Percintaan gay yang nekat

0 comments

Temukan kami di Facebook
Kupikir, yang akan kuceritakan ini sedikit gila. Paling tidak menurut aku sendiri. Belum pernah aku seberani ini dalam hal cowok. Well, aku memang sudah pernah bersetubuh as well as disetubuhi, tetapi yang ini termasuk baru. Instant sekali, tanpa ada pendahuluan semacam perkenalan, pendekatan atau hal-hal lain yang seperti gitu. Langsung saja, meskipun aku sudah punya pengalaman dalam permainan cinta, aku merasa aku masih minim sekali. Satu hari, tepatnya hari minggu, karena aku tidak harus ke kantor maka pikiranku terus-terusan memikirkan ML dan ML (Making Love) saja. Gila banget. Sudah beberapa hari ini aku selalu begitu. Celakanya, aku tidak punya siapa-siapa yang bisa kuajak menyelesaikan masalahku itu. Sebenarnya sih ada, teman serumah (kami mengontrak) tetapi dia tidak seperti aku, bahkan dia sudah menikah dan punya satu anak yang dia tinggal di Lombok sana.

Disamping aku juga sama sekali tidak tertarik sama dia, dia bukanlah tipeku. Atau mungkin aku hanya menjaga citraku di depan teman serumahku itu. Yang jelas, tidak pernah sedetik pun dia masuk ke dalam imajinasiku. Lucky him! Mungkin. Atau lucky me. Jadilah, semuanya paling-paling berakhir di kamar mandi. Tetapi ternyata bukan itu yang kuperlukan, karena itu hanya bisa mendinginkan kepalaku sebentar, sesudah itu, memanas lagi. Akhirnya kuputuskan untuk ke warnet saja, chatting, untuk bisa melupakan pikiran-pikiran yang tidak mungkin ada solusinya itu.

Mandi, hanya pakai T-shirt dan jeans, semprot-semprot parfum sedikit, dan pergilah aku. Sebelum pergi, kuperhatikan bayanganku di cermin. Boleh juga bodi dan tampangku. Tidak heran, semasa kuliah dulu, cewek-cewek di sekelilingku, ada juga yang kupacari, tetapi itu sebatas mengikuti kebiasaan saja. Kalau aku tidak punya pacar cowok mungkin karena aku memang terlalu takut ada orang yang mengetahui siapa aku sebenarnya, jaga citra banget ceritanya.

Warnetnya agak jauh, aku harus naik kereta, dan ke stasiun kira-kira 10 menit dari rumahku. Ketika aku jalan sudah kira-kira tiga atau lima menit, muncul dari sebuah pagar rumah di depanku seorang cowok. Ups.. bodinya lumayan. Kulitnya putih. Kelihatannya dia lebih pendek sedikit dari aku. Tinggiku 172. Karena dia berjalan searah denganku, aku tidak sempat melihat wajahnya. Dia memakai kaos tanpa lengan, asyik, dan celana panjang tiga perempat. Bentuk V badannya kelihatan jelas.

Sambil berjalan, sebentar-sebentar dia memperhatikan badannya sendiri. Sebentar-sebentar melihat ke kiri di pundak, sebentar-sebentar melihat ke kanan. Mungkin dia memuji bodinya sendiri. Dan memang aku pun lumayan glek-glek. Aku tidak mau mendahului dia dong, lumayan kan pemandangan. Dengan leluasa mataku bisa menikmati pemandangan itu karena aku memakai kaca mata hitam. Mana ada orang yang tahu mataku mengarah kemana.

Dua bulatan pantatnya tidak terlalu besar, tetapi kalau dibuka buat aku, pasti langsung kulahap, kuremas-remas, kubuka, kujilati sampai dia mengerang-erang kenikmatan. Pokoknya imajinasiku sudah di seberang lautan waktu itu. Aku tidak tahu dia itu gay atau bukan. Dari cara dia berjalan, aku punya firasat, mungkin juga. Jadi kuikuti terus dia. Dia juga berjalan ke arah stasiun. Aku seperti mendapatkan insting berburu yang belum pernah kupunyai sebelumnya. Aku benar-benar berbeda hari itu. Gatel mungkin. Apalagi tidak tahan menahan keinginan itu selama beberapa hari belakangan ini.

Waktu aku berpikir begitu, tiba-tiba dia menyeberang jalan. Rupanya pinggir jalan itu terlalu panas, dia mau ke pinggir jalan lain yang lebih teduh. Ya lah, sayang kan kalo kulit mulusnya jadi hitam. Karena dia menyeberang (dia berjalan ke samping instead of ke depan), aku jadi bisa di depan dia. Aku nekat. Kulihat wajahnya, ganteng sekali. Rambutnya hitam, agak panjang, tetapi tidak gondrong, lurus belah pinggir. Sedikit konvensional, tetapi itu bikin dia benar-benar cute di mataku. Waktu mataku melihat ke wajah dia, dia juga melihat ke arahku. Ee, dia juga menatapku sambil berjalan. Aha, ada kesempatan nih. Langsung kulontar senyumanku yang paling manis (kuakui senyumku memang manis kok, suer!). Sambil sama-sama berjalan ke arah yang sama juga, kami saling memandang. Aku nekat terus memandang dan tersenyum ke arahnya, tetapi hatiku serasa mau terbang. Berdegup-degup tidak menentu. Aku belum pernah segenit ini, kupikir.

Dia berhenti waktu dia melihat aku mau menyeberang. Aha, dia menunggu aku. Jantungku sudah sedikit normal ketika aku sampai di seberang.
"Apa kabar?" dengan sok akrab kusapa dia.
"Baik." jawabnya.
"Nice body," aku langsung bilang ke dia.
Ya ampun.. gatel kali aku ini. Aku heran juga.
"Makasih, kamu juga."
Jelas sekali, aku tidak bertepuk sebelah kanan. Hatiku bersorak-sorak, perasaanku berteriak-teriak, yess.. yess.. Kami pun mengobrol. Namanya Adit. Dia juga bingung mau ke mana, jadi kami putuskan untuk ke warnet sama-sama. Jadinya, kami ke warnet sama-sama. Satu boot berdua. Aku semakin yakin kalau dia juga gay, ketika kulihat dia juga enjoy dengan apa yang aku lihat-lihat waktu surfing. Ujung-ujungnya, dia mengajak aku ke rumah dia. Dia kos di jalan yang sama dengan rumah kontrakanku.
"Kenapa baru sekarang ya, aku ketemu dia? Prospek.. prospek.. cerah.." dalam hatiku.

Kamarnya besar dan cukup lengkap. Pasti ini kos-kosan mahal. Kelihatannya mahal. Tetapi Adit sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk melihat-lihat sekeliling kamarnya lebih lama karena tanganku langsung diseretnya. Tahu-tahu kami sudah berhadapan, dekat sekali, tanganku memeluk dia dan dia juga begitu. Entah kapan mulainya, bibir Adit dan bibirku sudah saling menyerang. Saling gigit, saling sedot, dan lidah kami sudah sama-sama bertempur. Tidak ada kata-kata yang terucap (mana bisa, bibir dan lidah kami kan lagi sibuk!) hanya desah nafas kami yang saling berpacu. Aku yang sudah berhari-hari kepanasan karena nafsu sama cowok, tidak berpikir apa-apa lagi.

Tanganku masuk ke dalam kaosnya dan membelai-belai punggungnya. Kulitnya halus sekali. Dia seperti terkejang-kejang nikmat ketika tanganku bermain-main di punggungnya. Aku gigit telinganya, belakang telinganya kujilat-jilat mesra, dan tangan kananku mulai bermain-main di badannya bagian depan. Dadanya kuusap-usap, dan jari-jariku mencari-cari putingnya. Sesudah kudapatkan, kupelintir-pelintir putingnya, sampai dia terengah-engah, merintih-rintih, sambil mulut dan lidahnya sibuk menggigit-gigit di leher dan telingaku. Dia mendesah-desah memintaku untuk tidak menghentikan permainanku itu.

Karena tidak leluasa memainkan (baca: menikmati) tubuhnya ketika kaosnya masih dipakai, aku melepas kaosnya. Tetapi, dia lebih dulu melepas kaosku. Begitu kaosnya kulepas, kelihatanlah ketiaknya yang dipenuhi oleh bulu-bulu. Langsung kujilat-jilat, kuhisap-hisap. Dia mengerang-erang kegelian. Rupanya dia benar-benar menikmati jilatan-jilatanku di ketiaknya seperti aku menikmatinya juga. Jilatanku berpindah dari ketiak kanannya, lalu ke puting-putingnya, lalu ke ketiak kirinya, begitu seterusnya. Nikmat sekali bermain-main dengan tubuh cowok ini. Apalagi dia mendesah-desah, menjerit-jeris keenakan, menambah nafsuku semakin memuncak, ingin membuat dia merasakan nikmat yang lebih dan lebih lagi.

Giliran tangannya mempermainkan puting-putingku. Nikmat sekali, karena itu adalah salah satu bagian yang sangat peka dari tubuhku. Aku mengerang-erang lebih dahsyat lagi ketika dia mulai menjilat-jilat putingku. Dia menyedot-nyedot, menghisap-hisap, dan menggiggit-gigit kecil yang kanan, yang kiri dan seterusnya berganti-ganti. Seperti ada kabel yang langsung menyetrum ke bawah selangkanganku ketika dia menggigit putingku dan mempermainkannya dengan gigi-giginya. Karena tidak tahan, aku terduduk di tempat tidurnya, dan sekalian merebahkan diri. Adit pun langsung menindihku, dan bibirnya memagut bibirku. Sekali lagi bibir kami saling berpagutan. Sementara tangannya mempermainkan batang kelaminku. Aku tidak sadar, Adit sudah menelanjangiku bulat-bulat. Aku terlalu hanyut dengan rasa nikmat yang dia berikan bertubi-tubi.

Hanya dalam hitungan detik, selangkanganku sudah dikuasainya. Dijilatinya bulu-bulu kelamindisekitar pangkal penisku. Pasti dia senang sekali dengan bulu-bulu kelaminku yang lebat. Aku memang tidak pernah mencukurnya. Aku membiarkannya tumbuh melebat karena aku sendiri termasuk orang yang gila dengan bulu-bulu kelamin yang lebat. Benar-benar membuatku terangsang. Anyway, Adit masih sibuk dengan selangkanganku. Batang keperkasaanku digenggamnya, sambil lidahnya sibuk menjilati bulu-bulu kelaminku sambil sekali-kali dia menghirup dengan hidungnya. Dia pasti menyukai baunya. Aku menggelinjang-gelinjang sambil menyebut-nyebut namanya berkali-kali merasakan geli, nikmat dan indahnya jilatannya di selakanganku. Dia pintar sekali memberikan nikmat seperti itu. Pasti dia sudah berpengalaman. Tiba-tiba, kepala batang kejantananku dilahapnya, dan disedotnya.

Kuat sekali. Aku menjerit karena kaget dan geli. Bagian itu peka sekali. Melihat itu, dia berhenti, dan tertawa. Lalu lidahnya diarahkan ke buah zakarku. Buah zakarku yang tidak kalah rimbunnya dengan pangkal batang senjataku dijilat-jilatnya. Nikmat yang tiada tara. Aku sampai tidak bisa bernafas karenanya. Apalagi ketika dia mengulum bola-bolaku itu dengan lembutnya dan mempermainkannya di dalam mulutnya dengan lidah dan gigi-giginya. Puas bermain dengan bola-bolaku, diarahkannya lidahnya ke bawah batangku. Dikecup-kecupnya dan digigit-gigitnya daerah itu, membuatku berteriak-teriak keenakan.
"Terus, terus, jangan berhenti Dit!" pintaku ketika ujung lidahnya menyentuh pintu lubang anuslku, aku tercekat karena nikmat dan geli yang tidak terkira.
Aku teriak. Nafasku semakin memburu. Apalagi waktu lidahnya sudah bergerak keluar masuk di lubangku itu. Aku tidak bisa menggambarkannya dengan kata-kata di sini. Sebaiknya pembaca mencobanya saja sendiri.

Sekarang, giliran batangku yang jadi sasarannya. Yang bermain di lubangku, jari telunjuknya, atau mungkin jari tengahnya aku tidak tahu. Tetapi tusukan-tusukannya mengalirkan nikmat yang besar sekali. Apalagi bersamaan dengan itu, dia menjilati penisku. Pertama dari batangnya, lalu ke ujung kepalanya. Aku tidak tahan. Lalu dimasukkannya semua batang kelaminku ke dalam mulutnya. Pintar sekali dia memainkan otot-otot mulutnya dan lidahnya untuk memberikan kenikmatan kepada cowok lain. Aku benar-benar hanyut dan Larut. Tusukan demi tusukan di lubangku dan sedotan-sedotannya serta permainan lidah dan otot-otot mulutnya pada penisku membuat aku pasrah, hanya mendesah-desah kenikmatan, menyebut nama Adit berkali-kali, tanpa melakukan apa-apa. Benar-benar menyerah total.

Aku tidak tahan lagi. Aku merasakan aku akan segera keluar.
"Aku hampir keluar.. Dit. Aku hampir.." desahku.
Adit tidak peduli. Pasti dia mengharapkan aku keluar. Makanya kumainkan kedua putingku dengan jari-jari kanan dan kiriku. Itu kebiasaanku ketika menikmati keluarnya air mani, dengan begitu rasanya nikmat sekali. Dia menghisap batang kejantananku semakin kuat. Da terus dan terus menyedot, sehingga aku benar-benar keluar. Kurasakan nikmat yang menyeruak dahsyat sekali mengalir deras dari belakang menuju ke ujung senjataku, perasaan yang indah sekali, sampai badanku mengejang dan, "Crot.. crot.."
Rasanya banyak sekali aku menyemprotkan cairan mani yang kental ke dalam mulut Adit. Adit semakin memperkuat sedotannya, sepertinya dia tidak mau ada mani yang ketinggalan di dalam kelaminku. Aku berteriak teriak. Dan sesudah itu, lemas.

Adir bangkit, dan tersenyum, lalu mencium bibirku. Ketika itulah, aku sadar kalau dia masih bercelana. Tetapi di selakangannya sudah membasah sekali. Pasti sudah keluar air madzinya. Dia menindihku, tersenyum, dan menciumku lagi. Kami berpagutan lagi. Lalu dia membaringkan diri di sampingku, tetapi kepalanya di dadaku. Dia membelai-belai dadaku sambil sekali-kali mecubit putingku.
"Aku boleh mencucukmu, ngga?" dia tanya sambil tangannya membelai-belai dadaku.
Tentu saja aku mengiyakan. Itu yang aku inginkan. Sejak waktu lidahnya bermain-main di lubangku, lubangku sudah terasa gatal. Kalau dibiarkan seperti itu, kan berabe, bisa terus-terus kepanasan dong aku.
"Tetapi aku ingin menghisap kontolmu dulu. Boleh, kan?"
Dan tentu saja dia membolehkan.

Sebelum aku memuaskan dia, kami minum dulu. Hanya air putih, tetapi kami berdua haus sekali. Selesai minum, langsung aku menciumi Adit. Dari kepala sampai kakinya, tidak ada yang kulewatkan. Kulitnya bersih, bersih sekali, seperti tidak berbulu sama sekali, kecuali di pangkal batang jantannya yang lebat sekali. Tidak kalah lebat dengan punyaku. Hanya, bulu-bulu kelaminnya benar-benar keriting dan kaku. Begitu kontras dengan kulitnya yang putih mulus. Kemudian dia memintaku untuk memainkan puting-putingnya. Ternyata dia juga merasakan kenikmatan yang besar kalau putingnya dirangsang-rangsang. Tentu saja aku mau dong. Putingnya yang sebesar biji kedelai dan berwarna merah jambu itu langsung kujilat-jilat, kuhisap-hisap dan kugigit-gigit dengan kejutan-kejutan mesra. Waktu kuberikan kejutan, badannya seperti mau meloncat, dan teriakannya menyentak. Aku suka sekali, membuatku menjadi semakin terangsang. Batang kemaluanku yang sudah naik lagi sejak aku mulai bermain di dadanya tadi menjadi semakin tegang, rasanya sedikit ngilu.

Meskipun belum seberapa, aku puas melihat Adit mengejang-ngejang, mengerang-ngerang. Pemandangan yang seperti itu menyulut birahiku. Aku menjadi semakin bersemangat. Aku berpindah ke batangnya. Batangnya yang besar (tetapi punyaku masih lebih besar, punyaku panjangnya 18 cm dan punya Adit kira-kira 15 cm) langsung kulahap. Semuanya masuk. Dan nikmatnya menyedot-nyedot dan mempermainkan lidah di batang kelamin cowok kurasakan besar sekali. Aku menikmati sekali hal ini. Adit mengubah posisinya menjadi enam sembilan. Batang kelaminku yang sudah berdiri tegak lagi itu dimasukkannya ke dalam mulutnya dan disedot-sedotnya lagi. Nikmat sekali.. Sambil menikmati indahnya batangnya Adit dan menyedot-nyedotnya, Adit memberiku kenikmatan yang lebih lagi yang mengalir dari selakanganku. Apalagi dia mulai mengeluar-masukkan jarinya di lubang anusku. Tidak terkatakan enaknya. Aku menikmatinya saja.

"Sudah, sudah, aku tidak mau keluar sekarang. Aku mau keluar di dalam. Aku mau mencucukmu sekarang. Kamu mau kan?" terpotong-potong karena merasakan batangnya kuhisap-hisap, Adit bertanya.
Aku menghentikan hisapanku dan tanpa menjawab, langsung rebah di samping Adit. Kakiku kunaikkan sehingga lubang anusku terlihat dengan jelas. Pasti Adit terangsang melihatnya. Karena batang kejantanannya sudah basah dan lubangku juga sudah diberi pemanasan, dengan gagah, Adit menyodokkan senjatanya. Ketika menyentuk lubangku, aku merasakan nikmat geli yang luar biasa. Ketika mulai masuk, lubangku serasa penuh, hangat. Aku merasakan senjatanya memenuhi lubangku dari luar sampai dalam, hangat berkejat-kejat. Indah sekali. Langsung Adit menariknya keluar dan menyentakkannya lagi masuk. Aku tercekat. Sodokannya nikmat sekali. Ditariknya lagi, dan dihentakkannya lagi senjatanya. Aku berteriak kalau batang kejantanannya menyentak ke dalam, dan sebaliknya, mendesah kalau batang kejantanannya ditariknya keluar. Dia benar-benar kuat.

Geseran kulit batang kelaminnya dengan lubangku rasanya enak, gatal-gatal nikmat. Ini semua yang selalu aku bayangkan beberapa hari ini. Tercapai sudah. Sambil merasakan sodokan demi sodokan kejantanan Adit, aku menggoyang-goyang, dan mengejang-ngejangkan otot lubangku supaya Adit merasakan senjatanya diurut-urut. Aku pintar dalam hal ini, meskipun belum banyak pengalaman. Aku bisa melihat reaksi Adit ketika merasakan senjatanya kugigit-gigit dengan lubangku. Dia mendesis-desis, meram melek. Pasti nikmat sekali. Kerjasama yang indah. Batang kejantanannya memberiku rasa nikmat yang luar biasa, sementara dia pasti merasakan nikmat yang luar biasa pula.

Sodokan-sodokannya kurasakan kurang lebih selama sepuluh menit. Selama itu aku mengocok-ngocok batang kelaminku sendiri karena nikmatnya dahsyat sekali kalau ngocok sambil pantatnya dicucuk begitu. Dan aku ingin keluar bersamaan dengannya. Tiba-tiba aku rasakan senjata Adit menjadi semakin besar, lubangku semakin penuh, dan dia memdesis desis dan berteriak. Dia keluar. Aku merasakan ada tembakan hangat di dalam perutku. Enak dan mesra sekali. Kira-kira tujuh atau delapan tembakan, badan Adit mengejang, dan lalu lemas, lunglai, jatuh ke depan, menindihku. Dia mencium bibirku, dan bilang terima kasih. Aku mencium balik bibirnya. Kami berpagutan beberapa saat. Tubuh kami berkeringat, basah sekali. Kami berciuman lagi.

Aku belum keluar, jadi tanganku meraih kontolku yang masih tegang, dan Adit bergeser. Dia tidak diam melihatku mengocok kontolku begitu. Dijilat-jilat dan dihisap-hisapnya putingku satu demi satu dan dipelintir-pelintirnya dengan jarinya. Dia tahu apa yang membuatku terangsang nikmat. Kurasa dia adalah pasanganku yang cocok sekali. Hanya dalam beberapa saat, aku mengejang dan tiba-tiba Adit mennggeser tanganku. Tanganku digantinya dengan tangannya. Tanganku diarahkan ke putingku. Dia mau berganti peran. Begitulah. Dia kulum senjataku dan disedot-sedotnya, sementara aku melakukan perangsangan sendiri dengan memelintir-melintirkan putingku.

Karena nikmat yang amat sangat dari atas dan di selakanganku, aku pun menyeburkan maniku untuk yang kedua. Rasanya nikmat sekali dan sama banyaknya dengan yang pertama. Seperti yang pertama, dia juga menelannya semua. Bahkan dia masih menyedot ketika senjataku sudah tidak menyemprot lagi. Aku hanya melenguh karena geli. Aku meraih tubuhnya, dan aku menciumnya dimana-mana. Aku bilang terima kasih, lalu kami berbaring sama-sama. Sejak itu, dia selalu menjadi pasanganku. Tetapi kami berjalan tanpa komitmen apa-apa. Kami hanya bertanggung jawab kepada diri kami masing-masing. Biarlah semua ini terjadi. Toh sampai sekarang aku hanya melakukan itu dengan dia, dan aku yakin, dia juga begitu. Aku pun masih tinggal dengan temanku di kontrakanku dan dia masih tinggal di kos-kosan dia. Hanya kadang-kadang aku menginap di tempat dia (sekarang aku sudah kenal dengan induk semangnya dan selalu baik kepada mereka) dan tidak jarang Adit menginap di tempatku juga. Semua berawal dari nekat.

Tamat




Om Irfan - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
Kujulurkan lidahku dan kujilat kepala kontol itu. SLURP! Terasa agak asin dan beraroma khas kontol. Saya menyukainya! Kujilat lagi, lagi, dan lagi. Irfan mulai merem-melek saat lidahku menyapu kepala kontolnya. Langsung saja, kumasukkan semua kepala kontol itu ke dalam mulutku. Oh, nikmat sekali. Rasa asin dari precum Irfan begitu terasa. SLURP! SLURP! Kontol itu mulai kusedot-sedot. Rasanya agak aneh menyedot benda sebesar kontol tapi kubayangkan diriku sedang menyedot batang sedotan model baru. SLURP!

"Oohh.. Aahh.. Sedot terus.. Aarrgghh.. Enak banget.. Uugghh.. Jilat terus kontolku.. Aahh.. Kamu suka kontol kan? Oohh.. Sedot saja terus.. Aarrgghh.."

Irfan keblingsatan disedot olehku. Kedua tangannya terus meremas-remas rambutku, sesekali mendorong-dorong kepalaku agar kontolnya dapat masuk lebih dalam lagi. Beberapa kali saya tersedak karena tidak biasa memasukkan benda sebesar kontol Irfan ke dalam mulutku, tapi lama-kelamaan saya mulai terbiasa.

"Oohh.. Yyeeaahh.. Ayo, cocksucker (penghisap kontol).. Oohh.. Sedot kontolku.. Aarrggh.." Irfan mulai menyodok-nyodokkan kontolnya lebih kuat seakan mulutku adalah lubang pantat.
"Aarrgghh..!!"

Tak kusangka, kepala kontolnya tiba-tiba membesar dan kemudian semburan pejuh membanjiri mulutku. Saya tak menyangka Irfan akan ngecret secepat itu. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!! Bingung dan panik, kucoba untuk menampung semua pejuhnya di dalam mulutku. Namun sebagian berhasil lolos dan tersemprot keluar, membasahi badanku.

"Aarrgh!! Oohh!! Uugghh!! Aarrgghh!!"

Rasa pejuhnya asin-asin pahit, tapi enak. Kutelan semuanya agar pejuh itu tidak tumpah keluar dari mulutku. Irfan masih saja terus menyodokan kontolnya sampai pejuhnya akhirnya berhenti mengalir sama sekali.

"Aahh.. Enak banget tadi.." desahnya lemas.

Saya hanya cengar-cengir saja dengan mulut yang belepotan pejuh. Sebagian pejuh Irfan menetes ke atas dada telanjangku. Dengan kuatnya, Irfan menggotong tubuhku dan meletakkannya di atas ranjang. Saya merasa seperti sedang menjalani malam pertama dengannya. Perlakuannya sangat romantis. Dengan sekali tarik, lepaslah celana dalamku. Kontolku berdenyut-denyut, tegak menjulang. Mata Irfan terbuka lebar saat menyadari betapa seksinya tubuhku. Tampangku yang boyish sekali sangat menggoda nafsu birahinya sehingga Irfan tak dapat mengendalikan dirinya saat menerkamku.

Saya tak berdaya dicumbu seperti itu oleh Irfan. Bibirnya benar-benar lair sekali, menyedot dan menggigit setiap jengkal tubuhku. Karena tak biasa, saya kegelian dan berusaha menutupi bagian-bagian sensitif di tubuhku, tapi Irfan malah makin liar. Kupeluk tubuhnya dengan kedua kakiku sementara Irfan meninggalkan beberapa tanda cupang di dada dan perutku. Astaga, liar sekali pria ini. Saya merasa seperti anak kecil di dalam pelukannya.

Putingku sangat sensitif sekali, tapi Irfan malah menyedot-nyedotnya dengan kuat. Sesekali giginya menggigit-gigit kepala putingku, membuatku ingin berteriak kegelian. Geliat tubuhku ditahannya dengan berat tubuhnya. Saya tak berdaya dikerjai terus-terusan olehnya. Kulampiaskan rasa geliku dengan memeluk tubuhnya kuat-kuat. Selain dada dan perutku, bagian ketiakku pun tak luput dari jilatannya. Untung saja, saya tidak memiliki bau badan sehingga saya dengan bangga menyerahkan ketiakku yang berbulu sedikit itu untuk dijilat habis oleh Irfan. Om itu berpindah lagi, dan kali ini kontolku menjadi sasarannya. Kontolku yang ngaceng berat masuk ke dalam mulutnya dan Irfan mulai sibuk menjilat dan menghisap.

"Oohh.. Hhoohh.. Hhoosshh.."

Bosan dengan kontolku, Irfan pindah ke anusku. Tanpa jijik, Irfan menjilat-jilat anusku. Rasanya memang enak sekali; saya tak mau bohong. Kuerangkan rasa nikmatku sambil tetap melebarkan kedua kakiku. Di luar dugaan, Irfan tiba-tiba naik kembali ke ata stubuhku yang terbaring telentang dan memaksakan sebuah ciuman basah ke bibirku. Saya ingin berontak tapi lidahnya sudah telanjur masuk.

Saya suka berciuman, tapi saya tidak suka berciuman dengan orang yang baru saja menjilati lubang pantatku. Biarpun pantat itu adalah pantatku, tetap saja jijik. Tapi saya tak berdaya dicium-cium olehnya. Untung saja, tak ada rasa aneh yang melekat di lidahnya.

"Kamu seksi sekali," bisiknya di telingaku. Gombal, tapi saya suka.
"Sudah siap untuk dimasukin?" Saya mengangguk.
"OK, bersiaplah karena kontol yang besar ini akan mengentotmu sampai kamu berteriak minta ampun."

Kontol Irfan memang sudah tegang dan belepotan precum. Denyutan-denyutannya menandakan bahwa kontol itu sudah tidak sabar ingin mencicipi keperjakaanku.

"Aarrgghh.." erang Orfan saat menusukkan kepala kontolnya ke dalam lubangku.
"Oohh.." Lubangku terasa seperti sedang ditusuk-tusuk; membuka perlahan-lahan.
"Aarrgghh.. Aarrhh.. Oohh.." erangku, memeluk tubuh Irfan erat-erat. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhku. Meskipun Irfan sudah ngecret, lelehan pejuhnya kurang cukup untuk melumasi bibir anusku. Nmaun rasa sakit itu terasa erotis sekali karena timbul akibat disodomi.

"Uugghh.." erangku lagi, semakin kuat memeluk tubuhnya.
"Oohh.. Enak sayang.." desah Irfan, matanya merem-melek.

Sekujur tubuhnya merinding karena nikmat. Sementara penisnya terus meluncur masuk pelan-pelan, lelehan pejuhnya melumasi duburku.

"Aakhh.." Tiba-tiba Irfan berhenti mendorong kontolnya.

Nampaknya seluruh batang kejantanannya sudah masuk seluruhnya. Bola pelernya menggantung-gantung, bersentuhan dengan pantatku. Saya merasa penuh sekali, terisi oleh kontolnya yang besar itu. Kehangatan menyebar ke seluruh tubuhku.

"Gimana? Enak nggak? Aahh.." tanya Irfan, memelukku dengan mesra.

Kuangguk-anggukkan kepalaku.

"Enak banget, Irfan," jawabku.

Kontolku terperangkap di antara perutnya dan perutku. Perut Irfan memang agak buncit tapi tidak gemuk. Denyutan kontolku membuat Irfan mendesah-desah keenakkan. Precum menempel dan melumuri tubuh bagian bawah kami. Rasa sakit dan perih sudah mulai pudar, mungkin karena bibir anusku sudah mulai terbiasa. Kontol Irfan juga terus berdenyut-denyut, seakan-akan sedang memukul-mukul bagian dalam duburku. Lalu, kuucapkan kalimat itu.

"Fuck me, Irfan. Saya mau dingentot."

Irfan hanya tersenyum mesum sambil mencubit pipiku. Tanpa bicara, Irfan menarik kontolnya pelan-pelan agar saya bisa merasakan setiap detik dari kenikmatan itu.

"Aahh.." desahku, meraba-raba punggung Irfan.

Rasanya nikmat sekali. Di dalam otakku yang mesum, kubayangkan bagaimana kontolnya bergerak mundur. Oh, terangsang sekali aku memikirkan hal mesum seperti itu. Setetes precum kembali meluncur dari lubang kontolku. Saat kepala kontol Irfan hampir tertarik keluar, Irfan mendorong masuk batang kontolnya dengan perlahan. Saya tak kuasa menahan rasa nikmat itu sehingga saya tak henti-hentinya mendesah. Irama ngentot yang pelan itu diulanginya beberapa kali. Namun semakin lama, saya menjadi tersiksa karena anusku menjadi semakin 'gatal', tak sabar untuk dingentot lebih cepat dan lebih keras.

"Oohh.. Irfan, ngentot yang keras.. Aahh.. Ayolah.. Jangan siksa aku.. Aahh.. Aku butuh kontol.. Aahh.. Cepetan, ngentot aku.. Oohh.." Libidoku memuncak, dan saya memohon-mohon untuk segera disodomi.
"OK, saya akan mengentot pantatmu, tapi berpegangan yang erat, yach." Dengan itu, Irfan memeluk tubuhku dan lalu menggenjotku habis-habisan.
"Aargghh.. Oohh.. Aahh.. Uugghh.." Erangan demi erangan keluar dari mulutnya tiap kali kepala kontolnya bergesekan dengan dinding anusku.
"Oohh.. Enak sekali.. Aahh.. Ini yang loe mau kan? Aahh.. Shit! Fuck! Aarrgghh.. Terima ini.. Aahh.. Terima kontol gue.. Aahh.. Rasakan ini.." Kata-kata kotor dilontarkan bertubi-tubi sementara kontolnya menghajar anusku tanpa belas kasihan.
"Aarrgghh.. Oohh.. Aarrgghh.." erangku, kesakitan.

Iritasi hebat muncul karena pergesekkan yang tanpa melibatkan pelumas. Lelehan precum Irfan mulai memutih dan membusa, digesek-gesekkan di dalam liang pembuanganku. Saya berpegangan pada tubuh Irfan. Pria itu benar-benar mengeksploitasi anusku. Dengan hebat, Irfan menghabisi anusku. Segenap kekuatannya dikerahkan untuk menyodokkan kontolnya ke dalam tubuhku sedalam-dalamnya. Rasa nikmat berpendar saat prostatku dihajar berkali-kali.

"Oohh.. Aarrgghh.. Aahh.."

Kontolku mulai bocor. Tetes demi tetes precum mengalir turun, menuruni batang kontolku. Aahh.. Sekujur tubuhku bergetar. Saya tahu apa artinya itu. Saya akan ngecret sebentar lagi!

"Aarrggh.. Irfan.. Aahh.. Mau.. Ngecret.. Aahh.."

Badanku masih bergoyang-goyang, terkena sodokan kontol Irfan yang perkasa. Dan benar saja. Pejuhku langsung muncrat keluar seperti air mancur. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!! Rasa nikmat yang kualami sungguh tak terlukiskan, apalagi terjadinya masih bersamaan dengan irama sodokan kontol Irfan pada G-spotku. Bagaikan gunung api yang meletus ditambah bom nuklir.

"Aarrgghh!!" ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!! Tanpa malu-malu, saya mengerangkan orgasmeku.
"Aarrgghh!! Oohh!! Aarrgghh!! Uugghh!! Aarrgghh!!"

Pejuhku yang hangat kental keputihan muncrat berkali-kali, dalam gelombang-gelombang yang memabukkan. Semprotan pertama melekat di dada Irfan yang gempal tapi seksi. Sementara semportan yang berikutnya hanya sampai ke perutnya. Sisanya mengenai perutku sendiri. Mengejang-ngejang, kunikmati orgasme. Aahh.. Nikmatnya..

"Aarggh!! Aku mau muncrat.. Aargghh!!"

Dan Irfan pun ngecret. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!! Tubuhnya yang kokoh berguncang-guncang, dihampiri orgasme. Suaranya yang berat disuarakannya seperti lembu yang sedang kawin.

"Aarrgghh.. Oohh.. Aarrgghh.. AarrgghGhh.."

Semprotan pejuhnya terasa panas mengisi setiap ruang kosong di dalam perutku. Ah, sungguh sensasi yang nikmat. Saya sedang 'dihamili' oleh seorang pejantan senior. Oohh.. Kurasakan spermanya berenang-renang masuk. Ccrrott!! Ccrroott!! Keringatnya bercucuran membasahi tubuhku yang terjepit di bawahnya. Dan setelah beberapa saat, semuanya hening kembali. Yang terdengar hanyalah desah napas kami yang berat.

Irfan memeluk tubuhku seolah-olah saya adalah istrinya. Kontolnya masih tersimpan di dalam anusku, mulai mengendur dan melemas. Lelehan spermanya mengalir keluar dari pantatku yang masih nyeri. Biar sakit namun nikmat. Kubalas pelukan Irfan yang hangat itu. Oh, alangkah nikmatnya..

Tamat




Om Irfan - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Sewaktu saya masih sering ke Gajah Mada Plaza, saya pernah 'dijemput' Om homo yang mengaku namanya Irfan. Tapi tidak jadi sebab papaku sudah keburu datang menjemput. Anyway, cerita di bawah hanyalah KHAYALAN akan apa yang terjadi jika saya jadi ikut ama Om Irfan itu.

*****

Saya sedang terburu-buru mondar-mandir antara lobby Gajah Mada Plaza dan telepon umum di lantai 1. Rasanya kesal sekali, kenapa papaku belum datang jemput. Jam sudah menunjukkan hampir jam 9 malam. Tiba-tiba seorang Om melemparkan senyumnya padaku. Saya tentu saja heran, karena saya tidak pernah mengenalnya. Penasaran, saya berbalik dan menghampirinya. Om itu sudah berdiri di sana, yakin bahwa saya akan berpaling kepadanya.

"Kamu Rudy, 'kan?" tanyanya, sok kenal.

Basi sekali, pikirku. Namun, saya menjawab dengan ramah, "Bukan. Saya bukan Rudy. Om salah kenal orang."

Tapi Om itu berhasil mengorek informasi dariku, dan saya pun memberitahukannya nama asliku. Tapi saya juga belakangan mengetahui nama aslinya. Katanya sih namanya Irfan.

"Kita pergi ke tempat lain, yuk," ajaknya, tersenyum ramah.

Saya langsung mengikutinya. Jujur saja, jantungku berdebar-debar. Saya tahu bahwa Om itu pasti homo. Om itu memang tidak ganteng, badannya pun biasa-biasa saja. Umurnya sudah kepala empat dan kulitnya agak gelap. Namun, kehomoannya sangat merangsangku, sebab saya belum pernah bertemu dengan seorang homoseksual lain. Saya sendiri memang homo sejak puber. Sadar bahwa Irfan bisa saja memperkosaku malah membuatku semakin terangsang. Om itu memang pribumi sedangkan saya Chinese. Tapi perbedaan itu tidak akan menghalangi jika kami berdua memang ingin berhomoseks.

Om itu membimbingku ke area parkir terbuka, dan ke mobil sedannya. Mobilnya memang tidak terlalu mewah dan kelihatan tidak baru, tapi sebuah mobil tetaplah sebuah mobil. Di dalam mobil itu, Om Irfan meremas-remas kontolku seraya berkata,

"Kamu ngaceng?"
"Iya nih, Om," sahutku malu-malu.

Jantungku masih berdebar dan tanganku dingin karena gugup. Mukamu memerah karena ketahuan ngaceng. Tapi Om Irfan tidak kelihatan keberatan, malah terlihat senang.

"Sama donk. Oh ya, panggil saya Irfan aja, ok?" jawabnya.

Saya mengangguk. Kemudian tanganku digenggam olehnya dan lalu dipindahkan ke celananya. Oh, Om itu juga ngaceng. Malu-malu tapi mau, kuremas-remas kontolnya. Mula-mula pelan, tapi lama-kelamaan kuremas agak lebih keras. Irfan hanya mampu mengerang-ngerang keenakkan, tanda bahwa dia menyukainya.

"Hhoohh.. Oohh.. Hhoosshh.." Genggaman tangannya pada kontolku juga makin mengeras dan dia berusaha untuk mengocok-ngocok kontolku dari balik celanaku.

Noda basah mulai muncul pada tonjolan celanaku. Saya benar-benar terangsang. Meskipun Irfan bukan tipe priaku tapi saya bersedia dingentot olehnya jika dia mau. Tak lagi malu, kuerangkan kenikmatanku.

"Oohh.. Aahh.." Irfan malah meremas kontolku lebih keras.
"Aarrgghh.. Irfan.. Enak.."

Om itu hanya tersenyum mesum saja. Kemudian, mobilnya dijalankan dan kami pun melaju di tengah keramaian lalu lintas malam. Di tengah perjalanan, kami masih saling meraba dan meremas kontol sehingga noda-noda precum di celana kami semakin melebar. Singkat kata, saya dibawa ke rumahnya. Rumah Irfan biasa-biasa saja, tak mewah sama sekali. Dengan santai, dia mengajakku masuk sambil berkata bahwa istri serta anak-anaknya sedang keluar kota dan baru pulang besok malam. Irfan membimbingku masuk ke kamarnya. Astaga, dia ingin berhomoan denganku di ranjang yang dia bagi dengan istrinya!

"Ah, kamu menggairahkan sekali," bisiknya, sambil menciumi leherku.
"Irfan, saya terangsang."

Kontolku ngaceng berat sejak di perjalanan, dan kini sudah membasahi celana panjangku. Kutunjukkan padanya noda precum itu dan dia hanya tertawa mesum. Irfan langsung memelukku dan meraba-raba tubuhku. Saya terlena dalam buaiannya.

"Aahh.. Oohh.. Aahh.." desahku.

Semakin saya mendesah, semakin berani Irfan menikmati tubuhku. Kedua tangannya mulai masuk ke dalam kaosku dan menyentuh-nyentuh bagian pribadi tubuhku. Saya semakin terlena dan membiarkan Om itu menikmati tubuhku. Saya merasa seakan-akan diperkosa oleh ayahku sendiri saja, sebab umur Irfan mungkin hampir sama dengan umur ayahku.

"Aahh.. Om.. Bugil yuk.. Aahh.."

Karena sudah bernafsu, saya ingin sekali melihat dia bugil. Om itu makin senang melihatku mabuk dengan nafsu birahi karena dia sendiri sudah tak tahan lagi ingin menyetubuhiku.

Dengan sensual, Irfan melepas kemejanya, berikut celana panjangnya. Badannya sangat merangsang nafsuku. Memang, Irfan tidak seperti seorang atlet; tubuhnya agak berlemak tapi tidak gemuk. Celana dalam putihnya nampak sesak dengan kontol ngacengnya. Tonjolan erotis itu nampak sangat menggiurkan. Langsung saja, kuremas-remas dadanya itu dan Irfan pun melenguh-lenguh seperti kerbau.

"Aahh.. Oohh.. Remas dadaku.. Aahh.. Pelintir saja putingku.. Aahh yyaa.. Oohh.." Irfan makin gila dengan nafsu setiap kali saya mengerjai putingnya. Nampaknya dia tertarik dengan stimulasi puting.

"Aahh.. Oohh.. Aahh.." Irfan mulai menggeliat-geliat.

Sementara saya sibuk menjilat-jilat dan menggigit-gitit putingnya, tanganku bergerak turun dan membelai-belai tonjolan celana dalamnya. Kutemukan batang kontolnya dan kuremas-remas. Cairan precumnya tembus lewat celana dalamnya dan membasahi tanganku. Ah, seksi sekali. Irfan mengerang makin keras saat kuremas kontolnya.

"Oohh.. Kamu juga bugil donk, sayang.."

Saya pasrah saja sat Irfan melolosi kaos dan celana panjangku, meninggalkanku berdiri di sana hanya dengan celana dalamku. Wajahku kembali memerah karena celana dalam yang kupakai saat itu adalah celana dalam usang. Banyak bekas noda-noda kekuningan menghiasai bagian depan celana dalamku, pertanda bahwa saya sering membasahinya dengan precum dan pejuh. Namun, Irfan sama sekali tak kebertaan. Sebaliknya, dia senang sekali mengetahui bahwa saya suka sekali dengan seks.

"Kamu pernah ngentot sebelumnya?" tanyanya melingkarkan tangannya di sekeliling pinggangku.
"Belum pernah. Tapi saya sering coli sambil lihat foto-foto panas atau baca cerita-cerita di 17Tahun," jawabku, memeluknya balik. Untuk pertama kalinya, saya bisa merasakan hangatnya tubuh seorang pria. Kehangatan itu terasa menenangkan dan sekaligus membuatku terangsang berat.

"Kamu mau dimasukin?" tanyanya seraya menciumi pipiku. Tangannya meremas-remas pantatku dengan keras.

Saya mengangguk-ngangguk. Kesempatan itu memang sudah kutunggu-tunggu. Saya bosan berfantasi, saya mau mengalaminya. Tawaran Irfan langsung kuterima.

"Ya, Irfan. Saya mau dimasukin. Saya mau dingentot. Please do fuck me."

Kuciumi dadanya untuk menekankan jawabanku. Irfan hanya tersenyum mesum dan kemudian memelukku lebih kencang. Bagaikan sepasang kekasih, kami memadu kasih dengan pelukan-pelukan mesra dan ciuman-ciuman erotis. Kubiarkan Irfan membimbingku masuk ke dalam dunia homoseksual. Kuperhatikan cara-cara Irfan menciumku dan kucoba untuk menirunya. Ciuman kami tak hanya melibatkan bibir saja, tapi juga lidah dan air liur. Kami benar-benar menyatu. Lidah kami saling bergulat dan air liur kami saling bertukar. Kurasakan dua tonjolan kecil menusuk kulit dadaku. Oh, rupanya kedua puting Irfan sudah tegang. Ah, seksi sekali.

Ketika pelukan kami terlepas, saya melepaskan sisi liarku. Kubiarkan nafsu birahiku mengontrolku. Seperti maniak seks, kuremas-remas tubuhnya yang seksi itu. Irfan hanya berdiri saja, membiarkanku melakukan apa yang kumau. Bibirku menjelajahi leher dan turun ke dadanya. Kemudian, kujilat-jilat dadanya sehingga dada Irfan berkilat-kilat karena basah. Khusus untuk kedua putingnya, kujilati dengan kuat agar tekanan lidahku lebih terasa. Lalu, kuputar-putar lidahku agar Irfan merasa putingnya seperti sedang dibelai-belai. Puas menjilat, kusedot-sedot putingnya seperti bayi yang sednag menyusu pada ibunya. Kusedot sekuat mungkin, sesekali kugigiti dengan pelan. Irfan nampak sangat menyukainya dan saya dihadiahi suara-suara erotis dari erangan-erangannya.

"Aarrgghh.. Hhoohh.. Hhoohh.. Aahh.." Mendengarnya, saya menjadi semakin bersemangat untuk menyenangkan Irfan.

Tapi lama-kelamaan, saya bosan dan ingin menjelajahi lagi. Maka kusapukan lidahku menuruni perutnya yang agak besar itu dan turun ke celana dalamnya. Saya berjongkok dan kini wajahku berhadapan langsung dengan tonjolan celana dalamnya. Aroma kontol begitu menusuk tajam. Aahh.. Saya masih agak gugup tapi saya mau melakukannya.

Pelan-pelan, kuturunkan celana dalam itu. Dan saya langsung disambut kontolnya yang tegang bak batang besi. Kontol terindah yang pernah kulihat. Panjang batangnya sekitar 15 cm. Kepala kontol Irfan bersunat dan jahitannya sempurna sekali, memberi kesan seolah-olah Irfan memang terlahir tanpa kulup. Noda-noda precum melumuri kepala kontolnya dan memberi efek mengkilap. Kudekatkan bibirku. Oh, akhirnya sebatang kontol begitu dekat denganku..

Bersambung . . . . . .




Malam godaan - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
Ran menggangguk. Dapat kudengar suara nafasnya menghirup wangi tubuhku ketika berpapasan ke depannya. Tangan kiriku yang memegang celana kotorku menutupi bagian depan handukku, usaha untuk menutupi barangku. Tapi ketika mau membuka pintu, mata Ran tertuju ke depan handukku yang tak sempat tertutup.

"Masuk Ran," ajakku, sambil bertanya dua teman lainnya. Katanya mereka masih melanjutkan menonton BF.
"Hm.. Ya. Mau ngembaliin ini nih. Tadi jatuh di depan rumah," katanya sambil buka sandal jepitnya dan melangkah masuk.

Dia melihat sekeliling kamarku yang tidak begitu banyak perabot. Standar kamar kost. Hanya radio kecil dan lemari serta televisi 14 inc di meja, disampingnya vCD player. Serta meja tulis yang rendah, tanpa perlu kursi, tapi hanya duduk di lantai kalau mau diperlukan. Tempat tidur di lantai, tidak pakai dipan.

"Tutup ya pintunya," kataku sambil menutup pintu."Dingin," kataku.

Tidak ada firasat apa-apa. Dia mengangguk. Aku dapat lihat matanya yang memandang tubuhku. Agak risi dilihat begitu. Rasanya dia mau menarik handukku saja. Kuletakkan celana kotorku di pojok dekat lemari.

"Maaf berantakan," kataku sambil merapikan beberapa majalah yang berserakan di lantai. Kalau membaca aku memang dilantai beralaskan karpet dan bantal lantai. Dia bergerak duduk di depanku yang sedang merapikan majalah dan koran yang kemudian kutumpuk ke pinggir di pojok ruang.
"Tidak apa-apa," katanya sambil mengambil satu majalah dan membukanya. Majalah FHM. Dia duduk dilantai dan bersandarkan sisi ujung kasur, menghadap pesawat TV. Tempat favoritku yang didudukinya.

Aku harus berpakaian, kataku dalam hati. Kuperbaiki handukku yang hampir merosot ketika jongkok tadi. Kubuka daun pintu lemari pakaianku. Ah daun pintunya sejajar dinding, jadi kalau aku buka handuk ini dia bisa lihat aku telanjang polos dari sana.

"Gede juga ya penisnya" katanya polos. Deg! Pasti dia lihat ketika aku jongkok tadi.
"Ah.. Standar aja"

Aku ambil celana dalam, celana batik lusuh dan kaos oblong, kemudian menjatuhkannya di kasur. Aku mesti mengeringkan lagi badanku. Biasanya kalau sudah begini aku langsung buka handuk yang melilit di pinggang dan mengeringkan badan. Tapi sekarang ada Ran, aku jadi ragu telanjang di depannya. Kutekan handukku ke paha dan pantatku, juga di bagian alatku yang sedikit masih tegang.

"Buka saja, nggak usah ragu. Itu masih ada air di leher dan dada tuh," katanya menyadarkanku dari keraguan. Rupanya dia memperhatikan apa yang kulakukan..

Aku bisa lihat sorot matanya dan gerakan kerongkongannya menelan. Nafsu kali dia melihatku. Badanku tidak begitu gemuk dan hasil push-up dan sit-up tiap hari membuat badanku tidak jelek-jelek amat. Sedang kaki dan pahaku yang kencang akibat banyak jalan saja.

Nekad! Aku buka handukku. Barangku sudah tidak tegang tapi masih besar, belum kempes. Segera aku keringkan badanku yang membuat barangku yang menjuntai bergerak seperti bandulan dan ketika aku akan memakai celana dalam, aku lihat Ran sudah mengeluarkan penisnya yang sudah menegang dan mengocoknya dengan dua telapak tangannya. Dia lakukan dengan pelan sambil memperhatikanku.

Gila! Apa yang dilakukannya? Kepalaku berdenyut. Aku sarungkan celana dalamku sebelum barangku balik menegang lagi. Kepala penisku kutekan agar masuk, karena masih nongol dari celana dalamku, akibatnya penisku melengkung dengan posisi ke atas. Kalau lagi tegang penuh, penisku dapat keluar dari celana dalam, memperlihatkan semua bagian kepalanya.

"Penis kau juga besar, Ran," kataku merespon apa yang dilakukannya. Dia masih mengocoknya dengan telapak tangan bergantian. Malah makin kencang. Kepala penisnya makin besar dan mengkilat. Kupakai celana batikku. Ingin aku memegangnya, merasakan dengan tanganku, berapa besar barangnya. Membantu mengocoknya..

"Tapi lebih baik tidak dilakukan deh" kataku akhirnya.

Memutuskan lamunan liarku. Apa kata Pak RT kalau memergokiku dengan cowok yang sedang begini? Huh, mesti jaga-jaga.Dia masukkan kembali barangnya, tapi masih dielus-elus dari balik luar celananya. Tak mampu dia menghentikan masturbasinya. Kuambil kaos oblong sambil mendekat ke arah Ran. Duduk di sampingnya menghadap TV. Kaos yang mau ku pakai kutaruh disamping majalah dan entah setan apa yang ada di otakku dengan berani tangan kiriku bergerak ke arah barangnya.

"Sini kuperiksa," kataku meremas penisnya pelan. Kulingkarkan jariku kebarang yang dibalik celana pendeknya yang longgar. Kulihat bentuknya dari balik celananya. Kayaknya dia nggak pake celana dalam. Jantungku berdetak mulai kencang. Jangan mulai, kataku dalam hati. Tapi tanganku tak bisa kompromi.

Dapat aku rasakan otot barangnya yang sangat keras. Tangannya pun sudah di atas barangku. Kami saling meremas. Tersenyum dan nafas kami mulai memacu kencang. Wajahnya ke bahuku, kurasakan dengus nafasnya di situ. TV kunyalakan dengan tangan kanan. Siaran gulat dua cowok gempal yang membuat aku makin terangsang. Telapak tanganku dapat rasakan denyut barangnya. Kalau aku teruskan bisa muncrat dia. Ada cairan di celananya yang keluar dari ujung barangnya yang kuelus pelan. Sekarang bibirnya dibahuku, mengecup pelan. Mataku masih ke TV meskipun pikiranku sudah melayang karena nikmat remasannya. Beberapa saat kami melakukan saling remas ini.

"Buka?" tanyanya akhirnya.

Tangannya bergerak ke bagian atas pinggang celana. Tinggal ditarik, pasti terbuka semua. Wajah sudah di dadaku, turun sedikit, dia bisa mencaplok batangku.
"Nggak ah," aku menghentikan permainan.

Keputusan yang harus dilakukan. Kulihat dia kecewa. Ekspresinya pingin banget kami meneruskan kegiatan ini. Dia menaikkan wajahnya. Aku berdiri dan mengenakan kaosku.

"Ini untuk senang-senang aja, jangan sampai keterusan," kataku.

Nafasku masih menggebu tapi kuusahakan untuk tenang. Dia meneruskan mengocok sendiri barangnya dengan tangannya masuk ke celana pendek. Dia bisa ejakulasi di sini, pikirku. Nafasnya dapat kudengar, dan dadanya naik turun dengan kencang. Matanya sesekali merem. Kaosnya dinaikkan sampai dada, memperlihatkan perutnya yang mengkilat karena keringat. Ah, aku melihat cowok masturbasi.. Langsung di depanku. Pengalaman apa ini? Aku melangkah ke meja kecil sambil menawarkan minum padanya. Aku masih punya aqua gelas.

Kulihat dia menggelinjang pelan dan mendengus dengan nafas yang berat. Dia orgasme. Huh, aku lihat dia dengan ekspresi puasnya. Dia menerima minum yang aku sodorkan. Celananya kulihat sudah basah dan tangan kirinya disapukan ke celananya. Membersihkan sisa spermanya. Baunya khas terasa merebak di ruang kamarku.

"Maaf, aku sudah keluar nih.." katanya.

Aku senyum saja, walau jantungku masih berdetak keras. Aku beri dia beberapa lembar tissu untuk membersihkan cairan yang berlepotan di perut dan tangannya. Ingin aku yang membersihkannya. Tapi nggak ah..

Dia minum dengan membuka plastik atas gelas dan menyedot semua airnya. Habis. Kemudian dia lanjutkan membersihkan batang penisnya dengan melorotkan celananya. penis yang besarnya dan panjang itu melengkung indah. Ujung penisnya persis di pusarnya.

"Aku mesti menahan diri," kataku membela diri.

Seperti mengatakan pada dirinya. Juga diriku, yang pingin sekali menyentuh barang yang indah itu. Aku duduk di sampingnya sambil menepuk pelan bahunya. Barangnya masih berdenyut pelan. Ah..

"Lain kali ya.." kataku, seperti berjanji. Ran menaikkan celananya dan menurunkan kaosnya. Menutupi keindahan yang ada di tubuhnya. Sekarang sedang iklan di saluran gulat tadi. Tissu bekas, masih berserakan di samping tubuhnya.
"Suka ini? Atau ganti?" tanyaku.
"Aku sukanya nonton BF," katanya terus terang. Dia perbaiki duduknya agar lebih berdiri. Saat dia masturbasi tadi rupanya badan agak merosot sampai setengah telentang.
"Wah, kalau itu nggak ada di sini," kataku tertawa.

Sebenarnya aku bohong. Aku punya satu CD di bawah kasur. Tapi tidak sekarang nyetelnya. Mesti tahan diri. Kami nonton beberapa saat. Diam saja. Dia mungkin sedang tidak enak hati atau apa. Kuliat sudah lewat jam dua belas. Biasanya aku sudah tertidur jam segini. Aku menguap juga walau sejak tadi berusaha ditahan.

"Kau sudah ngantuk. Aku pulang ya. Maaf yang tadi" katanya sambil berdiri dan membuang bekas tissu ke tempat sampah.
"Pulpennya sudah ya."

Dia menutup depan celananya dengan bagian bawah kaosnya, untuk menutupi bekas sperma yang kulihat masih ada, masih basah. Dia menuju pintu. Hampir aku tawarkan dia untuk menginap saja di sini, tapi bisa gawat. Ran penuh inisiatif dan tak dapat menahan diri. Seperti yang telah dilakukannya tadi. Aku menggangguk, sambil merangkul bahunya. Tubuhnya panas.

Pintu kubuka, angin malam menerpa masuk. Agak kencang. Ingin aku melakukan hal yang lebih dari merangkul.. Tapi kutahan. Dia melangkah keluar, tersenyum dan melambai. Dia menghilang di belokan depan rumah. Ada rasa kecewa dari wajahnya. Kalau kita baik sama orang, orang juga baik sama kita. Dan apa yang kulakukan membuat kejadian ke arah dosa dan untung belum sampai jauh. Aku mengakui kalau Ran terangsang karena tampilanku setelah mandi tadi. Entah kenapa aku selalu dapat godaan maksiat semacam ini. Apa karena aku juga suka menggoda tanpa kusadari? Tiap kali menghindar, godaan datang saja.

Kututup pintu dan kukunci. Dikunci untuk jaga-jaga saja karena kamarku berhubungan langsung dengan halaman luar. Menuju tempat tidur, matikan TV dan lampu. Tidur. Aku berdoa semoga Tuhan tetap melindungiku dari tidak berbuat dosa lagi. Aku mohon ampun lagi, seperti hari-hari lalu setelah berbuat dosa semacam ini.

Aroma sperma masih ada saja, dan rasanya makin kencang. Di luar sudah mulai rintik hujan. Aku angkat tanganku ke samping kepala, jangan masturbasi lagi, kata hatiku. Jagalah kelaminmu! Itulah yang selalu aku ucapkan kalau sudah mulai 'gila'. Kadang berhasil, kadang juga tidak. Apalagi kalau yang menggoda aku suka juga. Ah..

Tamat




Malam godaan - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Malam sepi. Aku tetap berjalan masuk gang, jalan alternatifku, yang di kiri-kanan tergenang air got hitam yang kalau hujan sedikit aja pasti meluap. Kalau sudah begitu, aku tidak lewat sini.

Tapi sekarang cuacanya sedang bagus, dan agak sedikit panas. Tubuhku yang tadi berkeringat waktu di kendaraan sudah agak kering. Gelap, hanya beberapa rumah yang menyalakan lampu terasnya, sehingga gang kecil ini sedikit ada penerangan. Ada beberapa ekor tikus yang gemuk-gemuk bersliweran yang membuat aku berjaga-jaga. Takut masuk ke celana aja. Hii!

Aku perlambat jalan. Rasanya langkahku terdengar nyaring sekali. Ada suara yang aneh tapi akrab terdengar. Suara film porno yang berhah-hih-huh dengan suara musik instrumen. Aku berhenti, pura-pura perbaiki tali sepatu, aku berjongkok.

"Gede juga ya?" ada suara cowok berkomentar.
"Ya, aku suka yang begitu," suara cowok yang lain menimpali.
"Apa nggak sakit ya digituin?"
"Nggak kali. Kan tadi sudah dikasi.. Apa tadi itu..?"

Mereka yang didalam tidak menyadari aku sedang menguping mereka. Ada beberapa saat aku aku jongkok. Kondisi gang yang rumahnya rapat begini berani juga mereka menyetel film begituan. Memang sih, sekarang hampir tengah malam. Membayangkan apa yang mereka tonton membuat aku terangsang. Ketika bangun dari jongkok celanaku menggembung, dan terpaksa aku perbaiki posisi alatku agar tidak terlalu menonjol dan membuat agak kesakitan.

"Baru pulang Mas?" ada suara yang mengagetkanku.

Ada cowok dibalik tanaman pot diteras rumah yang menyetel film. Kalau lihat tangannya yang sedang menaikkan karet celananya, mungkin dia baru kencing, tumpah ke got. Tangannya masih menggosok barangnya yang agak menggembung. Kemudian menarik kaosnya hingga menutup celana depannya.

"Eh, iya." Aku menjawab sambil berharap semoga dia tidak melihat apa yang tadi aku lakukan. Tapi matanya kulihat ke arah celanaku yang menggembung. Sorot matanya itu.. Penuh makna.
"Tinggal di rumahnya Pak RT kan?" dia menebak. Suaranya ramah.

Lha, kok dia tahu aku kost di situ? Rupanya diam-diam ada yang memperhatikanku. Aku mengangguk, sedikit tersenyum. Wajahnya lumayan, dengan badan berbungkus kaos oblong dan celana batik pendek yang longgar.

"Sering lihat kalau pulang," dia menjelaskan. "Selalu pulang malam begini ya?"

Aku menggangguk. Dia turun ke jalan, dan menyodorkan tangannya.

"Ganda," katanya menyebut namannya. Kusambut tangannya, kami bersalaman ."Yadi," kataku menyebut namaku.

Tangannya hangat dan sedikit kasar. Dikeremangan malam begini aku bisa lihat bulu kakinya yang lebat dan bulu dadanya yang menyembul di kaosnya. Dadanya kelihatan padat. Aku suka tampilannya, kesannya alami. Kamipun saling bertanya, ngobrol pelan. Takut mengganggu tetangga. Dia masih kuliah dan nyambi kerja di Roxy Mas jual beli HP. Di rumah yang dikontrak ini, dia tinggal bersama dua temannya.

Aku masih dengar suara film yang tadi tapi sekarang dengan suara musik yang dominan. Di dalam hanya kulihat sinar cahaya dari TV, lampu ruangan rupanya dimatikan. Kami masih berdiri di pintu terasnya, dan sebenarnya aku mau pamit pulang. sudah terlalu malam untuk ngobrol di luar begini. Suara dengung nyamuk mengganggu percakapan kami.

"Siapa Gan?" ada suara yang bertanya dari dalam, dan kemudian orangnya keluar. Suara yang tadi berkomentar suka barang yang gede. Rambut pendek dengan kulit yang tak begitu putih, kayaknya dia juga lumayan. Tampilan hampir sama dengan Ganda.

"Yadi," kata Ganda menjelaskan. "Yang kost di rumah Pak RT. Kenalin nih Ran."

Aku bersalaman lagi. Aku sebut namaku dan dia sebut namanya. "Ran." Aku suka genggamannya, hangat dan kencang. Badannya agak besar dengan singlet dan calana pendek. Aku suka lengannya yang gempal. Rajin fitnes mungkin.

"Kita lagi nonton BF," kata Ran.

Dia dengan tenang mengeluarkan barangnya dari pipa celana pendeknya di depanku. Dia mau kencing rupanya. Atau malah mau pamer? Masih posisi kencing dia melirik ke arahku yang sedang memperhatikan barangnya.

"Mau nonton nggak?" nadanya mengajak.

Tangan menggoyang-goyang barangnya, mengambil daun yang ada sekitar situ dan menggosokkan ke lobang kencingnya. Dia memperbaiki posisi celananya setelah memasukkan barangnya. Aku menggeleng pelan.

"Kapan-kapan aja," kataku.

Aku menelan ludah setelah melihat apa yang di depanku tadi. Ukuran yang lumayan. Mungkin karena sedang tidak tegang penuh. Padahal aku ingin nonton. Tapi dipihak lain, otakku melarangnya. Jangan sekarang! Mau jaga imej ya, di depan teman-teman barumu ini? Suara hatiku menggoda.

Aku suka nonton, tapi belakangan ini aku menahan diri. Walau waktu dan kesempatan sangat memungkinkan. Aku takut terjerumus makin jauh kalau sering nonton film porno atau hal lain berbau porno. Takut nggak kuat..! Ketika aku mulai kerja di Jakarta ini, begitu banyak godaan yang membuat aku sangat berjaga-jaga. Kemaksiatan begitu murah dan mudah kalau mau.

"Yuk, mau ikut nonton?" Ganda mengajak, dan menyadarkanku. Ran berdiri sambil merangkul bahu Ganda, menunggu jawabanku. Malam terasa makin dingin.
"Makasih. Mau pulang dulu, lagi bau nih. Mau mandi," alasanku sambil bergerak berjalan beberapa langkah. Tapi terhenti karena Ran memanggil.
"Yadi, kenalin lagi nih," kata Ran ketika aku berbalik.

Kulihat ada lagi cowok yang keluar, turun ke jalan menuju ke arahku.

"Dana," katanya mengenalkan diri.

Anaknya manis, dan badannya lumayan bagus. Kalau mau jadi model juga bisa tuh, pikirku. Masih pake kemeja yang bagian depannya tak dikancing, memperlihatkan dada dan perutnya yang indah. Celana pendek yang sangat pendek, menonjolkan pahanya yang kencang dan padat. Sexy habis! Tonjolan penisnya itu..

Setelah berbasa-basi sedikit, aku pamit. Aku senang berkenalan dengan mereka. Dan memang aku perlu teman atau orang yang dikenal di sekitar ini.

"Yuk, ah. Pamit dulu, mau mandi," kataku akhirnya.
"Ok.. Sampai nanti. Besok-besok mampir aja ya," Ran mengajak.
"Siip," kataku. Sok akrab.

Aku melangkah, melanjutkan pulang melewati jembatan kecil, belok kiri, kemudian masuk jalan yang agak besar, yang dapat dilalui satu mobil, kemudian belok kanan. Jalan ini terang, dan di pojok sana ada posko yang ronda. Aku masuk halaman rumah Pak RT. Sepi. Biasanya TVnya nyala. Sekarang sudah gelap. Aku melewati samping rumah, membuka pagar ke halaman belakang dan setelah masuk aku tutup kembali tapi tidak rapat. Aku menuju pintu kamarku.

"Nak Yadi ya?" ada suara Bu RT.
"Iya bu," jawabku. Biasalah. Mereka mengecek, mungkin suara pintu pagar yang kubuka tadi membangunkannya.

Hari yang melelahkan. Tapi agak terhibur sedikit, setelah bertemu teman baru di tikungan gang dekat jembatan di sana tadi. Kumasuk kamar dan menyalakan lampu. Masih berantakan seperti aku tinggalkan tadi pagi. Aku regangkan otot-ototku yang rasanya pegal sekali. Bertemanan seperti Ganda, Ran dan Dana mengingatkanku kepada teman-teman ketika kuliah dulu. Dimana mereka sekarang ya?

Aku buka sepatu, buka kemeja dan kaos dalam. Barangku menegang dibalik celanaku. Aku raba-raba dan membuatku kembali terangsang. Pikiranku malah ingin masturbasi malam ini sambil mandi. Terobsesi bayangan BF yang Ganda, Dana dan Ran tonton kali ya. Apa mereka nonton BF homo atau hetero ya?

Dengan beretelanjang dada, aku keluar kamar. Angin malam menyegarkan badanku. Berjalan pelan ke jemuran mengambil handuk dan masuk kamar mandi. Kunyalakan lampu. Ini kamar mandi belakang, dipakai siapa saja, berdekatan dengan ruang jemur. Aku buka ikat pinggang bagian depan dan kemudian celana sekalian celana dalam dengan sekali melorotkan. Kuturunkan cermin yang tergantung agak tinggi ke atas bak mandi sehingga aku bisa lihat bayangan sebagian tubuhku, terutama barangku di sana. Kebiasaanku kalau mau merangsang diri. Aku suka melihat diriku di cermin. Tubuh yang indah, titipan Tuhan.

Kepalaku mulai berdenyut ketika tanganku bermain di batang barangku. Aku kocok pelan sambil memijat seperti memerah susu sapi. Jepit di pangkal dengan jempol dan telunjukku dan bergerak ke arah kepala barangku yang membuat kepala barangku semakin membesar dan merah. Kuulang berkali-kali. Sekali lagi aku lakukan pasti ejakulasi nih.

sudah ah, ku hentikan jangan sampai muncrat. Aku kembalikan cermin dengan tangan masih sedikit menggigil karena kegiatan memijat tadi. Aku tarik nafas dalam. Membasuh muka, membuat aku kekesadaran menjahui nafsu untuk berbuat lebih jauh.

Aku siram tubuhku dan ambil ember kecil peralatan mandiku yang tergantung di pojok ruang mandi. Ambil sabun cair. Pertama dioles ke barangku yang masih menegang. Aku tahan diri untuk tidak meneruskan gerakan yang bisa ejakulasi. Aku ratakan sabun dan menggosok keseluruh tubuh. Rasa segar yang menyenangkan. Dengan penis yang masih tegang, aku kesulitan juga untuk kencing, tapi sedikit membungkuk, aku selesaikan kencingku. Hangat. Aku dengar ada suara di luar. Paling Pak RT mengecek, kataku dalam hati. Kembali kusiram tubuhku beberapa kali. Suara air ini mungkin sangat jelas dari luar.

Aku selesaikan mandiku. Kukeringkan badanku sekedarnya dan melilitkan handuk ke bawah pinggangku. Posisi handuk yang memperlihatkan sedikit pantatku dan pinggulku karena handukku tidak begitu lebar. Di bagian depan, sisi pinggir handuk persis di atas pangkal penisku. Ada sebagian bulu keliahatan, tapi kucuekin aja. sudah malam gini, pasti juga nggak ada orang, pikirku. Sengaja badanku agak basah supaya angin malam di luar akan lebih menyegarkanku.

Kukembalikan peralatan mandi dengan menggantungnya ditempat semula. Kuambil celanaku kemudian keluar setelah mematikan lampu. Angin malam sangat dingin terasa, mungkin karena badanku masih agak basah. Ada seseorang di depan pintu kamarku yang sedikit terbuka. Ran?

"Wah.. sudah segar sekarang?" tanyanya. Tersenyum.

Masih pake pakaian seperti kenalan tadi, tapi aku dapat lihat otot lengannya lebih jelas. Otakku mulai membayangkan yang 'macam-macam'. Ditangannya ada pulpenku. Ah, pasti jatuh ketika jongkok dekat rumahnya.

"Iya nih. Lama menunggu?" tanyaku sambil buka pintu lebih lebar.

Bersambung . . . .




Lukisan erotis

1 comments

Temukan kami di Facebook
Hampir putus asa aku mengejar wawancara, padahal waktu cetak sudah mendesak. Sampai mengejar tokoh ini ke Semarang, karena sedang mengadakan jumpa fans sehubungan dengan peluncuran film anyar yang disebut-sebut para kritisi sebagai bentuk terobosan baru di tengah kelesuan dunia film nasional seperti saat ini. Setiap kali dihubungi telepon selulernya, selalu nada pesan yang menjawab, berulangkali aku berpesan, tapi sia-sia belaka. Baru tadi siang mendapat kepastian setelah berjubel dengan reporter lain ketika setelah sekian lama menunggu di Hotel Graha Santika tempat dia menginap untuk janjian wawancara, "Oh, anda yang mau bertemu dengan saya ya?" Dia malah menyapa duluan, sambil menatapku lekat, "Oh, ya.. pukul berapa anda bisa?" tanyaku. Tiba-tiba dia mendekat dan setengah berbisik, "Bagaimana kalo pukul 10:00 malam di kolam renang?" katanya sambil berlalu, "Saya pastikan akan hadir di sana tepat pada waktunya," jawabku sambil agak berteriak karena dia sudah berlalu. Dia memalingkan muka serasa tersenyum dan masuk ke mobilnya.

Pukul 10:00 malam aku sudah menuju kolam renang di Hotel Graha Santika. Aku menyukai gedung hotel ini karena bergaya arsitektur tropis, dengan idiom post modern terutama ekletisme arstefak arsitektur lokal masa silam di sana-sini. Kolam renang berbentuk organis itu sendiri berada di sayap kanan bangunan di antara restoran dan kafe yang diapit taman yang rimbun dengan landscape suasana taman-taman tropis, dengan rumput, perdu liar di sudut-sudutnya di selingi pohon-pohon yang rimbun.

Saat itu kukenakan switer biru dan jeans warna krem yang pas di badan, sepatu kets warna coklat, kartu pers kugantungkan di leher, kamera, tape recorder, dan notebook serta sample majalahku yang terbaru aku masukan ke tas. Aku sedikit menyisir rambut dan melumuri pipi dan leherku dengan aftershave.

Malam begitu cerah, bintang gemintang bertaburan di angkasa. Aku mnyusuri pinggiran kolam di antara rerimbunan taman, menuju gazebo di sudut kolam. Tapi gazebo sepi, hanya sebotol Mersailles dan dua buah gelas tergeletak di tengah meja kayu yang terbuat dari kayu ulin yang kokoh.

Aku menaruh tas di kursi kayu, tiba-tiba.. "Hai.." katanya menyapa sambil muncul dari kolam renang dan menepi, aku berpaling dan pura-pura tidak terkejut. Dody namanya, lagi berenang rupanya, memakai celana renang yang minim sekali warna hitam dari bahan lycra, kalau siang mungkin kelihatan transparan, sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Dody berdiri di bibir kolam, meskipun cahaya hanya remang-remang aku bisa menikmti tubuhnya yang atletis, 180 tingginya kira-kira dengan berat proposional, otot-otot dada dan perut kelihatan begitu terlatih dengan bentuknya yang kotak-kotak padat berisi. Wajahnya yang kokoh merupakan perpaduan antara rahang yang kotak, hidung mancung dan alis tebal, sementara matanya menyorot tajam dengan rambut agak ikal, dan gigi yang berbaris rapi. Otot-otot trisep dan bisepnya berisi, berpadu dengan dada bidang yang kekar. Di balik celana renangnya yang mini aku melihat tonjolan besar, seperti tak sanggup menahan beban berat di dalamnya, bulu-bulu halusnya sedikit menyembul keluar, terus menjalar sekitar pusar. "Malam yang panas, ya.." aku membuka pembicaraan, "Betul sekali, anda tidak ingin berenang?" tanyanya. "Oh, saya tidak membawa celana renang, mungkin lain waktu saja.." jawabku.

Dia menyambar handuk dan mengeringkan mukanya, kemudian duduk di kursi dengan masih bercelana renang, tepat di kursi samping kiriku sambil menuangkan minuman, masing-masing diisi separuh. Kemudian dia mengangkat gelas seraya berujar, "Untuk malam yang indah.." aku buru-buru mengangkat gelas juga untuk bersulang.

Wawancara kami, tepatnya obrolan, berawal dari liku-liku perjuangan dia hingga mencapai puncak karir seperti sekarang ini, bagaimana dia berawal menekuni dunia model, ke bintang iklan, kemudian main sinetron dan sekarang sedang menjajaki ke dapur rekaman segala. Kelihatannya dia makhluk paling bahagia yang pernah aku temui, punya tubuh yang gagah, terkenal dan tentu saja banyak uang, sehingga dunia ada dalam genggamannya.

Aku mencermati gesturnya yang ekspresif, ia menceritakan masa kecilnya dengan tertawa ringan, kemudian bercerita liku-liku hidupnya dengan suara berat, sesekali menerawang ke langit gelap. "Orang hanya melihat kedaanku saat ini, tanpa mencoba mengerti bagimana semua ini harus aku raih dengan mengorbankan diri dan keniscyaan kehidupan," katanya lirih. Terus dia berujar bahwa hidup tidak selamanya hitam putih, tapi selalu kaya akan warna. Bahwa kesempurnaan hidup terletak pada kekurangan seseorang. Hakekat yang terlihat terletak pada apa yang tidak bisa kita lihat, kita tak pernah tahu apa dibalik semua kenyataan yang kadang kita tak punya pilihan lain untuk menjalaninya. Dari tekanan suaranya aku bisa merasakan kepedihan itu, aku menggapai tangannya dan memegangnya. "Maafkan sobat jika pertanyaanku membuka kenangan masa lalumu yang sulit.." Dia tersenyum sambil mengusap titik-tika air bening di sudut matanya.

Aku menarik napas panjang berusaha menenangkan jantungku yang deg-degan. Suasana hening sesaat, hanya bunyi gemerisik dedaunan ditiup angin, semilir sayup-sayup ditingkahi gemericik air di pancuran. Sebelum melanjutkan wawancara dia bangkit dan menceburkan tubuhnya ke kolam renang, gerakan antara tangan, kepala, dada dan pantat yang turun naik berirama membentuk suatu harmoni erotis. Aku berdiri di pinggir kolam, ujung sepatuku menyentuh airnya, aku merapatkan tanganku di pangkuan menahan malam yang mulai dingin. Pikiranku menerwang ke alam dimana harapan-harapanku yang tak pernah pupus, cerita cinta yang tak pernah menjadi kenyataan. Karena kasih sayangku selalu kehilangan arah.

Aku terjaga ketika mendengar suara, "Tolong.. tolong.. aduhh.." Ternyata Dody hampir tenggelam, aku terkesiap segera kubuka sepatu dan langsung aku terjun dan menggapai tubuhnya yang melayang di dalam kolam, aku sorong kepermukaan dan kugiring ke sisi. "Kenapa?" tanyaku sambil berusaha mengangkat tubuhnya ke darat, "Aduh..! Aaah..!" dia meringis sambil menunjuk kaki kirinya yang tidak bisa diluruskan. "Oh kram ya?" tanyaku sambil mengusap air dari mukaku. Dia menganguk dan terus merintih, aku sedikit panik dan kuletakan tubuhnya di tempat yang rata, kuambil handuk dan kuselimuti tubuhnya supaya tidak kedinginan, kuberi ia minum serta kucoba memijit betis kiri, kupegang salah satu nadi yang tegang, kutelusuri terus hingga agak mengendur. Aku memang tahu sedikit P3K karena dulu pernah ikut PMR di sekolah menengah.

Dody masih terus meringis menahan sakit. Setelah beberapa saat ia mampu duduk dan mengucapkan terima kasih telah menolongnya. Aku baru sadar tubuhku basah kuyup, padahal aku nggak bawa baju untuk ganti. "Gimana, apakah perlu aku panggilkan dokter?" tanyaku. "Oh, nggak usah, udah baikan. Tapi, bisa antar aku ke kamar?" pintanya sambil menjulurkan tangan. Aku mengangguk sambil menarik tangannya. Aku memapahnya dengan tangan kanan, sementara tangan kiriku menjinjing tas yang tadi kubawa. Aku melintasi taman, masuk ke selasar dan kemudian ke lobby lift, setelah masuk dia memencet tombol angka. "Aku di kamar *** (edited)," katanya.

Ketika sampai di kamar, aku mendudukkan Dody di kursi, dan kutaruh tasku di ludgage rack. Ketika melintasi cermin aku baru sadar badanku basah kuyup, "Kamu ganti baju, nanti masuk angin, kalo nggak bawa, pake aja baju saya dilemari.." katanya. "Oke, thanks.." kataku sambil mencari mobilphone, maksudku ingin kasih tahu ke orang kantor kalau.. "Sudahlah, kamu nginap sini aja, temani aku.." pintanya. Aku berpikir sekilas, "Oke juga, biar aku selesaikan reportku dan dikirim dengan email," jawabku.

Aku berlalu ke kamar mandi, membuka baju dan celana yang basah, kemudian sedikit membilas, dan kulilitkan handuk sebelum keluar kamar mandi. Sekilas kucermati tubuhku yang masih lumayan bagus, dengan six packnya masih terlihat, walau di sana-sini agak mengendor, karena pekerjaan wartawan yang tidak menentu, membuat aku tak punya waktu yang teratur untuk untuk fitness.

Ketika keluar toilet, kulihat Dody lagi berusaha melepas celana renangnya yang basah sambil duduk dikursi, kakinya belum bisa diluruskan benar. "Boleh kubantu?" tanyaku. Dody mengangguk. Aku memegang karet pinggang celana renang bertuliskan "Speedo" di belakangnya itu. Kutarik perlahan, dan Dody mengangkat pantatnya dari bantalan kursi, "Sreet.." lepas sudah, dan kutaruh di kamar mandi. Aku terpana melihat kemaluan Dody yang indah, agak kecoklatan, dikelilingi bulu-bulu halus tipis keriting di atasnya hingga merata sampai ke pusar. Meskipun batang kemaluannya tidak tegang, tapi kelihatan besar dengan warna merah kecoklatan. Pahanya juga ditumbuhi bulu-bulu halus yang kontras dengan kulitnya yang putih. Rupanya dia sadar kalau aku mengamati batang kemaluannya, tapi ia pura-pura tidak tahu dan dibiarkan saja tubuhnya telanjang bulat, seakan-akan baginya sudah terbiasa telanjang di depan orang, sesama cowok lagi.

Dody berusaha bangkit menuju ke tempat tidur, tapi baru berdiri saja dia sudah nyengir menahan sakit, aku segera menghampirinya dan membimbingnya ke tempat tidur. Kupegang pinggangnya, dan kutidurkan di kasur. Saat itu tubuh kami begitu dekat, wajahnya berhadapan dengan wajahku, hembusan nafasnya terasa hangat menyapu kulit wajahku. Kami sempat bertatapan, tapi aku kemudian memalingkan muka dan segera bangkit tapi Dody malah memagut bibirku, aku hanya terkejut dan diam saja menerima ciuman bibirnya yang dingin dan manis seperti es krim, mataku terpejam, ia memainkan lidahku dan dihisap dalam-dalam. Aku memeluknya erat-erat dan membelai-belai punggungnya, terus menggapai ke bawah dan kulepas handuknya serta kuremas-remas pantatnya yang kencang, "Hai, kakimu kan masih sakit?" tanyaku sampai melepaskan rangkulan, "Ah, nggak kok.. aku tadi berpura-pura.." jawabnya sambil tersenyum, "Ah, sialan kau, awas ya.." kataku sambil menindih tubuhnya dan memagut bibirnya yang tipis dan merah itu.

Ia terus menciumi leherku dan terus ke bawah menjilati puting susu, dan menghisap serta menggigitnya sedikit, "Aahh­.." perasaan geli, nikmat dan harap cemas menjadi satu, aku menggelinjang dan memeluknya semakin erat, kemudian beralih ke puting yang satunya lagi dimain-mainkan dengan lidahnya, putingku sudah mengeras dan kemerahan, ­tiba-tiba dihisap dalam-dalam dan digigit, aku hampir berteriak sakit tapi nikmat.­

Jilatan-jilatanya yang dahsyat mendarat di perut, pusarku jadi ajang permainan selanjutnya­. Otot perutku menegang, kubelai-belai rambutnya, kurasakan tubuhnya sudah mulai berkeringat, dan tiba-tiba dia menjilati batang kemaluanku yang sudah dari tadi menegang, memerah dan telah mengeluarkan cairan bening­. Mula-mula kepalanya yang besar, kemudian ke sekeliling batangnya turun naik dan terus menjilati daerah lipatan paha dan buah zakar, terasa geli nikmat. Badanku meregang, ­kemudian buah pelirku dilumatnya habis ­dan dimain-mainkan oleh lidahnya, terasa ngilu sampai pening kepala, ­"Aahh.." aku meremas-meremas rambutnya.

Tapi permainan tak henti samapai di situ, batang kemaluanku yang telah penuh ereksi dimasukkan ke dalam mulutnya, "Oohh.. ss­.." terasa lembut,­ hangat, ­dan sejuta rasa lainnya, ­nikmatnya sampai ke ubun-ubun. Kakiku meregang merasakan nikmatnya kuluman dia. Kepala batang kemaluanku dimainkan oleh lidah di dalam mulutnya,­ woow, ­geli.. nikmat­, ­terus dihisap lembut-lembut. Iihh, aku bergidik, ­nikmat­. Sementara tangannya mempermainkan anusku, ­aduh, ­dipijit-pijit dan jarinya dimasukkan ke dalam anusku, ­oohh­.. tahap-demi tahap dia mempercepat hisapanya dan mengelur-masukkan batang kemaluanku dari mulutnya, semakin lama semakin cepat dan menghunjam dalam-dalam masuk ke tengorokannya karena gesekannya begitu sering, hingga batang kemaluanku terasa panas, namun nikmat dan masih merasakan kelembutan mulutnya.

­Kemudian ia membalikkan tubuhnya ke posisi 69, dengan posisi tubuhku di atas, kini batang kemaluan Arab yang panjang dan besar ada di depan hidungku, kucium jembutnya kurasakan bau khas laki-laki menyengat namun nikmat, kujilati paha yang berbulu halus dari pangkal paha hingga lututnya, kemudian daerah lipatan antara paha dan buah zakarnya, kemudian kupegang batang kemaluannya dan kujilati kepalanya, kumainkan dengan lidahku, semakin membesar, semakin tegang, terasa sedikit asin, lembut dan hangat, ­terus jilatanku menyusuri batang kemaluannya yang hampir tak terpegang dengan sebelah tangan saking besarnya dan panjangnya sekitar 20 senti itu terus ke bawah dan kujilati kantung buah zakarnya. Semerbak bau khas semakin merangsang birahiku­. Kuhisap dan gigit sedikit dan kumasukan ke dalam mulutku sebelah buah zakarnya­. Dia histeris dan mengangkat pantatnya, dia semakin erat mencengkeram pantatku dan meremas-remasnya, ­permainanku terus berlanjut dengan memasukan batang kemaluannya ke mulutku dan kuhisap dalam-dalam, terasa lembut tapi keras, hangat dan denyutan uratnya sangat terasa dilidahku.­ Kumain-mainkan dengan lidahku, dan kukeluar-masukan dari mulutku, ­semakin lama semakin cepat, cepat, hampir aku tersedak karena kerongkonganku penuh dengan batang kemaluannya yang besar. Dia menggoyang-goyangkan pantatnya, berputar naik turun­.

Sementara mulutnya tak bisa berkomentar banyak karena penuh dengan batang kemaluanku juga, aku dorong batang kemaluanku masuk ke mulutnya hingga sampai kerongkonganya kuputar dan kunaik-turunkan dari mulutnya. Suaranya hanya berdecak-decak dan hisapanya semakin kuat. Sehingga aku merasakan dua kenikmatan sekaligus, ­mulutku merasakan kenyalnya kemaluan dia dan kemaluanku juga merasakan lembut dan hangat mulutnya­­. Semuanya terus berlalu dengan irama yang seimbang dan semakin cepat, ­antara naik turun pantat, bergoyang, berputar dan hisapan disertai erangan dan desisan terus silih berganti­.

Suasan begitu hening, malam telah larut beranjak ke dini hari. Sunyi senyam menerbangkan sejuta kenangan menjadi kenyataan. Aku hampir berteriak merasakan kenikmatan yang dahsyat ketika dia mulai menjilati sekitar lubang anusku, oohh­.. terasa geli dan nikmat, kemudian lidahnya dijulurkan ke lubang anusku, kukendurkan otot anusku dan ternyata dia menghisap dalam-dalam lubang anusku, ­"Please fuck me," ­pintaku­.

Kemudian ia menjatuhkan tubuhku ke kasur dan ia semakin ganas menjilat dan menggigit pantatku, memainkan anusku dengan lidahnya. Kuangkat pantatku sehingga agak menungging, kemudian dia hisap anusku dalam-dalam, "Ooohh..­" senssi kenikmatan yang belum pernah kurasakan,­ kemudian ia membalikkan tubuhku, sehingga aku terlentang di pinggir ranjang, dia berdiri di pinggirnya dan kedua kakiku diangkat ke pundaknya, pantatku agak terangkat, batang kemaluannya disodokkan pelan-pelan ke arah anusku­. "Aahh," ­aku berteriak kesakitan. Pelan-pelan namun pasti batang kemaluan besar itu menerobos ke lubang anusku­, ­otot anusku yang meregang terasa sakit dan panas, terasa seperti digigit-gigit semut, ­namun hanya terasa sebentar saja, ­selanjutnya ada perasaan harap cemas dan sundulan kepala batang kemaluannya ke dinding anus teras geli agak gatal, dibiarkan dalam beberap saat batang kemaluannya berada dalam anusku. Kemudian ditarik dan dimasukkan perlahan-lahan,­ pantatnya mulai bergoyang maju-mundur, berputar, demikian juga dengan pantatku mengimbanginya­. Kuangkat pantatku tinggi-tinggi dan dihunjamkan dalam-dalam batang kemaluannya ke dalam anusku,­ hampir sampai ke jantungku, semuanya terus berulang dengan irama yang seimbang, ­kuangkat, dihunjamkan, tangannya menekan pantatku hingga batang kemaluannya menghunjam dalam, aku teriak, "Aaahh.." terus bergoyang dan berputar, semakin lama semakin cepat, ­cepat dan cepat, serta oohh cairan hangat dari batang kemaluannya serasa menedang-nendang dinding anusku. D­ia mencengkram tubuhku kuat-kuat dan digigitnya bahuku. Untuk beberapa saat tubuhnya menegang sebelum melemas secara perlahan. Kemudian ia tergeletak di sampingku, dan merangkulku serta menciumku dalam-dalam.

Suasana sunyi sejenak, dua anak manusia yang sejenis tergolek ranjang, telanjang, disaksikan lukisan bergaya abstrak yang mengekspresikan keindahan erotisme cinta, keindahan birahi yang yang tergantung membisu di dinding, setia menyaksikan prosesi bersatunya dua jiwa yang bergelora.

Setelah beberapa saat, dia bangun dan pergi ke shower untuk membersihkan diri. Langkahnya gontai dengan batang kemaluannya menggantung, aku terus menatap tubuhnya yang indah dan atletis itu, dadanya bidang dengan otot bisep dan trisep yang kokoh. Hampir di semua tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu halus. Dia kemudian membuka kran dan mengguyur tubuhnya dengan air hangat, sementara pintu kamar mandi dibiarkan terbuka. Aku dapat dengan bebas menikmati kendahan tubuhnya.

Sementara dari tadi batang kemaluanku tetap menegang karena belum ejakulasi, semakin menegang menjulang di antara kedua pahaku. Aku bangkit dan menghampiri Dody di kamar mandi, dia tersenyum sekilas dan menguyur tubuhku dengan air hangat, ­sehingga kami sama-sama basah, kemudian aku raih sabun dan kubelai tubuhnya dengan busa sabun yang lembut, dia terpejam sambil memagut bibirku. Kutelusuri seluruh lekuk tubuhnya yang atletis dari dada, punggung, perut, pinggang, pantat dan pahanya­. Demikian juga dengan Dody, dia membelai seluruh lekuk tubuhku dengan busa sabun, kadang dengan belaian lembut, kadang dengan dipijit-pijit, kadang juga dengan ciuman bibirnya dan jilatan lidahnya.

Aku berusaha mengatur napas yang memburu, kemudian aku membimbing Dody untuk bersama-sama berendam di bathtub yang telah penuh dengan busa, aku kecup bibirnya dalam-dalam, kupermainkan lidahnya, kami saling berpelukan alam busa sabun, hingga licin, kami duduk berhadapan berpelukan erat, dadanya melekat ke dadaku, batang kemaluannya menempel ke batang kemaluanku, kemudian Dody agak mengangkat pantatnya. Kupegang punggungnya, dan kusodok pantatnya pelan-pelan dari bawah,­ Dody menggelinjang perlahan, kepalanya menengadah dan pegangan ke dinding kamar mandi semakin kuat. Terasa lubang anusnya hangat, menjepit dan meremas batang kemaluanku, "­Oohh," ­aku merasakan sensasi perasaan yang sulit kutuliskan, tubuhku meriang. Kemudian kupegang pinggangnya dan kumasukan kuat-kuat seluruh batang kemaluanku ke anusnya, Dody menggelinjang dan setengah berteriak, "­Aaahh," kemudian kugoyangkan pantatku maju mundur, berputar, dan pantat Dody pun mengikuti irama itu dengan menarik dan menekan pantatnya dari batang kemaluanku, gerakan-gerakan itu berirama, air busa di bathub tumpah ruah ke lantai kamar mandi.

Sementara tanganku yang kanan kuraih kemaluan Dody yang sudah menegang dan kupermainkan, kubelai, kupijit, kukocok,­ ­sehingga Dody meregang. Sementara pantatanya terus kugenjot habis-habisan sampai pinggangku terasa panas, dan Oow aku mulai ejakulasi, kucabut batang kemaluanku dan kukedap tubuh Dody kuat-kuat, kami saling dekapan dalam keadaan tubuh licin,­ seperti belut.

­"Oohh­.."
"Croot, ­croot, crroott.."

Air maniku keluar dengan dahsyatnya, sekujur tubuhku merinding,­ bergetar,­ tegang, ­dan­ sensasi perasaan lainnya. Aku tenggelam dalam air sabun dan kupeluk tubuh Dody erat-erat.

Tamat




Kugantikan istrinya malam itu

0 comments

Temukan kami di Facebook
Siang itu aku bermaksud mengajak sahabatku jalan-jalan, maka kuhampiri ia di rumahnya. Saat kuketuk pintu, ternyata yang membukakan adalah ayahnya, yang selama ini aku kagumi. Ayahnya adalah seorang tentara angkatan darat yang bertugas di Semarang. Karena hari itu Sabtu, kupikir ia sedang off.

"Angga ada, Pak?" tanyaku pada ayah Angga, yang kala itu masih mengenakan seragam hijaunya lengkap tanpa sepatu.
"Oo, Dik Bondan. Masuk dulu, Dik! Silakan duduk!" katanya ramah mempersilakan aku untuk masuk dan duduk.
"Angga dan adiknya serta ibunya sedang ke Semarang. Katanya ada urusan keluarga. Saya juga seharusnya ke sana, tapi berhubung saya lelah, jadi saya urungkan niat saya".
"O, gitu ya, Pak!" kataku sedikit kecewa.
"Benernya saya mau ngajak Angga jalan-jalan. Maklum, habis ujian".
"Memangnya harus sama Angga? Nggak ada teman yang lain?" tanya Pak Sigit, ayah Angga.
"Ya mau sama siapa lagi, Pak! Lha wong temen yang paling deket dengan saya juga cuma Angga. Yang lain paling udah punya acara sendiri-sendiri, Pak!" kataku dengan logat Jawa yang cukup kental.
"Wah, kebetulan. Gimana kalau sama saya saja. Saya juga lagi males di rumah sendirian" kata Pak Sigit menawarkan.
"Tadi sih kirain ada istri saya, jadi bisa 'gituan' setelah seminggu ini ditahan. Ee, malah ternyata istri saya ke Semarang. Ya sudah, saya cuma bisa gigit jari".
"O, ya nggak Papa, Pak!" jawabku singkat.
"Tunggu ya, Bapak ganti baju dulu!" katanya seraya beranjak pergi.

"Oh My God! Aku akan jalan-jalan bareng Pak Sigit. Cuma berdua, lagi. Duh, gimana ya rasanya? Asyik kali, ya?" tanyaku dalam hati.
Terus terang, aku memang sangat suka pada ayah sahabatku itu sejak pertama kali aku dikenalkan Angga padanya. Walau Pak Sigit lebih pendek dariku, tapi perawakannya begitu jantan. Tangan dan kakinya tampak berotot, sementara bekas cukuran selalu membuatnya tampak lebih macho. Aku belum pernah melihat Pak Sigit bertelanjang dada, apalagi tanpa pakaian sepenuhnya. Tapi, bukankah kesempatan itu pasti akan selalu ada walau hanya sekali.
"Ayo, Dik Bondan" kata Pak Sigit sekeluar dari kamarnya.
Suaranya yang khas membuatku tersadar dari khayalanku tentang dirinya.

Akhirnya, dengan Pak Sigit sebagai pengendara, kami berdua mulai meninggalkan kompleks rumah Pak Sigit.
"Keliling Jogja juga boleh, asal bisa melepaskan penatku aja, Pak!" kataku pada Pak Sigit ketika ia bertanya padaku tentang tujuan kami.
Selama perjalanan, aku tak henti-hentinya memandang tubuh kekar Pak Sigit dari belakang. Sudah lama aku impikan berdua sedekat ini dengannya. Kini, ia memakai celana training tipis, kaos hijau ketat, dan jaket yang membuatnya tampak lebih berwibawa.

Setelah beberapa waktu, aku mulai memberanikan diri meletakkan kedua tanganku pada masing-masing paha Pak Sigit. Tak tampak penolakan sedikitpun darinya. Menyadari hal demikian, aku pindahkan tanganku, sehingga kedua tanganku kini melingkar di perut Pak Sigit. Hal ini pun juga tidak mengurangi konsentrasi Pak Sigit dalam berkendara. Mungkin hal ini menjadi hal biasa baginya, tapi bagiku ini adalah sebuah kesempatan yang sangat sayang jika dilewatkan.

Kugesek-gesekkan tanganku secara perlahan pada perutnya, dan ternyata dapat kurasakan kerasnya perut Pak Sigit.
"Sebuah hasil dari latihan militer yang sedemikian keras" pikirku.
Aksiku hanya sebatas menyentuh perutnya, tidak lain. Aku tidak melakukan hal yang lebih jauh, karena aku masih belum cukup bernyali untuknya. Akhirnya, dengan tanganku yang melingkar di perut Pak Sigit, perjalanan keliling Jogja kami habiskan dengan mengobrol kesana kemari, termasuk seks.

Sebagaimana kudengar, Pak Sigit ternyata memiliki libido yang cukup besar. Ia mengaku mudah terangsang dan selalu ingin segera melampiaskan nafsunya itu. Tapi untunglah, pekerjaannya mampu membantunya menurunkan libido yang sering muncul secara tiba-tiba. Biasanya, libido yang sempat ditahannya selama hampir enam hari, ia salurkan dengan 'bergaul' dengan istrinya, saat ia pulang ke Jogja pada hari Sabtu. Setelah sekali main di sore hari, kemudian disambung di malam harinya, lantas pada saat ayam jantan berkokok. Itupun Pak Sigit mengaku masih kurang puas. Biasanya secara diam-diam ia mengocok sendiri kontolnya di kamar mandi.

Obrolan-obrolan kami itu ternyata telah membuat kontolku ngaceng. Aku ingin berbuat yang lebih lagi dengan Pak Sigit, tapi kuurungkan niatku itu karena ternyata motor sudah membawa kami kembali ke kompleks rumahnya. Setelah memarkir kendaraan, ia segera mempersilakan aku duduk di ruang tamunya. Pak Sigit masuk ke kamarnya, dan tak berapa lama kemudian ia sudah keluar hanya dengan boxer dan kaos ketat hijaunya. Kulihat sepintas, kontolnya agak menonjol di balik celana berbahan katun itu.

Kami kembali terlibat dalam obrolan seru, namun kali ini aku tidak begitu terfokus pada pembicaraan karena aku lebih tertarik untuk mencuri-curi pandang ke kontol Pak Sigit yang masih terbungkus boxer itu. Sesekali, kulihat tangan Pak Sigit mengusap dan menggaruk kontolnya.
"Trus kalau pas istri Bapak nggak ada gini, gimana cara menyalurkan nafsu Bapak itu?" tanyaku selalu menjurus pada hal-hal yang berbau seks.
Aku yakin bahwa ini akan membuka jalanku untuk berbuat lebih jauh dengan Pak Sigit.

"Ya, biasanya sih suka ngocok sendiri. Nikmatnya sih jauh beda dibanding sama istri. Lebih nikmat punya istri" kata Pak Sigit dengan nada bercanda.
"Emangnya nggak mikir untuk nyoba dengan yang lain, Pak?" tanyaku lagi.
"Maksudnya dengan pelacur, gitu?" tanyanya skeptis.
Aku hanya mengangkat bahuku.
"Nggak ah, takut penyakit. Siapa tahu di dalamnya sudah banyak bibit penyakit yang nantinya malah nular? Hii..!"
"Kan bisa pakai kondom, Pak!" kataku seolah mengejar jawaban Pak Sigit.
"Rasanya kurang nikmat. Dulu pernah saya 'gituan' pake kondom sama istri saya, dan saya kurang bisa menikmati. Lebih enak alami, Dik!" katanya seraya mengelus kontolnya lebih intens lagi.
"Udah kebelet ya, Pak?" tanyaku hati-hati.
Aku memberanikan untuk duduk mendekati Pak Sigit. Kujulurkan tanganku ke kontolnya.
"Memangnya harus dengan istri Bapak? Gimana kalau sama saya, Pak?".

Pak Sigit mengernyitkan dahinya tanda heran. Tangannya menepis tanganku, tapi aku dengan berani meletakkannya kembali ke atas gundukan di bagian depan celananya.
"Memangnya Dik Bondan yakin bisa mengimbangi libido saya?" tanyanya padaku.
Aku tak memberi jawaban apapun, hanya saja tanganku masih tetap mengelus bahkan meremas kontol Pak Sigit.
Akhirnya, tangan Pak Sigit meraih tanganku dan membimbingku menuju sebuah kamar. Kupikir kamar itu bukan kamarnya, karena sama sekali tidak menampakkan sebuah kamar suami istri. Setelah kutanya, ternyata Pak Sigit tidak mau menodai ranjangnya dengan ber-intim dengan orang lain. Jadilah, Pak Sigit memilih kamar Angga sebagai tempat kami ber-ah uh oh.

"Bisa pinjam jaketnya, Pak?" tanyaku ketika aku mulai merebahkan tubuh Pak Sigit ke spring bed itu.
Ia segera beranjak dari rebahannya, dan mengambil jaket yang tadi ia pakai, tanpa bicara. Kemudian, ia memposisikan dirinya kembali seperti sedia kala. Jaket itu kuletakkan di samping Pak Sigit, lantas aku duduk di atas kontolnya yang sudah setengah ngaceng, dan kusuruh ia menanggalkan kaosnya. Setelah ia melepas kaosnya, tampaklah dengan jelas dada bidang berkulit sawo matang, halus tanpa bulu. Bahu, dada, dan perutnya tampak bagus tercetak oleh latihan militer yang selama ini ia jalani. Ia lipat tangannya ke belakang kepala, hingga ia berbantalkan kedua telapak tangannya di atas sebuah bantal empuk.

Aku mulai menggoyang-goyangkan pantatku yang masih mengenakan celana lengkap di atas kontol Pak Sigit. Kali ini, bisa kurasakan kontol itu semakin membesar dan memanjang.
"Buka pakaianmu!" perintah Pak Sigit dengan suara paraunya.
Tampaknya ia telah terkuasai nafsunya. Aku tak menuruti apa kata Pak Sigit kali ini. Aku masih duduk di atas kontol Pak Sigit dan berlagak sebagai seorang cowboy yang sedang ber-rodeo. Kudengar Pak Sigit mengeluarkan desahan-desahan kecil.

Setelah melakukan aksi rodeo, lantas aku membuka boxer Pak Sigit dengan mulutku. Kubuka perlahan ke bawah, hingga kontolnya yang kini sudah ngaceng sepenuhnya keluar dari sarangnya. Kontol yang disunat itu tampak gagah dengan kepalanya yang memerah dan batangnya yang berwarna coklat gelap. Aku tak tahu seberapa besar kontol itu. Yang jelas saat kugenggam kontol itu dari pangkalnya, sebagian dari batang dan kepalanya masih jelas terlihat.

Kulucuti boxer itu, hingga kini tak selembar pun kain yang menempel pada tubuhnya, kecuali bed cover berbahan satin itu. Kuambil jaket, yang biasanya dipakai oleh taruna angkatan udara itu, kemudian kuperlakukan sedemikian rupa hingga kain halus yang berwarna oranye berada di luar. Kedua tanganku kuselimuti dengan jaket itu, dan kuletakkan bagian berwarna oranye pada jaket mengelilingi kontol Pak Sigit.

Pak Sigit sedikit tersentak dengan aksiku itu, tapi detik selanjutnya ia merasakan nikmatnya dielus dengan menggunakan jaket itu. Tak henti-hentinya kudengar desah nafas Pak Sigit, yang semakin membuatku ingin bertindak lebih jauh. Setelah beberapa waktu meremas dan mengelus kontol Pak Sigit dengan jaket, aku segera melempar jaket itu ke lantai dan menggenggam erat kontolnya dengan tangan kananku. Kuludahi kontol Pak Sigit dan kugerakkan kontol itu naik turun.
"Dik Bondan.. Uuhh.. Nghh.. Terus, Dik!" kata Pak Sigit di sela-sela desah kenikmatannya.

Tak ingin membuang banyak waktu, aku segera mendaratkan kecupanku di batang kontol Pak Sigit. Masih kugenggam batang itu, sambil kumainkan lubang kencingnya dengan jempolku. Kali ini, tampaknya Pak Sigit tidak mau melewatkan saat-saat dimana kontolnya diperlakukan dengan nikmat. Ia duduk dan segera menyandarkan badannya ke sandaran ranjang. Setelah itu, ia memberiku kode untuk bermain dengan kontolnya lagi. Pak Sigit mengangkangkan kakinya, memberiku area yang lebih luas untuk bermain.

Aku segera meletakkan bibirku kembali ke batang kontolnya, dan mulai menjilatinya. Kemudian aku berpindah ke kepala kontolnya yang telah mengeluarkan pre-cum. Kujiati seluruh pre-cum yang ada, dan perlahan mulai kumasukkan kepala dan batang kontol itu ke dalam mulutku. Senti demi senti telah masuk, namun tak seluruhnya mampu kumasukkan. Aku mulai menggerakkan kepalaku naik turun, mengemut batang kontol coklat itu. Pak Sigit tidak tinggal diam mendapati kontolnya diembat seorang lelaki. Ia meraih bagian belakang kepalaku, dan meremas-remas rambutku. Kakinya pun juga tak mau kalah berperan. Pak Sigit terkadang mendekapkan pahanya erat-erat ke kepalaku. Nafas Pak Sigit mulai menderu, seiring dengan gerakan kepalaku yang kupercepat. Pantatnya juga bergoyang-goyang menikmati sensasi yang dilahirkan dari kontolnya yang sedang kukulum. Saat kurasakan Pak Sigit sudah mencapai satu taraf dibawah orgasme, aku segera menghentikan permainanku.

Aku berdiri, lantas turun dari ranjang. Kusuruh Pak Sigit untuk berpura-pura memperkosa aku, dan ia menurut. Ia mendekapku dari belakang, dan berlagak seakan-akan mencekikku jika aku tidak menuruti apa yang ia mau. Aku pasrah. Lantas, ia membanting tubuhku ke ranjang, dan ia menindihku. Dengan penuh nafsu, Pak Sigit membuka bajuku dengan paksa hingga beberapa kancingnya terputus. Ia robek kaos dalamku dengan tenaganya yang besar. Lantas, ia buka ikat pinggangku dan memelorotkan celana yang kupakai hingga terlepas. Aku berlagak merintih kesakitan, dan itu ternyata semakin memperbesar nafsu Pak Sigit. Terakhir, ia buka celana dalamku dan mengeluarkan kontol beserta buah zakarku. Celana dalamku ia tarik sedemikian rupa dengan sangat bergairah, hingga terlepas dari tubuhku.

Melihat tubuhku yang telanjang bulat terlentang di ranjang, Pak Sigit segera menindihku. Kurasakan kontolnya begitu keras menimpa kontolku, dan jembutnya terkadang bergesekan dengan perut dan sebagian kontolku. Tampaknya Pak Sigit sudah lupa dengan siapa ia berbuat itu. Ia sudah terkuasai oleh nafsunya yang membara. Ia ciumi bibirku dengan cekatan. Bekas cukuran di wajahnya memberi sensasi tersendiri bagi percumbuan kami. Kali ini aku benar-benar mendesah mendapat perlakuan istimewa dari seorang Pak Sigit. Kemudian, Pak Sigit segera memindahkan cumbuannya ke leherku dan dadaku yang ditumbuhi sedikit bulu. Ia jilat dan hisap pentilku, seperti sedang menyedot milik istrinya.

Aku mengangkat bahu Pak Sigit, dan memberi tanda padanya bahwa gantian aku yang melayaninya. Pak Sigit mengambil posisi seperti saat aku ngemut kontolnya, dan segera menyuruhku untuk menuntaskan pekerjaanku. Tak langsung kuemut kontolnya, tapi kujialti dahulu batangnya yang sudah basah oleh keringat. Tampaknya, Pak Sigit sudah tak sabar menerima servis mulutku lagi. Kedua tangannya sudah mencengkeram kepalaku dan membimbingnya ke kontolnya yang masih sangat ngaceng. Aku menaikturunkan kepalaku beberapa kali hingga saat itu tiba. Entah sengaja atau memang refleks, Pak Sigit mendorong kepalaku hingga hampir seluruh kontolnya masuk ke mulutku.
"Aaahh..!" Desah nikmat terlontar dari mulut Pak Sigit seiring dengan maninya yang menyemprot keras pangkal mulutku.
Walau merasakan sebuah rasa yang aneh di lidah, tapi aku tetap berusaha menelan semua pejuh yang dipancarkan kontol Pak Sigit.
"Ohh.. Uhh.. Ooh.. " terdengar beberapa kali lenguhan selama kontol Pak Sigit memuntahkan lahar putihnya.

Tetap kudiamkan kontol itu di dalam mulutku hingga beranjak melemas. Kukeluarkan kontol Pak Sigit dari mulutku dan kujilati sisa-sisa mani yang menempel pada batang dan kepalanya. Kulihat ekspresi Pak Sigit begitu puas dengan apa yang baru saja kulakukan. Ia masih terengah-engah dengan wajah penuh peluh. Dadanya yang coklat tampak mengkilat dibasahi butir-butir keringatnya.

Aku menegakkan badanku, dan menyandarkannya ke dada Pak Sigit yang masih basah. Kakinya ia silangkan ke kakiku, dan kedua tangannya memeluh tubuhku dari belakang.
"Terima kasih, Dik Bondan!" katanya seraya menciumi leherku.
Kusandarkan kepalaku ke bahunya, hingga ia bisa leluasa menjilat dan mencium leherku. Pak Sigit terus saja memelukku, hingga satu jam kemudian kontolnya mulai berdiri lagi.

Mengetahui hal ini, aku lantas meminta Pak Sigit untuk mencicipi lobang anusku. Awalnya ia menolak, karena tak ingin melihatku tersiksa. Namun, setelah kuyakinkan bahwa nantinya aku akan merasa nikmat, ia menyetujuinya. Ia lumuri kontolnya dengan ludahku dan ludahnya, kemudian ia lumurkan sisanya ke anusku. Setelah itu, ia meletakkan kedua kakiku di atas pundaknya dan ia posisikan kontolnya di depan lubang anusku. Ia mulai memasukkan kepala kontolnya, lantas menghentikannya dikarenakan aku mengerang kesakitan. Aku meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja, tapi ia tetap saja mengurungkan niatnya.

Sesaat kemudian, ia segera keluar dari kamar dan masuk kembali dengan membawa sebungkus kondom dan gel pelicin. Ia lumurkan gel itu ke kontolnya, lalu ia memakai kondom itu. Di atas kondom itu, ia lumurkan lagi gel itu dengan maksud agar lebih licin. Selanjutnya, ia masukkan kontolnya ke anusku senti demi senti. Aku mencoba menahan rasa sakit yang ditimbulkan untuk meyakinkan Pak Sigit bahwa aku baik-baik saja.
"Lepas saja kondomnya, Pak!" pintaku ketika Pak Sigit berhasil membobol anusku beberapa kali.
"Tapi." jawab Pak Sigit.
"Lepas saja, Pak! Lebih nikmat tanpa kondom, kan?" kataku dengan desah menggoda.

Akhirnya Pak Sigit bersedia melepas kondom dan melanjutkan permainan. Beberapa saat berlalu, Pak Sigit kuminta berhenti. Aku memposisikan diriku dengan doggy style, kemudian kusuruh Pak Sigit untuk memasukkan kontolnya kembali ke anusku. Ia mulai merasakan kenikmatan nge-fuck anusku. Ia tampak semakin lihai dalam menyodomi anusku. Aku mendesah dan mendesis pelan, sementara Pak Sigit dengan kecepatan konstannya merojok lubang kenikmatanku.

Merasa nikmat dengan posisi seperti ini, Pak Sigit semula menolak untuk berganti posisi lagi. Setelah melalui perdebatan kecil, akhirnya Pak Sigit mau merojok anusku dengan posisi berhadapan denganku. Aku tidur telentang dengan kaki ke atas dan badan Pak Sigit berada di antara pahaku. Wajah kami berhadapan sehingga Pak Sigit dengan mudah mendapat dua sensasi sekaligus, yakni menyodomi dan mencumbu wajahku.

Nafas Pak Sigit menderu dan terasa sangat hangat di wajahku ketika posisi itu telah kami jalani selama beberapa saat. Kulingkarkan kakiku di pinggang Pak Sigit, hingga ia bisa menyodokku lebih dalam. Tubuh kami terbasahi keringat. Tanganku melingkari punggungnya, hingga dada kami saling bergesekan. Sementara, kulihat pantat Pak Sigit tak henti-hentinya naik turun memompa maninya agar keluar dari pabriknya. Kali ini, tampaknya Pak Sigit semakin mempercepat gerakannya, juga gerakan pantatku yang mengimbangi goyangannya.

"Ugh.. egh.. nggh.. A.. ku.. aakh.. ah.. keluaarr!" kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Pak Sigit saat ia mengeluarkan pejuhnya di anusku.
Pak Sigit masih terus memompa anusku di saat-saat orgasmenya. Ia keluarkan kontolnya dari anusku, kemudian menggesek-gesekkannya dengan kontolku yang masih belum sempat memuntahkan lahar putihnya. Tampaknya Pak Sigit menyadari bahwa aku belum mengalami orgasme. Lantas ia menyuruhku berpindah tempat sejenak, dan ia sandarkan tubuhnya ke sandaran ranjang. Segera setelah itu, ia tarik tubuhku hingga punggungku menempel pada dadanya. Ia peluk dan ciumi aku sebentar, lalu ia meludah pada kedua tangannya dan menyuruhku berbuat hal yang sama.

Setelah itu, Pak Sigit meraih batang kontolku dan ia genggam dengan tangan kirinya yang penuh ludah. Sementara itu, tangan kanannya memainkan kedua buah zakarku, hingga aku merasa sangat nikmat dibuatnya. Merasakan nikmat yang ditimbulkan oleh sentuhan tangan kasar Pak Sigit, membuatku agak lupa diri. Aku menyandarkan kepalaku ke bahu Pak Sigit, dan kedua tanganku meremas-remas rambutnya. Pak Sigit sendiri selain memainkan kontolku, lagi-lagi ia menciumi leherku. Bahkan, kurasakan ia membuat sebuah cupang di leher bagian bawahku.

Tampaknya Pak Sigit sangat terlatih ngocok, terbukti tangannya lihai memainkan kontolku. Tak hanya dikocoknya, tapi juga diremas dan dipilinnya. Hal tersebut terus dilakukannya sampai aku mencapai batas maksimal. Dengan deras, aku menyemprotkan mani ke udara dan akhirnya jatuh membasahi dada dan perutku. Pak Sigit terus memilin dan meremas kontolku sampai kontolku melemas. Mungkin karena kelelahan, kami berdua tertidur dalam posisi yang masih sama dengan posisi terakhir, sampai akhirnya Pak Sigit terbangun dengan sendirinya.

Ia memintaku menginap malam itu di rumahnya. Sebuah mimpi yang menjadi nyata bagiku, menggantikan posisi istri Pak Sigit sampai keesokan harinya. Memang benar, Pak Sigit mempunyai tenaga yang kuat. Sampai sebelum tidur malam bertelanjang di bawah satu selimut dan dalam satu pelukan, kami ber-intim sebanyak dua kali. Satu kali ia nge-fuck di antara pahaku, karena anusku sudah terlalu lelah. Dan saat ayam jantan berkokok, ia membangunkan aku untuk ngemut kontolnya dan kembali nge-fuck pahaku.

Benar-benar sebuah malam yang fantastis.

Tamat




Kondom papaku - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya lagi.
"Kenapa kamu menelan sperma Papa? Kamu benar-benar homo?"

Meskipun semua pertanyan yang diajukan terasa sangat memojokkanku, namun aku tak menemukan intonasi kemarahan atau pun keterkejutan dalam nada bicaranya. Papaku terdengar seolah-olah dia sudah tahu sejak lama bahwa aku gay. Tapi bagaimana mungkin? Papaku berjalan ke arahku. Saat kami telah berdiri berhadapan, aku hanya bisa menundukkan kepalaku dalam-dalam, malu sekali.

"Ada apa denganmu? Papa sudah berdiri di sini dari tadi. Papa melihat bagaimana kamu menikmati noda pada celana dalam itu dan bagaimana kamu menyukai setiap tetes dari pejuh Papa. Papa juga lihat bagaimana kamu sangat menikmati masturbasimu. Kamu ngecret sangat banyak. Anakku, kalau kamu begitu menyukai sperma Papa, kamu 'kan bisa minta."
"Hah?!" Aku tak percaya mendengar ucapannya. Apa maksudnya?
"Papa sudah tahu kamu homo, tapi Papa tak berani memintamu ngeseks dengan Papa. Kamu pasti tidak tahu, tapi Papa sering mengendap masuk ke dalam kamarmu saat kamu sedang keluar. Papa suka sekali dengan semua koleksi film porno homo, majalah homo, dan juga foto-foto di komputer kamu. Semuanya merangsang. Sering Papa berfantasi bagaimana nikmatnya bersetubuh dengan anak Papa sendiri tapi Papa takut."

Pengakuan Papa sangat mengagetkanku. Dalam sekejap, bayanganku tentang Papa langsung pecah berkeping-keping.

"Tapi saat Papa tadi melihatmu asyik mencoli kontol kamu sambil meminum sperma Papa, Papa yakin bahwa kamu juga sering membayangkan Papa dalam setiap fantasi jorokmu. Benar 'kan?"
"Tapi, Pa, tadi aku lihat Papa sedang ngeseks dengan seorang wanita pelacur. Papa biseks?" tanyaku penasaran. Rasa takut dan maluku berangsur-angsur hilang.
"Wanita?" papaku tertawa kecil.
"Anakku, yang tadi Papa bawa pulang namanya Jon. Dia laki-laki tulen, seumur Papa. Dia adalah anak buah Papa di kantor. Selama bertahun-tahun, Jon telah sering melayani nafsu homoseksual Papa. Sebenarnya sudah berkali-kali Papa mengajaknya kemari, namun baru kali ini Papa tertangkap basah oleh kamu. Celana dalam yang tadi kamu jilat-jilat adalah celana dalam yang sengaja ditinggalkan Jon untuk Papa," jelasnya sambil tersenyum mesum.
"Anakku, Papa sama homonya seperti kamu. Sejak Papa ditinggal mamamu, Papa membenci wanita dan mulai menyukai sesama jenis." Penjelasan Papa membuatku tercengang. Kami hanya berdiri saling menatap selama bermenit-menit sebelum akhirnya aku merangkul papaku sambil menangis lega.
"Papa.. Saya sayang Papa.. Sudah lama saya memimpikan Papa.." Kepalaku bersandar di atas dadanya yang gempal namun padat berisi. Tanpa ragu, kuraba-raba dadanya sambil memuaskan impianku untuk memeluknya. Pelan-pelan, kontol Papa membentuk tonjolan besar di depan celana pendeknya. Dan saat itu Papa bertanya..

"Kamu masih kuat? Mau bercinta dengan Papa?"

Kutatap wajah papaku dan kutemukan nafsu birahi kembali menguasainya. Aku mengangguk-ngangguk, setuju. Tanpa basa-basi, Papa memerosotkan celana pendeknya. Ternyata Papa juga sudah tidak mengenakan celana dalam. Pepatah mengatakan, ayah dan anak sama saja. Kurasa pepatah itu benar. Kontolnya langsung melompat keluar, berdenyut-denyut dengan bangga. Rasanya hangat sekali saat kontolnya itu menempel di pahaku, beradu dengan kontolku. Perlahan, kontolku yang tadi sempat melemas, kini mulai mengeras lagi. Noda pejuh yang masih melekat pada kontolku menodai paha Papa, namun Papa tampak tak keberatan.

Papa memelukku sambil meraba-raba seluruh tubuhku. Tangannya terasa lebar dan kasar, namun aku suka. Bibirnya asyik masyuk mencium-cium wajah dan leherku. Deru napasnya terdengar jelas seperti suara mesin pesawat tempur. Kedua puting Papa yang keras melenting terasa menusuk-nusuk dadaku, membangkitkan putingku. Bibir Papa kemudian beralih ke mulutku, dan kami pun berciuman mesra sekali. Papa tampak agak terkejut melihat betapa terampilnya aku dalam membalas ciumannya. Ketika kujelaskan bahwa aku dulu pernah punya pacar homo, Papa hanya tersenyum mesum saja. Tangannya aktif meremas-remas belahan pantatku, sesekali melebar-lebarkan pantatku agar anusku tertarik.

"Hhoohh.. Papa sayang kamu.. Aahh.. Kamu anak Papa yang seksi.. Hhoohh.." desahnya.

Papa tiba-tiba menekan badanku ke bawah seraya mengisyaratkan bahwa dia ingin dihisap. Aku tak menolaknya. Aku berjongkok di depan kontolnya tanpa mengeluh. Aroma jantan langsung memancar dari kontol itu. Nampak noda-noda pejuh masih melekat pada kepala kontolnya. Aromanya sangat menusuk, mengingatkanku pada pejuh Papa yang baru saja kutelan tadi.

Mm.. Kontol Papa berdenyut-denyut dan mulai mengalirkan precum. Papa nampaknya tak sabar lagi sebab dia mulai menggerak-gerakkan kontolnya menuju mulutku. Begitu mulutku terbuka, kontolnya melesat masuk dan berdiam di sana. Mm.. Rasa pejuh bercampur precum langsung memenuhi setiap sel dari lidahku. Sungguh tak terbayangkan, aku sedang menyedot kontol yang dulu pernah menciptakanku. Jika tak ada kontol itu, aku takkan pernah ada. Oleh karena itu, aku harus melayani kontol Papa sebaik-baiknya sebagai tanda terima kasih, dan lagipula aku memang suka menyedot kontol Papa. Slurp! Slurp! Slurp!

Kontol itu terasa menyesakkan mulutku. Ukurannya jauh lebih besar daripada kontol mantanku. Aku harus pintar-pintar menghisap kontol itu sebab mulutku hampir kram. Lidahku bermain-main sambil mengusap-ngusap kepala kontol itu, menggodanya. Sengaja kujilat-jilat bagian bawah kepala kontolnya karena bagian itulah yang paling sensitif. Kucoba untuk memampatkan mulutku agar hisapanku menguat. Kupaksa kontol Papa untuk memberikanku lebih banyak precum. Mm.. Enak sekali. Slurp! Semakin keras kusedot kontol itu, Papa mengerang semakin keras pula.

"Hhoohh.. Hisap kontol Papa.. Aahh.. Ya, begitu.. Jilat terus.. Oohh.. Mulutmu lebih enak daripada mulut Jon.. Aahh.. Layani Papa, anakku.. Oohh.."

Papa menjambak rambutku dan memakainya sebagai pengendali kepalaku. Meski agak kesakitan, tapi aku tak keberatan karena Papa melakukannya dengan lembut.

"Hhoohh.. Hisap terus.. Aahh.."

Kedua tanganku merayap naik. Begitu kutemukan dada Papa, aku langsung meraba-rabanya. Ah, aku rindu sekali menyentuh dada itu, dada Papa yang kucintai. Putingnya mengeras di bawah rabaanku. Ketika kupelintir, papaku mengejang-ngejang sembari mengerang keenakkan.

"Hhoohh.. Yyeeaahh.. Mainin puting Papa.. Aahh.. Ayo, nak.. Buat Papa terangsang.. Hhoohh.." Precum Papa mengalir makin banyak, habis kutelan semuanya.
"Aarrgghh!!" erang Papa mendadak sambil mendorongku jauh-jauh.

Aku terkejut tapi belakangan aku baru menyadari bahwa Papa tadi hampir ngecret dan dia hanya mau agar aku berhenti menyedot kontolnya sebentar.

Papa kemudian menghampiriku. Dengan sepasang tangannya yang kuat, Papa mengangkatku dan membaringkanku di atas meja dapur. Kami memang punya sebuah meja dapur yang kokoh tepat di tengah dapur, berfungsi sebagai meja masak dan sekaligus meja makan. Dengan bernafsu, kakiku dikangkangkannya lebar-lebar. Anusku nampak berkedut-kedut menyapa papaku. Papa hanya tersenyum padaku seraya berkomentar nakal.

"Pantatmu kelihatan sempit. Pasti enak kalau Papa entoti."

Berbekal kondom yang tersimpan di celana pendeknya, Papa mempersenjatai kontolnya. Kemudian, tanpa bicara lagi, Papa langsung menusukkan kontolnya dalam-dalam.

"Aahh.." erangnya, matanya merem-melek.

Anusku yang masih sempit, mencekik kontolnya. Namun pelumas yang menempel pada kondom Papa membantu proses penetrasi sehingga kontol Papa dapat masuk seluruhnya. Blleess.. Namun Papa tak mau buang-buang waktu, dia langsung menggenjot pantatku.

"Aarrgghh.. Sakit, Pa.. Hhoohh.. Uugghh.." rintihku.

Kontol Papa memang besar sekali hingga anusku serasa sobek. Air mataku mengalir keluar, tak tahan menahan sakit. Duburku serasa terbakar dan berdarah. Namun Papa berusaha menenangkanku.

"Hhoohh.. Sakit.. Aahh.."
"Aahh.. Tahan saja.. Uugghh.. Demi Papa.. Hhoohh.. Sempit banget.. Aahh.. Kontol Papa dijepit pantatmu.. Aahh.."

Kontol Papa memang terasa sempit di dalam duburku, namun Papa malah semakin menyukainya. Dengan bernafsu sekali, Papa mengentotku. Kepala kontolnya menghajar isi pantatku tanpa ampun. Rasanya setiap organ dalam pantatku sudah dirombak ulang. Ketika kontol itu menemukan prostatku, aku mulai mengerang-ngerang karena nikmat. Prostatku memancarkan rasa nikmat yang mirip orgasme. Aku merasa senang dan tak merasa sakit lagi. Berkali-kali prostatku ditumbuk, lagi, lagi, dan lagi.

"Oohh.. Pa, enak banget.. Aahh.. Fuck me.. Oohh.. entoti anakmu, Pa.. Aahh.. Aku butuh kontol Papa.. Aarrgghh.. Ayo, Pa.. Ngentot terus.. Aahh.."

Aku mengerang-ngerang seperti pria murahan, namun aku suka melayani Papa. Papa tahu kebutuhanku, maka dari itu dia menggenggam kontolku dan langsung mengocok-ngocoknya. Dari deru napas kami, kami akan segera ngecret.

"Aarrgghh.. Pa, aku mau.. Aahh.. Kkeluar.." erangku.

Aku sungguh tak kuat lagi. Prostatku dihajar terus-menerus oleh kontol Papa sementara kontolku dikocok terus oleh tangan Papa. Orgasmeku sungguh tak dapat dicegah. Seiring dnegan membanjirnya precumku, aku ngecret! Kontolku berdenyut-denyut dengan ganas, menyemburkan lahar putih ke mana-mana. Semburannya begitu kuatnya sehingga mengenai dada Papa. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!!

"Oohh.. Semprotkan pejuhmu.. Oohh.. Yyeeaahh.. Biar Papa lihat.. Hhoohh.."

Papa menyemangatiku sambil terus menyodok-nyodok pantatku. Tapi rupanya orgasmeku justru memicu orgasmenya sebab bibir anusku berkontraksi hebat ketika orgasmeku terjadi. Papa menggeram seperti banteng, perutnya berkontraksi. Seiring dengan erangan panjangnya, kontol Papa mulai mengisi pantatku dengan spermanya. Ccrroott!! Ccrroott!! Ccrroott!!

"Hhoohh!! Hhoosshh!! Aahh!!" lenguhnya.

Setiap kali kontolnya menembakkan sperma, tubuhnya akan terguncang. Dada gempalnya ikut terguncang-guncang, seksi sekali. Ccrroott!! Sebagian sperma meleleh keluar dari pantatku.

Lalu Papa memeluk tubuhku saat semuanya telah usai. Dia membisikkan bahwa betapa dia mencintai dan menyayangiku. Kubalas dengan sebuah ciuman mesra di pipinya.

"Aku sayang Papa," bisikku.

Tamat




 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald