Margie, Ilen dan Elang - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
Kami bertiga menghabiskan malam di Bengkel. Ngobrol, bertemu teman-teman yang ada di sana. Sekitar pukul dua belas, kami pulang. Saat kami keluar dari mobil Elang, dia menyerahkan sebuah bungkusan kepadaku.
"Ini. Semoga kalian suka."
Aku sangat capek, dan Eca pun demikian. Besok musti masuk kerja dan kupikir sekarang sudah saatnya tidur. Eca setuju, tapi dia bilang ingin mandi air hangat dulu. Dia menuju kamar mandi dan aku mengganti pakaian dengan baju tidur, lantas merebahkan diri di tempat tidur. Kunyalakan TV dan menonton film HBO. Bingkisan dari Elang telah kami lemparkan di dekat telepon. Aku mendengar shower dimatikan, dan beberapa saat kemudian Eca muncul di kamar tidur. Handuk terlilit di tubuhnya dan satu di kepalanya. Rambutnya yang hitam tampak lembab namun tidak terlalu basah. Dia belum berganti dengan gaun tidurnya. Aku tetap menonton TV, sedang Eca, tidak. Dia meraih bungkusan yang diberikan Elang.
"Oh, boy! Apa ini?"
Ternyata itu adalah sebuah dildo. Entah Elang dapat dari mana. Pasti dia beli di luar negeri, waktu kemarin dinas ke Hongkong. Barang itu panjangnya sekitar 20 centimeter, berwarna coklat dan dihiasi dengan urat-urat yang tampak 'asli'.

Eca memegangnya dan berkata, "Ini toh dildo itu. Eh, apa yang akan kita lakukan dengan ini?"
"Aku senang sekali kalau punya Ndoet segede ini. Akan kuhisap dan kutelan setiap malam", katanya lagi. Eca membawa kepala dildo yang besar itu ke mulutnya dan memutarkan lidahnya mengelilingi benda itu. Kemudian dia memasukkan sebagian dari dildo itu ke mulutnya dan mulai menghisapnya seperti benda itu adalah penis asli. Aku terangsang. Eca berdiri di hadapanku menghisap dildo itu dan aku menyadari kalau puting payudaraku mulai menegang melihat Eca. Aku tidak tahu Eca sengaja atau nggak, handuk Eca terjatuh. Payudaranya yang besar itu menantang dengan pentilnya yang mengeras. Eca tersenyum padaku saat dia mengeluarkan dildo itu dari mulutnya dan menggosokkannya di antara putingnya yang kiri dan kanan. Aku harus mengakui kalau aku menjadi sangat terangsang dan vaginaku menjadi basah.

Sambil memegang dildo dengan satu tangan, tangan yang lainnya bergerak ke tempat tidur. Sambil tersenyum, dia menarik kain yang menjadi selimutku. Eca melanjutkan permainannya dengan dildo tersebut, membawanya ke bagian bawah tubuhnya, dan lebih ke bawah lagi. Dengan suara yang parau, matanya tertuju kepadaku, dia memerintahku,
"Buka baju tidurmu, Marg."
Saatku meloloskan baju tidur itu melalui kepala, aku menyadari betapa terpesonanya aku. Aku belum pernah senafsu ini, apa lagi ke sesama jenis. Pengalaman pertama tadi membuatku lupa diri. Saat itu pula Eca masuk ke dalam selimut yang kupakai. Dia di sebelahku, masih memegang dildonya. Dia meletakkannya di sebelahku dan menaruh tangannya di dadaku. Aku merintih dengan penuh kenikmatan ketika Eca secara halus meremasnya. Dia menggerakkan tangannya ke bahuku, menariknya ke arah atas, melewati kepalaku. Sesudah tanganku menyentuh palang yang ada di atas kepala tempat tidur, Eca tersenyum nakal. Dia mengambil dasi Ndoet yang ada di situ, lalu dengan cepat melingkarkannya di pergelanganku, mengikatku di ujung tempat tidur.

Aku menahan nafas, merasakan sesuatu perasaan takut. Aku merasa sangat nggak nyaman dengan perlakuan Eca ini. Tanganku sedikit sakit karena ikatan yang kencang itu. Dia pasti menyadarinya. Dia memandangku dengan lembut dan perlahan menelusuri tubuhku dengan jemarinya.
"Jangan khawatir", katanya. "Aku tak akan menyakitimu. Dan, kamu akan menikmati ini."
Dia berbaring di sebelahku dan memelukku. Tubuhnya yang langsing terasa hangat, payudaranya menekan tubuhku. Waktu dia memeluk pahaku dengan kakinya, aku merasakan kelembutan bulu-bulu kemaluannya, lalu kehangatan vaginanya yang digosok-gosokkan ke pahaku. Aku menjadi rileks dan mulai menghayatinya.

Eca menijilati dan menghisap dadaku, aku mengerang senang. Aku menjadi sangat terangsang. Salah satu tangannya menjalar ke bagian selangkanganku dan aku mendengus saat jarinya menyentuh klitorisku yang basah. Menekannya di antara labiaku, dan memasukkannya ke dalam lubang kemaluanku. Sentuhannya sungguh seksi, aku hampir saja mencapai orgasme. Aku sedikit kaget ketika mulutnya menekan bibirku. Bibirnya yang lembut terbuka, dan lidahnya menerobos mulutku. Aku mulai merasakan kenikmatan yang dihantarkan lidahnya. Kubiarkan dia menciumku, dan beberapa waktu kemudian, aku membalas kecupannya. Tangannya terus mengelus-elus vaginaku. Aku mencoba untuk mengalungkan lengan ke tubuhnya, tapi ikatan yang dibuatnya sangat kencang. Aku hanya dapat merintih di bawah pengaruh sentuhan dan ciumannya.

Eca menarik mulutnya dariku dan aku membuka mataku yang tadi terpejam menghayati perlakuannya. Dia memandangku dengan tatapan liar.
"Kamu akan menjadi pemakai pertama dari dildo ini, Margie", katanya.
"Kau akan menyukainya."
"Tapi Ca.."
Sia-sia aku menolak. Eca telah menaruhnya di bibir kewanitaanku.
"Tadi kau telah memuaskanku. Sekarang giliranmu. Nikmatilah, Margie."
Kemudian kusaksikan Eca menarik kembali dildo itu, membawanya ke mulutnya. Aku melihatnya menjilati dan menghisapnya seperti itu penis sejati. Dia mengeluarkan dildo dari mulutnya dan menyentuhkan kepala dildo itu ke mulutku.

Mulutku terbuka dan Eca menekan kepala 'penis' yang besar itu ke dalam. "Yach, begitu Margie", katanya. "Hisaplah kejantanan ini. Hisaplah penis besar ini. Kau menyukai penis yang besar berada di mulutmu, bukan?" Aku tidak bisa menjawab dengan kata-kata, tapi responku cukup jelas. Waktu Eca mengayunkan dildo itu keluar masuk mulut dan kerongkonganku, aku menghisapnya dan melenguh dengan penuh kenikmatan. Aku membuka mata dan melihat Eca memainkan kewanitaannya dengan tangan yang satu lagi. Vaginaku sendiri telah benar-benar banjir dan aku frustasi karena tak dapat menyentuhnya dengan tanganku untuk melepaskan tekanan nafsu syahwat yang menggebu-gebu itu.

Eca menyadarinya. Dia mengeluarkan dildo dari mulutku dan memainkannya di bibirku.
"Kamu siap dimasuki dildo ini?" dia bertanya.
"Yaa!" aku berteriak serak. Aku sudah benar-benar kepingin membenamkan dildo itu ke vaginaku, seperti aku tidak pernah disetubuhi sebelumnya.
Mulut Eca kembali menciumi mulutku, dan aku membalas dengan penuh nafsu. Sementara itu, aku merasakan Eca membawa dildo itu ke arah selangkanganku. Kepala dildo yang halus dan licin itu menyentuh labiaku yang basah dan lalu menekannya di antara kedua bibir vaginaku. Eca duduk, untuk membuatnya lebih mudah memasukkan benda itu ke tubuhku.
"aahg, aaghh", aku merintih, nafasku tidak beraturan.
Eca menunjukkan dildo yang sudah 15 centimeter masuk ke dalam liang kewanitaanku. Dia perlahan-lahan, ooh, perlahan-lahan sekali menarik keluar benda itu, hampir keseluruhannya, lalu dengan perlahan-lahan kembali memasukkannya, lebih dalam, lebih dalam lagi.

Aku tidak tahan lagi. Makin terangsang. Aku tidak pernah berbicara 'kotor' kalau sedang 'main' dengan Daud atau dengan pacar-pacarku yang dulu-dulu, tapi Eca membuatku putus asa dan meminta untuk benar-benar disetubuhi.
"Oooh. aahh", aku menjerit.
"Fuck me! Berikan padaku! Kasari aku! Masukkan Ca! Tekan! Jangan pernah kau keluarkan!"
Kamar tidur Eca itu menggemakan segala kata-kata kotor yang keluar dari mulutku. (Aku dilarang Elang menceritakan teriakanku dengan mendetail. Dia beraliran softcore, kurasa.)
Eca tidak perlu petunjuk apa pun. Dia mulai memompa dengan kencang dildo itu di dalam lubang kenikmatanku. Tangannya menggenggam dildo itu kencang. Tinjunya menghantam bagian luar vaginaku, membuatku bertambah nikmat. Aku merasa bagian dalam vaginaku tertarik keluar saat dildonya ditarik. Aku menikmati kekasaran yang dibuat Eca.

Hanya butuh waktu beberapa menit untuk membuatku puas secara total. Aku mengalami orgasme yang kurasakan sangat berbeda. Aku jarang bisa mendapatkan multiple orgasme, tapi kali ini mungkin empat atau lima kali puncak kenikmatan itu kurasakan. Aku tidak tahu mana yang duluan terjadi. Aku yang sudah orgasme, atau Eca yang telah kehabisan energi memompakan dildo itu ke vaginaku. Dia rebah di sampingku yang masih terikat. Dildonya masih tertancap di vaginaku. Eca memeluk pahaku dengan kakinya, lalu menggosok-gosokkan kewanitaannya kepadaku. Sampai akhirnya dia juga mencapai orgasme.

Dia terbaring kelelahan, tidak bergerak. Aku khawatir dia langsung tidur, dan aku harus terikat sepanjang malam. Akhirnya Eca bergerak, menjauh dari tubuhku yang penuh keringat. Dia menciumku cukup lama sambil tangannya membuka ikatan tanganku. Tanganku terbebas, aku memeluknya dan menariknya ke tubuhku. Kami berciuman kembali. Aku mengeluarkan dildo dari 'sarang'nya, saat itu Elang menelepon.
"Did you two enjoy my present, ladies?"
Terdengar dia tertawa, kami hanya tersenyum. Aku mencium Eca, dan kami tertidur saling berpelukan.

Waktu terbangun esok harinya, aku mulai ragu dengan kehidupan normalku. Aku misuh-misuh ke Elang. Dia yang memulai semua ini. Tapi Elang pula yang akhirnya meyakinkanku, kalau kadang kita emang butuh sesuatu yang beda. Buktinya, aku bakalan kawin dengan Daud beberapa bulan lagi. Doain aku ya..!

Tamat




Komentar

0 Komentar untuk "Margie, Ilen dan Elang - 2"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald