pipis di bawah jembatan tol..!"
Moogie menggelengkan kepalanya. "Tidak, Ray," katanya, "Jangan bercanda."
Aku terdiam. Sudah kuduga, tapi kenapa masih kulakukan.
"Maaf," ucapku, "Aku tidak bermaksud menyakitimu."
"Aku biasa saja. Hanya sedikit shock."
Aku hanya diam seraya mengutuk kejadian tadi dalam hati. Moogie juga hanya diam saja. Saat kulirik, gadis itu menopang pipinya dan menatap jauh ke luar jendela.

"Stop dulu..!" aku mendengarnya berkata beberapa puluh meter sebelum kami sampai di depan kantor.
Aku menghentikan mobil di bahu jalan dan menunggu.
"Ray..," kudengar ia memanggilku, "Lihat sini..!"
Aku menoleh. Dan aku melihatnya tersenyum.
"Aku hanya minta satu," ucapnya kemudian.
"Apa..?" tanyaku.
"Nanti jangan lupa dimakan nasinya. Dan jangan lupa minum obat. Aku tahu lehermu masih sakit. Banyak-banyak istirahat. Oke..?"
Aku tersenyum dan mengangguk, "Tentu saja."

Gadis itu lalu menundukkan kepalanya. Lalu ia menarik tas kerjanya, merogoh sejenak, lalu mengeluarkan sebuah benda.
"Ini..," katanya seraya menyodorkan benda itu kepadaku, "Kamu pakailah supaya lehermu hangat."
Aku menatap syal merah di tangannya. Entah mengapa aku ingin memeluknya saat itu juga, menjeritkan betapa bodohnya aku sudah meninggalkannya. Tapi aku tidak melakukannya. Aku hanya mengambil syal merah itu seraya menganggukkan kepala, "Thanks."

Moogie lalu membuka pintu mobil.
"Mau ke mana..?" tanyaku heran.
"Aku jalan kaki saja. Ngga enak kan kalau dilihat orang kantor."
Hatiku sedih saat melihat senyuman di wajahnya. Tapi lagi-lagi aku hanya dapat mengangguk.
"Hati-hati," bisikku seraya memalingkan wajah.
"Aku tahu. Kamu juga," gadis itu berbisik.
Lalu kudengar suara pintu ditutup.

*****

Bersambung . . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Bumbu rahasia - 1"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald