Pengorbanan seorang ibu - 5

0 comments

Temukan kami di Facebook
Beberapa minggu setelah kejadian pertama dengan Basuki, aku telah berpikir. Aku rasa anakku yang kedua, Banu, juga harus mendapatkan jatah seperti kedua saudaranya. Tidak adil rasanya jika dia tidak mendapatkannya. Lagipula, semua yang aku lakukan sudah telanjur jauh. Mengapa tidak aku teruskan saja. Hanya saja aku belum mendapatkan cara yang tepat untuk meminta anakku Banu. Mungkin aku sudah terkena penyakit kelainan sex karena aku sangat menikmati hubunganku dengan anak-anakku sendiri. Tapi biarlah, daripada harus menjajakan diri, aku pikir lebih baik begitu. Kesempatan untuk bersetubuh dengan Banu akhirnya datang ketika kedua Saudaranya sedang tidak ada di rumah.

Bari sedang ke rumah temannya, sedangkan Basuki pergi ke kota lain selama beberapa hari. Jadi otomatis aku tidak mendapatkan kepuasan selama beberapa hari itu, karena aku tidak disentuh oleh kedua anakku yang telah menjadi pemuas nafsuku. Aku tidak mampu lagi menahan nafsuku untuk bersetubuh, dan aku tidak mau bersetubuh dengan orang lain yang tidak aku kenal. Aku bingung. Sampai ketika aku sedang duduk di ruang tengah aku melihat Banu yang baru saja selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan celana pendek. Aku terkesiap. Ternyata tubuh Banu tidak jauh berbeda dengan kedua saudaranya. Atletis dan juga mengagumkan. Hasratku yang sudah sampai ke ubun-ubun menggelapkan nuraniku. Aku berpikir, biarlah sekalian aku nikmati tubuh semua anak-anakku. Tanpa pikir panjang, aku panggil Banu.

"Banu, kemari sebentar Nak," panggilku. Banu menoleh ke arahku dan berjalan menghampiriku.
"Ada apa Bu? Banu baru mandi nih. Mau pake baju dulu," kata Banu sambil menghampiriku.
"Tidak usah pakai baju Nak. Kemari sebentar. Ibu mau bicara dengan kamu." Kataku meyakinkan Banu.
"Tapi Bu, Banu kedinginan. Banu mau pakai baju dulu," jawab Banu ngotot.
"Udah, nggak usah membantah Ibu," kataku sambil berdiri dan menarik tangan Banu untuk mendekat.
"Duduk di samping Ibu," kataku lagi.

Banu pun akhirnya menurut dan duduk di sampingku. Aku pandangi tubuh setengah telanjang yang duduk di sampingku. Sempurna. Itulah yang ada di benakku saat ini.

"Boleh Ibu tanya Nak?" tanyaku kepada Banu.
"Ya tentu saja boleh Bu, emang ada apa sih?" Banu balik bertanya kepadaku sambil matanya memandangku penuh selidik.
"Kamu udah punya pacar Nak?" tanyaku basa basi.
"Ya belum donk Bu, emang kenapa sih Ibu tanya itu?" jawab Banu.
"Jadi kamu belum pernah ciuman donk?" tanyaku memancing.

Banu kelihatan keheranan dengan pertanyaanku tadi. Dia hanya diam beberapa saat.

"Ya belum pernah donk. Kok Ibu tanya begitu sih? Ada apa?" tanya Banu keheranan.
"Nggak kok. Kalau memang belum pernah, Ibu cuman ingin mengajari kamu ciuman. Itu pun kalau kamu mau?" jawabku ngawur.
"Ibu serius? Ibu nggak sedang bercanda kan?" tanya Banu lagi dengan nada tidak percaya.

Aku hanya menganggukkan kepala, lalu mendekatkan tubuhku kepadanya. Kepala kami begitu dekat sehingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Aku dekatkan bibirku ke bibirnya. Lalu aku tempelkan bibirku. Banu hanya diam saja dan tidak bereaksi. Aku mencoba lebih aktif lagi. Aku dekap tubuhnya, sehingga tubuh kami bersatu.

"Kalau ciuman, bibirnya dibuka sedikit donk Nak," pintaku karena bibir Banu hanya tertutup rapat.

Aku cium lagi bibirnya, dia membuka bibirnya sedikit sehingga aku mencoba memasukkan lidahku ke mulutnya. Lidahku dan lidahnya beradu di dalam mulutnya. Terkadang aku sedot mulutnya untuk mendapatkan sedikit air ludahnya. Lalu aku telan air ludahnya yang terasa nikmat. Setelah sekitar 15 menit kami berciuman dengan mesranya, aku lepaskan dekapanku pada tubuhnya. Banu seperti tidak rela untuk melepaskan diriku.

"Bagaimana Nak? Kamu suka?" tanyaku.
"Enak sekali Bu. Boleh lagi? Banu masih pengen nih." Kata Banu sambil terengah-engah.
"Boleh saja Nak. Bahkan lebih juga boleh kok." kataku lagi.

Aku berdiri di hadapannya. Lalu aku perlahan-lahan menurunkan resleting dasterku. Aku turunkan dasterku dan aku buang ke samping sofa. Sekarang aku hanya menggunakan BH dan celana dalam saja. Aku lihat Banu terkesiap dan menelan ludah melihat pemandangan yang indah di depannya. Aku melangkah mendekat ke arahnya. Aku dekatkan wajahku. Kami pun berciuman kembali. Kali ini Banu sudah lebih mahir. Dia memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. Lidah kami bertautan seperti dua ekor ular yang sedang bertarung.

Hanya suara desahan kami berdua yang memenuhi ruangan itu. Aku pegang tangan kanannya dan aku arahkan ke buah dadaku yang masih terbalut oleh bra. Secara alami tangan Banu mulai meremas-remas payudaraku dari luar bra. Aku semakin terangsang saat tangannya meremas payudaraku. Tangan kiriku mengusap-usap bagian luar celananya.

"Buka BH Ibu, sayang.. Ohh," pintaku sambil mendesah.

Tanpa diminta dua kali, tangan Banu dengan cekatan membuka kaitan BH-ku. Kini di depan wajahnya terpampang dua buah bukit kembar yang sangat ranum dan menggairahkan.

"Bu, susu Ibu gede sekali, ukuran berapa sih Bu?" tanya Banu takjub melihat besarnya payudaraku.
"38B sayang, gede kan? Kamu suka sayang?" jawabku penuh nada kebanggaan pada propertiku yang satu ini.
"Pegang susu Ibu sayang," pintaku sambil mendekapkan tangannya ke payudaraku.

Mungkin ini yang disebut dengan nafsu alami. Secara otomatis tangannya mulai meremas-remas payudaraku. Aku hanya bisa mendesah-desah tak karuan mendapatkan perlakuan seperti itu. Tak hanya meremas-remas, sepuluh menit kemudian Banu secara naluriah mulai mengecup dan menjilati kedua gunung kembar yang ada di depannya.

"Ahh.. Enaak.. Sayang.. Teruuss.. Emmpphh.." aku meracau tak karuan mendapat perlakuan seperti itu.

Kini hanya sehelai celana dalam yang melekat di tubuh kami. Tak sabar, aku menjauhkan kepala Banu dari kedua gunung kembarku. Aku suruh Banu untuk duduk di sofa. Peluh membasahi tubuh kami berdua meskipun permainan baru saja di mulai. Aku berjongkok di antara kedua belah pahanya yang terbuka. Aku pandangi tonjolan besar yang berada dalam penjara yang disebut celana dalam. Aku usap-usap bagian luar celana Banu. Banu menggelinjang mendapat perlakuan seperti itu. Perlahan aku pegang pinggiran celana dalam Banu dan aku berusaha untuk melepaskan celana dalam itu dari tubuhnya.

Sebuah pemandangan yang sangat indah bagiku terpampang begitu saja ketika celana dalam itu sudah lepas dari tubuhnya. Kini Banu sudah telanjang bulat. Kontol yang sangat besar, dengan panjang sekitar 18 cm dan diameter yang cukup besar membuat diriku menelan ludah. Aku pegang kontol Banu dengan tangan kananku. Aku elus-elus kontol itu pelan-pelan. Banu hanya mendesah saja mendapatkan perlakuan itu. Aku dekatkan wajahku ke kontol Banu. Aku ciumi ujung kontol yang merekah itu, lalu aku jilati kontol itu. Banu semakin tidak karuan mendapat perlakuan yang semakin merangsang itu. Lima menit kemudian, aku masukkan kontol Banu ke dalam mulutku dan aku oral kontol Banu.

"Ohh.. Enaakk Buu.. Teruus.." Banu mendesah.

Aku memasukkan kontol Banu ke dalam mulutku dan juga secara bergantian mengocok kontolnya dengan tangan kananku sambil menjilati buah pelirnya. Setelah itu aku masukkan lagi kontol Banu ke dalam mulutku lalu aku memaju mundurkan mulutku sedangkan tanganku bekerja meremas-remas kedua pelirnya dengan lembut.

"Enaakk.. Bu.. Kontooll.. enaakk.. Teruss.."

Kata-kata semacam itu terus-menerus keluar dari mulut Banu. Sekitar sepuluh menit kemudian Banu memegang bagian belakang kepalaku seakan-akan tidak mau melepaskan hisapan mulutku dari kontolnya.

"Buu.. Mauu.. Ke.. Lu. Aar.. Ceepaat.." teriak Banu.

Aku semakin mempercepat kocokan mulutku di kontolnya. Tidak lama kemudian aku merasakan adanya denyutan-denyutan yang menandakan kalau Banu akan mencapai puncak.

"Keluarkaan sayang, keluarkan di mulut Ibu," kataku di antara desahan nafasku dan nafasnya dan di antara kesibukanku mengoral kontolnya.

Creet.. Croot.. Creet.., mungkin sebanyak sembilan atau sepuluh semprotan sperma Banu memenuhi rongga mulutku. Hampir saja mulutku tidak dapat menampung banyaknya semprotan sperma Banu yang sangat banyak itu. Wangi dan gurih, itulah yang aku rasakan. Mungkin dikarenakan Banu masihlah perjaka (atau tidak??). Banu duduk telentang dan bersandar di sandaran sofa dengan nafas yang terengah-engah seperti baru berlarian. Tapi, dia memang baru saja 'berlarian' mengejar nafsunya bukan? Aku lalu duduk di sampingnya. Aku biarkan dia istirahat dulu, aku tidak ingin terburu-buru meskipun nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun. Ini adalah yang pertama baginya. Aku ingin kepuasan untuk kami bedua.

"Kamu capek Nak? Pejumu tadi benar-benar lezat Nak. Ibu sangat menikmatinya", sanjungku tentang spermanya yang aku telan tadi. Banu hanya tersenyum saja mendengar sanjunganku.

Setelah aku melihat Banu sudah mulai tenang, aku dekatkan wajahku ke wajahnya. Seperti sudah mengerti yang aku maksud, Banu juga mendekatkan wajahnya ke wajahku. Mulut kami bersatu dan kami berciuman. Aku buka sedikit mulutku, bagitu juga Banu. Lidahnya mulai masuk ke dalam mulutku dan menyapu seluruh rongga mulutku. Kedua lidah kami beradu, saling membelit dan saling menjilat. Aku dekap tubuhnya erat sedangkan Banu memegang bagian belakang kepalaku. Aku rasakan kedua gunung kembarku bersentuhan dengan dada bidang milik Banu. Banu berusaha menidurkan aku di sofa sambil kedua tangannya bergerilya di seluruh tubuhku. Sekarang aku telentang di sofa dan Banu berada di atas menindihku.

"Ludahi Ibu, Nak. Ibu haus. Ludahi Ibu," pintaku kepada Banu untuk memberikan air ludahnya kepadaku.

Banu menjauhkan sedikit mulutnya dari mulutku. Mulut Banu mengecap-kecap, berusaha mengumpulkan air ludah sebanyak-banyaknya. Setelah dirasa cukup banyak, Banu mendekatkan mulutnya kembali ke mulutku. Aku membuka mulutku seperti ikan yang megap-megap kekurangan air. Perlahan Banu membuka mulutnya. Aku dapat melihat air ludah yang mengucur keluar dari mulut Banu. Aku dekatkan mulutku dan aku satukan mulutku dengan mulut Banu. Aku tampung semua air ludah yang dikeluarkan oleh Banu. Aku katupkan mulutku lalu aku kecap-kecap sebentar kumpulan air ludah Banu yang berada di mulutku lalu aku menelannya. Aku dekap kepalanya lalu kami berciuman kembali. Aku rasakan di bawah, kontolnya kembali menegang. Sesaat kemudian, aku lepaskan dekapanku lalu aku dorong tubuh Banu ke bawah.

"Buka celana dalam Ibu Nak. Ayo lakukan," aku meminta Banu untuk membuka celana dalamku.

Bersambung . . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Pengorbanan seorang ibu - 5"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald